10/12/14

ANALISIS TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN

A.    KASUS POSISI
  1. Pada 16 Agustus 2011 sekitar pukul 13.00 WIB, Livia Pavita Soelistio (21), mahasiswi Universitas Bina Nusantara (Binus), pulang dari kampus. Di depan kampus, ia kemudian naik angkot M 24 jurusan Srengseng-Slipi.
  2. Tanpa disadari korban, di dalam sudah terdapat empat pria, termasuk sopir. Livia tidak mengetahui kalau di dalam angkot, para pelaku sudah mengincar korban.
  3. Begitu korban duduk di dalam angkot, salah satu pelaku merebut tas korban yang berisi dompet, HP Sony Ericson, BlackBerry dan barang berharga lainnya. Namun, Livia memberontak hingga akhirnya pelaku membekapnya dengan sweater pelaku.
  4. Korban terus memberontak, hingga akhirnya pelaku mencekik lehernya hingga tewas. Setelah melihat korban tewas, pelaku kemudian bermufakat untuk membuang korban di Cisauk, Tangerang.
  5. Namun, dalam perjalanan menuju lokasi pembuangan, salah satu pelaku memperkosa korban lebih dulu. Aksi bejat pelaku dilakukan di atas angkot yang berkaca film cukup gelap itu. Setelah pelaku melampiaskan aksinya, sekitar pukul 15.30 WIB, korban dibuang di Cisauk, Tangerang.

B. PASAL YANG DIKENAKAN
Pasal 365 ayat (4) KUHP yang berbunyi : ”Diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun, jika perbuatan mengakibatkan luka berat atau mati dan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu, pula disertai oleh salah satu hal yang diterangkan dalam no. 1 dan 3.”

C. PERUMUSAN TINDAK PIDANA
Pasal 365 ayat (4) KUHP ini hanya menyebutkan unsur-unsurnya saja, tidak menyebutkan klasifikasinya.

D. PENGURAIAN UNSUR
Pasal 365 ayat (4) KUHP : perbuatan//mengakibatkan luka berat atau mati//dilakukan oleh dua orang atau lebih//dengan bersekutu//disertai oleh salah satu hal yang diterangkan dalam no. 1 dan 3

a. Perbuatan
Yang dimaksud dengan “perbuatan” dalam pasal ialah tindakan pencurian sebagaimana yang dimaksud pada pasal 365 ayat (1) KUHP, yakni pencurian yang disertai dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Pada kasus ini, para pelaku mengambil tas korban untuk dimiliki secara melawan hukum, yang juga disertai oleh kekerasan di mana Livia dibekap dan lehernya dicekik oleh para pelaku. Dengan demikian unsur ini terpenuhi.

b. Mengakibatkan luka berat atau mati
Yang dimaksud dengan “mengakibatkan luka berat atau mati” dalam pasal ini ialah bahwa tindakan pencurian yang disertai dengan kekerasan atau ancaman kekerasan tersebut mengakibatkan seseorang (korban) menderita luka berat, yakni luka parah, atau mati, yakni hilangnya nyawa seseorang (korban). Pada kasus ini, yang diakibatkan oleh pencurian tersebut adalah matinya korban, yakni Livia.

c.  Dilakukan oleh dua orang atau lebih
Yang dimaksud dengan “dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu” berarti bahwa tindakan tersebut dilakukan lebih dari satu orang, baik oleh dua orang maupun lebih.. Pada kasus ini, pelakunya berjumlah empat orang, yang berinisial RH, IN, MS, dan A. Dengan demikian unsur ini terpenuhi.

d. Dengan bersekutu
Yang dimaksud dengan “dengan bersekutu” ialah dengan syarat, orang-orang yang melakukan tersebut haruslah bersekutu, yakni berkomplot, berkawanan, yang artinya mereka bersama-sama melakukan tindakan tersebut. Pada kasus ini, keempat pelaku memang sudah bersepakat untuk bersama-sama melakukan tindakan tersebut. Dengan demikian unsur ini terpenuhi.

