Pendahuluan
Penegakan
hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya
norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau
hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Proses penegakan
hukum pidana dilakukan oleh suatu sistem yaitu yang disebut dengan Sistem
Peradilan Pidana yaitu mekanisme kerja dalam usaha penanggulangan kejahatan
dengan mempergunakan dasar pendekatan sistem. Sistem penanggulangan kejahatan
itu dilakukan oleh komponen-komponen yang saling bekerjasama, yaitu instansi
atau badan yang kita kenal dengan nama kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan
lembaga pemasyarakatan.
Masing-masing
komponen atau sub system mempunyai tugas dan output sendiri-sendiri sesuai
dengan funsi dan wewenangnya masing-masing. Kepolisian bertugas melakukan
penyidikan dan akan menghasilkan suatu out-put yang disebut dengan berita acara
pemeriksaan (BAP). Kejaksaan berdasarkan BAP dari Kepolisian bertugas melakukan
penuntutan dengan suatu surat dakwaan dan selanjutnya Pengadilan berdasarkan
surat dakwaan dari Kejaksaan akan mengadili perkara kemudian menjatuhkan
putusan. Lembaga Pemasyarakatan bertugas melakukan pembinaan terhadap nara
pidana agar dapat kembali menjadi orang baik dalam masyarakat.
Pelaksanaan
penegakan hukum pidana yang sangat menarik perhatian publik saat sekarang
adalah mengadili perkara dan penjatuhan putusan oleh Pengadilan.
Putusan yang dijatuhkan Pengadilan kadang-kadang dianggap masyarakat jauh dari
rasa keadilan. Bahkan tidak jarang setelah putusan diucapkan, masyarakat
mencari-cari kesalahan materi putusan/pertimbangan putusan ataulegal
reasoning dari putusan tersebut. Ada juga pihak-pihak yang berperkara
yang tidak setuju dengan bunyi putusan minta supaya hakim yang memutus perkara
dilaporkan ke Komisi Yudisial karena kesalahan dalam proses pelaksanaan
persidangan dan dalam memutus perkara. Kesalahan tersebut sebenarnya menurut
ketentuan hukum acara, bagi pihak yang tidak menerima putusan karena dirasa
tidak adil, dapat mengajukan upaya hukum ke Pengadilan yang lebih tinggi
seperti banding ke Pengadilan Tinggi atau kasasi ke Mahkamah Agung.
Sesungguhnya
pengambilan putusan dalam perkara pidana di Pengadilan dilakukan oleh hakim
yang independen melalui suatu proses persidangan. Proses tersebut ikut andil
dalam menentukan bagaimana putusan yang akan dijatuhkan. Sebaliknya putusan
yang dirasakan adil oleh masyarakat sangat tergantung juga dari proses
persidangan yang adil, taransparan dan dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam
makalah ini penulis akan membahas bagaimana peran kemandirian pengadilan dalam
penegakan hukum dan keadilan serta bagaimana proses perkara pidana dilakukan,
mulai disidangkannya suatu perkara sampai putusan diucapkan yang diharapkan
putusan tersebut mengandung nilai-nilai keadilan yang didambakan masyarakat
pencari keadilan (yustisiabelen).
Kemandirian
Hakim Pengadilan
Di dalam
suatu negara hukum, kekuasaan kehakiman (yudikatif) merupakan badan yang
sangat menentukan terhadap substansi dan kekuatan kaidah-kaidah hukum positif
termasuk hukum pidana. Karena melalui badan inilah konkritisasi hukum positif
dilakukan oleh hakim pada putusan-putusannya di depan pengadilan. Dengan ungkapan
lain dapat dikatakan, bahwa bagaimanapun baiknya segala peraturan hukum pidana
yang diciptakan dalam suatu negara, dalam usaha penanggulangan kejahatan, akan
tetapi peraturan-peraturan itu tidak ada artinya apabila tidak ada kekuasaan
kehakiman yang dilakukan oleh hakim yang mempunyai kewenangan untuk memberi isi
dan kekuatan kepada norma-norma hukum pidana tersebut.
Disini
tampaklah bahwa pengadilan/hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman
merupakan tumpuan dari segala lapisan masyarakat pencari keadilan (yustisiabelen) untuk
mendapat keadilan serta menyelesaikan persoalan-persoalan tentang hak dan
kewajibannya masing-masing menurut hukum. Oleh karenanya dapatlah dimaklumi
akan adanya dan terselenggaranya peradilan yang baik, teratur serta memenuhi
rasa keadilan masyarakat. Penyelenggaraan peradilan itu dilakukan oleh
kekuasaan kehakiman yang merdeka dan pengadilan/hakim yang bebas, guna
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila.
