10/20/09

DUNIA IPTEK

A. Dimensi Etis Kemajuan Iptek
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) telah banyak mendominasi kehidupan manusia termasuk interaksinya dengan alam sekitar dan sesamanya. Kemajuan iptek banyak dijadikan tolak ukur utama untuk menilai maju tidaknya peradaban umat manusia diberbagai belahan dunia. Tidak mengherankan kalau akhirnya ilmu pengetahuan dan teknologi diagung-agungkan, dan setiap bangsa berlomba untuk memilikinya. Tapi pertanyaan yang muncul adalah: Apakah iptek merupakan pilihan satu-satunya bagi pengembangan peradaban manusia, bagi pemenuhan kebutuhannya, dan untuk menjawab semua permasalahan yang dihadapinya? Dan apakah Iptek tidak membawa serta sisi-sisi negative bagi manusia dan kehidupan pada umumnya? Dari kenyataan yang terjadi hingga sekarang ini, semakin disadari bahwa kemajuan yang semakin pesat dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, selain membawa manfaat besar bagi kehidupan, juga membawa serta didalamnya masalah-masalah etis yang serius. Itulah ambivalensi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.


A. Pengetahuan dan Ilmun pengetahuan
1. Kemampuan menalar
Pengetahuan manusia dapat berkembang karena kemampuan menalar yang dimilikinya. Manusia mampu mengembangkan pengetahuannya secara sungguh-sungguh dan tidak hanya sekedar menyangkut kelangsungan hidup nya, seperti halnya pada bintang. Dengan pengetahuannya, manusia mampu mengembangkan kebudayaan, membuat sejarah dan mengembangkan peradabannya. Mampu memberi makna kepada kehidupan, dan bahkan mampu memberi jawaban atas panggilan Tuhan terhadapnya. Hal terpenting yang memungkinkan manusia mengembangkan pengetahuannya adalah karena dia mampu menalar atau berpikir. Dengan menalar atau berpikir dimaksudkan kegiatan akal budi untuk mengolah pengetahuan yang telah diterima melalui panca indera, dan di tujukkan untuk mencapai kebenaran . Selain kemampuan menalar atau berpikir, hal lain yang memungkinkan manusia mengembangkan pengetahuannya adalah bahasa. Manusia memiliki bahasa yang sangat kaya perbendaharaannya, dan mampu menjadi sarana efektif yang mengkomunikasikan informasi dan jalan pikiran yang melatari informasi tersebut. Sebagai suatu kegiatan berpikir maka penalaran mempunyai cara-cara tertentu. Ciri pertama adalah adanya suatu pola pikir tertentu, yang disebut logika, dan yang kedua adalah sifat analitik. Maka dapat dikatakan bahwa kegiatan penalaran merupakan suatu proses berpikir logis-analitis. Artinya, penalaran ilmiah merupakan suatu kegiatan analisis yang menggunakan logika ilmiah, yang menggunakan suatu pola berpikir tertentu, sehingga mampu menghasilkan kesimpulan yang menurut tolak ukur tertentu disebut sahih. Akan tetapi selain berpikiran logis ilmiah, manusia juga adalah mahluk yang berpikir sederhana ( tidak bersifat logis, analitis, dan mengindera). Walau hal ini tidak termasuk dalam penalaran, namun merupakan sumber-sumber penting bagi terbentuknya pengetahuan manusia. Bahkan kita juga mengenl adanya intuisi dan wahyu, yang merupakan sumber pengetahuan lain bagi manuisa. Perasaan juga merupakan suatu penarik kesimpulan yang tidak berdasarkan penalaran. Demikian juga intuisi tidak merupakan penalaran, melainkan merupakan keiatan berpikir yang non analitik, yang tidak mendasarkan diri pada pada suatu pola berpikir terrtentu. Pengetahuan lain adalah wahyu, pengetahuan yang bukan merupakan kebenaran yang didapat sebagai hasil usaha aktif manusia. Ini berbeda dengan pengetahuan yang lain yang didapat sebagai hasil usaha yang aktif dari manusia, untuk menemukan kebenaran, baik melalui penalaran maupun melalui kegiatan lain seperti perasaan dan intuisi2.

