1/5/10

RASIONALE UNTUK PENDAFTARAN TANAH KOMUNAL

Dari studi penulis terhadap dokumen-dokumen internal LAP, penulis berkesimpulan bahwa misi dari STA-LAP lebih dari sekedar menghasilkan rekomendasi dari apa yang disebut sebagai “beberapa alternatif tindakan untuk pelaksanaan manajemen dan administrasi pertanahan nasional yang lebih baik”. Penulis menemukan bahwa, pada mulanya -- sebagaimana terbukti dalam Project Preparation Report - Indonesia - Land Administration Project (Mei, 1993) -- dipersiapkan suatu “Pilot Proyek untuk Pendaftaran Tanah Komunal”. Disebutkan bahwa

Komponen ini akan mempertimbangkan issu-issu yang termasuk kedalam pendaftaran tanah adat kommunal melalui pelaksanaan 3 (tiga) pilot proyek dari daftar lokasi-lokasi proyek yang dinominasikan. Komponen ini terdiri dari: (i) satu study untuk memilih lokasi 3 pilot proyek pendaftaran hak-hak adat milik bersama, mendokumentasikan dasar-dasar pemilihan; (ii) photographi udara dan pemetaan 3 daerah pilot study, jika peta yang memadai tidak tersedia; (iii) merencanakan dan melaksanakan 3 pilot proyek yang dirancang untuk menjajaki isyu-isyu yang berkaitan dengan kebijaksanaan, peraturan, administrasi, dan aspek-aspek sosial dari pendaftaran tanah adat milik bersama.

Perspesi yang mendasari didasari oleh assesment sebagai berikut :

Originally all adat lands belonged to the respective adat communities. The communal lands still in existence continue to be governed by traditional adat land law which recognises that the holder of the land is the adat community represented by its head. A right of allocation vests in the community in respect of all lands within its territory and while individual members may be allocated a right of ownership to a particular piece of land the community retains the right to intervene in matters concerning land within its territory.

Dari uraian di atas, menjadi jelas bahwa STA adalah suatu studi yang akan dimanfaatkan untuk pembentukan kebijakan dan/atau manajmen dan/atau administrasi dan/atau prosedur pendaftaran tanah komunal oleh Badan Pertanahan Nasional. Pada bagian berikutnya, penulis akan menunjukkan bias-bias pokok dari STA yang bersumber dari politik hukum agraria, paradigma dan desain, serta dari implementasi proyek.

III. BIAS UTAMA DALAM STUDI TANAH ADAT
Dilihat dari perspektif perseptual dan konseptual para warga komunitas lokal, usaha-usaha pembangunan yang diprakarsai pusat dan dilaksanakan oleh orang-orang yang datang mewakili pusat (state!) itu benar-benar merupakan suatu tindakan “memasuki wilayah pertuanan orang tanpa izin”. (Soetandyo Wignjosoebroto, 1997).


III.1. BIAS YANG BERSUMBER DARI KONTEKS POLITIK HUKUM AGRARIA

STA mengedepankan issue “meningkatkan perlindungan penguasaan tanah masyarakat adat”. Issue terpenting dari jaminan kepastian penguasaan tanah adalah apakah kebijakan, kelembagaan dan manajemen pertanahan nasional mengakui atau justru menegasikan sistem penguasaan tanah masyarakat adat? Sebagaimana dinilai oleh konseptor PAP, adalah benar bahwa “While the communal right of allocation and either major tenets of adat land law not yet dead it appears that, notwithstanding its intention, the UUPA is the major contributor to the acceleration of their demise”.

Mengapa UUPA merupakan penyumbang utama bagi kehancuran sistem penguasaan tanah masyarakat adat? Ada tiga unsur saling berikait, yakni konsepsi Hak Menguasai dari Negara (pasal 2 UUPA), Pengakuan bersyarat atas apa yang disebut “tanah ulayat” (pasal 3 UUPA), dan Hukum Adat (pasal 5 UUPA) .

Hak Menguasai Negara (HMN) itu sendiri bisa dikatakan merupakan sebuah konsepsi politik hukum (politico-legal concept) yang paling berpengaruh dewasa ini di sektor kebijakan agraria di Indonesia. Pada kenyataannya di dalam kebijakan agraria kita, HMN menjadi hak tertinggi yang dikenakan terhadap tanah melebihi hak apapun juga. Para perumus UUPA mendasarkan diri pada Pasal 33 UUD 1945 ayat 3, yakni: “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkadung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” (huruf miring dibuat oleh penulis). Konsep “menguasai” dari pasal 33 ini yang bermakna kedaulatan politik kekuasaan negara dalam menjalankan keharusan etis sebesar-besar kemakmuran rakyat, diberi muatan hukum dalam HMN.

HMN dirumuskan untuk pertama kalinya secara formal dalam UUPA 1960 di Pasal 2. HMN memberi wewenang untuk (a) mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa; (b) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa; (c) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Adapun pembatasan dari HMN ini adalah penggunaannya tidak boleh melanggar hak-hak atas tanah lainnya yang telah diberikan berdasarkan HMN itu sendiri. HMN ini secara definitif dibatasi oleh keharusan etis, “sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur”. Wewenang Pemegang HMN ini ada pemerintahan pusat, sebagaimana dinyatakan dalam penjelasan pasal 2 UUPA, “soal agraria menurut sifatnya dan pada asasnya merupakan tugas Pemerintah Pusat”. Namun demikian, “pelaksanaan HMN ini dapat dikuasakan kepada Daerah-daerah Swatantra dan masyarakat hukum adat, sekadar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah” (huruf miring, pen.).

