1/13/10

Pelayanan publik pada masyarakat

Khan (1981) memberi pengertian reformasi sebagai suatu usaha perubahan pokok dalam suatu sistem birokrasi yang bertujuan mengubah struktur, tingkah laku, dan keberadaan atau kebiasaan yang telah lama. Sedangkan Quah (1976) mendefinisikan reformasi sebagai suatu proses untuk mengubah proses prosedur birokrasi publik dan sikap serta tingkah laku birokrat untuk mencapai efektivitas birokrasi dan tujuan pembangunan nasional. Dari pengertian ini, maka reformasi ruang lingkupnya tidak hanya terbatas pada proses dan prosedur, tetapi juga mengkaitkan perubahan pada tingkat struktur dan sikap serta tingkah laku (the ethics being). Hal ini, berarti menyangkut permasalahan yang bersinggungan dengan authority atau formal power (kekuasaan).


NEGARA dalam upaya mencapai tujuannya, pastilah memerlukan perangkat negara yang disebut pemerintah dan pemerintahannya. Dalam hal ini, pemerintah pada hakekatnya adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat. Untuk itu, birokrasi tidaklah diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi melayani masyarakat serta menciptakan kondisi setiap anggota masyarakat untuk dapat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya. Sejalan dengan pesatnya perkembangan zaman dan semakin kompleksnya persoalan yang dihadapi oleh negara, maka telah terjadi pula perkembangan penyelenggaraan pemerintahan yang ditandai dengan adanya pergeseran paradigma penyelenggaraan pemerintahan dari rule government menjadi paradigma good governance. Karena itu, tugas utama dalam rangka penguatan eksistensi pemerintahan termasuk pemerintah daerah adalah menciptakan pemerintahan yang secara politik acceptable, secara hukum efektif, dan secara administratif dapat efisien. Misi aparat birokrasi adalah memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat, dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusia, sehingga bisa memberikan kesejahteraan dan rasa keadilan pada masyarakat banyak.
Pelayanan yang mengacu terkait dengan prinsip-prinsip good governance, sebagaimana tuntutan reformasi yaitu untuk mewujudkan clean government dalam penyelenggaraan negara yang didukung prinsip-prinsip dasar kepastian hukum, akuntabilitas, transparansi, keadilan, profesionalisme, dan demokratis seperti yang dikumandangkan oleh World Bank, UNDP, United Nation, dan beberapa lembaga internasional lainnya. Akan tetapi, dari beberapa sumber menunjukkan masih ada aparat birokrasi yang mengabaikan pekerjaan melayani, yang sebenarnya menjadi tanggung jawabnya. Hal itu, terlihat dari birokrasi sedang berada dan bekerja pada lingkungan yang hierarkis, birokratis, monopolis, dan terikat oleh political authority (Utomo, 2002). Keadaan ini yang membuat birokrasi menjadi membudaya yang rigid/kaku, ada di lingkungan yang hanya sebatas following the instruction atau mengikuti instruksi. Juga dikarenakan ada di dalam tightening control atau mengencangkan kendali, maka birokrasi menjadi tidak memiliki inisiatif dan kreativitas. Hal ini menjadi isu umum budaya birokrasi yang menginginkan balas jasa (Thoha, 2003). Budaya dan mental birokrat tersebut kontradiktif dengan pelayanan yang terkait untuk mewujudkan prinsip-prinsip good and clean government, dan kurang menempatkan masyarakat sebagai orang yang dilayani, dan justru sebaliknya.
Selanjutnya birokrasi sangat sarat dengan banyak tugas dan fungsi, karena
tidak saja terfokus kepada pelayanan publik, tetapi juga bertugas dan
berfungsi sebagai motor pembangunan dan aktivitas pemberdayaan (public
service, development and empowering). Akibatnya menjadikan birokrasi sebagai lembaga yang tambun sehingga mengurangi kelincahannya.

