Pada garis besarnya proses persidangan pidana pada
peradilan tingkat pertama di Pengadilan Negeri untuk memeriksa perkara biasa
terdiri dari 4 (empat) tahap sebagai berikut :
1.
Sidang Pembacaan Surat Dakwaan, Eksepsi dan Putusan
Sela.
Pada hari sidang yang telah ditetapkan oleh
hakim/majelis hakim, sidang pemeriksaan perkara pidana oleh ketua majelis hakim
dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai
kasulilaan atau terdakwanya anak-anak.Pemeriksaan itu
dilakukan secara lisan dalam bahasa Indonesia yang dimengerti oleh terdakwa dan
saksi-saksi.Kalau kedua ketentuan tersebut tidak tidak
dipenuhi, maka mengakibatkan batalnya putusan demi hukum.
Pada tahap ini penuntut umum sebagai pihak yang diberi
wewenang melakukan penuntutan, diberi kesempatan oleh hakim ketua sidang untuk
membacakan surat dakwaan. Apabila pihak terdakwa tidak mengerti tentang isi
surat dakwaan yang diajukan kepadanya, penuntut umum atas permintaan hakim
ketua sidang wajib memberi penjelasan yang diperlukan.
Terdakwa atau penasehat hukumnya dapat mengajukan
keberatan (eksepsi) terhadap surat dakwaan penuntut umum. Keberatan
(eksepsi) terdakwa dan penasehat hukum itu meliputi:
a)
Pengadilan tidak berwenang mengadili ( berkaitan
dengan kompetensi absolut / relatif).
b)
Dakwaan tidak dapat diterima (karena dakwaaan dinilai
kabur / obscuur libel).
c)
Dakwaan harus dibatalkan (karena keliru, kadaluarsa
atau nebis in idem).
Sesudah pembacaan keberatan (eksepsi) dari
terdakwa atau penasehat hukum, hakim ketua sidang memberi kesempatan pada
penuntut umum untuk mengajukan tanggapan atas keberatan (eksepsi) yang
biasanya disebut replik.[13]Didalam praktek sering juga
sebelum menjatuhkan putusan sela hakim ketua masih memberikan kesempatan pada
terdakwa / penasehat hukum untuk mengajukan tanggapan sekali lagi yang disebut
duplik. Kesempatan yang terakhir ini tidak diatur dalam KUHAP, akan tetapi
merupakan kebijaksanaan hakim berdasarkan asas keseimbangan pada pemeriksaan.
Atas eksepsi beserta tanggapan-tanggapan tersebut
selanjutnya hakim ketua sidang menjatuhkan putusan sela.
Model putusan sela dalam praktek ada dua macam :
1)
Tidak dibuat secara khusus. Biasanya untuk putusan
sela yang pertimbangannya sederhana, majelis hakim cukup menjatuhkan putusan
sela secara lisan, selanjutnya putusan tersebut dicatat dalam berita acara
persidangan dan nantinya akan dimuat dalam putusan akhir.
2)
Dibuat secara khusus dalam suatu naskah putusan untuk
putusan sela yang memerlukan pertimbangan yang rumit / komplek, majelis hakim
biasanya menyusun putusan sela secara sistematis dalam suatu naskah putusan
yang dibacakan dalan sidang.
a)
Eksepsi tedakwa/penasehat hukum diterima, sehingga
pemeriksaan terhadap perkara tersebut tidak dapat dilanjutkan.
b)
Eksepsi terdakwa / penasehat hukum ditolak, sehingga
terhadap perkara tersebut harus dilanjutkan.
c)
Eksepsi terdakwa / penasehat hukum baru dapat diputus
setelah selesai pemeriksaan, sehingga sidang harus dilanjutkan.
Setelah putusan sela diucapkan atau dibacakan hakim
ketua menjelaskan seperlunya mengenai garis besar isi putusan sela sekaligus
menyampaikan hak penuntut umum, terdakwa dan penasehat hukum untuk mengambil
sikap menerima atau akan mengajukan perlawanan.
2.
Sidang pembuktian.
Apabila hakim/majelis hakim menetapkan dalam putusan
sela sidang pemeriksaan perkara harus dilanjutkan, maka acara persidangan
memasuki tahap pembuktian,yaitu pemeriksaan terhadap alat-alat dan barang bukti yang
diajukan. Dari keseluruhanan proses peradilan pidana tahap pembuktian ini
sangat penting, karena dari hasil pembuktian ini nantinya akan dijadikan dasar
pertimbangan bagi hakim untuk menentukan bersalah atau tidaknya terdakwa dalam
putusan.
Bagaimana pentingnya tahap sidang pembuktian ini,
digariskan dalam pasal 183 KUHAP yang berbunyi, hakim tidak boleh menjatuhkan
pidana kepada seseorang kecuali dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang
sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan
bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Pengertian dari pasal 183 KUHAP tersebut dapat
disimpulkan, bahwa untuk menentukan salah tidaknya seseorang dan selanjutnya
hakim menjatuhkan pidana, maka harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
-
kesalahan dipandang telah terbukti jika telah
dipenuhi, sekurang- kurangnya dua alat bukti yang sah.