Seperti layaknya negeri-negeri yang baru melakukan dekolonisasi, para pendiri Republik melakukan pembaharuan terhadap semua warisan stelsel kolonial, termasuk hukum pertanahan. Kegairahan untuk mengisi stelsel negara baru (new state) dilakukan dengan segala dinamik dari pelbagai ideologi dan kekuatan sosial-politik yang memberi sumbangan dalam pergerakan anti kolonialisme. Keterbatasan kesadaran elite terdidik (sekolahan maupun otodidak) dan manajemen kekuasaan negara merupakan faktor terpenting dalam pasang-surut dari mobilisasi dan peran rakyat dalam perumusan kebijakan negara. Dalam hal ini sekolah-sekolah untuk kaum pribumi memberikan andil paling tidak pada pasokan ahli-ahli hukum yang pada gilirannya menjadi pengarah pembentuk hukum dari negara baru – sebagaimana dikemukakan oleh studi Pak Soetandyo. Ketiadaan ahli hukum dari “Indonesia Luar” (Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, apalagi Irian dan sebagainya), dan dominasi orang-orang yang berlatar belakang Sunda, Jawa, dan Sumatera membuat ide-ide yang tercetus oleh ahli-ahli hukum tersebut membias pada gagasan “barat” dan pengalaman Jawa-Sumatera.

Soetandyo Wignyosoebroto menulis:

“Para siswa yang pernah terdaftar di rechtschool antara tahun ajaran 1910/1911 sampai dengan tahun ajaran 1920/1921, baik yang duduk di kelas-kelas persiapan maupun yang telah duduk di kelas-kelas keahlian (N=528), diketahuilah bahwa rekruting siswa cenderung dilakukan di pulau Jawa, dan khususnya di kalangan anak-anak Jawa. Dari 603 siswa itu, tak kurang dari 72,8% bersuku Jawa, 14,9 % bersuku Sunda, dan selebihnya -- yang mulai banyak terdaftar sesudah tahun ajaran 1915/1916 -- berasal dari suku Sumatra (11,1%), dengan mayoritas dari Sumatera Barat”.

Dari latar belakang demikian, bisa dimengerti bahwa problem hukum pasca kolonial selalu – tentunya termasuk UUPA– diwarnai oleh kompetisi ide yang antara hukum adat dengan hukum barat, yang pada akhirnya, UUPA ini tetap saja -- sebagaimana dikemukakan oleh Soedargo Gautama -- “adopts modern principles and works with modern western ideas. In the result therefore, the new statute means that the reception of western law will continue in Indonesia … The Western principles are adopted ‘silently’ ... by legislators”.

Sementara kompromi antara hukum adat dengan hukum adat tidak menemukan sintesa yang tepat, artikulasi populis – yang berupa gagasan dan upaya untuk mensejahterakan rakyat yang lepas dari kolonialisme tetapi tidak menegakan ideologi komunisme secara kental sebagai lawannya – mewarnai pembentukan gagasan negara-bangsa, disandarkan pada kekuasaan sangat besar terhadap negara sebagai perwujudan dari kekuasaan rakyat. Dalam konteks politik agraria hal ini terkondensasikan dalam konsep Hak Menguasai dari Negara (HMN) dan program-program land reform, termasuk pengaturan mengenai bagi-hasil di lapangan agraria.

Para mahasiswa hukum agraria selalu diajarkan bahwa konsep HMN ini selalu dihadapkan dengan asas Domein yang dipakai oleh pemerintahan kolonial. Dengan adanya prinsip HMN ini berarti azas domein yang menjadi dasar undang-undang pemerintah kolonial dihapuskan, sehingga praktek-¬praktek negara yang memiliki tanah pada wilayahnya tidak diakui lagi. Hak Domein pada masa kolonial mengandung pengertian sebagai hak tertinggi dari pemerintahan kolonial. Untuk itu maka Pemerintah kolonial bisa melakukan transaksi – di antaranya memperdagangkan – sumber-sumber agraria, khususnya tanah rakyat Indonesia kepada siapa saja, termasuk kepada warga negara asing, yang kemudian menimbulkan banyak¬nya tanah-tanah partikulir dan tuan-tuan tanah dengan hak yang sangat luas pada masa itu yang dapat diibaratkan seperti adanya negara di dalam negara.
Dalam suasana romantika memegang kekuasaan negara baru, oleh para pemimpin Republik pada saat itu negara RI dipersonifikasi sebagai suatu penjelmaan dari kekuasaan rakyat. Sama sekali tidak pernah terbayangkan oleh pembuat UUPA bahwa negara bisa menjadi struktur yang otonom dan/atau alat dari kepentingan pemodal dan melepaskan diri dari suatu keharusan etis – sebagaimana gejalanya bisa kita saksikan dewasa ini. Romantisasi ini juga yang pada awalnya memberi andil pada perumusan gagasan HMN sebagai hak ulayat yang ditinggikan ke tingkat negara. Mahasiswa hukum agraria pun pada gilirannya, menerima romantisasi demikian, yang kemudian memparalelkan pengertian (=dalam pengertian yang hampir sama) antara HMN dengan hak ulayat dalam masyarakat adat (Sumatera Barat) – sebagaimana dikonsepsikan oleh van Vollenhoven sebagai besckikingsrecht.

