1/5/10

MASALAH PENGUASAAN TANAH MASYARAKAT ADAT DALAM POLITIK HUKUM AGRARIA KONTEMPORER

Dilihat dari permukaan, konflik atas tanah dewasa ini ditandai oleh suatu permintaan yang begitu besar akan tanah untuk proyek-proyek pemerintah sendiri, seperti pembangunan infrastruktur, dll, maupun proyek-proyek perusahaan swasta. Pada segi juridis, konflik pertanahan dimulai dari suatu pemberian hak atas sebidang tanah yang secara de facto tanah tersebut sudah dimuati oleh hak pihak lain.

Sejak dilansirnya PAKTO 23/1993, yang diimplementasikan dengan Permenag/Kepala BPN No.2/1993 dan diatur lagi dalam Permenag/Kepala BPN Nomor 22 tahun 1993, Badan Pertanahan Nasional BPN) memiliki kuasa untuk memberikan Ijin Lokasi bagi pemohon swasta yang menghendaki sebidang tanah sebagai bagian awal dari proyek investasi. Ijin lokasi tersebut disertai dengan syarat dan ketentuan tertentu, di antaranya biasanya terdapat klausul yang berisi ”Menyelesaikan/melepaskan hak-hak masyarakat atau pihak lain apabila ditemukan di atas tanah yang diberikan ijin lokasi, berdasarkan ketentuan peraturan yang berlaku.”

Pemberian ijin lokasi pada suatu bidang tanah, biasanya didasari asumsi bahwa tanah-tanah yang dimaksudkan adalah tanah negara bebas yang dijuluki tanah kosong atau tanah yang tidak produktif atau tanah terlantar atau lahan tidur dan/atau berbagai julukan lain yang pada intinya tidak ada muatan hak masyarakat atas tanah tersebut. Tentunya secara faktual hal ini tak dapat dipertanyakan. Penerbitan ijin lokasi demikian, dengan sendiri mencetuskan suatu konflik juridis dengan penguasaan tanah masyarakat yang diperoleh dari hukum adat setempat.

Dasar hukum pemberian ijin lokasi ini, pada mulanya berasal dari Hak Menguasai dari Negara (HMN) yang dipegang oleh Pemerintah Pusat. Dalam penjelasan UUPA disebutkan bahwa “Soal agraria menurut sifatnya dan pada azasnya merupakan tugas Pemerintah Pusat”. Konflik yuridis antara hak-hak masyarakat yang berasal dari hukum adat dengan HMN yang berlangsung dewasa ini merupakan suatu warisan dari pengaturan awal mengenai hukum agraria. Secara definitif dinyatakan dalam pasal 3 ”… pelaksanaan hak-ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan Peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.”


Dalam penjelasan umum bagian II nomor 3 disebutkan, “… pada dasarnya hak ulayat itu akan diperhatikan, sepanjang hak tersebut menurut kenyataannya masih ada pada masyarakat hukum yang bersangkutan. Misalnya di dalam pemberian pemberian suatu hak atas tanah (misalnya hak guna usaha) masyarakat hukum yang bersangkutan sebelumnya akan didengar pendapatnya dan akan diberi “recognitie”, yang memang ia berhak menerimanya selaku pemegang hak ulayat itu. Tetapi sebaliknya tidaklah dapat dibenarkan, jika berdasarkan hak ulayat itu masyarakat hukum tersebut menghalang-halangi pemberian hak guna usaha itu, sedangkan pemberian hak tersebut di daerah itu sungguh perlu untuk kepentingan yang lebih luas. Demikian pula tidaklah dapat dibenarkan jika sesuatu masyarakat hukum berdasarkan hak ulayatnya, misalnya menolak begitu saja dibukanya hutan secara besar-besaran dan teratur untuk melaksanakan proyek-proyek yang besar dalam rangka pelaksanaan rencana menambah hasil bahan makanan dan pemindahan penduduk. Pengalaman menunjukkan pula, bahwa pembangunan daerah-daerah itu sendiri sering kali terhambat karena mendapat kesukaran mengenai hak ulayat. …” Konflik yuridis antara hak-hak masyarakat adat atas tanah dengan hak-hak baru yang diberikan oleh UUPA – seperti hak guna usaha dll – dibuka kemungkinannya oleh UUPA itu sendiri, dengan mendudukkan hak-hak masyarakat adat sebagai pihak yang dikalahkan.