Iskandar
Kamil memberikan pendapat mengenai tugas hakim itu sebagai berikut:
Tugas hakim
adalah sebagai pelaksana Kekuaasaan Kehakiman yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, yang pada
dasarnya adalah mengadili. Kata mengadili merupakan rumusan yang sederhana,
namun di dalamnya terkandung pengertian yang sangat mendasar, luas dan mulia,
yaitu meninjau dan menetapkan sesuatu hal secara adil atau meberikan keadilan.
Pemberian keadilan tersebut harus dilakukan secara bebas dan mandiri. Untuk
dapat mewujudkan fungsi dan tugas hakim tersebut, penyelenggaraan peradilan
harus bersifat teknis profesional dan non politis serta non partisan. Peradilan
dilakukan sesuai standar profesi berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku,
tanpa pertimbangan-pertimbangan politis dan pengaruh kepentingan pihak-pihak.[1]
Dari uraian
dan pandangan diatas maka penegakan hukum dan keadilan inilah yang menjadi
dasar filosofi dari kemandirian hakim ini. Mengingat dasar filosofi untuk
menegakkan hukum dan keadilan inilah, maka kepada hakim perlu diberi kebebasan dari
pengaruh kekuasaan ektra judisial dalam melaksanakan fungsi dan kewenangan
kekuaaan kehakiman. Akan tetapi kebebasan itu harus disadari hanya merupakan
kebebasan yang diberikan undang-undang atau hukum(legal right) bukan
kebebasan yang bersifat alami (natural right). Oleh karena itu
Ketua Mahkamah Agung dalam keynote speech mengatakan, bahwa kebebasan hakim itu
hanya terbatas pada:
- 1.Bebas dari campur tangan kekuasaan negara lainnya.
- 2.Bebas dari paksaan siapapun,
- 3.Bebas dari direktiva atau rekomendasi yang datang dari pihak ektra yudisial.[2]
Sebagai
landasan filosofi dari kebebasan hakim, keadilan itu sendiri mempunyai makna
yang begitu kaya, sehingga selalu menimbulkan perbedaan dan petentangan dalam
menafsirkannya. Walaupun demikian kiranya diusahakan suatu pemahaman yang pokok
dan mendasar sehingga dapat disepakati oleh banyak pihak bahwa keadilan itu
menjadi tujuan yang hendak dicapai dari kemandirian hakim dalam melaksanakan
persidangan.
Plato
menegaskan bahwa makna pokok dari keadilan adalah kemampuan memperlakukan
setiap orang sesuai dengan haknya masing-masing.[3] Pemahaman
ini diteruskan sepanjang sejarah kebudayaan Barat melalui Aristoteles, Cicero,
Agustinus dan terutama oleh sistem hukum Romawi yang masih punya pengaruh kuat
sampai dewasa ini. Meskipun pemahaman keadilan cukup singkat dan jelas tetapi
dalam pelaksanaannya sering timbul kesukaran praktis, karena masih
dipertanyakan sejauh mana hak orang itu. Manakah hak orang itu dan dari mana
datangnya hak itu. Tanpa memberikan kejelasan seperti itu tindakan yang
dimaksudkan sebagai pemberian keadilan, ternyata malah merupakan ketidak
adilan.
Oleh
karenanya kemudian dikatakan keutamaan keadilan terwujud pada tindakan-tindakan
kepada orang lain, yakni orang yang memiliki hak atas perlakuan itu. Hal itu
antara lain ditegaskan oleh Thomas Aquinas dengan rumusan “keadilan adalah
untuk orang lain”.[4] Perlakuan yang adil
dilaksanakan bukan karena kasih sayang, hubungan perasaudaraan atau
perasahabatan dan sebagainya, melainkan kerena pengakuan atas hak orang lain.
Pengertian
keadilan ini pada perode akhir-akhir ini banyak ditinjau dari berbagai sudut
pandang. Ada yang melihat dari segi keadilan legal (legal justice)yaitu
keadilan yang sesuai dengan hukum. Pandangan ini dapat dilihat dari peraturan perundang-undangan
yang berlaku dan dari putusan hakim pengadilan yang mencerminkan keadilan hukum
negara dalam bentuk formal. Akan tetapi adil tidaknya suatu peraturan
perundang-undangan atau putusan hakim sangat pula ditentukan oleh representasi
keadilan moral (moral justice) dan keadilan sosial(social
justice), sebagai dua sudut pandang yang lain melihat keadilan itu sendiri.