Reformasi Birokrasi.
Bureaucratism berdasarkan laporan World Competition Report Indonesia
menduduki ranking 31 dari 48 negara. Dalam laporan tersebut Indonesia
termasuk tinggi tingkat korupsinya. Selanjutnya, ada juga mengenai pelayanan aparatur birorkasi untuk negara berkembang, di dalamnya termasuk Indonesia. Faktor buruknya pelayanan aparat birokrasi disebabkan oleh: 1) Gaji rendah (56%), 2) Sikap mental aparat pemerintah (46%), 3) Kondisi ekonomi buruk pada umumnya (32%), 4) Administrasi lemah dan kurangnya pengawasan (48%), dan 5) lain-lain (13%). Persentase lebih dari 100% disebabkan ada respons ganda dari responden (Smith). Dengan demikian, maka diperlukan adanya reformasi birokrasi di Indonesia. Kata reformasi sampai saat ini masih menjadi idola atau primadona yang
didambakan perwujudannya oleh sebagian besar masyarakat Indonesia dalam rangka development, yang diarahkan pada terwujudnya efisiensi, efektivitas, dan clean government. Kita semua tidak menutup mata, bahwa situasi telah berubah, dunia sudah mengglobal, sistem dan nilai pun berubah dan juga berkembang. Era globalisasi menyentak kita melakukan penyesuaian dan pemikiran yang strategis. Aktivitas reformasi sebagai padanan lain dari change, improvement, atau modernization. Arah yang akan dicapai reformasi adalah, efficiency, effectiveness, dan responsiveness concern in their administrative system. Khan (1981) memberi pengertian reformasi sebagai suatu usaha perubahan pokok dalam suatu sistem birorkasi yang bertujuan mengubah struktur, tingkah laku, dan keberadaan atau kebiasaan yang telah lama. Sedangkan Quah (1976) mendefinisikan reformasi sebagai suatu proses untuk mengubah proses prosedur birokrasi publik dan sikap serta tingkah laku birokrat untuk mencapai efektivitas birokrasi dan tujuan pembangunan nasional. Dari pengertian ini, maka reformasi ruang lingkupnya tidak hanya terbatas pada proses dan prosedur, tetapi juga mengaitkan perubahan pada tingkat struktur dan sikap serta tingkah laku (the ethics being). Hal ini, berarti menyangkut permasalahan yang bersinggungan dengan authority atau formal power (kekuasaan). Oleh akrena itu, 1) perlu pemikiran pembenahan dan pengembalian fungsi dan misi birokrasi kepada konsep, makna, prinsip yang sebenarnya. 2) Birokrasi sebagai komponen pemerintah harus dikembalikan lagi untuk hanya terfokus kepada fungsi, tugas prinsip pelayanan publik (public service). Dengan demikian, birokrasi akan menjadi lebih lincah dan jelas kinerja atau performance-nya. Tidak saja kinerja organisasi atau lembaganya tetapi juga memudahkan untuk membuat performance indicators dari masing-masing aparat atau birokrat. 3) Untuk itu, perlu adanya kebijakan presiden melalui political will melakukan reformasi di bidang birokrasi, dengan melepaskan birokrasi dari fungsi dan tugas dan misi sesungguhnya tidak termasuk dalam kewenangannya. 4) tetapi juga untuk melepaskan birokrasi sebagai alat politik (netralitas), serta membebaskan birokrasi untuk bersinergi dan berinteraksi dengan customer's oriented yang pada hakikatnya adalah kepentingan pelayanan untuk masyarakat.

