by Damang, S.H. · September 19, 2014
MESKIPUN Rancangan Undang-undang
(RUU) Pilkada saat ini belum disetujui oleh DPR. Kini dalam berbagai
rilis media banyak menimbulkan pro dan kontra. Pro dan kontranya
terletak pada perubahan sistem pemilihan Kepala Daerah dari yang
langsung menjadi tak langsung (Kepala Daerah dipilih oleh DPRD).
Terlepas dari polemik tersebut. Penulis tidak ingin menganalisis
kelemahan dari Pilkada langsung, ataupun Pilkada tak langsung tersebut.
Tulisan ini dititikberatkan pada impilikasi hukum, sekiranya RUU Pilkada
tersebut berhasil disahkan dikemudian hari.
Implikasi Hukum
Membincangkan RUU Pilkada, untuk kembali kepada Pemilihan Kepala Daerah melalui perwakilan DPRD. Tidak dapat dijadikan RUU tersebut berdiri sendiri, tanpa ada keterkaitan dengan rancang bangun sistem hukum lainnya.
Membincangkan RUU Pilkada, untuk kembali kepada Pemilihan Kepala Daerah melalui perwakilan DPRD. Tidak dapat dijadikan RUU tersebut berdiri sendiri, tanpa ada keterkaitan dengan rancang bangun sistem hukum lainnya.
Pada dasarnya terdapat dua regulasi atas RUU Pilkada yang saling
terkait. Yaitu UU No. 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggaraan Pemilu dan
UU No. 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Dan
melalui UU Penyelenggaraan Pemilu-lah Pilkada langsung mendapat
legitimasi.
Tentu dengan UU Pilkada tersebut, ketika Kepala Daerah kemudian dipilih
oleh DPRD, berarti Pemilihan Kepala Daerah bukan lagi dalam rezim
pemilu. Otomatis menimbulkan impilikasi hukum terhadap sistem pemilihan
Kepala Daerah, hingga pada institusi yang sebelumnya telah ditunjuk
sebagai penyelenggara pemilu.
Implikasi Pertama, terjadi antinomi dalam ketentuan hukum yang
sederajat. Yakni UU No. 15 Tahun 2011 terhadap UU Pilkada. Disatu sisi
UU No. 15 Tahun 2011 masih menganut sistem Pilkada langsung. Namun di
sisi lain UU Pilkada justeru Kepala Daerah dipilih secara tak langsung
melalui perwakilan DPRD. Meskipun secara hukum, dikenal asas “lex
specialisit derogat legi generale,” tetapi UU Pilkada bukanlah lex
specialist yang kiranya dapat “menderogasi” UU penyelenggaraan pemilu.
Keduanya berada dalam kedudukan yang setara, sah, dan mesti diberlakukan
secara bersamaan.
Implikasi Kedua, eksistensi dari pada penyelenggara pemilu (KPUD),
Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu), dan pengadilan kode etik pemilu
(DKPP/ Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu) tetap sah sebagai
penyelenggara Pilkada, karena belum ada pencabutan tehadap UU
Penyelenggaraan Pemilu. Keadaan ini jelas “memperuncing” suasana bagi
KPU sebagai penyelenggara rezim pemilu, oleh karena UU Pilkada yang baru
telah memasukkan penyelenggara pemilu untuk pemilihan Kepala Daerah
adalah melalui DPRD. Dalam situasi tersebut, ada kemungkinan pula KPUD
akan melakukan judicial review ke MK sebagai penyelenggara di luar rezim
pemilu, berdasarkan kewenangannya yang telah diberikan secara implisit
dalam Pasal 22 E UUD NRI 1945.
Implikasi ketiga, kalaupun KPUD dan jajarannya, Panwaslu, dan DKPP tetap
diakui keberadaannya. Sementara pemilihan Kepala Daerah sudah digelar
melalui DPRD. Eksistensi dari pada KPUD, Panwaslu, dan DKPP sudah
tereliminasi. Cuma saja yang menjadi pertanyaan, apakah lembaga ini
tetap masih permanen, tetap digaji oleh negara, sementara mereka tidak
lagi bekerja apa-apa? Apakah ini bukan namanya pemborosan anggaran
negara?
Implikasi keempat, Jika DPRD adalah
lembaga yang memilih Kepala Daerah. Apakah benar secara hukum, kalau
kewenangan tersebut diperoleh hanya berdasarkan UU Pilkada? Jawabannya
tentu tidak, mestinya kewenangan tersebut ditegaskan dalam UU MD3. Tidak
bisa melalui UU Pilkada saja, sebab dalam UU MD3 tidak ada pengaturan
lebih lanjut yang diperintahkannya untuk menambah kewenangan lain DPRD
dalam hal untuk memilih Kepala Daerah. Bahkan secara ekstrim, RUU
Pilkada tidak dapat dijadikan dasar “adendum” kewenangan DPRD diluar UU
MD3. Bukankah revisi atas peraturan hanya dapat dilakukan pada cakupan
UU yang memang mengatur batas-batas tugas dan kewenangan itu saja?