Keadilan
moral (moral justice) tidak lain dari keadilan yang
berdasarkan moralitas yang berbicara tentang baik dan buruk. Moralitas berasal
dari berbagai sumber, yang terpenting disini adalah agama. Agamalah yang
menetapkan tentang norma-norma baik dan buruk, benar dan salah, adil dan tidak
adil. Perundang-undangan Indonesia sangat mendukung keadilan hukum yang
berdasarkan keadilan moral agama. Ini terlihat secara umum dari pasal 2 ayat
(1) UU No. 48 tahun 2009 yang menyatakan: Peradilan dilakukan “DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Setiap putusan hakim harus memuat
kata-kata tersebut sebagai kepala putusannya. Putusan hakim yang tidak memuat
kata-kata tersebut diatas diancam batal demi hukum.
Keadilan
sosial (social justice) adalah menjadi salah satu dasar
negara, sebagai sila kelima dari Pancasila yang berbunyi: Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia. Dalam pembukaan UUD 1945 disebutkan bahwa selain
melindungi segenap bangsa dan tanah air Indonesia, Pemerintah Indonesia juga
ingin berpartisipasi melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Ada pula
pendapat yang mengelompokkan keadilan legal (legal justice)kedalam
dua kategori yaitu aspek substanstif dan prosedural. Pendapat ini dikemukakan
oleh Majid Khadduri sebagai berikut:
Syariat
tidak memberikan ukuran khusus untuk membedakan antara perbuatan-perbuatan yang
adil dan zalim. Oleh karena itu ia berpindah kepada pakar-pakar (mujtahid) untuk
mengindikasikan prinsip-prinsip pokok dari keadilan yang berfungsi sebagai
garis-garis pedoman untuk membedakan antara perbuatan-perbuatan yang adil dan
zalim. Walaupun prinsip-prinsip ini tidak dibawa bersama dan dikorelasikan
kedalam suatu teori koheren tentang keadilan legal, tetapi mereka boleh
dikelompokkan kedalam dua kategori, masing-masing meliputi suatu aspek dari
keadilan yang berbeda. Aspek-aspek ini boleh kita namakan aspek substantif dan
prosedural, dan makna keadilan dalam setiap aspek bervariasi dari satu hingga
lainnya.[5]
Selanjutnya
Majid Khadduri mengatakan, bahwa keadilan substantif merupakan suatu aspek
internal dari suatu hukum dan elemen-elemen keadilan yang terkandung dalam
suatu hukum merupakan deklarasi tentang kebenaran-kebenaran dan
kesalahan-kesalahan. Dalam kosa kata Islam, ini kita namakan halal dan
haram (al-halal wa al-haram) dan membentuk
beberapa kaidah umum dan khusus dalam Syariat Islam (Islamic corpus
juris).[6] Sedangkan keadilan prosedural adalah
aspek eksternal dari syariat yang berdasar atasnya, keadilan substantif
dicapai. Aspek keadilan ini yang sering disebut keadilan formal,
dimanifestasikan pada tingkatan regularitas, ketelitian dan netral dalam
penerapan (aplikasi) Syariat.[7]
Berkaitan
dengan pengelompokan keadilan legal di atas, maka putusan Pengadilan yang
diambil hakim secara normatif mengandung dua aspek yaituprosedural justice dan substantive
justice. Dalam kaitan ini Mudzakkir mengatakan bahwa prosedural
justice hubungannya dengan hukum acara dan hukum pembuktian,
sedangkan subtantive justice berkaitan dengan diktum putusan
atau pemidanaan (dalam perkara pidana).[8] Hukum
acara dan hukum pembuktian bersifat obyektif dengan parameter aturan hukum
acara dan hukum pembuktian yang konkrit dengan standar yang tegas. Proses
pembuktian ini biasanya memerlukan ilmu pengetahuan yang obyektif dan oleh
karenanya, hasil proses pembuktian dapat diuji secara ilmiyah (obyektif) oleh
siapa saja. Sedangkan untuk substantive justicetidak memiliki
ukuran yang seobyektif procedural justice, karena suatu
diktum atau amar putusan adalah suatu kesimpulan dari kegiatan penafsiran
terhadap kaedah hukum (in abstrakto) yang dilakukan oleh hakim
terhadap fakta-fakta hukum yang telah diuji di Pengadilan (in
concretto).
Penafsiran
terhadap kaedah hukum ditujukan untuk mencapai tujuan hukum yaitu terciptanya
keadilan dalam masyarakat. Tuntutan keadilan yang diajukan masyarakat agar
penerapan hukum sesuai dengan apa yang dianggap adil oleh masyarakat dalam
setiap kasus pidana di depan hakim. Ini biasanya terkait dengan situasi konkrit
dan kondisi sosial setempat. Masyarakat tidak akan menilai menurut
prinsip-prinsip abstrak sebagai dirumuskan hukum, melainkan menurut apa yang
dalam situasi konkrit terasa adil. Jadi tuntutan keadilan disini agar hakim
mempunyai kebebasan penuh untuk memperhatikan semua unsur konkrit dalam kasus
yang dihadapi.