Dari uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa jelas sekali ada suatu prasangka yang kuat dari para pembuat UUPA ini terhadap kekuasaan masyarakat adat atas tanah dalam kekuasaan negara-bangsa. Prasangka demikian lah yang masih bertahan hingga kini dalam bentuk yang semakin meluas dan dianut oleh para pemegang kebijakan pertanahan nasional. Ketika terdapat permintaan akan suatu pengadaan tanah yang luas, baik untuk kepentingan bisnis maupun proyek pemerintah, prasangka tersebut memperoleh ruang aktualisasinya dan pada gilirannya terkandung dalam keputusan-keputusan politik yang berimpak pada publik (public policies).


II. INFORMASI DASAR MENGENAI STUDI TANAH ADAT -
LAND ADMINISTRATION PROJECT

... tanah ulayat merupakan tanah milik bersama yang bisa disertifikatkan secara bersama. Dengan begitu, konsepsi kepemilikan pun secara bersama. Konsepsi ini yang sebenarnya perlu diangkat menjadi konsepsi hukum tanah nasional ....
....hukum tanah nasional itu merupakan milik bangsa Indonesia. Namun apabila sudah terjadi individualisasi, kepemilikan tanah dari masing-masing masyarakat dalam hukum adat tersebut boleh disertifikatkan. Tetapi terhadap tanah ulayat ini tetap perlu dihormati.
... Itupun kalau masih ada, sebab bukan tidak mungkin diada-adakan ....
.... perlu diselidiki kebenarannya. Apabila tanah tersebut merupakan tanah negara, tentu segera diselesaikan atau diluruskan...
(Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Ir. Soni Harsono, 1997)


II.1. PELAKSANA, TUJUAN DAN TAHAPAN PELAKSANAANNYA

Studi Tanah Adat (selanjutnya disingkat STA) merupakan bagian dari proyek kerjasama Bank Dunia, Pemerintah Indonesia - Badan Pertanahan Nasional (BPN), dan AUSAID yang disebut Land Administration Project (LAP) atau diIndonesiakan sebagai Proyek Administrasi Pertanahan (PAP) -- selanjutnya disebut PAP. Melalui Kontrak antara Pemerintah Indonesia dengan Pusat Penelitian Atmadjaya No. 06/PAP/SPK/V/96 tertanggal 27 Mei 1996, STA ini dikerjakan oleh Pusat Penelitian Unika Atma Jaya (selanjutnya disebut Atma Jaya), dengan rencana biayanya sebesar US $ 500.000 US (dalam kurs tahun 1994).

Studi yang dimulai pada bulan Juni 1995 dan akan berakhir pada Agustus 1988 ini bermaksud untuk :

(a) mengetahui apakah ada yang dinamakan ‘communal right’ atau hak bersama atas tanah atau hak ulayat?; (b) bilamana ada, bagaimana bentuk, isi, dan kaitannya dengan masyarakat yang bersangkutan; (c) bagaimanakan hubungan hak-hak bersama itu dengan proses pendaftaran tanah sistematik yang saat ini mulai dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia. Secara khusus, studi ini diharapkan :

