1/13/10

Menuju Etika Pelayanan publik yang pro-warga

Globalisasi tidak bisa ditolak begitu saja pada saat sekarang. Menutup pintu terhadap globalisasi juga bukan pilihan. Globalisasi memungkinkan pihak lain yang berada di luar negara juga bisa memberikan pelayanan publik. Kenyataan ini tidak serta merta membuat kita menyerahkan begitu saja pelayanan publik kepada mekanisme pasar.
Negara tidak bisa menyerahkan semua tanggung jawab pelayanan publik kepada pihak lain, misalnya pihak swasta. Kembali ke kasus pelayanan air, kita tahu selama ini telah ada sejumlah perusahaan swasta menjalankan bisnis pelayanan air. Tetapi ketika negara (Pemda DKI) melakukan privatisasi terhadap PT PAM, maka yang terjadi adalah Pemda melepaskan seluruh tanggung jawab pelayanan air kepada mekanisme pasar. Air tidak lagi menjadi public good tetapi seluruhnya private good. Kebijakan yang berbeda kita lihat dari pelayaran oleh PT Pelni. Meski merugi, negara tidak memprivatisasinya.

Pertanyaan yang bisa diajukan adalah bagaimana dengan nasib warga ketika negara mulai menggunakan perhitungan untung-rugi dalam melakukan pelayanan publik?.
Pertanyaan etis itu penting karena menggugat dan melampaui perhitungan ekonomis dari pandangan yang pro kepada mekanisme pasar. Pertanyaan etis itu mewakili pertanyaan yang lebih besar tentang bagaimana nasib pelayanan publik di Indonesia saat ini dan di masa depan.
UUD 1945 (khususnya pasal 33) sesungguhnya mencerminkan suatu pandangan etis yang berpihak pada kepentingan warga, dan pengakuan yang besar terhadap peran dan tanggung jawab negara. Para penyusun konstitusi sangat sadar bahwa keutamaan harus menjadi landasan agar kepentingan banyak orang bisa terpenuhi.
Saat ini, logika dan nilai dari mekanisme pasar telah menggerogoti “yang baik” dari kita. Kontrak telah menggantikan keutamaan, public good terancam hilang, dan warga berubah menjadi konsumen. Kenyataan semacam itu akan menempatkan seluruh warga selalu dalam keadaan yang rentan karena haknya sewaktu-waktu akan dicabut sebab tak memenuhi kontrak yang ditetapkan oleh mekanisme pasar.
Pelayanan publik yang tengah terancam serbuan logika dan nilai dari mekanisme pasar sudah saatnya kita cegah dengan mewujudkan dan memperjuangkan etika pelayanan publik yang berpihak pada kepentingan banyak orang, bukan kepada segelintir orang yang punya uang berlimpah-limpah, dan bukan kepada pihak yang hanya sekedar menempatkan perhitungan untung-rugi atau memandang kebutuhan masyarakat hanya sebagai private good.
Dengan pandangan dan sikap etis itu, maka kebijakan negara untuk tetap mempertahankan sejumlah pelayanan publik (meski rugi seperti PT Pelni) patut didukung. Bukan semata karena kita tidak peduli dengan perhitungan untung-rugi, tetapi lebih karena kita ingin bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan yang menjadi hak setiap warga.


Bahan reading course/AN/etika/Herwan Parwiyanto
(diolah dari berbagai sumber)



No comments:

Post a Comment

PENERAPAN ILMU FORENSIK DALAM HUKUM PIDANA

Terbentuknya keyakinan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana didasarkan pada hasil pemeriksaan alat-alat bukti yang dikemukakan pada pros...