-
dan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah itu
hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana telah terjadi dan yang melakukan
adalah terdakwa.
Dengan memperhatikan bunyi pasal 183 KUHAP, maka
jelaslah bahwa KUHAP menganut sistem pembuktian menurut undang-undang secara
negatif. Sistem ini merupakan perpaduan antara sistem pembuktian menurut
keyakinan hakim (conviction intime) dengan sistem pembuktian menurut
undang-undang secara positif (positief wettelijke). Dalam sistem
pembuktian menurut undang-undang secara negatif ini, tidak cukup keterbuktian
itu hanya didasarkan pada alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang saja,
akan tetapi juga bersamaan dengan itu harus ada keyakinan hakim.
Dengan uraian tersebut dapat disimpulkan, untuk
menentukan salah atau tidaknya terdakwa menurut sistem pembuktian menurut
undang-undang secara negatif, harus dipenuhi dua komponen:
-
Pembuktian harus dilakukan atas ketentuan, cara-cara
dan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.
-
Keyakinan hakim juga harus didasarkan atas atas
ketentuan, cara dan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.
Dengan demikian ternyatalah bahwa pembuktian harus
didasarkan kepada undang-undang (KUHAP), yaitu alat bukti yang sah sebagaimana
tersebut dalam pasal 184 KUHAP, disertai dengan keyakinan hakim yang diperoleh
dari alat-alat bukti tersebut.
Alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang yaitu:
- keterangan saksi
- keterangan ahli
- surat
- petunjuk
- keterangan terdakwa
Pada persidangan tahap pembuktian ini penuntut umum
dibebani untuk mengajukan alat-alat bukti sebagaimana tersebut dalam pasal 184
KUHAP. Pengajuan alat bukti oleh penuntut umum ini dimaksudkan untuk meneguhkan
dan membuktikan dakwaannya. Sebaliknya terdakwa/penasehat hukum diberi
kesempatan pula untuk mengajukan alat-alat bukti yang sama untuk melemahkan
dakwaan penuntut umum terhadap dirinya.
3.
Sidang Pembacaan Tuntutan Pidana, Pembelaan dan
Tanggapan Tanggapan.
a)
Pembacaan Tuntutan Pidana (requisitoir)
Apabila sidang tahap pembuktian dinyatakan selesai,
maka hakim ketua memberi kesempatan kepada penuntut umum untuk membacakan
tuntutan pidana.[20] Tuntutan pidana yang dibuat
penuntut umum pada hakikatnya adalah kesimpulan yang diambil dari fakta yang
terungkap dipersidangan menurut versi penuntut umum, disertai dengan tuntutan
sanksi pidana / atau tindakan yang akan dijatuhkan pada terdakwa.[21] Tuntutan pidana ini diajukan secara tertulis dan
setelah dibacakan segera diserahkan kepada hakim ketua sidang dan turunannya
kepada pihak yang berkepentingan.
Oleh karena surat tuntutan pidana dilakukan secara
tertulis dan merupakan kesimpulan berdasarkan keseluruhan hasil pemeriksaan di
persidangan, maka dengan sendirinya tuntutan pidana tersebut harus disusun kedalam
suatu surat tuntutan pidana secara sistematis. KUHAP tidak menentukan
syarat-syarat penyusunan surat tuntutan pidana, akan tetapi berdasarkan
pengamatan penulis dalam persidangan pidana, secara umum surat tuntutan pidana
harus lengkap menggambarkan / memuat :
1.
Indentitas terdakwa.
2.
Dakwaan.
3.
Fakta-fakta yang terungkap di persidangan dengan
diawali dengan uraian tentang :
-
Keterangan saksi-saksi.
-
Keterangan ahli, surat dan petunjuk (kalau ada).
-
Keterangan terdakwa.
-
Barang bukti yang diajukan dipersidangan.
4.
Analisis yuridis (pembuktian mengenai unsur-unsur
tindak pidana yang didakwakan).
5.
Aspek pertimbangan pemidanaan ( hal-hal yang
memberatkan dan meringankan terdakwa ).
6.
Amar tuntuan yang berisi pernyataan kesalahan terdakwa
terbukti atau tidak terbukti, lamanya pidana yang akan dijatuhkan atau
pembebasan terdakwa. Selain itu juga hal-hal yang berkaitan dengan barang
bukti, penahanan dan lain-lain.
Isi dari tuntutan pidana tidak selalu berupa
penjatuhan pidana, hal ini tergantung dari hasil pembuktian penuntut umum.