Menurut Rajiv Prabakhar (2006), saat ini pelayanan publik mendapat tantangan yang sangat berarti, terutama akibat dari globalisasi. Debat yang muncul dalam perdebatan itu melingkupi relasi negara dengan pasar, negara dengan warga, dan warga dengan pasar. Kalau pada masa sebelumnya, negara begitu dominan sebagai pihak yan berwenang untuk memberikan pelayanan publik maka saat ini para penentangnya menganggap peran negara sudah tidak sesuai dengan logika dan nilai dari globalisasi.
Adapun tantangan pelayanan publik meliputi 4 isu penting, yaitu :
a. Negara atau Pasar ?
Debat tentang siapa yang harus lebih berperan dalam menyelenggarakan pelayanan publik terjadi antara pendekatan yang berpusat pada negara (state-centred approach), dengan pendekatan yang berpusat pada pasar (market-centred approach). Kaum kanan baru (the New Right) menyatakan bahwa negara tak akan mampu melakukan pelayanan publik yang optimal di era globalisasi. Hanya kompetisi di dalam pasar yang akan menentukan pelaksanaan pelayanan publik (Rajiv Prabhakar, 2006). Sebaliknya, kelompok yang berpihak pada negara menganggap mekanisme pasar gagal untuk memberikan pelayanan yang optimal kepada seluruh masyarakat karena logikanya hanya menguntungkan pemenang dari kompetisi di dalam pasar, sedangkan pihak yang kalah atau lebih lemah bukanlah persoalan bagi kaum pro-pasar.
b. Keutamaan (virtue) atau Kontrak ?
Dalam tradisi masyarakat liberal, pelayanan publik terikat oleh kontrak antara pihak penyedia (providers) dengan pengguna (users). Adanya banyak penyedia memungkinkan mereka harus memberikan yang terbaik, dan kontrak adalah jaminan buat mengikat para pengguna.
Ada hal yang positif dari kontrak antara penyedia dan pengguna, tetapi menurut Andrew Dobson, kontrak juga mengandung unsur ancaman dan hukuman apabila persetujuan itu dilanggar (Rajiv Prabhakar, 2006 : 33). Dalam hal ini, pengguna biasanya dalam posisi yang lebih lemah. Bagi Dobson, kontrak lebih cocok di bidang bisnis dan tidak sesuai dengan konsep kewargaan (citizenship). Bagi Dobson, pelayanan publik harus berdasar pada unsur keutamaan (virtue). Dalam virtue, unsur kepedulian (care) dan belas kasih (compassion) akan menjamin kualitas dari pelayanan publik dari pada ancaman atau hukuman.
c. Warga atau Konsumen ?
Bagi kaum pro-pasar dan pro-kontrak, pengguna pelayanan publik harus diperlakukan sebagai konsumen. Konsumen ini punya hak yang telah diatur dalam sebuah kontrak dengan pihak produsen. Konsumen juga harus menanggung konsekuensi apabila tidak mematuhi kontrak yang sudah disepakati. Unsur transaksi sangat kental dalam pandangan ini. Tingkat kepuasaan, untung-rugi, hukuman-hadiah adalah nilai-nilai yang mendasari pandangan ini.
Sebaliknya pihak yang pro-negara dan pro-keutamaan melihat pengguna sebagai warga yang punya hak mendapat pelayanan publik yang terbaik dari penyedia. Sebagai warga, pelayanan mereka tidak boleh dikurangi atau dihilangkan haknya karena tidak menguntungkan secara ekonomis.
d. Public good atau Private good
Menurut David A. MacDonald dan Greg Ruiters (Daniel Chaves (ed), 2006), dalam logika pasar, segala sesuatu dapat dibeli dan dijual di pasar, termasuk kebutuhan masyarakat. Setiap barang adalah “private good” yang bercirikan rivalry (setiap barang diperebutkan oleh banyak orang sehingga setiap orang adalah rival bagi lainnya) dan excludable (akses seseorang bisa ditolak apabila mereka tidak memenuhi kontrak).
Logika pasar yang menempatkan semua barang sebagai private good ditolak oleh oleh MacDonald dan Ruiters. Bagi mereka, setiap barang harus tetap dianggap sebagai public good, karena berkaitan dengan kepentingan banyak orang. Berbeda dengan private good, public good bercirikan non-rivalry dan non-excludable.
Perdebatan di atas bisa kita gunakan untuk menganalisa pelayanan publik di Indonesia. Penulis mengambil dua contoh untuk menggambarkan dinamika pelayananan publik di Indonesia. Contoh pertama adalah pelayanan air minum buat warga. Pasal 33 UUD 1945 menganggap air adalah hajat hidup orang banyak, sehingga negara yang punya wewenang dan tanggung jawab dalam menyelenggarakan pelayanan air minum kepada semua warga. Pasal ini mencerminkan keberpihakan pada peran negara, warga, keutamaan dan public good. Ironisnya, UU No. 7 tahun 2004 memandang air sebagai private good (Syamsul Hadi, dkk, 2007:130).
Contoh kedua adalah pelayanan publik oleh PT Pelni. Secara operasional, PT Pelni selalu merugi dalam melayani pelayaran di seluruh kawasan Indonesia. Menurut kaum yang pro-pasar, pelayanan semacam ini harus segera dihilangkan karena tidak ekonomis. Kenyataannya, PT Pelni sampai sekarang masih tetap melayani pelayaran, dan negara tidak melakukan privatisasi atas PT Pelni. Kebijakan ini berpihak pada peran negara, warga, keutamaan, berpihak pada warga dan pelayaran dianggap sebagai public good.
Tetapi kalau kita lihat dalam operasionalnya, sejumlah hak yang harusnya dimiliki oleh setiap penumpang misalnya soal kasur mulai dihilangkan. Beberapa tahun lalu, kasur adalah hak setiap penumpang. Tetapi dalam beberapa waktu terakhir ini, setiap penumpang tidak mendapat kasur lagi. Kalau ingin mendapatkannya, penumpang harus membayar sejumlah uang. Penjualan kasur ini menunjukkan adanya pergeseran dari public good menjadi private good.


No comments:

Post a Comment

PENERAPAN ILMU FORENSIK DALAM HUKUM PIDANA

Terbentuknya keyakinan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana didasarkan pada hasil pemeriksaan alat-alat bukti yang dikemukakan pada pros...