12/12/12

PEMBENTUKAN MORAL IENTELEKTUAL DAN UPAYA PENCEGAHAN TERHADAP PERILAKU SEX BEBAS PADA PELAJAR

I.INRODUKSI
Bangsa-bangsa yang kalah biasanya mengekor pada bangsa yang menang. Peradaban yang terbelakang akan cenderung mengamini peradaban yang maju. Hal ini juga terjadi pada bangsa yang sedang kita tinggali ini. Banyak hal negatif yang para remaja dan pemuda bangsa ini lakukan mirip dengan remaja dan pemuda di Negara barat atau di negara-negara maju lainnya. Memang tidak semuanya berlaku seperti itu, ada juga remaja pemuda yang semakin religius. Namun kedua kelompok ini seolah makin bertolak belakang. Mereka masing-masing bergerak ke kutub-kutub yang berbeda. Akhirnya kita dapat membedakan antara remaja pemuda yang religius dengan remaja pemuda yang tidak religius.

Pada hari ini kita bisa lihat bagaimana rasa malu telah terenggut dari jiwa-jiwa manusia di Indonesia, khususnya dikalangan mudanya. Mereka mengikuti trend tanpa berpikir jauh alasan apa yang mendasari pilihan mereka itu. Kita sering temukan makin banyak para remaja dan pemuda bermesraan disembarang tempat. Bahkan berciuman ditempat-tempat umum pun bukanlah hal yang memalukan untuk mereka. Pacaran mesra sudah begitu umum dalam pergaulan mereka. Bahkan ketika ditanya mengapa mereka sampai berani melakukan hubungan suami istri saat berpacaran, seorang remaja menjawab dengan entengnya ”Kalau nggak ML (Make Love) buat apa saya berpacaran?” Belum lagi, pada hari ini agaknya pornografi sudah sedemikian lumrah dimata para remaja dan pemuda. Akses untuk melihat film-film dan gambar-gambar porno pun begitu mudahnya untuk dilakukan.
Persoalan rokok dan narkoba dikalangan remaja dan pemuda juga tidak kalah seriusnya, apalagi mengingat sempat meledaknya kasus narkoba pada kurun waktu tiga tahun terakhir ini. Pada akhir 1999 saja ada sekitar 4 juta pecandu narkoba yang tercatat di Indonesia. Parahnya dari jumlah tersebut, 70%-nya adalah anak-anak usia sekolah antara 14-20 tahun. Yang KO dan masuk RS Ketergantungan Obat Fatmawati saja cukup banyak. Remaja setingkat SLTP yang dirawat inap di rumah sakit tersebut karena ketergantungan obat terlarang mencapai 1.055 anak, yang setingkat SLTA mencapai 2.096 anak, dan yang setingkat perguruan tinggi mencapai 1.569 mahasiswa.
Kasus narkoba inipun tidak hanya menimpa kawula muda di Jakarta saja, kota-kota lainnya seperti Bandung, Yogyakarta dan Surabaya juga mengalami persoalan yang tidak kalah seriusnya. Staf pengajar FK Psikologi UGM, Dr. Endang Ekowarni pernah melakukan penelitian pada tahun 1999, dengan hasil yang mengejutkan. Dia menemukan paling tidak 60-80% dari murid SMP se Jogya pernah mencicipi narkoba. Sementara di wilayah-wilayah pemukiman, sedikitnya ABG di tiap RT pernah merasakan narkoba (Gatra, 24 Febuari 2001 : 31). Di kota lainnya juga terpampang data-data yang memprihatinkan. Sepanjang tahun 2000, di Bandung terdapat 135 kasus narkoba yang ditangani Kejaksaan Negri. Dari jumlah tersebut, 55 kasus melibatkan pelajar. Di Surabaya, data yang dikeluarkan Gerakan Nasional Anti Narkoba (Granat), dari 79 SMU yang ada, 34 sekolah diantaranya punya murid yang terlibat sindikat perdagangan narkotika (Gatra, 24 Febuari 2001). Di Jakarta Timur malah pernah beredar narkoba yang diracik khusus untuk anak-anak SD dalam bentuk permen dan diberikan pertama kali secara gratis (Media Indonesis, 8 September 1999).