Apabila menurut penuntut umum fakta yang terungkap di persidangan memenuhi
unsur tindak pidana yang di dakwakan, maka penuntut umum menyatakan terdakwa
terdakwa terbukti bersalah dan mengajukan permohonan agar terdakwa dijatuhi
pidana. Namun, apabila ternyata fakta di persidangan menunjukkan ada unsur
dakwaan yang tidak terpenuhi maka secara objektif penuntut umum harus
menyatakan bahwa terdakwa tidak terbukti bersalah dalam tuntutannya harus
mengajukan permohonan agar majelis hakim membebaskan terdakwa.
b)
Pengajuan / Pembacaan Nota Pembelaan (pledoi)
Pengajuan pembelaan ini merupakan salah satu hak yang
diberikan kepada terdakwa dalam kaitannya dengan asas praduga tak bersalah (presumption
of innocence), disamping hak terdakwa untuk menanggapi setiap keterangan
yang diajukan saksi-saksi.
Dalam kaitannya dengan prosedur pemeriksaan perkara
pidana, maka pembelaan menurut KUHAP adalah merupakan jawaban terdakwa /
penasehat hukum atas tuntutan pidana yang diajukan penuntut umum kepadanya.
KUHAP tidak mengatur secara terperinci apa hakikat
pembelaan dan apa syarat sahnya suatu nota pembelaan. Akan tetapi dalam praktek
peradilan di Indonesia pembelaan yang diajukan oleh terdakwa secara langsung
adalah merupakan pembelaan bebas, artinya pembelaan tersebut, mengemukakan
sangkalan-sangkalan, tanggapan-tanggapan atas tuntutan penuntut umum yang
disertai dengan ungkapan situasi kondisi mengenai dirinya, keluarganya, dan
rasa penyesalannya. Sebenarnya itu diajukan dengan tujuan agar tidak dihukum
atau sekedar untuk memohon keringanan hukuman.
Lain halnya dengan pembelaan yang diajukan melalui
penasehat hukum, pada umumnya disusun secara sistematis, kritis dan logis.
Biasanya sangkalan-sangkalan atas tntutan penuntut umum disertai dengan dasar
bukti / fakta yang terungkap selama persidangan yang relevan dan disertai
analisis yuridis yang akurat. Pembelaan yang seperti ini akan sangat menolong
majelis hakim dalam menyusun putusan, sehingga tidak mudah terbawa arus
menuruti kemauan penuntut umum sebagaimana tertera dalam tuntutan pidanaya.
c)
Pengajuan Tanggapan-Tanggapan ( replik dan
duplik ).
Setelah terdakwa dan atau penasehat hukum mengajukan
pembelaan hakim ketua sidang akan memberi kesempatan kepada pihak jaksa
penuntut umum untuk menanggapi pembelaan tersebut. Tanggapan jaksa penuntut
umum atas pembelaan terdakwa / penasehat hukum tersebut dinamakan replik.
Selanjutnya atas replik penuntut umum, terdakwa / penasehat hukum diberi
kesempatan untuk menanggapi. Tanggapan terdakwa / penasehat hukum atas replik penuntut
umum dalam perkara pidana disebut duplik.
Dalam praktek persidangan penulis sering mendapati
replik dan duplik ini disampaikan secara singkat (dapat secara lisan maupun
tertulis) yakni langsung menanggapi poin-poin yang dipandang perlu, karena ada perbedaan
pendapat disertai dengan argumentasinya. Berbeda dengan perkara perdata, dalam
perkara pidana hal-hal yang tidak ditanggapi tidak secara otomatis dianggap
sebagai suatu pengakuan atau suatu kebenaran, karena tujuan pemeriksaan perkara
pidana adalah untuk menemukan kebenaran materiil, sehingga pada akhirnya
semuanya diserahkan pada penilaian hakim yang tertuang dalam pertimbangan
putusannya terhadap semua hal yang diajukan selama proses persidangan.
4.
Sidang Pembacaan Putusan.
Sebagai tahap akhir dari seluruh rangkaian proses
persidangan perkara pidana, adalah sidang pengambilan putusan. Sebelum
menjatuhkan putusan ini, majelis hakim akan mempertimbangkan segala sesuatunya
berdasarkan atas surat dakwaan, segala sesuatu yang terbukti di persidangan,
tuntutan pidana, pembelaan dan tanggapan-tanggapan. Dasar-dasar pertimbangan
dalam putusan hakim harus dimusyawarahkan oleh majelis hakim.
Ada tiga kemungkinan putusan hakim ini yaitu ;
1)
Terdakwa dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana,
disini terdakwa dinyatakan dalam putusan bahwa perbuatan yang didakwakan jaksa
penuntut umum terbukti secara sah dan menyakinkan.
2)
Terdakwa dinyatakan bebas dari dakwaan, disini
terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana yang
didakwakan.
3)
Terdakwa dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum,
disini perbuatan terdakwa terbukti, namun bukan merupakan tindak pidana atau
terdapat alasan pemaaf pada diri terdakwa.
Setelah majelis hakim menjatuhkan putusan kepada
terdakwa dijelaskan hak-hak para pihak terhadap putusan itu. Hakim ketua sidang
menawarkan pada terdakwa untuk menentukan sikapnya, apakah akan menyatakan
menerima putusan tersebut, menyatakan menerima dan akan mengajukan grasi,
menyatakan naik banding atau berpikir-pikir. Hal yang sama juga diberikan
kepada jaksa penuntut umum.
No comments:
Post a Comment