Keterbatasan kesadaran akan hukum adat ini membuat konsepsi hak masyarakat adat atas tanah hanya dapat didefinisikan sebagai hak ulayat dan hak-hak lain sejenisnya. Padahal, banyak hak masyarakat adat atas tanah lainnya yang tidak bisa dicakup dalam konsepsi hak ulayat. Kegairahan memegang kekuasaan negara baru juga membuat HMN dapat membuat negara mengambilalih hak masyarakat adat atas tanah, dan menyatakan “pelaksanaan” (dalam tanda petik) HMN ini bisa didelegasikan kepada masyarakat adat sejauh dipandang perlu. Dengan demikian pemerintah yang berkuasa atas nama Negara menjadi sebuah patrimoni baru atas sejumlah masyarakat adat yang diklaimnya sebagai bagian dari komunitas negara-bangsa Indonesia secara politik maupun kultural.
Bahkan berdasar pada HMN ini kemudian dibuat UU No. 20/1961 tentang Pencabutan Hak atas Tanah dan Benda-benda yang ada di atasnya. UU ini memberikan keabsahan bahwa negara adalah perwakilan dari kepentingan umum. Pasal 1 UU ini menyatakan “Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, demikian pula kepentingan pembangunan, maka presiden dalam keadaan memaksa setelah mendengan Menteri Agraria, Menteri Kehakiman, dan Menteri yang bersangkutan dapat mencabut hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada di atasnya”.
Imajinasi dari perancang UUPA adalah HMN inilah yang menjadi dasar bagi penegakan hukum agraria nasional – sebagaimana dapat dilihat dalam penjelasan umum UUPA yang berisi: perumusan tujuan UUPA, dasar-dasar hukum agraria nasional, dasar-dasar mengadakan kesatuan dan kesederhanaan hukum dan dasar-dasar untuk mengadakan kepastian hukum. Dengan begitu bisa dikatakan bahwa HMN adalah suatu konsep politik hukum yang dikondisikan oleh bias pada kekuasaan negara kesatuan yang budiman. Ironisnya perumus UUPA percaya bahwa negara (maksudnya pemerintah pusat, pen) adalah organisasi penyelenggara kekuasaan rakyat, yang akan bekerja untuk “sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Presiden yang memimpin pemerintah adalah pemegang mandat dari kekuasaan negara. Bahwa penguasaan negara terhadap sumber-sumber agraria kemudian bisa bertentangan dengan “sebesar-besar kemakmuran rakyat” dalam hal ini terabaikan, karena dengan meyakini konsepsi negara budiman dapat diwujudkan, tidak perlu meragukan bahwa Negara akan “memakan” kepentingan rakyat-nya sendiri.

Bias negara kesatuan yang budiman ini dipengaruhi kuat oleh paham kenegaraan yang integralistik, yang mengasumsikan “negara berdiri di atas kepentingan semua golongan”. Bias ‘negara kesatuan’ juga berketetapan untuk menghilangkan dual¬isme antara hukum kolonial dengan hukum adat menuju unifikasi hukum nasional. Hukum nasional hendak tampil sebagai pemersatu dan penyederhana hukum agraria yang berlaku sebelumnya. Pemersatu mengandung arti bahwa hanya ada satu (Kesatuan) aturan hukum agraria yang bersifat nasional yang mengakhiri politik hukum agraria kolonial yang bersifat dualistis dan rumit karena menimbulkan masalah antar golongan, tidak sederhana dan sukar dipahami oleh rakyat. Suatu kompleksitas yang disebabkan nilai-nilai hukumnya bersumber dari tatanan sosial ekonomi masyarakat Eropa, khususnya Belanda yang sarat dengan kepentingan-kepentingan ekonomi masyarakat penjajah untuk mengambil hasil kerja dari masyarakat yang dijajahnya.
Dengan demikian, koreksi terhadap asas domein dilakukan dengan tujuan memberikan “jaminan kepastian hukum bagi rakyat”, dilakukan dengan memberi kekuasaan besar pada negara. Trauma terhadap ‘pemberontakan separatis’ men¬guatkan suatu tetapan bahwa penguasaan negara harus sentralistis. Otonomi hak menguasai sumber-sumber agraria oleh masyarakat harus dihindari karena diyakini bisa menjadi sumber penggerak utama separatisme dan upaya melepaskan diri dari negara kesatuan subur berkembang.
Dapat disimpulkan bahwa HMN ini merupakan satu konsepsi politik hukum yang mencabut kekuasaan masyarakat adat atas teritorinya. Sejak awal dikonsepsikannya UUPA, posisi hukum adat dan sistem penguasaan tanah masyarakat adat (yang diistilahkan sebagai hak ulayat dan hak-hak lain yang sejenisnya) dihadapkan dengan apa yang diistilahkan sebagai kepentingan negara dan bangsa, kepentingan umum atau pembangunan, dimana posisi hukum adat dan sistem penguasaan tanahnya dikalahkan (lihat pasal 3 dan 5 UUPA).
Hal tersebut, sangat dapat dimengerti dengan melihat asumsi sepihak yang digunakan oleh pikiran pembuat udang-undang, yakni:
“... oleh karena suku-suku bangsa dan masyarakat-masyarakat hukum adat tidak mandiri lagi, tetapi sudah merupakan bagian dari satu bangsa Indonesia di wilayah Negara Kesatuan Repubik Indonesia, maka wewenang berdasarkan hak ulayat yang berhubungan dengan hak-hak atas tanah, yang dahulu mutlak berada di tangan kepala suku/masyarakat hukum adat/desa sebagai penguasa tertinggi dalam wilayahnya .... dengan sendirinya beralih kepada pemerintah pusat sebagai penguasa tertinggi, pemegang hak menguasai/ulayat seluruh wilayah Negara.”