(1) Dapat menentukan suatu strategi untuk meningkatkan perlindungan penguasaan tanah masyarakat adat dengan merencanakan suatu pendekatan dasar dan prosedur untuk mengidentifikasi dan mengenali ‘hak ulayat’ dan hak-hak masyarakat adat yang sejenis. Untuk mencapai hal ini perlu dilakukan:
• penentuan kriteria untuk mengidentifikasi hak tanah komunal adat dan mengukur sejauh mana hak-hak tersebut masih ada di tanah ‘non-forest’ (lokasinya, luas area tanah, dan jumlah warganya);
• penggambaran sejauhmana terjadi masalah-masalah yang berkaitan dalam sistem penguasaan tanah tradisional, dan mengkaji sampai seberapa jauh pendaftaran tanah dapat memberi peluang untuk mengatasi masalah-masalah tersebut;
• jika pendaftaran tanah merupakan suatu yang dapat dijalankan dan pilihan yang logis, maka perlu diinventarisir rintangan-rintangan hukum dan prakteknya untuk pendaftaran dan pensertifikatan hak-hak tanah komunal adat di tanah ‘non-forest’;
• pengembangan pilihan-pilihan yang mungkin dijalankan dan prsedur-prosedur untuk mengatasi rintangan-rintangan tersebut dan mengintegrasikan hak-hak tanah komunal adat dalam sistem pendaftaran nasional;
• analisis hasil studi dengan studi-studi lain yang sejenis dan berkaitan (termasuk studi-studi mengenai hak-hak komunal adat di tanah ‘forest’), dengan memberi suatu strategi yang lebih luas tentang bagaimana hak-hak tanah komunal adat baik di tanah ‘forest’ maupun ‘non-forest’ dapat diberikan perlindungan yang lebih baik tanpa mencurigai hak-hak masyarakat;
• terkait dengan masalah gender, adalah penilaian terhadap praktek-praktek yang ada pada pendaftaran tentang sertifikat tanah, penggantian pemilikan hak, penyelesaian sengketa, pembagian tanah milik antara ahli waris atau dengan cara mengusulkan (proposing ways) untuk meningkatkan perlindungan hak-hak wanita atas tanah.

(2) Mempelajari praktek dari pelaksanaan peraturan-peraturan dan prosedur-prosedur yang dijalankan oleh BPN dan pejabat setempat, sehubungan dengan pengesahan dan pendaftaran hak-hak tanah adat; dan mengidentifikasikan kemungkinan penyesuaian peraturan-peraturan dan prosedur-prosedur dan/atau pelaksanaannya;

(3) Dapat merekomendasikan beberapa alternatif tindakan untuk pelaksanaan manajemen dan administrasi pertanahan nasional yang lebih baik.

Untuk menjawab permasalahan di atas, proyek ini dilaksanakan dalam tiga tahap, yakni: (I) “Detailed Design Phase” (Juni-November 1996); (II) “Training Phase” (Januari-Juli 1997); dan (III) “Implementation Phase” (September 1997-Agustus 1998).


II. 2. DEFINISI OPERASIONAL DAN HASIL FEASIBILITY STUDI

Setiap studi bisa ditelusuri terlebih dahulu dari penggunaan definisi operasionalnya. Definisi operasional ini dirumuskan melalui suatu Semiloka Tanah Adat di Indonesia yang diadakan pada tanggal 3-5 September 1996 . Semiloka itu

... menghasilkan kesepakatan untuk menggunakan istilah “hak ulayat dan hak-hak yang sejenis” yang mengacu kepada hak-hak komunal atas tanah itu..... Selain itu, disepakati pula bahwa hak ulayat mempunyai kaitan dengan beberapa ciri, yaitu (a) keberadaan masyarakat hukum adat sebagai pemegang hak ulayat, (b) adanya penguasa adat yang melaksanakan ketentuan-ketentuan hak ulayat, (c) apakah yang dilakukan kepala adat masih ditaati oleh para warga yang bersangkutan (masih ada kesadaran bahwa tanah ulayat adalah tanah bersama, bukan tanah perorangan).