Keprihatinan lain yang perlu disorot dari kalangan remaja pemuda di Indonesia dewasa ini adalah semakin permisif dan hedonisnya gaya hidup mereka, serta semakin kurang rasa pedulinya terhadap problematika yang ada disekitar mereka. Mereka biasa menghabiskan waku berjam-jam di mal-mal, café-café, club-club, diskotik-diskotik, dan sebagainya. Bahkan ada juga anak-anak usia SMP, bahkan SD yang melakukan perbuatan amoral dengan cara pesta seks. Belum lagi anak-anak ABG lainnya yang tidak malu melacurkan diri. Ada yang motifnya mencari uang untuk bersenang-senang, dan ada yang juga sama sekali tidak minta dibayar karena mereka memang menyukai seks bebas. Beberapa diantara mereka sebenarnya anak-anak orang kaya dan memiliki orangtua yang berkedudukan penting.
Pada bulan Desember 1997, empat gadis ABG dan delapan pria melakukan pesta seks selama tiga hari tiga malam disebuah rumah bertingkat dua di semarang. Warga setempat yang mendengar musik hangar-bingar sepanjang malam di rumah tersebut merasa resah. Akhirnya pada dini hari, penduduk dan polisi menggerebek rumah tersebut. Dari kedelapan pria, lima diantaranya berusia 17-19 tahun, sementara tiga sisanya berusia 22-24 tahun. Sedangkan yang putri, tiga orang berusia 15 tahun dan masih SMP, yang satunya berusia 16 tahun. Mereka mengaku telah melakukan pesta seks atas dasar suka sama suka (Gatra 3 januari 1998 : 22-24).
Kira-kira sebulan sebelumnya di Ujungpandang, 2 pasang muda-mudi berusia 14-20 tahun juga melakukan hal yang sama. Cuma kali ini mereka kurang beruntung. Mereka tewas diparkiran Hotel Makasar Indah setelah melakukan pesta seks kecil-kecilan di dalam mobil. Padahal sehari sebelumnya mereka juga telah menyewa sebuah kamar di hotel tersebut. Satpam setempat menemukan keempat muda-mudi itu tewas pada pukul 01.00 di tempat parker hotel. Diduga kematian mereka karena keracunan karbon monoksida yang berasal dari kenalpot dan AC mobil (Gatra, 3 Januari 1998).
UNDIP (Universitas Diponogoro) mempunyai laporan lain. Hasil penelitian tim peneliti kependudukan UNDIP bekerjasama dengan Kantor Dinas Kesehatan Jawa Tengah melaksanakan penelitian prilaku siswa SMA pada tahun 1995. Hasilnya sekitar 60.000 siswa SMU se – Jawa Tengah (dari 600.000 orang yang dilibatkan dalam survei atau sekitar 10%-nya) pernah melakukan sex-intercourse pranikah (PK Undip Depkes Jateng, 1995) (Gatra 3 Januari 1998:35)
Begitulah dengan kenyataan yang ada, pola hubungan lelaki dan perempuan ternyata sudah bergeser sedemikian jauh di negri ini. Banyak aspek persetubuhan sudah tidak dianggap sacral lagi. Lalu bagaimana dengan pelacuran aBG? Banyak diantara pelacur-pelacur ABG ini melakukannya bukan karena mereka berasal dari keluarga kurang mampu. Tidak sedikit malah ortunya kaya raya dan berkedudukan penting. Salah seorang remaja putri berusia 18 tahun (Kelas 3 SMU) yang pernah diwawancara Gatra mengaku suka menggaet cowok berduit untuk tidur di hotel berbintang. Dia juga mengatakan, ”Saya bukan cari makan dengan seks, melainkan untuk senang-senang saja. Jika dikasih duit ya, saya mau, masa nolak rejeki.” Lain lagi tiga orang mahasiswi usia 19-20 tahun di Ujungpandang yang bersedia diajak jalan tanpa bayaran besar (Gatra, 3 januari 1998:26-27).