e. Disertai oleh salah satu hal yang diterangkan dalam no. 1 dan 3
Yang dimaksud dengan “disertai oleh salah satu hal yang diterangkan dalam no. 1 dan 3” ialah bahwa perbuatan tersebut haruslah disertai salah satu hal yang diterangkan dalam pasal 365 ayat (1) dan ayat (3). Di mana pada pasal 365 ayat (1) haruslah disertai oleh kekerasan atau ancaman kekerasan, sedangkan pada pasal 365 ayat (3) haruslah mengakibatkan kematian. Pada kasus ini pencurian yang terjadi, disertai kekerasan dan juga mengakibatkan kematian Livia, si korban. Dengan demikian unsur ini terpenuhi.

Kesimpulan : karena ketiga unsur telah dipenuhi, maka keempat pelakutersebut dapat dijerat dengan Pasal 365 ayat (4) ini.

E. PIDANA DAN PEMIDANAAN
Pemidanaan adalah penjatuhan pidana bagi orang-orang yang melakukan tindak pidana. Pidana, atau yang disebut juga sebagai hukuman, yang dapat dijatuhkan pada para pelaku kasus ini adalah yang termasuk ke dalam pidana pokok, yang tercantum pada pasal 10 KUHP, yakni pidana mati, atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun.

F. DASAR PENGHAPUS PIDANA
Dalam kasus ini para pelaku tidak dihindarkan dari pemidanaan, sebab mereka tidak memenuhi syarat-syarat dari kondisi di mana para pelaku tindak pidana dapat dipidana.

Di dalam KUHP dasar penghapus pidana dibagi 2:
  1. Umum: berlaku pada siapa saja dan delik apa saja. Terdapat pada pasal 44-51 KUHP.
  2. Khusus: berlaku pada orang-orang tertentu dan delik-delik tertentu. Contoh: Pasal 221 (2), 310 (3) KUHP.

Di luar KUHP dasar penghapus pidana:
1.  Amnesti
2.  Abolisi
3.  Grasi
4.   Rehabilitasi

Ada pun menurut doktrin dasar penghapus pidana terbagi menjadi dua macam, yakni:

1. DASAR PEMBENAR
Apabila dasar penghapusnya merupakan dasar pembenar yang menghilangkan sifat melawan hukum, dimana sifat melawan hukum itu tercantum dalam perumusan delik, maka putusannya adalah bebas dari segala dakwaaan
Dasar pembenar tercantum dalam :
  • Pasal 48 KUHP mengenai keadaan darurat (noodtoestand)
  • Pasal 49 ayat (1) KUHP mengenai bela paksa (noodweer)
  • Pasal 50 KUHP melaksanakan perintah UU
  • Pasal 51 ayat (1) KUHP mengenai perintah jabatan yang sah dikeluarkan oleh pihak yang berwenang.
Pada kasus ini, tidak satu pun dasar pembenar yang dapat digunakan oleh para pelaku. Mereka adalah tidak berada di dalam keadaan darurat ataupun melakukan bela paksa. Para pelaku juga tidak sedang melaksanakan perintah undang-undang atau pun perintah jabatan yang sah dari pihak yang berwenang. Sebab para pelaku tidak dapat menggunakan dasar pembenar, maka tidak ada dasar penghapus pidana, yang berarti bahwa mereka dapat dipidana.

2.      DASAR PEMAAF
Apabila dasar penghapusnya merupakan dasar pemaaf yang menghilangkan sifat kesalahan, dimana sifat kesalahan tersebut tercantum dalam perumusan delik, maka putusannya adalah bisa bebas (jika dibuktikan dan ternyata tidak terbukti) atau lepas (jika tidak terdapat unsur kesalahan).
Dasar pemaaf tercantum dalam :
Pasal 44 KUHP mengenai ketidakmampuan seseorang untuk berpikir, yakni tidak sehat akalnya
Pasal 48 KUHP mengenai overmacht atau daya paksa dalam arti relatif sempit
Pasal 49 ayat (2) KUHP mengenai pembelaan melampaui batas (noodweer excess)
Pasal 51 ayat (2) KUHP mengenai perintah jabatan tanpa wewenang dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang.
Pada kasus ini, tidak satu pun dasar pemaaf yang dapat digunakan oleh para pelaku. Mereka adalah subyek hukum yang sehat akalnya, yang mampu bertanggungjawab terhadap atas tindakan yang dilakukan. Para pelaku juga tidak berada dalam keadaan overmacht atau daya paksa yang merupakan suatu dorongan yang tidak dapat dielakan lagi yang berasal dari luar. Tindakan para pelaku juga bukan merupakan pembelaan yang melampaui batas. Mereka juga tidak menjalankan perintah jabatan tanpa wewenang dengan itikad baik. Sebab para pelaku tidak dapat menggunakan dasar pemaaf, maka tidak ada dasar penghapus pidana, yang berarti bahwa mereka dapat dipidana.