2. Subyek dan obyek pengetahuan
Dalam proses terjadinya pengetahuan, dua hal harus ada, yakni yang mengenal dan yang dikenal, atau disebut juga, subyek dan obyek. Keduanya dapat dipisahkan dengan jelas, namun untuk bias terbentuknya pengetahuan keduanya tidak bias dipisahkan satu sama lain, artinya untuk pengetahuan keduanya harus ada. Namun persoalannya adalah: Manakah yang lebih pokok, apakah subyek (manusia dengan akal budinya), ataukah obyek, yaitu kenyataan yang dialami diluar diri manusia. Pada bagian lain muncul juga persoalan serupa: Apakah pengetahuan manusia berasal dari akal budi manusia ataukah dari pengalaman manusia akan realitas obyektif diluar dirinya. Perdebatan inilah yang telah melahirkan aliran pemikiran filsafat, rasionalisme dan empirisme. Walau perdebatan tentang hal tersebut diatas telah menyita perhatian pemerhati filsafat pengetahuan, namun bagi kita yang tidak bias disangkal adalah kedua unsur tersebut sangatlah penting. Untuk terjadinya pengetahuan si subyek, haruslah terarah si obyek, dan obyek juga diandaikan terbuka atau terarah pada subyek. Hanya dengan keterbukaan dan keterarahan ini pengetahuan dimungkinkan terjadi. Akan tetapi, dalam pembicaraan mengenai pengetahuan, manusia sebagai subyek pengetahuan memiliki peran yang sangat penting. Pada tahap inilah pengetahuan manusia dianggap bersifat temporal, bersifat konkret, jasmani- inderawi3. Tetapi karena manusia tidak hanya bersifat jasmani, melainkan atas jiwa yang mengatasi tubuh jasmani yang yang terbatas, maka dengan bantuan unsur rohaninya (akal budi), manusia mampu mengagkat pengetahuan yang temporal dan konkrit tadi ke tingkat yang lebih tinggi, ke tingkat abstrak dan universal. Dengan akal budinya manusia mampu melakukan abstraksi, perbandingan, mampu melakuakan refleksi dan penggalian lebih dalam dari apa yang diketahuinya secara indera-jasmani, untuk sampai tingkat pengetahuan yang bersifat umum dan universal. Artinya, pengetahuan manusia tidak hanya berkaitan dengan obyek kongkret khusus yang dikenalnya melalui pengamatan inderanya, tetapi melalui itu dimungkinkan untuk sampai pada pengetahuann abstrak tentang berbagai obyek lain, yang secara teoritis dapat dijangkau oleh akal budi manusia, dank arena itu berlaku umum bagi obyek mana saja, yang bias di jangkau akal budi manusia pada tempat dan waktu manapun4.
Berkat keistimewaan manusia tidak hanya tahu tentang sesuatu melainkan juga tahu bahwa ia mengetahui tentang sesuatu itu. Berkat refleksi ini maka pengetahuan yang semula bersifat langsung dan spontan, kemudian diatur dan dibakukan secara sistematis sedemikian rupa, sehingga isinya dapat dipertanggungjawaban, atau dapat dikritik atau dibela. Dengan cara inilah lahir apa yang dikenal dengan ilmu pengetahuan. Jadi ilmu pengetahuan muncul karena apa yang sudah diketahui secara spontan dan langsung tadi, disusun dan diatur secara sistematis dengan menggunakan metode tertentu yang bersifat baku. Pengetahuan manusia yang bersifat abstrak umum dan universal itulah yang memungkinkannya untuk dirumuskan dan dikomunikasikan dalam bahasa yang bersifat umum dan universal, untuk bisa dipahami oleh siapa saja, pada waktu dan tempat mana saja, dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dari situlah kemudian orang dapat mempelajari, mempersoalkan, mendalami, mengubah dan mengembangkan lebih lanjut pengetahuan tersebut untuk mendapatkan pengetahuan baru, yang mungkin melengkapi yang sudah ada.
Dengan penjelasan tersebut, dapat dikatakan bahwa pengetahuan adalah keseluruhan pemikiran, gagasan, ide, konsep, dan pemahaman yang deimiliki manusia tenang dunia dan segalanya, termasuk manusia dan kehidupannya, secara langsung ataupun tidak langsung. Sedangkan ilmu pengetahuan adalah keseluruhan system pengetahuan yang telah dibakukan secara sistemis. Pengetahuan lebih bersifat spontan, sedangkan ilmu pengetahuan lebih bersifat metodis dan sistematis. Dilihat dari situ, maka dapat dikatakan bahwa pengetahuan jauh lebih luas daripada ilmu pengetahuan, karena pengetahuan mencakup segala sesuatu yang diketahuia manusia tanp perlu dibakukan secara sistematis. Pengetahuan mencakup penalaran, penjelasan dan pemahaman manusia tentang segala sesuatu. Juga mencakup praktek atau kemampuan teknis dalam memecahkan berbagai persoalan hidup yang belum dibakukan secara sistematis dan metodis4.