Dilain pihak
kepastian hukum selalu menuntut agar hukum dirumuskan secara sempit dan ketat
agar tidak terjadi kekaburan sedikitpun. Akan tetapi semakin sempit dan
terperinci perumusan hukum, maka hakim itu makin kaku dan makin sempit pula
ruang kebebasannya. Sehingga mungkin saja suatu putusan hakim sesuai dengan
norma-norma hukum, tapi tidak sesuai dengan keadilan menurut pandangan
masyarakat. Dalam kondisi dan situasi demikian hakim hendaklah membebaskan diri
pengaruh tekanan baik yang datang dari pemerintah, maupun pejabat pembuat
undang – undang serta pada rasa keadilan yang dirumuskan waktu itu, yaitu apa
yang dirasakan adil menurut perasaan keadilan hakim itu sendiri.
Tahapan dan
Proses Persidangan
Sebelum
Pengadilan/Hakim sampai kepada pengambilan putusan dalam setiap perkara pidana
yang ditanganinya, terlebih dahulu melalui proses pemeriksaan persidangan yang
merupakan tahap-tahap dalam pemeriksaan itu. Tanpa melalalui proses pemeriksaan
persidangan ini hakim tidak akan dapat mengambil putusan dalam perkara pidana
yang ditanganinya, karena hanya dengan melalui proses inilah akan didapatkan
peristiwa konkrit yang dilakukan terdakwa. Melalui proses persidangan ini pula
semua pihak, baik jaksa penuntut umum maupun terdakwa / penasehat hukum diberi
kesempatan yang sama untuk mengemukakan pendapatnya serta menilai hasil pemeriksaan
persidangan menurut perspektifnya masing-masing. Pada akhir dari proses
pemeriksaan persidangan hakim akan mengambil putusan. Proses persidangan ini
merupakan salah satu aspek yuridis formil yang harus dilakukan hakim untuk
dapat mengambil putusan dalam perkara pidana.
Proses
pemeriksaan persidangan perkara pidana di Pengadilan yang dilakukan oleh hakim
secara umum diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana disingkat
dengan sebutan KUHAP ( Undang-undang No. 8 tahun 1981 ) dan beberapa peraturan
pelaksanaan lainnya, seperti PP No. 27 tahun 1983 tentang pelaksanaan KUHAP dan
Peraturan Menteri Kehakiman RI No. M.06.UM.01.06 tahun 1983 tentang Tata Tertip
dan Tata Ruang Sidang. Disamping itu dalam praktek seringkali pelaksanaan
tahap-tahap dan tata cara persidangan disesuaikan dengan keadaan berdasarkan
kebijakan hakim / ketua majelis hakim atau atas kesepakatan antara pihak-pihak
yang terkait dalam pemeriksaan perkara pidana, sejauh tidak menyimpang dari
asas dan tujuan pemeriksaan perkara pidana.
Pada garis
besarnya proses persidangan pidana pada peradilan tingkat pertama di Pengadilan
Negeri untuk memeriksa perkara biasa terdiri dari 4 (empat) tahap sebagai
berikut :
1. Sidang
Pembacaan Surat Dakwaan, Eksepsi dan Putusan Sela.
Pada hari
sidang yang telah ditetapkan oleh hakim/majelis hakim, sidang pemeriksaan
perkara pidana oleh ketua majelis hakim dibuka dan dinyatakan terbuka untuk
umum kecuali dalam perkara mengenai kasulilaan atau terdakwanya anak-anak.[9] Pemeriksaan itu dilakukan secara lisan dalam
bahasa Indonesia yang dimengerti oleh terdakwa dan saksi-saksi.[10] Kalau kedua ketentuan tersebut tidak tidak
dipenuhi, maka mengakibatkan batalnya putusan demi hukum.[11]
Pada tahap
ini penuntut umum sebagai pihak yang diberi wewenang melakukan penuntutan,
diberi kesempatan oleh hakim ketua sidang untuk membacakan surat dakwaan.
Apabila pihak terdakwa tidak mengerti tentang isi surat dakwaan yang diajukan
kepadanya, penuntut umum atas permintaan hakim ketua sidang wajib memberi
penjelasan yang diperlukan.
Terdakwa
atau penasehat hukumnya dapat mengajukan keberatan (eksepsi) terhadap
surat dakwaan penuntut umum. Keberatan (eksepsi) terdakwa dan penasehat hukum
itu meliputi:[12]
a).