Meskipun rumusan definisi operasional tersebut yang dipergunakan,

Namun pengamatan menunjukkan bahwa di beberapa daerah perwujudan dari hak ulayat itu tidak seluruhnya tergambar pada ciri-ciri tersebut. Sehingga dipertanyakan apakah ciri-ciri tersebut bisa dianggap berlaku umum untuk seluruh Indonesia. Dalam rangka ini maka pendekatan “grounded” (melihat apa yang ada dalam kenyataan empiris) kemungkinan besar adalah lebih tepat. Dari hasil feasibility study yang dilakukan di Sumatera Barat, Kalimantan Tengah dan Nusa Tenggara Barat terekam bahwa hak/tanah ulayat sebagai istilah lokal (Sumatera Barat) yang diangkat ke tingkat nasional melalui UUPA, yang merupakan suatu pranata sosial kenyataan masih hidup. Hal ini dapat ditemui baik di Sumatera Barat (Suku Minang), Kalimantan Tengah (Suku Dayak), maupun Nusa Tenggara Barat (Suku Sasak).

Tanah Komunal yang oleh Suku Minang (Sumatera Barat) dinamakan tanah (hak) ulayat adalah tanah-tanah kosong/hutan yang diartikan oleh masyarakat setempat sebagai tanah “simpanan” atau cadangan (Reserved Land) dan dimaksudkan untuk diberikan kepada “anak kemenakan” yang belum memiliki tanah. Artinya tanah ulayat bagi suku Minang merupakan tanah-tanah yang belum digarap dan dimaksudkan sebagai cadangan bagi generasi yang mendatang dalam lingkup Kekerabatan Adat Nagari.

Tanah Komunal bagi Suku Dayak (Kalimantan Tengah) keberadaannya tercermin dari informasi yang diperoleh dalam kegiatan feasibility study. Dari informasi ini diketahui bahwa masyarakat adat nyata-nyata sejak dulu membagi tanah untuk tujuan pemukiman tanah yang khusus untuk sumber kehidupan yang letaknya di luar pemukiman. Tanah untuk sumber kehidupan tersebut umumnya berupa semak belukar, hutan ataupun sungai, yang hasilnya bebas dapat diambil oleh warga desa yang bersangkutan. Dalam hal ini tanah tersebt boleh diolah untuk tambak , kebun-kebun rotan dan lain-lain, bahkan juga boleh digunakan untuk berternak lebah secara tradisonal.

Di Nusa Tenggara Barat, tanah komunal bagi Suku Sasak disebut “Gumi Paer” dan sebenarnya ada juga dikenal nama-nama lainnya untuk tanah-tanah yang serupa. Di sini masyarakat juga membagi tanah menjadi tanah pemukiman, tanah pertanian (sawah, kebun, ladang) serta hutan.

Pada gilirannya, STA membuat definisi operasional sebagai berikut:

... kelihatannya di mana ada pemukiman, tanah untuk usaha atau untuk sumber kehidupan, dan tanah yang digunakan untuk kegiatan lain seperti untuk kegiatan keagaamaan. Pendek kata, ada tanah yang dimiliki secara individual dan ada tanah yang dimilki secara bersama-sama (tanah komunal). Dengan demikian, studi ini untuk sementara akan menggunakan istilah Tanah Komunal untuk menggambarkan tanah milik bersama masyarakat hukum adat baik untuk usaha ekonomis maupun usaha lainnya seperti keagamaan, dan kepemilikan tersebut diatur oleh hukum adat mereka sendiri.

Dengan memusatkan diri pada definisi tanah komunal tersebut, STA mengajukan pertanyaan:

Bagaimana kenyataannya akan digali melalui penelitian ini, anatara lain untuk menemukan kriteria dalam mengidentifikasi tanah komunal tersebut yang menggunakan pendekatan adat setempat.

Saat ini masih sedang berlangsung penulisan hasil studi lapangan sementara di 3 (tiga) tempat, masing-masing (i) di Nagari Anduring, di Kecamatan 2X11 Enam Lingkung, Kabupaten Padang Pariaman - Sumatera Barat; (ii) Wilayah desa Dadahup, desa Tambak Bajaj dan desa Palangkau Lama, di Kecamatan Kapuas Murung, Kabupaten Kapuas; dan (iii) Desa Rempek, Kecamatan Gangga, Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat.