Menurut logika pembuat UUPA ini, maka setelah Republik Indonesia disepakati lahirnya, maka organisasi-organisasi kekuasaan yang berbentuk persekutuan-persekutuan hukum adat itu tidak lagi mandiri seperti semula melainkan harus dianggap telah meleburkan diri dalam negara baru tersebut. Konsekwensinya adalah kalau semula persekutuan-persekutuan itu menguasai tanah dan sumber-sumber daya alam di sekitarnya berdasarkan hak-hak ulayat, maka kekuasaan dan hak-hak tersebut dengan sendirinya akan beralih kepada Pemerintah Pusat sebagai Penguasa Tertinggi. Itulah sebabnya Pemerintah Pusat, menggantikan kedudukan persekutuan-persekutuan hukum adat, akan menjadi pemegang hak ulayat bagi seluruh wilayah negara. Maka, menjadi logis bila para pengikut UUPA menyimpulkan bahwa karena hak ulayat persekutuan hukum adat itu sudah “ditingkatkan nilainya” menjadi hak ulayat negara, maka penggunaannya tidak lagi terbatas pada anggota-anggota persekutuan hukum adat setempat belaka. Oleh sebab itu, tidak heran jika orang-orang di luar persekutuan pun punya peluang untuk memohon HGU atau hak-hak lain di atas tanah-tanah hak ulayat negara tersebut. Permohonan mana tidak perlu lagi melibatkan kepala-kepala persekutuan setempat melainkan langsung kepada Pemerintahan Pusat.

Dasar pijak demikian lah yang dianut sebagai arus pikiran utama para pejabat Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional, sebagaimana tercermin pada makalah-makalah yang disajikan oleh mereka dalam Semiloka Tanah Adat yang khusus diadakan dalam rangka STA ini, misalnya,

Di Kalimantan Selatan tidak ada tanah ulayat tetapi ada hak perseorangan atas tanah berupa tanah perwatasan yang dibuktikan dengan Surat bukti pemilikan tanah sebelum lahirnya UUPA tanggal 24 September 1960 dan termasuk sebagai Hak Indonesia atas tanah.

.... masyarakat daerah Kalimantan Selatan masih beranggapan bahwa tanahnya adalah tanah nenek moyang dan tidak mau disebut tanahnya sebagai Tanah Negara karena seolah-oleh bahwa tanahnya milik negara. Hal ini salah pengertian karena masyarakat tersebut masih banyak yang belum sadar terhadap hukum pertanahan.

Dengan bias pokok yang diidap tersebut, maka sistem penguasaan tanah masyarakat adat telah dinegasikan dengan sendirinya mulai dari tataran konseptual yang kemudian terwujud menjadi suatu konflik yang nyata. Pada tingkat praktek, konsepsi tersebut ikut bergabung dengan suatu karakter pembangunan yang sentralistik -- sebagaimana dikemukakan oleh Soetandyo Wignjosoebroto:

bahwa segala macam aktivitas pembangunan di daerah -- tak pelak lagi juga dalam soal mengelola dan memanfaatkan lingkungan -- akan lebih banyak dan lebih sering dituntun oleh rasionalitas ekonomi dan politik sebagaimana dituangkan ke dalam perundang-undangan nasional daripada oleh pertimbangan-pertimbangan yang bermakna sosial dan budaya sebagaimana terkandung dalam adat dan hukum adat komunitas otonom setempat.

Selanjutnya,

Dilihat dari perspektif perseptual dan konseptual para warga komunitas lokal, usaha-usaha pembangunan yang diprakarsai pusat dan dilaksanakan oleh orang-orang yang datang mewakili pusat (state!) itu benar-benar merupakan suatu tindakan “memasuki wilayah pertuanan orang tanpa izin”. Reklamasi dan kultivasi atau tindakan lain yang oleh para pendatang itu dinilai sebagai tindakan produktif , diwawas dari sudut penglihatan para warga komunitas setempat bisa dan acap saja justru dinilai sebagai tindakan perusakan lingkungan (yang selama ini terkaruniakan sebagai lahan yang menjamin kehidupan mereka turun temurun) secara semena-mena. Sebaliknya, dilihat dari perspektif perseptual para pendatang yang merasa mewakili kepentingan nasional itu, usaha-usaha mereka untuk menggarap lingkungan perawan itu sungguh sah berdasarkan hukum yang berlaku, dan juga sudah sejak awal dibenarkan oleh moral pembangunan. Justru apa yang dilakukan orang-orang setempat -- seperti misalnya menebangi pohon untuk ladang berpindah atau pula memunguti begitu saja hasil-hasil dari lingkungan sekitar -- itulah yang harus dikutuk sebagai perambah liar yang tak berizin, yang pada akhirnya hanya akan merusah lingkungan saja.

