Implementasi model Pasar Tanah perlu dipantau dan dikritik, karena bias-bias umum yang dikandungnya sejak awal, yakni: konsep tanah sebagai komoditi, penguatan institusi negara dan pelemahan instutusi masyarakat sipil, mitos kepastian hukum akan mengurangi degradasi tanah, pendekatan a-historis terhadap penguasaan tanah masyarakat adat, pengadaian pada skema investasi, tidak mempersoalkan distribusi penguasaan tanah yang timpang, diskriminasi terhadap hak-hak masyarakat adat, dan bias gender yang dikandungnya.
Sejumlah NGO yang tergabung dalam Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) yang memiliki misi untuk mempromosikan pembaruan agraria dengan mendasarkan diri pada inisiatif masyarakat sipil (agraria reform by leverage) tentunya memiliki mandat untuk senantiasa memantau perkembangan kebijakan, kelembagaan dan manajemen pertanahan nasional, baik yang dijalankan oleh pemerintah Indonesia sendiri maupun yang bekerjasama dengan badan-badan multi-lateral. Visi ‘pembaruan agraria’ ini tentunya berbeda secara mendasar dengan visi ‘pasar tanah’ yang diemban PAP.
Sebagaimana telah diargumentasikan dalam bagian-bagian terdahulu, penulis berkeberatan terhadap ide pendaftaran tanah komunal, yang merupakan bagian dari suatu model “pasar tanah” -- suatu model yang diperkenalkan oleh Bank Dunia dan AusAID melalui LAP. Telah diargumentasikan bahwa STA sebagai suatu bagian dari LAP, mengidap bias-bias yang membuatnya berada dalam situasi yang rentan terhadap kritik -- sebagaimana telah disajikan penulis dalam makalah ini.
Dari informasi yang diperoleh penulis, saat ini para pelaksana STA masih menghindar dari suatu diskusi terbuka mengenai proses dan hasil-hasil sementara dari studinya. Dari studi dokumen yang penulis lakukan, jelas bahwa pada mulanya direncanakan suatu pilot project pendaftaran tanah komunal di 3 (tiga) wilayah. Namun, dalam perjalanannya, terjadi perubahan yang membuatnya berubah menjadi STA seperti yang dijalankan sekarang ini. Meskipun demikian, penulis yakin bahwa sasaran yang hendak dicapai adalah apa yang disebut sebagai pendaftaran tanah komunal.
Penulis menganggap bahwa pendaftaran tanah adat adalah issue yang kompleks, apalagi di tengah tetap berkembang konflik antara hukum nasional dengan hukum adat. Pluralisme hukum adat yang de facto ada di dalam masyarakat harus berhadapan dengan hukum nasional. Sudah banyak bukti menunjukkan bahwa praktek dari kebijakan, kelembagaan dan manajemen pertanahan nasional menimbulkan suatu konflik penguasaan tanah yang pada gilirannya menghasilkan disintegrasi sistem penguasaan tanah masyarakat adat, sebagai bagian dari disorganisasi sosial yang lebih luas. Dengan menyadari kompleksitas masalah tersebut, dan mengingat kebinekaan dari masyarakat Indonesia, penulis bersama-sama dengan sejumlah aktivis NGO Indonesia lainnya, mempromosikan pengakuan menyeluruh terhadap sistem penguasaan tanah masyarakat adat. Wujud pengakuan ini hanya bisa dijalankan dengan mengedepankan pluralisme hukum yang diadopsi menjadi prinsip dalam hukum agraria nasional. Pulralisme hukum ini menjadi salah satu inti dari gagasan pembaruan hukum agraria (agrarian law reform) sebagai bagian dari pembaruan agraria (agrarian reform). Sebagai mana ide yang pernah disampaikan oleh Soepomo, “persamaan hukum hanyalah bisa diterima, jikalau didasarkan kepada persamaan keadaan dan kebutuhan; jika tidak, keseragaman hukum akan dirasakan sebagai ketidak-adilan yang menyakitkan”.
Di kalangan NGO Indonesia, ide pluralisme hukum ini dipromosikan terutama oleh R. Yando Zakaria. Ia merumuskan,
... sebenarnya, hukum adat yang sebelumnya hanya dikategorikan sebagai folk law dirubah statusnya menjadi state law yang berlaku dalam suatu sistem sosial tertentu, yang pelaksanaannya tetap tunduk pada perundang-undangan Nasional yang ada. Jika demikian halnya, yang kemudian menjadi penting adalah bagaimana pengaturan hak-hak masyarakat adat itu sendiri dilakukan ke dalam peraturan-peraturan setingkat undang-undang.... Sehingga, hak-hak masyarkat adat (dan tentu saja kewajiban-kewajibannya) tidak dapat begitu saja gugur dan disingkirkan oleh perundang-undangan lain. Terlebih oleh peraturan-peraturan bawahan setingkat peraturan Pemerintah, keputusan Presiden, dan Surat Keputusan Menteri, sebagaimana yang terjadi selama ini, yang seringkali dibungkus kedok ‘kepentingan pembangunan’ dan ‘kepentingan orang banyak’ itu.
Menurut penulis, ide pluralisme hukum ini memiliki dasar-dasar konseptual yang lebih luas, yakni pilihan strategi pembangunan antara “transformasi atau transplantasi” - sebagaimana yang dikemukakan Soetandyo Wignyosoebroto,
Pemilihan seperti itu bukan merupakan pemilihan yang gampang dan netral. Transformasi akan merupakan proses yang lebih menguntungkan komunitas setempat, akan tetapi -- dengan hasilhasil yang sekedar cukup untuk keperluan lokal yang subsisten -- efeknya positif untuk pembangunan nasional di tengah kehidupan dunia yang kian meningkat kompleks dan penuh persaingan ini jelaslah kecil, dan kalaupun ada pada tingkat yang berarti harus menunggu waktu yang sungguh lama.
Sebaliknya, transplantasi akan merupakan proses yang lebih berdaya mempercepat perubahan dan pembangunan, akan tetapi dengan hasil-hasil yang akan lebih banyak tersalur ke pusat (sebagai kompensasi penggunaan modal, teknologi, jasa manajemen dan informasi) daripada ke daerah-daerah pinggiran, dengan berbagai ragam akibatnya. Yang akan timbul sebagai akibatya ialah: tak cuma kemungkinan besar terjadinya disorganisasi sosial setempat akan tetapi juga kecemburuan-kecemburuan sosial antar-kelompok dan antar-daerah.
Di dalam konteks ini, penulis berpendapat bahwa yang diperlukan bukan hanya suatu pengaturan ulang antara masyarakat adat, tanah dan sumberdaya agraria lainnya, serta manajemennya, melainkan juga mengubah hubungan antara negara, sektor swasta/bisnis dan komunitas-komunitas masyarakat adat. Issue ini telah memperoleh tempat dalam diskursus internasional, sebagaimana dikemukakan oleh sebuah literatur yang sangat terkenal :
No comments:
Post a Comment