Bagaimanakah dengan kasus maraknya beredar VCD porno dan Video porno para ABG, Mahasiswa, dan pejabat pemerintah? Sudah sedemikian murahkah harga diri seseorang di negri Indonesia ini? Demikianlah secuil potret suram para remaja dan pemuda Indonesia yang ada pada saat ini.
Remaja merupakan aset sumber daya manusia di masa yang akan datang, pengembangan kualitasnya harus dimulai secara terpadu melalui pendekatan struktural, apakah ketika mareka berada dalam lingkungan keluarga atau dalam lembaga pendidikan, setiap tahap pendidikan memerlukan suatu usaha yang terpadu pula yang memiliki format yang jelas, melalui nilai-nilai keagamaan dan kurikulum sekolah beserta seluruh perangkatnya.
Oleh sebab itu peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui pendekatan nilai-nilai struktural keagamaan dinilai banyak pihak merupakan langkah yang tepat, karena dapat mengontrol penyimpangan dan sesuai pula dengan nilai-nilai kebudayaan masyarakat Indonesia dahulu, yang secara historis telah dikenal dengan tiga keistimewaan yaitu, pendidikan, agama dan adat istiadat.
Meskipun Syariat Islam telah berlangsung banyak dikenal bahkan dipahami oleh pelajar, secara fenomenalogi prilaku siswa selama ini tidak mengalami perubahan, bahkan menunjukkan indikasi yang mengkhawatirkan, baik ketika mereka berada di sekolah, bahkan lebih parah ketika mereka berada di luar, seperti beberapa kasus remaja yang ditemukan akhir-akhir ini, sudah dapat dikatagorikan sebagai juvenile delinguency atau remaja berprilaku menyimpang yang mengandung resiko tinggi (Kartono 1986 : 8-9).
Salah satu aspek penting mengapa penelitian ini difokuskan pada para remaja SMU, karena dalam berbagai penelitian ditemukan angka tertinggi kejahatan dan penyimpangan nilai-nilai mencapai 70% lebih berada pada kelompok remaja, yang berumur 15 s/d 19 tahun, ini berarti pada umumnya, usia ini mereka sedang duduk pada tahap akhir Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau sedang duduk di Sekolah Menengah Atas (SMU), di bawah dan di atas usia tersebut kejahatannya menurun (Kartini Kartono 1996 : 8-9). Kalau tidak ada upaya – upaya melalui konsep yang jelas, kerusakan moral yang lebih parah akan terjadi dikalangan generasi muda, dengan demikian rusaklah pemimpim-pemimpin bangsa yang datang.
Prilaku menyimpang yang sering menjadi masalah di kalangan remaja adalah sex pranikah, prilaku sex yang terlalu menonjol, minumas keras, narkoba, vcd porno, hal ini adalah suatu kejahatan, bentuk-bentuk kejahatan tersebut sudah barang tentu tidak muncul dengan sendirinya tetapi merupakan produk dari suatu kondisi dan masyarakat dengan segala pergolakan sosial didalamnya (James Coleman dan Donald Cressy 1986 : 409), semua prilaku remaja itu sering juga disebut dengan penyakit sosial (Kartini Kartono 1986 : 4).
Pada umumnya remaja atau masa muda dipandang sebagai suatu fase dalam pembentukan kepribadian, dalam fase inilah proses pendewasaan kepribadian sangat mudah terjadi, proses pengamatan terhadap nilai sosial budaya sendiri menimbulkan pengertian-pengertian, biasanya bergerak sangat cepat dengan penuh emosional sehingga remaja sangat mudah terpengaruh terhadap nilai-nilai asing yang menyenangkan dan dapat membawa perubahan, namun seringkali perubahan-perubahan itu menimbulkan hal-hal negatif, misalnya berpakaian yang kurang sopan, penyalahgunaan narkotika, extasi, prilaku sex yang berlebihan, pergaulan bebas, membuang-buang waktu, membolos dan sebagainya. Prilaku tersebut merupakan bahagian dari penyimpangan dan di luar ketentuan yang telah digariskan baik sekolah maupun agama. prilaku-prilaku tersebut adalah biang merosotnya pribadi, prestasi dan moral remaja ke jurang yang sangat menyeramkan di kemudian hari.