Perubahan dan pembangunan yang berhakikat sebagai proses transplantasi dengan demikian hanya akan melahirkan konflik-konflik belaka, dan bukan hubungan simbiotik mutualisme yang akan mengundang kesediaan berbagai segmen dalam masyarakat untuk berkooperasi. Konflik-konflik itu bisa saja bersifat laten; akan tetapi juga bukan sekali dua kali termanifestasi sebagai konflik terbuka yang menampakkan banyak kekerasan fisik.


III.2. BIAS YANG BERSUMBER DARI PARADIGMA DAN DESAIN PROYEK

Sangat jelas terkemuka bahwa STA memisahkan apa yang disebutnya sebagai “tanah komunal” dari sistem penguasaan tanahnya dan hukum adatnya, dengan memberinya posisi hukum sebagai satu jenis hak baru dalam administrasi pertanahan nasional. Upaya ini dirancang sebagai suatu sekrup dari suatu mesin besar yang diistilahkan sebagai land acquisition through market, yang dihadapkan dengan land acqusition through state intervention. Ketika suatu persil tanah -- baik yang berkarakter privat maupun komunal -- telah jelas status hukumnya, maka penguasaan tanahnya lebih terjamin, dan dengan sendirinya memiliki posisi tawar yang lebih besar terhadap para aktor ekonomi luar yang menginginkan persil tanah tersebut. Hal ini lah yang diistilahkan sebagai “to improve the security of tenure” -- dalam rumusan tujuan STA.

Namun, di sisi lain, para aktor ekonomi lain dengan mudah mengakses tanah tersebut dengan melakukan negosiasi langsung seperti jual beli, sewa dll. dengan subjek hukum pemegang hak atas tanahnya; atau si pemegang hak atas tanahnya dengan mudah mengakses perbankan dengan memperlakukan tanahnya sebagai colateral (agunan), untuk kemudian uang yang diperolehnya dipergunakan untuk investasi produktif. Ukuran akhir dari keberhasilan skema ini adalah meningkatnya pasar tanah yang efisien dan wajar, dan berkurangnya konflik sosial atas tanah yang disebabkan oleh intervensi negara dalam pengadaan tanah, dan berfungsinya manajemen Badan Pertanahan Nasional secara rasional -- yang kesemuanya pada gilirannya akan mengurangi ekonomi biaya tinggi.

Mengedepankan “security of tenure” melalui promosi pendaftaran tanah adat komunal, tentunya merupakan suatu tantangan terhadap arus utama negaraisasi tanah-tanah adat. Belum bisa dibuat suatu penilaian final terhadap STA, apakah STA berhasil melepaskan diri dari arus utama tersebut, dan membuat suatu pengakuan terhadap tanah-tanah komunal masyarakat adat..

Terdapat sejumlah indikasi yang menunjukkan bahwa STA menghindarkan diri dari pertentangan argumen dengan apa yang disebut sebagai negaraisasi tanah-tanah adat. Dalam Laporan Pelaksanaan Phase I: Rancangan Penelitian, dibuat oleh Pusat Penelitian Unika Atma Jaya bekerjasama dengan BPN (desember 1996), negaraisasi tanah-tanah adat tidak diberi tempat sebagai suatu gejala empiris yang hendak di-counter oleh STA. Bahkan, hal tersebut diberi tempat sangat besar dalam Semiloka “Tanah Adat” -- sebagaimana tercermin dalam makalah-makalah Kepala Kantor Wilayah BPN.

Meskipun arus utama yang dihadapi oleh STA adalah negasi sistem penguasaan tanah masyarakat adat, yang bersumber dari politik hukum agraria, namun dalam STA berkembang sejumlah arus pikiran lain yang menentangnya. Hal ini terungkap dalam dokumen-dokumen yang melatarbelakangi STA maupun para penulis dan penyaji makalah dalam Semiloka “Tanah Adat”.

Seorang Konsultan Bank Dunia, Pieter Evers, merupakan salah seorang yang sangat vokal menyuarakan agar hak-hak indigenous people di akomodir dalam proyek-proyek yang didanai Bank Dunia. Dengan menyadari sepenuhnya akan gejala hukum dan empiris dari negaraisasi tanah-tanah adat (meskipun ia tidak menyebutnya demikian) dan World Bank’s policy on indigenous people (OD 4.20) , ia mengusulkan suatu “Starting Points for Developing A Strategy on Land Rights of Indigenous Peoples” , dengan terlebih dahulu mengemukakan kriteria sebagai berikut:

Main objectives of the strategy would be:
a) to ensure that the land registration system in Indonesia accomodates the rights of traditional land rights holders (communities and individulas); in particular with regard to the communal rights, the communities concerned should have the free choice to maintain their communal rights or subdivide their land into individualized freehold parcels.
b) to ensure that systematic land registration in Indonesia is conducted in a way that provides traditional land right holders with full security of tenure and does not have adverse effects on their economics, cultural or social condition.
c) to ensure that, in case of expropriation or acquisition of the land by third parties, registration of traditional rights guarantees full apropiate compensation to the holders of these lands based on open and fair negotiations.