3. Filsafat sebagai induk ilmu pengetahuan
Semua ilmu pengetahuan berasal dari filsafat, sehingga filsafat disebut sebagai induk semua ilmu pengetahuan. Filsafat, yang sudah berjalan selama lebih dua ribu tahun, sepertinya tidak ada kemajuan. Hal ini harus dimengerti, karena filsafat bukanlah pengetahuan yang bersufat memerinci, yang sampai pembuktian empiris. Dari asumsi-asumsi dan spekulasi filsafat mulailah penelusuran untuk menghasilkan ilmu pengetahuan yang kemudian menjadi ilmu pengeahuan positif, yang dapat diverifikasi secara empiris. Namun demikian, semua ilmu baik itu ilmu alam, maupun ilmu-ilmu social merupakan pengembangan lebih rinci dari bentuknya yang semula sebagai filsafat. Issac Newton (1642-1727) menulis hukum-hukum fisikanya sebagai Philosophiae Naturalis Principia Mathrmatica(686), dan Adam Smith (1723-1790), bapak ilmu ekonomi menulis buku The Wealth of Nation (1776) dalam fungsinya sebagai Professor of Moral Philosophy di Universitas Glasgow.
Filsafat, yang dari awal terdiri atas beberapa cabang saja, kemudian berkembang dan memecah ke dalam beberapa cabang ilmu pengetahuan, yang kemudian memecah lagi ke dalam spesifikasi yang semakin menyempit. Jadi dalam perkembangan filsafat menjadi ilmu, terdapat taraf peralihan. Peralihan itu terjadi ketika penjelajahan mulai di persempit dan tidak lagi meyeluruh. Umpamanya, ilmu ekonomi, disini orang tidak lagi mempersalahka moral secara keseluruhan, melainkan dikaitkan dengan kegiatan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada tahap ini ilmu tadi secara konseptual masih mendasarkan diri pada norma-norma filsafat, dengan metode normative dan deduktif, berdasarkan azas-azas moral filsafati. Dengan demikian ekonomi merupakan suatu bentuk ilmu penerapan etika (filsafat moral) dalam kegiatan manusia memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam penyusunan pengetahuan tetang alam dan isinya, manusia tidak lagi mempergunakan metode yang bersifat normative dan deduktif, melainkan kombinasi antara deuktif dan induktif, dengan jembatan yang berupa pengajuan hipotesis yang dikenal sebagai metode logico-hyphothetico-verifikatif5. Augusto comte (1798-1857) pernah membuat pembagian ke dalam tiga tingkat perkembangan pengetahuan,yakni: thap religius, tahap metafisik, dan tahap positif. Dalam taha pertama maka asas religilah yang dijadikan postulat ilmiah dan menentukan kebenaran. Di sini ilmu merupakan deduksi atau penjabaran dari ajaran religi, dan semua kebenaran ilmu dikembalikan pada kebenaran religi yang diterima dalam suatu kepercayaan. Sementara pada tahap kedua, orang mulai berspekulasi tentang keberadaan wujud yang menjadi obyek penelaah yang tidak terikat lagi dengan dogma religi, dan mengembangkan system pengetahuan diatas dasar postulat metafisika (filsafat pertama, ontology, yang berbicara tentang ada sejauh ada). Tahap ketiga adalah tahap pengetahauan ilmiah (ilmu), dimana azas-azas yang diperunakan diuji secara positif dalam proses verifikasi yang obyektif6.
Apa itu filsafat? Sulit dijawab secara singkat. Filsafat pertama-tama adalah sikap, yakni sikap mempertanyaan atau bertanya tentang segala sesuatu. Dan tentu saja untuk pertanyaan-pertanyaan yang diajukan akan ada jawaban yang diberikan. Namun bagi filsafat, jawaban itu dipertanyakan lagi, dan demikian seterusnya, sehingga filsafat bertanya tiada akhir. Itulah sebabnya filsafat diangga sebagai sesuatu yang bermula dari pertanyaan dan berakhir dengan pertanyaan. Inilah hakikat dari filsafat, yakni bertanya terus menerus, maka filsafat adalah sikap bertanya itu sendiri7. sebuah pertanyaan dapat digolongkan sebagai pertanyaan filosofis apabila pertanyaan itu menyangkut hakikat dari sesuatu, suatu pertanyaan yang tidak bisa di verifikasi secara matematis atau empiris. Ketika suatu pertanyaan dapat dijawab denganjawaban yang dapat di verifikasi secara empiris, maka jawaban itu sudah merupakan jawaban final, dan tidak perlu dicari jawaban lain lagi, maka pertanyaan tersebut bukan pertanyaan filosofis. Tujuan yang inin dicapai dalam pertanyaaan filsafat adalah pemahaman yan mendalam dan menyeluruh tentang sesuatu, itulah sebabya filsafat dapat diartikan sebagai refleksi kritis, sistematis, analisis dan metodis, tentang keseluruhan kenyataan, dengan maksud untuk memperoleh paham (insight).
Filsafat sesungguhnya mengajak orang untuk mempertanyakan,mempersoalkan, mengkaji, dan mendalami hidup ini dari segala aspek. Ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Socrates bahwa,”Hidup yang tidak dikaji tidak layak dihidupi”. Artinya menjalani kehidupan ini tanpa mempersoalkan (bertanya tentangnya), sama dengan hidup sebagai orang buta Dengan demikian filsafat merupakan sikap kritis dan bertanggungjawab dalam menjalani kehidupan ini, dengan terus mempertanyakan, dengan tidak puas hanya menerima jawaban-jawaban dan penjelasan yang sudah ada. Tujuannya adalah untuk membantu seseorang dalam menentukan sikap ang dapat dia pertanggungjawaban dalam menjalani hidup ini.