Masih banyak mitos seputar kesehatan reproduksi di kalangan remaja. Berenang di kolam renang dapat menyebabkan hamil, hubungan seksual pertama kali tidak akan hamil, atau loncat-loncat setelah berhubungan seksual dapat mencegah kehamilan merupakan beberapa mitos yang masih diyakini kebenarannya.
Remaja Indonesia masih minim mendapatkan pengetahuan tentang seksualitas dan kesehatan reproduksi, karena untuk penyampaian informasi mengenai hal itu masih dianggap tabu. Selain itu belum ada kurikulum kesehatan reproduksi dan pelayanan yang ramah terhadap remaja. Adalah kenyataan pendidikan kesehatan reproduksi remaja yang telah dituangkan dalam kurikulum nasional tersebut belum sepenuhnya dapat berjalan dalam proses belajar-mengajar. Kita juga belum memiliki undang-undang yang mengakomodir hak-hak remaja. Hal tersebut juga disebabkan karena ketidaksiapan tenaga pendidik, terbatasnya bahan pelajaran bagi guru, masih dianggap tabu dan banyaknya hambatan kultural. Sehingga perlu sekali terobosan yang dilakukan baik lewat jalur kurikuler, ekstrakurikuler maupun kegiatan khusus kerjasama dengan lembaga lain.
Ketua Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Propinsi Bali, dr Made Oka Negara di Denpasar mengatakan, pihak Depdiknas dalam kurikulum nasional 1994 telah menyetujui pendidikan kesehatan reproduksi remaja diberikan secara umum melalui mata pelajaran pendidikan jasmani dan kesehatan, IPA serta Agama. Tetapi secara khusus masih sedikit yakni sekitar dua jam dalam seminggu. Menurutnya, permasalahan kesehatan reproduksi remaja sangat penting dan aset masa depan, tetapi remaja justru berada dalam periode transisi yang penuh gejolak. Masalah itu disebabkan minimnya sarana dan prasarana dan kurangnya melibatkan remaja dalam setiap kegiatan yang dilakukan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional maupun KSM terkait.

II.        RUMUSAN MASALAH
            Berdasarkan uraian pada bab di atas, maka makalah ini ingin mengungkap persoalan-persoalan membangun intelektualitas generasi muda dan bagaimana upaya pencegahan terhadap perilaku sex bebas di kalangan pelajar.

III.       LANDASAN BERPIKIR
3.1.      Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005
Dalam PP RI Nomor 19 Tahun 2005 Pasal 1 dinyatakan bahwa dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1.         Standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2.         Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
3.         Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang.
4.         Standar kompetensi lulusan adalah kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan.
5.         Standar isi adalah ruang lingkup materi dan tingkat kompetensi yang dituangkan dalam criteria tentang kompetensi tamatan, kompetensi bahan kajian, kompetensi mata pelajaran, dan silabus pembelajaran yang harus dipenuhi oleh peserta didik pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu.
6.         Standar proses adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran pada satu satuan pendidikan untuk mencapai standar kompetensi lulusan.
7.         Standar pendidik dan tenaga kependidikan adalah kriteria pendidikan prajabatan dan kelayakan fisik maupun mental, serta pendidikan dalam jabatan.
8.         Standar sarana dan prasarana adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan criteria minimal tentang ruang belajar, tempat berolahraga, tempat beribadah, perpustakaan, laboratorium, bengkel kerja, tempat bermain, tempat berkreasi dan berekreasi, serta sumber belajar lain, yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran, termasuk penggunaan teknologi informasi dan komunikasi.