Pieter Evers bahkan mengusulkan 6 (enam) basic starting points dalam rangka menyusun suatu framework yang realistik untuk keseluruhan strategi :

A national approach. Although solutions to the problem of land for indigenous people should not be generic, i.e. there should be sufficient flexibility to allow for the differences and essential nuances between the tenure systems of the various groups, too much emphasis on protecting spesific ‘cultural identities’ and ‘cultural uniqueness’ will probably not be acceptable to GOI. Goals, option and procedures to be developed as part of the strategy should basically be applicable throughout the country.

Illustrate potential benefits. The strategy should aim at showing GOI that more attention to (protection of) traditional land rights would ultimately have a positive influence on national development in areas such as land management, land adminisration, economic benefits for rural and urban population (access to credit), improved management of environment etc. The disadvantages as perceived by GOI, however, would also have to be clearly examined, e.g. longer procedures for land acquisition, more recourse to formal expropriation, higher land prices (maybe!).

A clear definition of the target group. First determine what it is that should be protected, i.e. what are ‘indigenous people’ in the Indonesian context, what are ‘traditional land rights’? What is their scope/magnitude in terms of land and people? Answers to these questions should be based on verifiable criteria and facts in order to prevent drawn out discussions. Finding more precise answers to these questions would help convince those parties within GOI that say that communal traditional land rights are no longer relevant to Indonesian law.

A balanced involvement of GOI and NGO’s. ‘Jakarta’ is nt always aware of conditions and practices in the (rural) regions. NGO involvement would help to identify to the government some issues that need more control and better suervision. On the other hand, it would give GOI an opportunity to explain and clarify national policy to NGO’s and show why immediate, obvious solutions are not always the best long-term solutions. Basically one would hope to achieve better understanding and more frutiful cooperation between GOI (including local government) and NGO’s (and the judiciary). A strategy aimed only at GOI or only at NGO’s would be less effective and but the Bank in a more complicated position.

Particpation of indigenous peoples. Representatives of ‘indigenous peoples’ should be involved in developing and implementing a strategy. They should become more aware of their own situations and the broader context. The purposes of land registration, it consequences, advantages (and disadvantages!) should be explained.
Make land information accessible. Data concerning land registration, title registration, land use, spatial planning etc. Should be freely available to anyone who wishes to consult them.

Pendapat lain yang terkemuka dalam “Semiloka Tanah Adat” berasal dari Loekman Soetrisno. Ia dengan sangat tegas mengemukakan pendiriannya bahwa

Dalam hal perlu tidaknya hak komunal atas tanah yang dimiliki oleh suatu suku bangsa diakui pemerintah Indonesia tidakl dapat diperlakukan secara uniform. Di Jawa dimana hak komunal atas tanah yang memang sudah lama hilang, dan di mana alternatif kegiatan ekonomi di luar pertanian cukup tersedia, maka mempertahankan hak komunal atas tanah justru akan menghambat pertumbuhan ekonomi pulau Jawa.
Keadaan di Irian Jaya sangat berbeda. Kondisi penduduk asli Irian Jaya yang relatif sangat terbelakang, ketergantungan mereka pada pertanian yang masih tinggi, dan tidak adanya program khusus yang dapat membentu penduduk asli memperoleh tanah, maka hak komunal atas tanah di wilayah itu harus diakui oleh pemerintah. Karena pengakuan itu akan merupakan sarana kesejahteraan penduduk asli Irian Jaya dan dengan demikian sebagai sarana pula bagi menjaga stabilitas politik di pulau tersebut.

Selanjutnya, masih dalam forum yang sama, Mering Ngo, yang seakan-akan mengoperasionalkan penegasan Loekman Soetrisno di atas, mengusulkan suatu skenario kerja yang mengakomodir pengakuan terhadap tanah adat oleh pemerintah dan keragaman kondisi masyarakat adat. Ia menyebutnya sebagai “Skenario IPAS”.

