9/10/09

PEMBUKTIAN DAN PENENTUAN SENGKETA HAK MILIK DALAM PERKARA WARIS DAN HARTA BERSAMA

A. Latar Belakang Masalah

Eksistensi Pengadilan Agama sesuai dengan ketentuan Pasal 24 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945 dinyatakan , bahwa Pengadilan Agama merupakan salah satu lingkungan Peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung (MA) bersama peradilan lainnya seperti Pengadilan Negeri (PN), Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), dan Pengadilan Militer (PM) .

Sejak diundangkannya Undang-undang Nomor. 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (LN NO.22/2006 dan TLN NO.4611) dan diberlakukan pada tanggal 20 Maret 2006 , kewenangan (kompetensi) Pengadilan Agama semakin luas sesuai dengan perkembangan hukum dan kebutuhan hukum masyarakat muslim Indonesia pada saat ini. Kewenangan Pengadilan Agama kini tidak hanya menyelesaikan sengketa dibidang perkawinan, bidang kewarisan, wasiat, hibah, serta bidang wakaf dan shadaqah, melainkan juga menangani permohonan penetapan pengangkatan anak dan menyelesaikan sengketa Zakat, infaq serta sengketa hak milik dan keperdataan lainnya antara sesama muslim dan ekonomi sayari’ah (Pasal .49 jo Pasal 50 beserta penjelasannya ,Undang-undang Nomor.3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama perubahan atas Undang-undang Nomor.7 Tahun 1989 ) Berkaitan dengan kewenangan Pengadilan Agama yang sangat luas tersebut dalam kesempatan yang singkat ini penulis ingin membuka persoalan sengketa hak milik dibidang keperdataan sebagai bahan kajian dan diskusi pada Pelatihan Hakim di bidang Tehnik Yustisial yaitu’ “Pembuktian Dan Penentuan Sengketa Hak Milik Dalam Perkara Waris dan Harta bersama”

B. Permasalahan
Bila dilihat dari judul makalah diatas , maka akan terdapat dua permasalahan di bidang sengketa milik yaitu :
1. Bagaimana cara menentukan dan membuktikan sengketa hak milik dalam
perkara waris ?
2. Bagaimana cara menentukan dan membuktikan sengketa hak milik dalam
perkara harta bersama ?




C. Pembahasan Masalah

Yang dimaksud dengan sengketa hak milik atau keperdataan lainnya adalah apabila menyangkut hak milik atau keperdataan lain dari pihak ketiga . Sedangkan mengenai sengketa hak milik antara para pihak tetap diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Agama yang merupakan rangkaian pembuktian dalam proses pemeriksaan pada umumnya.
Sementara menurut ketentuan pasal 570 KUH Perdata hak milik ialah hak dimana pemilik dapat menguasai sebesar-besarnya atas suatu benda sehingga merupakan hak-hak terbatas.
Ada beberapa faktor untuk menentukan sengekta milik wewenang Pengadilan manakah yang berhak mengadili :
1. Dilihat dari subyek hukumnya yaitu:
• Jika subyek hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam (Asas personalitas keislaman) , maka obyek sengketa tersebut diputus oleh Pengadilan Agama , baik dalam masalah sengketa milik dibidang kewarisan maupun di bidang harta bersama, hal ini sesuai dengan Pasal. 50 UU NO.3 Tahun 2006 ayat 2 .
• Jika subyek hukumnya antara orang-orang beragama Islam misalkan dalam sengketa waris antara A dan B menurut A obyek sengketa waris seluruhnya dikuasai oleh B, sementara B menyatakan obyek sengketa sudah dijual kepada orang lain (pihak ketiga) namun pihak lain itu semuanya beragama Islam , maka hal yang demikian ini menurut Ibu