9.         Standar pengelolaan adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan kegiatan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan, kabupaten/kota, provinsi, atau nasional agar tercapai efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pendidikan.
10.       Standar pembiayaan adalah standar yang mengatur komponen dan besarnya biaya operasi satuan pendidikan yang berlaku selama satu tahun.
11.       Standar penilaian pendidikan adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan mekanisme, prosedur, dan instrumen penilaian hasil belajar peserta didik.
12.       Biaya operasi satuan pendidikan adalah bagian dari dana pendidikan yang diperlukan untuk membiayai kegiatan operasi satuan pendidikan agar dapat berlangsungnya kegiatan pendidikan yang sesuai standar nasional pendidikan secara teratur dan berkelanjutan.
13.       Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
14.       Kerangka dasar kurikulum adalah rambu-rambu yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah ini untuk dijadikan pedoman dalam penyusunan kurikulum tingkat satuan pendidikan dan silabusnya pada setiap satuan pendidikan.
15.       Kurikulum tingkat satuan pendidikan adalah kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan.
16.       Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu.
17.       Penilaian adalah proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik.
18.       Evaluasi pendidikan adalah kegiatan pengendalian, penjaminan, dan penetapan mutu pendidikan terhadap berbagai komponen pendidikan pada setiap jalur, jenjang, dan jenis pendidikan sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan.
19.       Ulangan adalah proses yang dilakukan untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik secara berkelanjutan dalam proses pembelajaran, untuk memantau kemajuan dan perbaikan hasil belajar peserta didik .
20.       Ujian adalah kegiatan yang dilakukan untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik sebagai pengakuan prestasi belajar dan/atau penyelesaian dari suatu satuan pendidikan.
21.       Akreditasi adalah kegiatan penilaian kelayakan program dan/atau satuan pendidikan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan.
22.       Badan Standar Nasional Pendidikan yang selanjutnya disebut BSNP adalah badan mandiri dan independen yang bertugas mengembangkan, memantau pelaksanaan, dan mengevaluasi standar nasional pendidikan;
23.       Departemen adalah departemen yang bertanggung jawab di bidang pendidikan;
24.       Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan yang selanjutnya disebut LPMP adalah unit pelaksana teknis Departemen yang berkedudukan di provinsi dan bertugas untuk membantu Pemerintah Daerah dalam bentuk supervisi, bimbingan, arahan, saran, dan bantuan teknis kepada satuan pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan nonformal, dalam berbagai upaya penjaminan mutu satuan pendidikan untuk mencapai standar nasional pendidikan;
25.       Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah yang selanjutnya disebut BAN-S/M adalah badan evaluasi mandiri yang menetapkan kelayakan program dan/atau satuan pendidikan jenjang pendidikan dasar dan menengah jalur formal dengan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan.
26.       Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Non Formal yang selanjutnya disebut BAN-PNF adalah badan evaluasi mandiri yang menetapkan kelayakan program dan/atau satuan pendidikan jalur pendidikan nonformal dengan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan.
27.       Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi yang selanjutnya disebut BAN-PT adalah badan evaluasi mandiri yang menetapkan kelayakan program dan/atau satuan pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi dengan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan.
28.       Menteri adalah menteri yang menangani urusan pemerintahan di bidang pendidikan.

3.2.      Pendidikan Budi Pekerti
Tak hanya cerdas dalam ilmu pengetahuan, umat manusia dituntut bermoral. Keseimbangan penguasaan ilmu pengetahuan dengan kemampuan spiritual itu, diharapkan umat mampu menjadi orang yang bijak. Orang yang bijak manakala ia mampu menggunakan kecerdasannya untuk kesejahteraan dan kedamaian umat manusia. Bagaimana upaya menjadikan umat agar bermoral dan beretika? Jawabannya tentu melalui pendidikan agama dan atau budi pekerti.