Langkah Pertama adalah melakukan “I” yakni identifikasi secara mendalam dan utuh mengenai sistem organisasi sosial asli masyarakat stempat khususnya struktur kekuasaan dan sistem kekerabatan. Kedua, melakukan identifikasi mengenai derajat ketergantungan masyarakat setempat terhadap sumber daya alam sekitar khususnya pranata pengelolaan sumber daya alam dan sebaran geografis ladang, kebun-hutan, dan pengumpulan hasil hutan nonkayu dan kayu. Ketiga, identifikasi mendalam dan utuh mengenai asas-asas pemanfaatan/tata guna lahan dan penguasaan lahan untuk mengungkapkan berbagai macam hak yang terkait dan prosedur serta mekanisme penyelesaian sengketa atas tanah ulayat yang dikenal masyarakat setempat.
Seandainya ketiga langkah di atas telah dilakukan secara simultan, maka langkah selanjutnya adalah kegiatan “P” yakni pelatihan pemetaan bersama masyarakat setempat secara partisipatif (community resource mapping). Kegiatan bersama ini mesti melibatkan kelompok laki-laki dan perempuan secara adil serta menggunakan teknik-teknik dasar pemetaan dan alat bantu Global Positioning System (GPS) untuk memperoleh akurasi keruangan agar dapat ditumpangtindihkan pada peta yang baku. Visualisasi informasi geografis atau ruang ini akan menggambarkan secara gamblang di mana saja masyarakat setempat berladang, berkebun, mengumpulkan hasil hutan nonkayu dan kayu, tempat yang dikeramatkan, dan lain sebagainya. Pengalaman uji coba bersama Orang Limbai dan Punan memperlihatkan bahwa hasil pemetaan partisipatif ini dapat menjadi wahana komunikasi dua arah yang ampuh untuk merancang semacam tata guna lahan desa.
Setelah rancang dasar tata guna lahan desa rampung, kegiatan berikutnya adalah merancang “A” yakni sejumlah pilihan pengembangan agroforestri atau wana tani berbasiskan kemauan dan kemampuan masyarakat setempat (comunity based-agroforestry). Bentuk wana tani ini dapat bermacam-macam seperti wana tani berbasiskan peternakan, perikanan atau lainnya, tergantung kemauan dan kemampuan masyarakat setempat. Ini merupakan basis bagi pengembangan tingkat lanjut seperti agroindustri atau agrobisnis. Mesti dicermati aspek pemasaran, akses ke pasar dan pelibatan pihak swasta berpola anak angkat-bapak angkat.
.... langkah pokok berikutnya adalah melakukan “S” yakni serangkaian penyuluhan lapangan tentang arti penting pendaftaran dan sertifikasi lahan ulayat untuk menjamin status dan kepastian hukum atas lahan yang dikembangkan tersebut.
.....
Satu prayarat pokok untuk menguji skenario kerja ini adalah kemauan yang sungguh-sungguh untuk membuka mata, telinga dan mata hati terhadap pendapat, pengetahuan dan pranata asli masyarakat yang relevan guna mendukung upaya pendaftaran dan sertifikasi tanah adat yang relatif pelik.

Garis umum dari kesemua pemikiran “arus lain” tersebut, baik dari Peter Evers, Loekman Soetrisno, Mering Ngo, dapat digolongkan pro-pada pendaftaran tanah komunal, sebagai wujud “security of tenure”, asal dipenuhinya syarat-syarat berupa penghargaan yang tinggi pada partisipasi sesungguhnya (genuin participation).

Last but not least, masih dalam “Semiloka Tanah Adat”, ada pendapat yang meragukan signifikansi dari pendaftaran tanah dan menentang unifikasi hukum atau legal centralism. Pendapat tersebut berasal dari Herman Slaats, yang mempromosikan penggunaan pendekatan socio-anthropology of law yang telah mengembangkan sejumlah instrument dan pendekatan yang mampu memandang sumber hukum yang berbeda dan saling mempengaruhi di antara sumber-sumber hukum tersebut. Tulisnya:

Process orientation, pluralism and semi-autonomy are some of the leading notions in modern socio-anthropological study of law.
Process orientation implies that, rather than looking for substantive rules, attention is focused on the processes through which norms in society are created and maintained. (Comaroff & Roberts 1981, Holleman 1986)
Semi-autonomy refers to the idea that every society consists of (partly) overlapping ‘fields’ that have rule-making capacities (can generate rules and customs and symbols internally), and the means to induce or coerce compliance, which are simultaneously set in larger social matrix which can, and does, affect and invade it. (Moore 1973:55-56) “The semi-autonomous social fields is defined and its boundaries identified not by its organization (it maybe a corporate group, it may not) but by a processual characteristic, the fact that it can generate rules and coerce or induce compliance to them.” (Moore 1973:57)
The sociological notion of pluralism is closely related to the idea of semi-autonomy. “A situation of legal-pluralism - the omnipresent, normal situation in human society - is one in which law and legal institutions are not all subsumable within one ‘system’ but have their sources in the self-regulatory activities of all the multifarious social fields present (...)” (Griffiths 1986:39). The sociological idea of pluralism refers to the empirical observation that the official law of state is but one the forms of normative ordering in society.


Penulis sendiri menyimpulkan bahwa pendaftaran tanah komunal cenderung merupakan suatu institusi dari hukum modern, yang pada gilirannya akan memisahan tanah komunal dari sistem penguasaan tanahnya dan hukum adatnya. Dikuatirkan, hal ini akan menghasilkan disorganisasi sosial dari masyarakat adat setempat sebagai akibat dari proses transplantasi hukum positif nasional ke hukum adat, sebagai bagian dari transplantasi pembangunan umumnya.

Penulis memberi dukungan pada pilihan (alternative) apa yang disebut Soetandyo Wignyosoebroto sebagai “transformasi”, yakni ‘pengelolaan lingkungan hidup yang tetap di tangan komunitas-komunitas lokal yang otonom bersaranakan institusi-institusi berikut teknologi tradisionalnya’ , ketimbang pilihan pada ‘transplantasi’, yakni ‘pengelolaan lingkungan hidup yang diambil-alih oleh kekuasaan nasional yang sentral bersaranakan institusi-institusi dan teknologi yang lebh modern dan mutakhir’.

Untuk menghindarkan resiko disorganisasi sosial masyarakat adat setempat sebagai akibat dari suatu proses transplantasi hukum, sebagai bagian dari proses transplantasi pembangunan pada umumnya, penulis sangat bersetuju dengan Herman Slaats bahwa

It may be questioned whether regisration of land will add to their security, if the rights granted to them through registration do not coincide with the traditional system of access to land. Land in the traditional sphere is usually not just an asset of economic value. Access to land -and rights in land- are usually closely tied up with the social structure of the society and social relationship between the people, and often it functons as an instrument in the maintenance of good, harmonious relations. Land and rights in land cannot be viewed independent of the social fabric of a society; it is one of the cornerstones of the social identity of the people.