G.    DASAR PEMBERAT PIDANA
Dasar pemberat terjadi ketika seseorang yang sudah melakukan semua anasir dari unsur tindak pidana, namun ada alasan untuk memperberat perbuatannya sehingga hukuman yang akan diterima akan lebih berat. Ada pun dasar pemberat pidana terbagi menjadi dua, yakni yang ada di dalam KUHP dan di luar KUHP.
Yang di dalam KUHP terdiri dari:
1.      UMUM
a.      RESIDIV
Residiv merupakan pengulangan tindak pidana yang telah dijatuhi pidana oleh suatu putusan hakim yang berkekuatan tetap, kemudian melakukan suatu tindak pidana lagi. Menurut doktrin, residiv juga terbagi menjadi dua macam, yakni umum (pengulangan tindak pidana jenis apa pun) dan khusus (pengulangan tindak pidana yang sama jenisnya). Sedangkan menurut KUHP, residive merupakan pengulangan tindak pidana yang untuk kejahatan dibagi menjadi tiga kelompok, yakni pada pasal 486, pasal 487, dan pasal 488 KUHP, di mana dapat dikatakan residiv jika pengulangan kejahatan yang dilakukan berada dalam satu kelompok. Sedangkan untuk pelanggaran, ketentuan residiv diatur dalam pasal-pasal tertentu untuk masing-masing pelanggaran.
Perlu diketahui, salah satu pelaku dari kasus ini, berinisial RH merupakan residivis kasus narkoba. Di mana ia pernah ditahan selama dua tahun dalam kasus tersebut. Maka menurut doktrin, RH telah melakukan residiv jenis umum, yakni pengulangan tindak pidana apa pun jenisnya (tidak sejenis). Dan hukumannya, menurut doktrin ditambah 1/3 dari pidana pokok dari tindak pidana yang dilakukannya sekarang. Di mana jika hukuman atas pasal 365 ayat (4) dikenakan 20 tahun, maka 20 tahun ditambah dengan 1/3 dari 20 tahun tersebut. Dalam kasus ini sebenarnya tidak dijelaskan RH sebagai siapa di dalam kasus narkoba tersebut, namun dapat diandaikan seperti ini : RH merupakan pengguna narkotika Golongan II bagi diri sendiri. Berarti ia dikenakan 365 ayat (4) dengan sebelumnya telah dikenakan Pasal 127 ayat (1) b UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Sedangkan menurut KUHP sebab tentang narkotika ini sendiri tidak dicantumkan, maka penjatuhan hukumannya akibat residiv tidak diatur di dalam KUHP.
Pasal 127 ayat (1) b UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, yang berbunyi :  
“Setiap Penyalah Guna:….
b. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan……”
Penguraian unsur-unsur pasalnya adalah sebagai berikut : Setiap penyalah guna//Narkotika Golongan II//bagi diri sendiri
a. Setiap penyalah guna
Yang dimaksud dengan “setiap penyalah guna” ialah setiap subyek hukum yang di mana merupakan penyalah guna dari narkotika. Penyalah guna yang dimaksud adalah orang yang menggunakan narkotika tidak sesuai dengan yang diperbolehkan oleh undang-undang. Dan pada kasus ini, RH menggunakan narkoba tersebut tidak sesuai dengan yang diperbolehkan oleh undang-undang, yakni untuk mendapatkan kesenangan dari penggunaan narkotika tersebut. Dengan demikian unsur ini terpenuhi.
b. Narkotika Golongan II
Yang dimaksud Narkotika Golongan II adalah adalah Narkotika berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan. Pada kasus tersebut, RH menggunakan jenis ini yang mengakibatkan ketergantungan. Dengan demikian unsur ini terpenuhi.
c.  Bagi diri sendiri
Yang dimaksud dengan “bagi diri sendiri” adalah bahwa narkotika tersebut digunakan bagi diri sendiri, bukan pada orang lain. RH pada kasus terkait itu menggunakannya bagi dirinya sendiri. Ia tidak menyalahgunakannya bagi orang lain. Dengan demikian unsur ini terpenuhi.