Mariana Sutardi, SH (Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Yudisial) menjadi wewenang Pengadilan Agama. Namun jika obyek sengketa tersebut dikuasai oleh pihak lain (pihak ketiga) beragama non Muslim , maka sengketa milik diajukan ke Pengadilan Negeri terlebih dahulu ,oleh karenanya gugatan penggugat harus dinyatakan tidak diterima (NO) , sambil menunggu putusan PN yang sudah Inkracht, setelah itu baru dapat diajukan kembali ke PA dalam bentuk gugatan baru. hal ini sejalan juga dengan Pasal. 50 UU NO.3 Tahun 2006 ayat 1.
• Jika kasus pembagian harta bersama ataupun sengketa waris yang subyek hukumnya seluruhnya beragama Islam , meskipun ada intervensi tentang ada hak milik pihak lain , maka terhadap obyeknya tersebut tetap diputus oleh PA. (Ibid Penjelasan Ibu Mariana Sutardi,SH)
2. Dilihat dari obyek hukumnya yaitu :
• Jika obyek sengketanya berdasarkan Hukum Islam seperti sengketa di bidang Ekonomi Syari’ah , maka yang berhak mengadili adalah Pengadilan Agama ,sebab Ekonomi Syari’ah adalah lembaga yang bergerak berdasarkan pada usaha yang dilaksanakan menurut ketentuan Syari’at Islam (sesuai dengan ketentuan Pasal 49 UU NO.3 Tahun 2006).
• Jika obyek sengketanya telah diajukan oleh pihak yang berkeberatan dengan mengajukan bukti ke Pengadilan Agama , bahwa obyek sengketa tersebut telah didaftarkan gugatannya di Pengadilan Negeri dengan obyek sengketa yang sama dengan sengketa di Pengadilan Agama , maka menurut Mantan Wakil Ketua MARI Bidang Non Yudisial, Drs. H,M.Syamsuhadi Irsyad,SH,MH Perkara tersebut harus ditangguhkan. Namun bila bila obyek sengketanya lebih dari satu obyek dan yang tidak terkait dengan obyek sengketa yang diajukan keberatannya, Pengadilan Agama tidak perlu menangguhkan putusannya terhadap obyek sengketa yang tidak terkait dimaksud.

Kemudian permasalahan kedua untuk membuktikan bahwa sengketa milik di bidang kewarisan dan harta bersama tersebut adalah wewenang Pengadilan Agama atau wewenang Pengadilan Negeri , maka ada beberapa bukti yang dapat dijadikan dasar antara lain sebagai berikut :

1.Buku Kutipan Akta Nikah (Merupakan alat bukti otentik) dengan melihat kepada asas personaliatas keislaman sebagai contoh jika suami isteri melangsungkan pernikahan secara Islam , kemudian keduanya bercerai di Pengadilan Agama setelah bercerai salah satu dari mereka pindah ke Agama lain (Non Muslim)dan mengajukan pembagian harta bersama yang diperoleh selama perkawinan , maka hal yang demikian adalah wewenang Pengadilan Agama untuk menyelesaikan sengketa harta bersama tersebut meskipun salah satu dari mereka telah pindah agama.,dengan alasan karena harta perkawinannya diperoleh dalam ikatan perkawinan yang dibangun secara Islam. Hal ini selaras dengan pendapatnya M.Yahya Harahap (Mantan Hakim Agung) yaitu: untuk menentukan /patokan asas personalitas ke Islaman berdasar “saat terjadi” hubungan hukum , ditentukan oleh dua syarat :
1) Pada saat terjadi hubungan hukum kedua pihak sama-sama beragama Islam ,
2) Hubungan ikatan hukum yang mereka lakukan berdasarkan hokum Islam.

2.Bukti kependudukan (KTP atau keterangan Domisili) yang sah . Meskipun alat bukti tersebut hanya untuk menentukan yurisdiksi para pihak , namun didalamnya mengandung unsur penting tentang Agama / keyakinan para pihak sebab pengakuan saja tidak cukup dan alangkah lebih kuat sebuah pembuktian disamping pengakuan kemudian dikuatkan dengan bukti otentik yang menyatakan dirinya beragama Islam, otomatis jika terjadi sengketa milik dengan melihat bukti KTP atau Domisli menjadi wewenang Pengadilan Agama .Hal inipun sesuai dengan pendapatnya M.Yahya Harahap (Mantan Hakim Agung) Yaitu: Patokan menetukan ke Islaman seseorang didasarkan pada faktor “Formil” tanpa mempersoalkan kualitas ke Islaman yang bersangkutan. Jika seseorang mengaku beragama Islam, pada dirinya sudah melekat asas personalitas ke Islaman . Faktanya dapat ditemukan dari KTP, sensus kependudukan, SIM dan surat keterangan lain .