Penelitian lapangan di tiga wilayah ini, masing-masing akan lapangan dimaksudkan untuk:

a. Mempelajari dan mendeskripsikan sistem hukum tanah menurut konsepsi lokal dan bagaimana kaitannya dengan peraturan-peraturan lokal mengenai tanah (propinsi dan kabupaten); perhatian khusus akan diberikan kepada jenis penguasaan atas tanah di lokasi penelitian dan posisi warga pendatang berkenaan dengan sistem penguasaan tanah setempat;
b. Mengkaji dan mendeskripsikan hak-hak tanah komunal tradisional (hak ulayat dan bentuk-bentuk lain hak-hak tanah komunal);
c. Menentukan setepat mungkin batas-batas hak-hak tanah komunal tradisional;
d. Mengidentifikasikan kesenjangan antara informasi pertanahan yang diperlukan dan yang tersedia (peta-peta yang teliti dengan skala yang tepat, pekerjaan survei, titik-titik kontrol, rencana tata ruang, informasi PBB, rencana dan peta-peta penggunaan tanah) dan merancang survei dasar yang seyogyanya harus dilakukakan sebelum dilaksanakannya registrasi hak-hak tanah komunal;
e. Mengidentifikasikan isu-isu yang timbul akhir-akhir ini berkaitan dengan sistem tanah komunal/ulayat (misalnya tidak adanya proteksi terhadap penghuni liar, kecilnya kompensasi yang diperoleh, transaksi yang curang, diskriminasi hak-hak wanita terhadap tanah);
f. Menilai sejauh mana pendaftaran tanah dapat memecahkan isu-isu yang disebutkan di atas (e);
g. Memperkirakan kemungkinan timbulnya isu-isu potensial yang akan mempersulit pendaftaran dan penegasan hak-hak atas tanah komunal andaikata tanah komunal adat akan didaftarkan dan disertifiktkan; perhatian khusus harus diberikan kepada dampak dari (i) batas-batas yang tidak pasti (batas-batas area tanah komunal, batas-batas ‘forest’ dan ‘non-forest’ serta tanah individual dan tanah negara); (ii) syarat-syarat bukti formal (misalnya arti kata ‘sepanjang dalam kenyataannya masih ada’ dalam pasal 3 UUPA); berfungsinya saluran-saluran komunikasi antara aparatur pemerintah dan masyarakat hukum adat;
h. Mengumpulkan data mengenai pengalaman yang pernah dilakukan di lokasi penelitian mengenai konvensi hak-hak tanah tradisional dan aktivitas pendaftaran dan pemberian hak-hak atas tanah adat yang bersifat sporadis;
i. Mengidentifikasikan cara-cara tradisional yang masih berlaku dalam penyelesaian sengketa melalui mediasi dan rekonsiliasi yang ada di lokasi penelitian yang masih berlangsung sampai kini, dan membandingkan efektivitasnya dengan prosedur formal;
j. Mengkaji sampai berapa jauh kesadaran masyarakat mengenai manfaat dari pendaftaran dan pensertifikatan tanah.
k. Mengkaji kemampuan Kanwil BPN setempat untuk menghadapi secara tepat dan efektif isu-isu yang timbl dalam hubungannya dengan hak-hak tanah komunal, seperti pengetahuan, keahlian, dana, alat-alat, pegawainya.
l. Membuat kerangka pelaporan baku yang perlu diperhatikan oleh tim peneliti lokal, dan membuat perhitungan biaya yang dapat menjadi pedoman bagi tim peneliti lokal tersebut.

No comments:

Post a Comment

PENERAPAN ILMU FORENSIK DALAM HUKUM PIDANA

Terbentuknya keyakinan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana didasarkan pada hasil pemeriksaan alat-alat bukti yang dikemukakan pada pros...