12/22/12

PERANAN ALAT BUKTI KETERANGAN AHLI DALAM PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI


Pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui Peranan Alat Bukti Keterangan Ahli Dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi. Selain itu, pengkajian ini juga dimaksudkan untuk mencari solusi atas Kendala penggunaan alat bukti keterangan ahli dalam perkara Tindak Pidana Korupsi.
Pengkajian ini dilakukan melalui studi kepustakaan dan diskusi di antara anggota tim pengkaji. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa:

1.Masalah korupsi di Indonesia sudah merupakan persoalan yang komplek dan terjadi secara meluas di seluruh sisi kehidupan. Tindak pidana korupsi merupakan kejahatan sosial yang terjadi secara sistematik. Korupsi bukan hanya sekedar soal seorang pegawai negeri menggunakan kesempatan untuk kepentingan pribadi, tetapi juga menyangkut budaya masyarakat yang ingin mendapat keuntungan pribadi dengan segala cara termasuk kolusi dengan para pejabat.


2.Untuk membuktikan kesalahan terdakwa, pengadilan terikat oleh cara-cara atau ketentuan-ketentuan tentang pembuktian sebagaimana telah diatur dalam undang-undang. Pembuktian yang sah harus dilakukan di dalam sidang pengadilan yang memeriksa terdakwa dan pemeriksaan terhadap alat-alat bukti harus dilakukan di depan sidang.
Dalam praktek peradilan, kesulitan pembuktian dipersidangan disebabkan dua hal, yaitu penyidik kurang sempurna mengumpulkan pembuktian dan kekurangan pengertian terhadap penerapan hukum.

3.Sistem pembuktian yang digunakan dalam hukum acara pidana Indonesia dikenal dengan “sistem negatif” (negatief wettelijk bewijsleer), di mana yang dicari oleh hakim adalah kebenaran materiil. Sistem negatief merupakan sistem yang berlaku dalam hukum acara pidana yaitu hakim dalam menjatuhkan pidana dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya (Pasal 183 KUHAP).

4.Sistem pembuktian dalam Pasal 183  KUHAP adalah ketentuan dasar dalam hukum pembuktian dan mutlak berlaku untuk membuktikan semua tindak pidana, kecuali ditentukan lain dalam hukum pembuktian khusus. Penyimpangan hukum pembuktian ada dalam hukum pidana korupsi, yang meliputi pada 2 (dua) hal pokok, yaitu: mengenai bahan-bahan yang dapat digunakan untuk membentuk alat bukti petunjuk dan mengenai sistem pembebanan pembuktian. Kegiatan pembuktian Tindak Pidana Korupsi di samping tetap menggunakan hukum pembuktian umum dalam KUHAP, tetapi dalam bidang atau hal-hal tertentu berlaku hukum pembuktian khusus. Pembuktian korupsi tetap memperhatikan Pasal 183 KUHAP, kecuali dalam hal pembuktian terbalik {Pasal 37 ayat (2) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001}.

5.Seorang ahli memberikan keterangan bukan mengenai segala hal yang dilihat, didengar dan dialaminya sendiri, tetapi mengenai hal-hal yang menjadi atau di bidang keahliannya yang ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa. Keterangan ahli tidak perlu diperkuat dengan alasan sebab keahliannya atau pengetahuannya sebagaimana pada keterangan saksi. Apa yang diterangkan saksi adalah hal mengenai kenyataan dan fakta. Sedang keterangan ahli adalah suatu penghargaan dan kenyataan dan/atau kesimpulan atas penghargaan itu berdasarkan keahliannya. Apabila keterangan ahli diberikan pada tingkat penyidikan, maka sebelum memberikan keterangan, ahli harus mengucapkan sumpah atau janji terlebih dahulu.

6.Melihat ketentuan sebagaimana diatur KUHAP, terutama pada tahap penyidikan pemeriksaan ahli tidaklah semutlak pemeriksaan saksi-saksi. Mereka dipanggil dan diperiksa apabila penyidik “menganggap perlu” untuk memeriksanya {Pasal 120 ayat (1) KUHAP}. Maksud dan tujuan pemeriksaan ahli, agar peristiwa pidana yang terjadi bisa terungkap lebih terang. Pemeriksaan ahli akan menjadi mutlak manakala jaksa memberikan petunjuk kepada penyidik untuk dilakukan pemeriksaan ahli.

7.KUHAP tidak menyebut kriteria yang jelas tentang siapa itu ahli. Dengan perkembangan teknologi yang semakin pesat maka tidak terbatas banyaknya keahlian yang dapat memberikan keterangan sehingga pengungkapan perkara akan semakin terang, terutama menyangkut tindak pidana korupsi.

8.Seorang ahli umumnya mempunyai keahlian khusus di bidangnya baik formal maupun informal karena itu tidak perlu ditentukan adanya pendidikan formal, sepanjang sudah diakui tentang keahliannya. Hakimlah yang menentukan seorang itu sebagai ahli atau bukan melalui pertimbangan hukumnya. Keterangan ahli mempunyai Visi apabila :
apa yang diterangkan haruslah mengenai segala sesuatu yang masuk dalam ruang lingkup keahliannya ;
yang diterangkan mengenai keahliannya itu adalah berhubungan erat dengan perkara pidana yang sedang diperiksa.