Kesimpulan : karena ketiga unsur telah dipenuhi, maka RH dapat dijerat dengan Pasal 127 ayat (1) b UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika ini.
Sebab sebelumnya telah melakukan terlebih dahulu tindak pidana penyalahgunaan narkotika, maka ia dikatakan residivis yang mengulangi tindak pidana dengan jenis yang berbeda yakni pencurian dengan disertai oleh kekerasan atau ancaman kekerasan yang mengakibatkan matinya korban. Dengan demikian dasar pemberat pidana terhadap RH terpenuhi dengan dapat dikenakannya pasal 365 ayat (4) dengan hukuman yang ditambah 1/3nya menurut doktrin.

b. GABUNGAN (SAMENLOOP)
Merupakan gabungan tindak pidana ataupun pengulangan tindak pidana yang belum mempunyai suatu putusan hakim yang berkekuatan tetap sehingga akan diadili sekaligus dengan tindakan yang diulanginya. Atau dengan kata lain seseorang yang melakukan 1 perbuatan atau beberapa perbuatan yang melanggar 1 aturan pidana atau beberapa aturan pidana, dimana perbuatannya belum dijatuhi oleh putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap.

Dalam hukum pidana kita mengenai 3 jenis gabungan:
1. Gabungan berupa 1 perbuatan (eendaadse samenloop/concursus idealis), Pasal 63 KUHP
  • Concursus Idealis Homogenius: 1 perbuatan yang dilakukan melanggar 1 pasal beberapa kali.
  • Concursus Idealis Heterogenius: 1 perbuatan yang dilakukan melanggar beberapa pasal.
2.Gabungan beberapa perbuatan (meerdaadse samenloop/concursus realis) Pasal 65, 66, 70 KUHP
  • Concursus Realis Homogenius: beberapa perbuatan yang melanggar 1 Pasal beberapa kali.
  • Concursus Realis Heterogenius: beberapa perbuatan yang melanggar beberapa Pasal.
3.Perbuatan Berlanjut pasal 64 KUHP
  • Yang dimaksud perbuatan berlanjut adalah beberapa perbuatan yang harus sejenis tetapi dengan satu tujuan dan tenggang waktu yang tidak lama. Pada kasus ini, perbuatan yang dilakukan oleh keempat pelaku bukan merupakan gabungan (samenloop). Sebab, para pelaku melakukan satu perbuatan yang hanya melanggar satu pasal saja. Yakni pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan matinya korban, Livia, yang dapat dikenakan pasal 365 ayat (4) KUHP.

c. JABATAN/BENDERA
melakukan tindak pidana yang melanggar perintah jabatan serta ketika melakukan kejahatan menggunakan bendera kebangsaan Republik Indonesia.


2. KHUSUS
Yakni delik-delik yang dikualifisir/diperberat, yang diatur dalam pasal-pasal tertentu secara spesifik.
Yang berada di luar KUHP:
1. Pemaksimalan pidana karena dianggap meresahkan masyarakat.
2. Penjatuhan pidana yang cukup berat.