III.3. BIAS-BIAS TEKNIS

Hingga saat ini, setidaknya terdapat dua masalah teknis yang terekam oleh penulis makalah ini. Pertama, berkaitan dengan independensi dari pelaksanaan desain studi; dan Kedua, berkaitan dengan penjelasan terhadap publik mengenai STA.

Dalam Laporan Pelaksanaan Tahap I, Pusat Penelitian Atma Jaya melaporkan bahwa

“.. lokakarya yang diselenggarakan dalam phase I adalah lokakarya yang hanya akan mengundang para ahli (sekitar 15 peserta) dengan tujuan utama (a) menetapkan konsep-konsep dan definisi operasional yang harus diperhatikan dalam penelitian tanah adat, (b) membahas kriteria lokasi penelitian, dan (c) mencari teknis dan strategi yang dapat digunakan dalam penelitian, sesuai dengan ciri-ciri khas daerah masing-masing.

Namun pada akhirnya kegiatan yang dilakukan adalah menyelenggarakan suatu “semiloka” yang dihadiri banyak peserta (sekitar 100 peserta). Hal ini terjadi terutama mempertimbangkan usulan Puslitbang BPN agar menggabungkan lokakarya tersebut dengan kegiatan seminar yang telah direncanakan sebelumnya, yaitu dalam rangka Ulang Tahun UUPA. Dalam rencana seminar Puslitbang BPN, beberapa peserta yang akan diundang dalam lokakarya juga akan diundang seminar oleh Puslitbang, sehingga akan lebih menguntungkan bila ditinjau dari segi finansial. Kenyataannya seminar yang akan dilakukan oleh Puslitbang BPN tidak terlaksana, sehingga beban finansial untuk “semiloka” yang akhirnya berlangsung 3 hari itu seluruhnya ditanggung oleh Pusat Penelitian Atma Jaya (proyek No. 06/PAP/SPK/V/96). Konsekuensi dari kegiatan penyelenggaraan lokakarya tersebut adalah meningkatnya biaya penyelenggaraan jauh dari yang direncanakan semula, demikian juga dengan waktu persiapannya.

Kejadian di atas menunjukkan bahwa satu kelemahan dari pelaksana STA adalah independensinya dari tekanan-tekanan Puslibang BPN, dan tidak memiliki bargaining position yang cukup memadai. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, dimana arus “security of tenure’ pada tingkat tertentu menantang arus utama ‘negaraisasi tanah masyarakat adat’, maka lemahnya bargaining position pelaksana penelitian merupakan gejala yang mengkhawatirkan.

Di pihak lain, pelaksana STA, yakni Pusat Penelitian Atma Jaya berusaha menghindarkan diri dari tekanan publik, terutama yang bersumber dari masyarakat yang diteliti. Dalam Laporan Pelaksanaan Tahap I, sub-bab Partisipasi Masyarakat Pusat Penelitian Atma Jaya dilaporkan bahwa:

Mengingat cukup sensitifnya tema penelitian ini, maka telah diusulkan agar masyarakat yang diteliti sebaiknya tidak diberitahu tentang topik penelitian ‘tanah adat’, tetapi mengganti topiknya menjadi penelitian ‘hukum adat’. Ada kesan tangga (sic!) 3-5 September 1996 ada banyak seminar diselenggarakan untuk membahas topik tanah adat ini. Selain itu berita-berita mengenai tanah komunal akhir-akhir ini, banyak juga dibahas di mass media. Di samping itu, dikhawatirkan para peneliti lokal akan berperan sebagai semacam “penasihat hukum” pertanahan bagi masyarakat setempat. Semua alasan ini membuat tim Pusat Penelitian Atma Jaya menyarankan untuk mengganti topik penelitian menjadi penelitian ‘adat istiadat’ (meskipun titik beratnya nanti pada masalah tanah komunal).

Hal terakhir ini melanggar etika dasar suatu penelitian, yakni “transparacy dan accoutablily” -- yang dalam rumusan Pieter Evers diwakili oleh salah satu ‘basic starting point’nya yakni participatory of indigenous people, dimana

Representatives of ‘indigenous peoples’ should be involved in developing and implementing a strategy. They should become more aware of their own situation and broader context. The puspose of land registration, its consequences, advantages (and disadvantages!) should be explained”

Bila syarat ini dilanggar, maka bisa terjadi pengingkaran terhadap apa yang disebut oleh Donald K. Emerson sebagai “syahadat iman ilmiah” seorang peneliti masyarakat, yakni:

Di manapun, termasuk di Indonesia, usaha penelitian sosial yang paling sempurna, akan dilakukan oleh ilmuan yang diilhami keperluan manusia, sehingga dengan jalan memajukan pengetahuan maka terwujudlah akhirnya nasib yang lebih baik bagi masyarakat yang ditelitinya.

No comments:

Post a Comment

PENERAPAN ILMU FORENSIK DALAM HUKUM PIDANA

Terbentuknya keyakinan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana didasarkan pada hasil pemeriksaan alat-alat bukti yang dikemukakan pada pros...