3.Bukti pendaftaran perkara mengenai obyek yang sedang disengketakan telah didaftarkan ke PN oleh pihak Non Muslim ( sebagai bukti surat gugatan yang sudah diberi nomor perkara disertai dengan kwitansi panjar biaya perkara dari PN tersebut) dan terbukti Dia mengajukan eksepsi ke Pengadilan Agama , maka dalam hal ini obyek sengketa tersebut harus diperiksa dan diputus lebih dahulu oleh Pengadilan Negeri . Hal ini untuk menghormati hak dan rasa keadilan non muslim.

4.Agama Pewaris (asas personalitas ke Islaman) dalam hal ini jika seorang anak yang tidak beragama Islam (non muslim) bersengketa dengan saudara-saudaranya yang beragama Islam tentang pembagian warisan almarhum ayahnya yang selama hidupnya beragama Islam, maka dalam kasus ini Pengadilan Agama berwenang untuk menyelesaikan perkara Warisan tersebut, sebab harta tersebut, adalah peninggalan Almarhum ayahnya yang semasa hidupnya beragama Islam .

D. Kesimpulan
Dari uraian makalah diatas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Sengketa kepemilikan baik dalam perkara waris maupun harta bersama yang
menjadi patokan kompetensi bagi Pengadilan Agama adalah Agama para pihak yang bersengketa (Muslim) sistim ekonomi yang digunakan (Ekonomi Syari’ah) dengan melihat kepada saat terjadi hubungan hukum dan dasar hukum terjadi peristiwa hukum tersebut. (asas personalitas ke Islaman) dengan bukti otentik Buku Nikah, KTP, SIM dan keterangan lainnya.
2. Sengketa milik yang yang obyek sengketanya dikuasai oleh pihak ketiga yang beragama non muslim maka sengketa milik yang demikian harus diselesaikan dahulu di PN , kecuali pihak yang menguasai tersebut beragama Muslim ,maka PA tetap berhak menyelesaikan perkara tersebut .

Demikanlah makalah sederhana ini yang masih banyak kekurangan , semogaada manfaatnya terutama bagi peserta pelatihan hakim dan menjadi bahan diskusiguna menambah khazanah keilmuan kita terutama di bidang tehnik yustisial dimasayang akan datang.


DAFTAR PUSTAKA

UU NO. 3 Tahun 2006 Perubahan atas UU. NO.7 Tahun 1989;
GBHN dan ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/1999, UUD 1945 dan Perubahannya
Harahap, H.Yahya, S.H.,Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Vol., I
Pustaka Kartini , Jakarta, 1990
Mujahidin ,Ahmad,DR,MH Pembaharuan Hukum Acara Perdata, Cet Pertama, , IKAHI, Jakarta, 2008
Subekti, R, Prof., SH., R.Tjitrosudibio, Kitab-Undang-undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Cet, Ke-9. Jakarta, tt
Irsyad , H.Syamsuhadi,Drs,SH,MH, Eksistensi Peradilan Agama Pasca Lahirnya UU NO.3 Tahun 2006 Kajian Ekonomi Syariah PPHIM,di Wisma Haji Jakarta 19 Juni 2006.
Bahan Pelatihan Hakim Pengadilan Agama Se-Jabodecitabek di Gedung MARI Jakarta tanggal. 31- 01 April 2008

No comments:

Post a Comment

PENERAPAN ILMU FORENSIK DALAM HUKUM PIDANA

Terbentuknya keyakinan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana didasarkan pada hasil pemeriksaan alat-alat bukti yang dikemukakan pada pros...