H.    DASAR PERINGAN PIDANA
Dasar peringan terjadi ketika seseorang telah memenuhi semua unsur, namun ada alasan yang membuat pelaku diancam hukumannya lebih ringan. Dalam dasar peringan yang kita kenal ada 2 yaitu:
1. Umum, yakni meliputi :
  • Anak yang belum dewasa yang tercantum pada UU No. 3 Tahun 1997 tentang pengadilan anak yang menggantikan Pasal 45 - 47 KUHP.
  • Percobaan (poging)
  • Penyertaan (Deelneming)
2. Khusus, yakni meliputi setiap delik yang masing-masing dirumuskan oleh Pasal Pasal yang khusus memperingan delik tersebut dalam KUHP. Contoh: Pasal 308 KUHP

a. PERCOBAAN
Poging adalah percobaan tindak pidana, bukan tindak pidana percobaan. Poging merupakan suatu tindak pidana yang dilakukan oleh si pelaku dan itu harus selalu gagal.
1. Niat
Keempat pelaku memang memiliki niat, di mana niat tersebut dimiliki oleh masing-masing pelaku, untuk merampok, namun korbannya tidak ditargetkan, sehingga siapa aja bisa menjadi korbannya, termasuk Livia. Dengan demikian unsur ini terpenuhi.
2. Adanya permulaan pelaksanaan tindakan
Permulaan pelaksanaan merupakan perbuatan-perbuatan yang merupakan tindakan-tindakan yang dilakukan demi terjadinya delik. Menurut teori subjektif yakni dilihat dari niat, dimana suatu perbuatan sudah merupakan permulaan dari niatnya. Sedangkan teori objektif, yakni dilihat dari perbuatan si pelaku, dimana suatu perbuatan sudah ada pelaksanaannya, yang perbuatan tersebut langsung mengantarkan pada terjadinya delik, tidak ada perbuatan lain lagi sebelum delik. Pada kasus ini permulaan pelaksanaan sudah ada jika dilihat dari teori subyektif di mana para pelaku menunggu korbannya di dalam angkot. Dengan demikian unsur ini terpenuhi.
3. Pelaksanaan tindakan tidak selesai bukan karena kehendaknya sendiri. Tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya ada sesuatu yang diluar dari diri si pelaku yang dapat menyebabkan gagalnya tujuan atau maksud si pelaku. Pada kasus ini tindakan yang dilakukan oleh para pelaku terhadap Livia selesai. Dengan demikian unsur ini tidak terpenuhi.

Kesimpulan: karena ada satu unsur percobaan, yakni pelaksanaan tindakan tidak selesai bukan karena kehendaknya sendiri, tidak terpenuhi, maka ini bukan merupakan percobaan.