Pengadilan tidak berwenang mengadili ( berkaitan dengan kompetensi absolut /
relatif).
b).
Dakwaan tidak dapat diterima (karena dakwaaan dinilai kabur / obscuur
libel).
c).
Dakwaan harus dibatalkan (karena keliru, kadaluarsa atau nebis in idem).
Sesudah
pembacaan keberatan (eksepsi) dari terdakwa atau penasehat hukum, hakim
ketua sidang memberi kesempatan pada penuntut umum untuk mengajukan tanggapan
atas keberatan (eksepsi) yang biasanya disebut replik.[13]Didalam
praktek sering juga sebelum menjatuhkan putusan sela hakim ketua masih
memberikan kesempatan pada terdakwa / penasehat hukum untuk mengajukan
tanggapan sekali lagi yang disebut duplik. Kesempatan yang terakhir ini tidak
diatur dalam KUHAP, akan tetapi merupakan kebijaksanaan hakim berdasarkan asas
keseimbangan pada pemeriksaan.
Atas eksepsi
beserta tanggapan-tanggapan tersebut selanjutnya hakim ketua sidang menjatuhkan
putusan sela.[14]
Model
putusan sela dalam praktek ada dua macam :
a).
Tidak dibuat secara khusus. Biasanya untuk putusan sela yang pertimbangannya
sederhana, majelis hakim cukup menjatuhkan putusan sela secara lisan,
selanjutnya putusan tersebut dicatat dalam berita acara persidangan dan
nantinya akan dimuat dalam putusan akhir.
b).
Dibuat secara khusus dalam suatu naskah putusan untuk putusan sela yang
memerlukan pertimbangan yang rumit / komplek, majelis hakim biasanya menyusun
putusan sela secara sistematis dalam suatu naskah putusan yang dibacakan dalan
sidang.
a).
Eksepsi tedakwa/penasehat hukum diterima, sehingga pemeriksaan terhadap perkara
tersebut tidak dapat dilanjutkan.
b).
Eksepsi terdakwa / penasehat hukum ditolak, sehingga terhadap perkara tersebut
harus dilanjutkan.
c).
Eksepsi terdakwa / penasehat hukum baru dapat diputus setelah selesai
pemeriksaan, sehingga sidang harus dilanjutkan.
Setelah
putusan sela diucapkan atau dibacakan hakim ketua menjelaskan seperlunya
mengenai garis besar isi putusan sela sekaligus menyampaikan hak penuntut umum,
terdakwa dan penasehat hukum untuk mengambil sikap menerima atau akan
mengajukan perlawanan.[16]
2. Sidang
pembuktian.
Apabila
hakim/majelis hakim menetapkan dalam putusan sela sidang pemeriksaan perkara
harus dilanjutkan, maka acara persidangan memasuki tahap pembuktian,yaitu
pemeriksaan terhadap alat-alat[17] dan barang
bukti[18] yang diajukan. Dari keseluruhanan proses
peradilan pidana tahap pembuktian ini sangat penting, karena dari hasil
pembuktian ini nantinya akan dijadikan dasar pertimbangan bagi hakim untuk
menentukan bersalah atau tidaknya terdakwa dalam putusan.
Bagaimana
pentingnya tahap sidang pembuktian ini, digariskan dalam pasal 183 KUHAP yang
berbunyi, hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu
tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya.
Pengertian
dari pasal 183 KUHAP tersebut dapat disimpulkan, bahwa untuk menentukan salah
tidaknya seseorang dan selanjutnya hakim menjatuhkan pidana, maka harus dipenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
- kesalahan
dipandang telah terbukti jika telah dipenuhi, sekurang- kurangnya dua alat
bukti yang sah.
- dan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah itu hakim memperoleh keyakinan bahwa
tindak pidana telah terjadi dan yang melakukan adalah terdakwa.
…….. Hal ini
menunjukkan adanya kebebasan hakimdalam menjatuhkan putusan. Ia bebas untuk
menentukan timbulnya keyakinan dalam dirinya berdasarkan alat-alat bukti yang
dihadapkan kemuka sidang. Diluar kerangka itu, tidak boleh ada hal yang dapat
mempengaruhi dirinya dalam menjatuhkan putusan.
Dengan
memperhatikan bunyi pasal 183 KUHAP, maka jelaslah bahwa KUHAP menganut sistem
pembuktian menurut undang-undang secara negatif. Sistem ini merupakan perpaduan
antara sistem pembuktian menurut keyakinan hakim (conviction intime)
dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif (positief
wettelijke). Dalam sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif
ini, tidak cukup keterbuktian itu hanya didasarkan pada alat-alat bukti yang
sah menurut undang-undang saja, akan tetapi juga bersamaan dengan itu harus ada
keyakinan hakim.