Selama ini pendidikan budi pekerti cenderung kurang diperhatikan. Padahal, sesungguhnya pendidikan budi pekerti merupakan landasan atau pedoman bagi umat dalam berpikir, berkata dan berperilaku yang baik dan benar. Oleh karena itu, jika pendidikan budi pekerti diabaikan, niscaya perilaku umat akan menyimpang. Dunia pendidikan tidak hanya dituntut melahirkan SDM yang berkualitas keilmuan, juga berkualitas dalam hal spiritual.
Untuk menjadikan umat berkualitas dalam hal sepiritual --sehingga perilakunya beretika dan bermoral -- keberpihakan terhadap mata pelajaran yang berbau humanis mesti terus diupayakan. Artinya, selain pendidikan eksak yang mengantarkan umat mampu menguasai iptek, anak didik juga diakrabkan pada pendidikan agama (budi pekerti), sejarah, kesenian, sastra Indonesia serta muatan lokal lainnya.
Dengan demikian, selain menguasai iptek, mereka akan menjadi orang yang bijak dalam melakoni kecerdasan intelektualnya. Sebab, dalam karya sastra misalnya, kerap ada muatan-muatan nilai yang mesti diejawantahkan dalam kehidupan. Tuntunan nilai hidup dan kehidupan sering tersirat dalam kesusastraan.
Pendidikan budi pekerti hendaknya makin digalakkan di sekolah-sekolah, seperti halnya pada zaman dulu. Dulu, kata Artha, siswa diberikan pelajaran khusus budi pekerti. Bahkan, pelajaran itu diberikan beberapa kali dalam seminggu. Mata pelajaran itu dirasa penting, karena dapat dijadikan pedoman dalam melakoni kehidupan.
Sekarang, kendati tak diberikan khusus, pendidikan itu tampaknya sudah dimasukkan dalam semua pelajaran. Pendidikan Budi Pekerti tersebut pada era sekarang harus lebih digalakkan, terlebih dalam menghadapi berbagai tantangan baik dari dalam maupun luar. Terutama dalam menghadapi tantangan global, generasi muda mesti dibentengi oleh nilai-nilai agama. Dengan demikian, mereka mampu menghadapi tantangan itu dengan baik.
Generasi muda mendatang diharapkan lebih berkualitas dari generasi sebelumnya. Tak hanya pandai, tetapi sekaligus bermoral. Karena itu, anak didik tak hanya dijejali dengan ilmu pengetahuan, tetapi juga beretika dan bermoral. Anak-anak jangan hanya dituntut cerdas sehingga sasarannya mudah mencari pekerjaan, tetapi juga beretika atau tidak lepas dari norma-norma kehidupan. Melahirkan anak yang cerdas dan beretika inilah tugas semua komponen.
Hal ini terutama jika melihat belakangan ini kerap ditemukan perilaku menyimpang di kalangan masyarakat seperti terlibat pemakaian narkoba, pelecehan seksual, kriminal, dan lain-lain seperti diuraikan di atas. Selain merugikan diri sendiri, perilaku menyimpang tersebut juga berdampak pada keluarga dan lingkungan, utamanya masyarakat yang menjadi korban. Kenyataan itu tak dapat dimungkiri karena telah terjadi kemerosotan moral atau degradasi moral. Karena itu, pendidikan budi pekerti sudah seharusnya dijadikan pedoman dalam menjalankan kehidupan. Pendidikan itu bisa didapat baik melalui pendidikan formal maupun nonformal seperti pesantren.
Mencermati hal itu dapat dinyatakan bahwa sekarang ada kecenderungan penurunan nilai-nilai etika dan moral. Dimasukkannya pendidikan budi pekerti di sekolah, mestinya tidak sekadar lips service. Nilai-nilai pendidikan ini mesti diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Perilaku pendidik dan yang dididik hendaknya mencerminkan nilai-nilai pendidikan budi pekerti. Agar anak-anak tergerak mengimplementasikan nilai-nilai itu dalam kehidupan bermasyarakat, diperlukan keteladanan. Teladan dalam berperilaku, termasuk dalam hal kedisiplinan memang sudah semestinya tidak sekadar wacana. Itu akan berhasil manakala figur yang disegani -- seperti guru atau para pemimpin bangsa -- memberikan contoh yang patut dicontoh.