4. Pengetahuan dan keyakinan
Walau antara pengetahuan dan keyakinan terdapat kaitan erat, namun keduanya tidaklah sama . Pengetahuan dan keyakinan sama-sama merupakan pengakuan seseorang akan obyek tertentu sebagai yang ada atau terjadi. Perbedaan terletak pada ada tidaknya obyek itu dalam kenataan. Dalam hal pengetahuan, obyek yang diakui sebagai ada itu harus ada alam kenyataan, sedangkan dalam hal keyakinan, obyek itu bisa saja dalam kenyataannya tidak ada. Dengan demikian pengetahuan berkaitan dengan kebenaran, yang ditunjang dengan bukti-bukti yang memadai. Tindakan yang didasarkan atas pengetahuan akan lebih bisa dipertanggunggjawabkan. Pengetahuan selalu mensyaratkan adanya kesadaran bahwa si subyek itu sendiri tahu bahwa dia tahu sesuatu , tanpa keraguan.. apa yang merupakan pengetahuan itu biasanya dirumuskan dalam bentuk pernyataan atau proposisi. Dan pengetahuan yang diungkapkan dalam proposisi itu hanya sah dianggap sebagai pengetahuan kalau proposisi itu memang dalam kenyataannya benar sebagaimana yang diungkapkan .

No comments:

Post a Comment

PENERAPAN ILMU FORENSIK DALAM HUKUM PIDANA

Terbentuknya keyakinan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana didasarkan pada hasil pemeriksaan alat-alat bukti yang dikemukakan pada pros...