Dengan
uraian tersebut dapat disimpulkan, untuk menentukan salah atau tidaknya
terdakwa menurut sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif, harus
dipenuhi dua komponen:
- Pembuktian
harus dilakukan atas ketentuan, cara-cara dan alat-alat bukti yang sah menurut
undang-undang.
- Keyakinan
hakim juga harus didasarkan atas atas ketentuan, cara
dan alat-alat bukti yang sah menurut
undang-undang.
Dengan
demikian ternyatalah bahwa pembuktian harus didasarkan kepada undang-undang
(KUHAP), yaitu alat bukti yang sah sebagaimana tersebut dalam pasal 184 KUHAP,
disertai dengan keyakinan hakim yang diperoleh dari alat-alat bukti tersebut.
Alat-alat
bukti yang sah menurut undang-undang yaitu:
- keterangan
saksi
- keterangan
ahli
- surat
- petunjuk
- keterangan
terdakwa
Pada
persidangan tahap pembuktian ini penuntut umum dibebani untuk mengajukan
alat-alat bukti sebagaimana tersebut dalam pasal 184 KUHAP. Pengajuan alat
bukti oleh penuntut umum ini dimaksudkan untuk meneguhkan dan membuktikan
dakwaannya. Sebaliknya terdakwa/penasehat hukum diberi kesempatan pula untuk
mengajukan alat-alat bukti yang sama untuk melemahkan dakwaan penuntut umum
terhadap dirinya.
3. Sidang
Pembacaan Tuntutan Pidana, Pembelaan dan Tanggapan Tanggapan.
a)
Pembacaan Tuntutan Pidana (requisitoir)
Apabila
sidang tahap pembuktian dinyatakan selesai, maka hakim ketua memberi kesempatan
kepada penuntut umum untuk membacakan tuntutan pidana.[20] Tuntutan
pidana yang dibuat penuntut umum pada hakikatnya adalah kesimpulan yang diambil
dari fakta yang terungkap dipersidangan menurut versi penuntut umum, disertai
dengan tuntutan sanksi pidana / atau tindakan yang akan dijatuhkan pada
terdakwa.[21] Tuntutan pidana ini diajukan secara
tertulis dan setelah dibacakan segera diserahkan kepada hakim ketua sidang dan
turunannya kepada pihak yang berkepentingan.
Oleh karena
surat tuntutan pidana dilakukan secara tertulis dan merupakan kesimpulan
berdasarkan keseluruhan hasil pemeriksaan di persidangan, maka dengan
sendirinya tuntutan pidana tersebut harus disusun kedalam suatu surat tuntutan
pidana secara sistematis. KUHAP tidak menentukan syarat-syarat penyusunan surat
tuntutan pidana, akan tetapi berdasarkan pengamatan penulis dalam persidangan
pidana, secara umum surat tuntutan pidana harus lengkap menggambarkan / memuat
:
1.
Indentitas terdakwa.
2.
Dakwaan.
3.
Fakta – fakta yang terungkap di persidangan dengan diawali dengan uraian
tentang :
- Keterangan
saksi-saksi.
- Keterangan
ahli, surat dan petunjuk (kalau ada).
- Keterangan
terdakwa.
- Barang
bukti yang diajukan dipersidangan.
4. Analisis
yuridis (pembuktian mengenai unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan).
5.
Aspek pertimbangan pemidanaan ( hal-hal yang memberatkan dan meringankan
terdakwa ).
6.
Amar tuntuan yang berisi pernyataan kesalahan terdakwa terbukti atau tidak
terbukti, lamanya pidana yang akan dijatuhkan atau pembebasan terdakwa. Selain
itu juga hal-hal yang berkaitan dengan barang bukti, penahanan dan lain-lain.
Isi dari
tuntutan pidana tidak selalu berupa penjatuhan pidana, hal ini tergantung dari
hasil pembuktian penuntut umum. Apabila menurut penuntut umum fakta yang
terungkap di persidangan memenuhi unsur tindak pidana yang di dakwakan, maka
penuntut umum menyatakan terdakwa terdakwa terbukti bersalah dan mengajukan
permohonan agar terdakwa dijatuhi pidana. Namun, apabila ternyata fakta di
persidangan menunjukkan ada unsur dakwaan yang tidak terpenuhi maka secara
objektif penuntut umum harus menyatakan bahwa terdakwa tidak terbukti bersalah
dalam tuntutannya harus mengajukan permohonan agar majelis hakim membebaskan
terdakwa.
b). Pengajuan / Pembacaan Nota Pembelaan (pledoi)
Pengajuan
pembelaan ini merupakan salah satu hak yang diberikan kepada terdakwa dalam
kaitannya dengan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence),
disamping hak terdakwa untuk menanggapi setiap keterangan yang diajukan
saksi-saksi.