b. MEMBANTU/PENYERTAAN (DEELNEMING)
Penyertaan adalah terlibatnya lebih dari 1 orang dalam 1 tindak pidana (sebelum atau pada saat tindak pidana terjadi). Penyertaan ini dapat kita lihat pada Pasal 55, 56, 57 KUHP. Dalam Pasal tersebut dapat kita jabarkan ada 5:
  1. Yang melakukan (Pleger), Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Menurut R. Soesilo Seseorang yang sendirian telah berbuat mewujudkan segala anasir atau elemen dari tindak pidana, serta pelaku telah memenuhi semua unsur delik yang ia lakukan.
  2. Yang menyuruh melakukan (doenpleger), Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Disini ada 2 orang yaitu yang menyuruh dan yang disuruh, dimana seseorang mempunyai kehendak untuk melakukan tindak pidana, tetapi dia tidak melaksanakannya sendiri melainkan menyuruh oranglain utnuk melakukannya. Dalam hal doenpleger, yang menyuruh diancam pidana sebagaimana seorang pelaku, namun yang disuruh itu tidak dapat dijatuhi hukum pidana, karena yang disuruh tersebut mempunyai syarat jika dalam keadaan overmacht, sakit jiwa, perintah jabatan dan lain-lain.
  3. Yang turut melakukan (medepleger), Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Dalam turut melakukan dalam arti kata bersama-sama melakukan, sedikit-dikitnya ada dua orang yaitu orang yang melakukan dan orang yang turut melakukan. Dalam turut melakukan, beberapa orang bersama-sama melakukan tindak pidana, namun kemungkinananya:
    • Semua dari mereka yang terlibat masing-masing memenuhi semua unsur tindak pidana
    • Ada yang memenuhi semua unsur, ada yang memenuhi sebagian saja, bahkan ada yang sama tidak memenuhi unsur delik
    • Semua hanya memenuhi sebagian-sebagian saja unsur delik
    • Dalam turut melakukan ancaman pidananya adalah sama, sehingga dalam turut melakukan ada syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu:
    • Adanya kerjasama secara sadar, tidak perlu ada kesepakatan, tapi harus ada kesengajaan untuk bekerjasama dan untuk mencapai hasil yang berupa tindak pidana.
    • Adanya pelaksanaan bersama-sama secara fisik
4. Yang menggerakkan atau menganjurkan untuk melakukan (uitlokking), Pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP, Dalam penggerakkan/ uitlokking, seseorang mempunyai kehendak untuk melakukannya sendiri, melainkan menggerakkan orang lain untuk melaksanakan niatnya itu. Adapun syarat penggerakkan yang dapat dipidana:
    • Ada kesengajaan menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana
    • Menggerakkan dengan upaya-upaya yang ada dalam Pasal 55 ayat (1) butir ke-2 KUHP yaitu pemberian janji, penyalahgunaan kekuasaan atau pengaruh, kekerasan, ancaman kekerasan, tipu daya, memberi kesempatan, alat, keterangan.
    • Ada yang tergerak untuk melakukan tindak pidana dengan sengaja digerakkan dengan upaya-upaya dalam Pasal 55 ayat (1) butir ke-2 KUHP
    • Yang digerakkan melakukan delik yang dianjurkan atau percobaannya
    • Yang digerakkan dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum pidana.

5. Yang membantu (medeplictige), Pasal 56 KUHP
Membantu melakukan mempunyai syarat yang dapat digolongkan kedalam pembantuan:
    1. Harus dilakukan dengan kesengajaan
    2. Menurut Pasal 56 kUHP ada 2 jenis pembantuan:
      • Membantu sebelum tindak pidana 􀃆 sarananya kesempatan, daya upaya, keterangan
      • Membantu pada saat terjadinya tindak pidana 􀃆 sarananya boleh apa saja
·         Ancaman pidana bagi seorang yang membantu adalah -1/3 dari pelaku kejahatan.
Pada kasus ini, para pelaku melakukan perbuatan tersebut secara bersama-sama. Di mana di dalamnya terdapat penyertaan (deelneming) dengan bentuk turut serta melakukan (medeplegen). Keempat pelaku masing-masing memenuhi semua unsur tindak pidana dan mereka melakukannya dengan kerjasama secara sadar berupa kerjasama fisik. Dengan demikian, unsur penyertaan dalam bentuk turut serta melakukan (medeplegen)

c.  BELUM DEWASA
Seseorang dapat dikatakan dewasa jika sudah mencapai umur dewasa serta cakap dalam bertindak. Belum dewasa artinya di sini adalah orang-orang sebagai berikut:
  1. Anak tersebut mampu bertanggung jawab tapi tidak secara penuh. Di mana seseorang dapat dikatakan dewasa menurut KUHP jika sudah berumur 16 tahun. Namun, sebagaimana yang telah diubah oleh  UU No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, di mana seseorang dapat dikatakan dewasa jika telah berumur 18 tahun.
  2. Orang dewasa kecil: ada perlakuan khusus
  3. Tidak mampu: Pasal 44 KUHP (orang gila, imbisil/ idiot)
Pada kasus ini, para pelaku telah mencapai usia dewasa, yakni yang berinisial A, MS, RH (24) dan IN (22),  juga bukan merupakan orang yang tidak cakap, yang tidak berada di bawah pengampuan, serta mampu bertanggungjawab atas tindakan yang ia lakukan (sehat akalnya). Sehingga keempat pelaku tersebut tidak mendapat dasar peringan pidana.