9.Dalam praktek pengajuan ahli di persidangan dapat dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) atau penasehat hukumnya. JPU mengajukan saksi ahli sesuai dengan apa yang terdapat dalam BAP atau bisa juga mengajukan ahli di persidangan setelah melihat jalannya dan perkembangan perkara di persidangan. Begitu juga penasehat hukum dapat juga mengajukan ahli untuk menjadi terangnya perkara yang sedang berjalan di pengadilan. Kadangkala ahli yang diajukan oleh JPU dan penasehat hukumnya dalam materi yang sama tetapi keterangan berbeda, dalam konteks ini tinggal hakim yang menentukan seseorang itu ahli dan bobot keterangan dari ahli itu, sehingga ada persesuaian keterangan dengan alat bukti lain.

10.Seorang ahli dalam memberikan keterangannya hanya berdasarkan kepada keahliannya dan pengetahuannya. Keterangan ahli bukanlah menafsirkan terhadap peraturan perundang-undangan. Dalam beberapa kasus korupsi ahli hukum memberikan keterangan sebagai ahli tetapi pada kenyataannya keterangan ahli tersebut dengan cara melakukan penafsiran hukum. Keterangan ahli ekonomi dan ahli hukum tentang adanya kerugian negara dalam tindak pidana korupsi ditafsirkan berbeda dan kadang bertolak belakang satu dengan lainnya.

11.Keterangan ahli yang memberikan keterangannya karena penafsiran akan menimbulkan inkonsistensi pendapat sehingga keterangannya tidak dapat dijadikan patokan hakim maupun putusan lainnya. Dalam hal ini hakim perlu melihat kompetensi orang yang ditunjuk sebagai ahli. Tidak cukup berpatokan pada formalitas pendidikan atau status sosial orang tersebut, misalnya terhadap seorang profesor yang ditunjuk sebagai ahli.

12.Kendala penggunaan alat bukti keterangan ahli dalam perkara Tindak Pidana Korupsi adalah:
  • Dalam praktek peradilan, kesulitan pembuktian dipersidangan disebabkan dua hal, yaitu penyidik kurang sempurna mengumpulkan pembuktian dan kekurangan pengertian terhadap penerapan hukum.
  • Dalam praktek dilapangan, untuk kasus korupsi yang penyidikannya dilakukan oleh polisi dan jaksa minta untuk dilakukan pemeriksaan ahli. Jarang polisi memenuhi petunjuk jaksa atau akan menjadi kesulitan bagi polisi mendatangkan ahli.

13.Berdasarkan uraian 1 s.d. 12 di atas dapat simpulkan bahwa:
  • Peran pembuktian sangat penting dalam suatu proses hukum di pengadilan, bila salah dalam menilai pembuktian akan mengakibatkan putusan yang salah pula. Untuk menghindari atau setidak-tidaknya meminimalkan putusan-putusan pengadilan yang demikian, kecermatan dalam menilai alat bukti di pengadilan sangat diharapkan, terutama dalam kasus tindak pidana korupsi.
  • Peranan ahli dalam pemeriksaan tingkat penyidikan kasus Tindak Pidana Korupsi maupun pemeriksaan dalam sidang pengadilan semakin diperlukan. Pemeriksaan ahli akan menjadi mutlak manakala jaksa memberikan petunjuk kepada penyidik untuk dilakukan pemeriksaan ahli.
  • Dalam hal hakim membentuk keyakinan tentang kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana korupsi, secara formal kedudukan alat bukti keterangan ahli adalah sama dengan alat bukti lain. Artinya, keyakinan boleh dibentuk atas dasar keterangan ahli dan alat bukti petunjuk saja, karena telah memenuhi minimum bukti dimaksud Pasal 183 KUHAP. Hukum penyimpangan pembuktian yang ada dalam hukum pidana korupsi, terdapat pada 2 (dua) hal pokok, yaitu: mengenai bahan-bahan yang dapat digunakan untuk membentuk alat bukti petunjuk dan mengenai sistem pembebanan pembuktian.
14.Saran dalam penanganan Tindak Pidana Korupsi yang menggunakan alat bukti keterangan ahli adalah:
  • Perlu segera dibuat peraturan perundang-undangan yang mengatur perlindungan saksi ahli dan keluarganya {sejalan dengan sebagaimana dimaksud article 32 dan 33 UNCAC (United Nations Convention Against Corruption) tahun 2003}.
  • Perlu ditingkatkan kemampuan teknis penyidikan secara terus menerus dan berkesinambungan melalui Diklat teknis dan pertemuan ilmiah.
(Pusat Litbang Kejaksaan Agung R.I, Studi tentang Peranan Alat Bukti Keterangan Ahli Dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi, 2008)

No comments:

Post a Comment

PENERAPAN ILMU FORENSIK DALAM HUKUM PIDANA

Terbentuknya keyakinan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana didasarkan pada hasil pemeriksaan alat-alat bukti yang dikemukakan pada pros...