Dalam
kaitannya dengan prosedur pemeriksaan perkara pidana, maka pembelaan menurut
KUHAP adalah merupakan jawaban terdakwa / penasehat hukum atas tuntutan pidana
yang diajukan penuntut umum kepadanya.
KUHAP tidak
mengatur secara terperinci apa hakikat pembelaan dan apa syarat sahnya suatu
nota pmbelaan. Akan tetapi dalam praktek peradilan di Indonesia pembelaan yang
diajukan oleh terdakwa secara langsung adalah merupakan pembelaan bebas,
artinya pembelaan tersebut, mengemukakan sangkalan-sangkalan,
tanggapan-tanggapan atas tuntutan penuntut umum yang disertai dengan ungkapan
situasi kondisi mengenai dirinya, keluarganya, dan rasa penyesalannya.
Sebenarnya itu diajukan dengan tujuan agar tidak dihukum atau sekedar untuk
memohon keringanan hukuman.
Lain halnya
dengan pembelaan yang diajukan melalui penasehat hukum, pada umumnya disusun
secara sistematis, kritis dan logis. Biasanya sangkalan-sangkalan atas tntutan
penuntut umum disertai dengan dasar bukti / fakta yang terungkap selama
persidangan yang relevan dan disertai analisis yuridis yang akurat. Pembelaan
yang seperti ini akan sangat menolong majelis hakim dalam menyusun putusan,
sehingga tidak mudah terbawa arus menuruti kemauan penuntut umum sebagaimana
tertera dalam tuntutan pidanaya.
c).
Pengajuan Tanggapan-Tanggapan ( replik dan duplik ).
Setelah
terdakwa dan atau penasehat hukum mengajukan pembelaan hakim ketua sidang akan
memberi kesempatan kepada pihak jaksa penuntut umum untuk menanggapi pembelaan
tersebut. Tanggapan jaksa penuntut umum atas pembelaan terdakwa / penasehat
hukum tersebut dinamakan replik. Selanjutnya atas replik penuntut umum,
terdakwa / penasehat hukum diberi kesempatan untuk menanggapi. Tanggapan
terdakwa / penasehat hukum atas replik penuntut umum dalam perkara pidana
disebut duplik.
Dalam
praktek persidangan penulis sering mendapati replik dan duplik ini disampaikan
secara singkat (dapat secara lisan maupun tertulis) yakni langsung menanggapi
poin-poin yang dipandang perlu, karena ada perbedaan pendapat disertai dengan
argumentasinya. Berbeda dengan perkara perdata, dalam perkara pidana hal-hal
yang tidak ditanggapi tidak secara otomatis dianggap sebagai suatu pengakuan
atau suatu kebenaran, karena tujuan pemeriksaan perkara pidana adalah untuk
menemukan kebenaran materiil, sehingga pada akhirnya semuanya diserahkan pada
penilaian hakim yang tertuang dalam pertimbangan putusannya terhadap semua hal
yang diajukan selama proses persidangan.
4. Sidang
Pembacaan Putusan.
Sebagai
tahap akhir dari seluruh rangkaian proses persidangan perkara pidana, adalah
sidang pengambilan putusan. Sebelum menjatuhkan putusan ini, majelis hakim akan
mempertimbangkan segala sesuatunya berdasarkan atas surat dakwaan, segala
sesuatu yang terbukti di persidangan, tuntutan pidana, pembelaan dan
tanggapan-tanggapan. Dasar-dasar pertimbangan dalam putusan hakim harus
dimusyawarahkan oleh majelis hakim.[22]
Ada tiga
kemungkinan putusan hakim ini yaitu ;
1). Terdakwa
dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana, disini terdakwa dinyatakan dalam
putusan bahwa perbuatan yang didakwakan jaksa penuntut umum terbukti secara sah
dan menyakinkan.
2).
Terdakwa dinyatakan bebas dari dakwaan, disini terdakwa tidak terbukti secara
sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana yang didakwakan.
3).