I.  GUGURNYA HAK MENUNTUT DAN KEWENANGAN MENJALANKAN PIDANA
Gugurnya hak menuntut, yakni di mana pelaku atau para pelaku tidak dapat dituntut, di sebabkan ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
  1. Ne bis in idem, atau “Double Jeopardy”, Pasal 76 KUHP. Merupakan ketentuan yang menggugurkan hak menuntut di mana orang tidak boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang oleh Hakim Indonesia terhadap dirinya telah diadili dengan putusan yang menjadi tetap.
  2. Pada kasus ini, para pelaku belum mendapatkan putusan tetap dari Hakim, sehingga hak menuntut tidak menjadi gugur. Kecuali untuk RH, kasus narkobanya, tidak boleh lagi dituntut, sebab sudah mendapatkan putusan yang tetap oleh Hakim.
  3. Pelaku meninggal dunia, Pasal 77 KUHP. Di mana hak menuntut pidana hapus jika terdakwa meninggal dunia. Pada kasus ini, para pelaku tidak ada yang meninggal dunia, sehingga tidak terjadi gugurnya hak menuntut.
  4. Daluwarsa, Pasal 78, 79 KUHP. Di mana pada pasal ini daluwarsa (habis waktu) penuntutan pidana dapat dihitung sebagai berikut. Perbuatan dilakukan pada tanggal 16 Agustus 2011, maka berdasar pasal 79 KUHP bahwa tenggang daluwarsa mulai berlaku pada hari sesudah perbuatan dilakukan, yakni mulai tanggal 17 Agustus 2011. Sedangkan perbuatan tersebut berdasarkan pasal 78 ke-4 KUHP, di mana untuk kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, tenggang daluwarsanya adalah 18 tahun. Sehingga, ketika tanggal 17 Agustus 2029 adalah hari terakhir tenggang daluwarsanya di mana masih bisa dilakukan penuntutan terhadap pelaku, dan pada tanggal 18 Agustus 2029, tidak bisa lagi dituntut.
  5. Dengan demikian pasal yang digunakan adalah Pasal 365 ayat (4) jo 78 ayat (1) ke-4 jo 79 KUHP.
  6. Gugurnya kewenangan menjalankan pidana :
    • Terpidana meninggal dunia, Pasal 83 KUHP. Di mana kewenangan menjalankan pidana hapus jika terpidana meninggal dunia.
    • Daluwarsa, Pasal 84, 85 KUHP. Di mana tenggang daluwarsa kewenangan menjalankan pidana dimulai pada esok harinya setelah putusan Hakim dapat dijalankan. Pada kasus ini, dapat diandaikan, jika pada tanggal 16 September 2011 Hakim memberikan putusan tetap dan penjalanan pidananya dimulai pada hari itu pula. Sehingga tenggang daluwarsa kewenangan menjalankan pidana baru dimulai sejak tanggal 17 September 2011 berdasarkan pasal 85 ayat (1) KUHP. Untuk lamanya masa tenggang daluwarsa, penghitungannya adalah sebagai berikut.

Berdasarkan Pasal 84 ayat (2) KUHP di mana dijelaskan bahwa untuk kejahatan-kejahatan selain kejahatan yang dilakukan dengan sarana percetakan, lama tenggang daluwarsanya sama dengan tenggang daluwarsa bagi penuntutan pidana, ditambah sepertiga. Sehingga jika pada penuntutan pidana kita mengacu pada pasal 78 ayat (1) ke-4, maka tenggang daluwarsa kewenagan menjalankan pidana menjadi 18 tahun ditambah 6 tahun (1/3 dari 18 tahun), sehingga menjadi 24 tahun. Itu berarti bahwa pada 17 September 2035 merupakan hari terakhir, di mana kewenangan menjalankan pidana masih ada. Dan pada tanggal 18 September 2035 kewenangan tersebut hapus. Dengan demikian, pasal yang digunakan adalah 365 ayat (4) jo 84 ayat (2) jo 78 ayat (1) ke-4 jo 85 ayat (1) KUHP.

No comments:

Post a Comment

PENERAPAN ILMU FORENSIK DALAM HUKUM PIDANA

Terbentuknya keyakinan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana didasarkan pada hasil pemeriksaan alat-alat bukti yang dikemukakan pada pros...