Implikasi kelima, andaikan misalnya Kepala Daerah dipilih oleh DPRD,
juga akan memunculkan kerawanan hukum yang lain. Kepala Daerah terpilih
bisa saja digugat melalui PTUN, sebab telah diangkat oleh DPRD, yang
dianggap cacat prosedur, DPR mengangkat Kepala Daerah yang bukan
kewenangnnya, dalam hal jika berpedoman pada UU MD3. Jelas akan lebih
rumit lagi permasalahan hukumnya, kalau gugatan tersebut dimenangkan
oleh pihak penggugat.
Implikasi keenam atau terakhir, konflik hukum dan ketidakpastian hukum
akan terjadi secara berkelanjutan. Anggota DPRD bisa saja menolak untuk
melakukan pemilihan Kepala Daerah dengan dalih tidak memiliki
kewenangan. Atau pada saat yang sama DPRD menyelenggarakan Pemilihan
Kepala Daerah, tetapi di sisi lain KPU juga membuka pendaftaran calon
Kepala Daerah karena tetap merasa memiliki wewenang berdasarkan UU
Penyelenggaraan Pemilu. Jika itu yang terjadi, sudah pasti akan
melahirkan dua pemimpin daerah yang masing-masing merasa punya
legitimasi keterpilihan.
Harmonisasi Peraturan
Seandainya Revisi UU Pilkada tersebut pada akhirnya tetap mengegolkan “Pilkada tak langsung”. Pun kalau tidak “alhamdulillah”. Sebaiknya pengesahan oleh DPR atas UU tersebut ditunda, lebih elok kiranya jika dibahas oleh anggota DPR periode berikutnya (2014-2019).
Seandainya Revisi UU Pilkada tersebut pada akhirnya tetap mengegolkan “Pilkada tak langsung”. Pun kalau tidak “alhamdulillah”. Sebaiknya pengesahan oleh DPR atas UU tersebut ditunda, lebih elok kiranya jika dibahas oleh anggota DPR periode berikutnya (2014-2019).
Alasan penundaan ini, terkait dengan tidak dapatnya RUU Pilkada tersebut
berdiri sendiri, hanya dalam satu pembahasan, dengan memandang tanpa
ada implikasi hukum yang lainnya. Bahwa perlu adanya sinkronisasi dan
harmonisasi peraturan dalam payung hukum yang sama, dalam satu program
legislasi nasional, untuk pembahasan RUU Pilkada dengan UU terkait,
sepertu UU Penyelenggaraan Pemilu dan UU MD3.
Kalau memang jadi diselenggarakan Pilkada tak langsung berdasarkan UU
Pilkada terbaru, melalui sinkronsasi dan harmonisasi peraturan; maka
perlu ditambah kewenangan DPRD untuk memilih Kepala Daerah dalam UU MD3.
Demikian pula kewenangan KPU dan jajarannya jika dirasa tidak berfungsi
lagi dalam penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah tak langsung,
sebaiknya UU Penyelenggaraan Pemilu dicabut saja. Atau bisa pula
keberadaan penyelenggara pemilu tersebut dibentuk adhoc saja, yang
dikhususkan untuk Pemilu Legisltaif dan pemilu Presiden saja, Sebab,
buat apa ada Undang-Undang yang memberi kewenangan kepada Penyelenggara
Pemilu, sementara lembaga-lembaga itu tidak lagi memiliki tugas dalam
penyelenggaraan Pilkada.
Sebaliknya, jika angggota DPR sekarang, suatu waktu nanti berhasil
mengesahkan RUU Pilkada itu, tanpa ada harmonisasi peraturan dengan UU
terkait Pilkada. Maka ini sudah pasti meninggalkan pekerjaan rumah bagi
anggota DPR dan Presiden berikutnya. Anggota DPR yang baru dilantik
nanti, harus melakukan sinkronisasi UU Pilkada terhadap UU
Penyelenggaraan Pemilu dan UU MD3.
Ironisnya tidak hanya itu yang akan meninggalkan luka dalam goresan
‘tinta merah”. Pemeritahan Jokowi, meski partainya menolak tegas Pilkada
tak langsung, imbasnya pun akan dirasakan. Jokowi sebagai kepala
pemerintahan akan diseret sebagai termohon, andai saja ada gugatan
terhadap UU Pilkada, UU Penyelenggaraan Pemilu, dan UU MD3, baik itu
melalui MA ataupun melalui MK. (*)
No comments:
Post a Comment