Terdakwa dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum, disini perbuatan terdakwa
terbukti, namun bukan merupakan tindak pidana atau terdapat alasan pemaaf pada
diri terdakwa.[23]
Setelah
majelis hakim menjatuhkan putusan kepada terdakwa dijelaskan hak-hak para pihak
terhadap putusan itu. Hakim ketua sidang menawarkan pada terdakwa untuk
menentukan sikapnya, apakah akan menyatakan menerima putusan tersebut,
menyatakan menerima dan akan mengajukan grasi, menyatakan naik banding atau
berpikir-pikir. Hal yang sama juga diberikan kepada jaksa penuntut umum.
Penutup
Sebagai
penutup dari makalah ini penulis dapat menyimpulkan, bahwa untuk mencapai suatu
putusan yang adil (substansial justice), Hakim yang memimpin jalannya
persidangan haruslah melalui suatu proses yaitu berupa tahap-tahap persidangan
secara adil pula (prosedural justice). Yaitu dengan memberikan hak-hak
dan perlakuan yang seimbang antara pihak-phak yang berperkara, dalam perkara
pidana: Jaksa Penuntut Umum dan terdakwa atau penasihat hukum terdakwa.
Untuk itu
perlu kiranya direkomendasikan kepada masyarakat pencari keadilan, hendaknya
selalu berusaha mencari tahu akan hak-haknya ketika berhadapan dengan hukum.
Penyelenggaraan seminar ini adalah salah satu contoh bagaimana kita perlu
mengetahui hak-hak kita dimuka hukum serta mendiskusikan bagaiamana penegakan
hukum yang dilakukan pengadilan selama ini.
* Makalah ini disampaikan dalam Seminar Peran dan
funfgsi penegakan hokum dalam menciptakan keadilan dan kepastian
hokum, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, hari
Selasa tanggal 10 April 2012.
[1] Iskandar
Kamil, Kode Etik Profesi Hakim, dalam Pedoman Perilaku
Hakim (Code of Conduct) Code Etik Hakim dan Makalah Berkaitan, Mahkamah
Agung RI, Jakarta, 3003, hal. 9.
[2] Ketua
Mahakamah Agung RI, Hakim Sebagai Pemegang Mandat Yang Sah Menerapkan,
Menafsirkan dan Melaksanakan Tegaknya Hukum, keynote speech pada
diskusi panel Kebebasan Hakim dalan Negara Indonesia Yang Berdasarkan Atas
Hukum, Ditjen Badan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara Depkeh,
1995, hal. 26.
[3] Arbijoto,
Kebebasan Hakim Refleksi Terhadap Manusia sebagai Homo Religiosus, Mahkamah
Agung RI, 2000, hal. 43.
[5] Majid
Khadduri, terjemahan Mochtar Zoermi dan Joko S. Kahhar, Teologi
Keadilan Perspektif Islam, Risalah Gusti, Surabaya, 1999, hal.199-
200.
[8] Mudzakkir,
Eksaminasi Publik Terhadap Putusan Pengadilan: Beberapa Pokok Pikiran dan
Prospeknya ke Depan, dalam Wasingatu Zakiyah dkk,Eksaminasi Publik
Patrisipasi Masyarakat Mengawasi Peradilan, Indonesia Corruption
Watch, Jakarta, 2003, hal. 72.
[9] Periksa pasal 153 ayat (3) KUHAP. Pasal ini
berkaitan dengan asas hukum acara pidana yang pada prinsipnya persidangan
terbuka untuk umum kecuali sidang untuk perkara-perkara tertentu, misalnya
perkara kesulsilaan atau terdakwanya anak-anak, dimana harus dilakukan pada
sidang yang tertutup untuk umum, maka kata-kata “ terbuka untuk umum “ diganti
dengan kata-kata “tertutup untuk umum”. Setelah itu memerintahkan petugas untuk
menutup pintu dan jendela, supaya jalannya persidangan tidak dapat dilihat atau
didengar oleh umum.
[16] Baca : prosedur pengajuan perlawanan
terhadap putusan sela dalam pasal 156 ayat (3) sampai ayat (7) KUHAP.
[17] Dalam pasal 184 KUHAP ditentukan alat bukti yang
sah : keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan
terdakwa.
[18] Barang bukti adalah sesuatu barang atau
benda yang dapat dijadikan sebagai sarana untuk mendukung alat bukti , atau
barang yang berhubungan langsung dengan tindak pidana, misalnya : barang yang
merupakan obyek delik, hasil delik maupun alat / sarana,untuk melakukan delik.
[21] Al.Wisnubroto, Praktek Paradilan Pidana. Proses
Persidangan Perkara Pidana, penerbit PT Galaxy Pustaka Nusa, Bekasi, hal .
78.
[22] Prosedur musyawarah hakim untuk mengambil
putusan dapat dibaca pada pasal 182 ayat (4) sampai dengan ayat (8) KUHAP.
No comments:
Post a Comment