Keteladanan mutlak adanya dalam situasi dan kondisi bangsa seperti saat ini -- di mana terjadi multikrisis, termasuk krisis kepercayaan. Munculnya krisis kepercayaan masyarakat, karena umumnya para elite hanya melempar janji, tetapi tanpa diikuti dengan bukti. Karena itu, kita tidak menginginkan pepatah guru kencing berdiri dan murid kencing berlari menjadi kenyataan. Dengan pemberian pendidikan budi pekerti yang betul-betul menyentuh hati para pendidik, diharapkan perilaku menyimpang bisa diminimalkan.
Rohaniawan Ketut Wiana mengatakan, arah pembinaan agama nampaknya perlu dibenahi. Sebab, nilai-nilai luhur yang terkandung dalam agama belum berhasil meningkatkan keluhuran moral dan daya tahan mental umat dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam kehidupan bernegara, berbangsa maupun bermasyarakat. Munculnya banyak kasus korupsi, kolusi dan nepotisme, kriminalitas, narkoba, pelacuran, perjudian dan penyalahgunaan wewenang, karena nilai-nilai agama belum didayagunakan sebagai pegangan hidup. Hal itu sampai terjadi, kata Wiana dalam bukunya berjudul Makna Agama Dalam Kehidupan, tentu banyak faktor penyebabnya. Salah satunya karena arah pembinaan kehidupan beragama kurang diarahkan untuk menanamkan sikap religiusitas. Kehidupan beragama mestinya lebih mengutamakan pembenahan kualitas perilaku secara nyata. Karena itu, kontribusi aktivitas beragama dalam menyertai kehidupan sehari-hari, haruslah lebih diperluas dan diperdalam. Jadikan kehidupan sehari-hari sebagai ajang untuk melatih mengamalkan berbagai aspek ajaran agama.
Menularkan pendidikan budi pekerti kepada anak didik mestinya dimulai dari sumbernya. Artinya, para gurulah yang mesti paham dulu pendidikan budi pekerti. Pengamat agama yang praktisi pendidikan Prof. Dr. Wayan Jendra mengatakan, jika para guru tak paham pendidikan budi pekerti apa yang akan diajarkan kepada anak didik. Dikatakan, dalam mengajarkan pendidikan budi pekerti, ada beberapa metode yang bisa digunakan baik secara langsung maupun tak langsung. Misalnya lewat meditasi, sembahyang, bernyanyi, bercerita dan kerja sama. Sebelum memberikan pendidikan, anak-anak diajak duduk agak lama (meditasi), sehingga memiliki konsentrasi. Jangan baru datang sudah dijejali ilmu. Jauh lebih bagus, jika pikiran anak-anak sudah mulai tenang, sehingga mampu berkonsentrasi dengan baik, ujarnya.
Jika pada zaman dulu pendidikan budi pekerti diajarkan secara khusus, sekarang pendidikan itu bisa diintegrasikan dalam mata pelajaran lainnya. Misalnya dalam pelajaran matematika, untuk menyelipkan pendidikan budi pekerti, anak-anak SD disuruh menjawab pertanyaan sebagai berikut: Kakak membeli apel merah enam biji. Jika apel tersebut diberikan kepada adik tiga biji, berapa sisa apel kakak? Hitungan matematika seperti itu, menurut Jendra, akan mampu menumbuhkan rasa kasih sayang anak-anak kepada keluarga, terutama kepada sang kakak. Dengan cara seperti ini diharapkan pendidikan berjalan lebih hidup dan anak-anak sekaligus mendapatkan pendidikan budi pekerti, ujarnya.
Dalam pelajaran bernyanyi misalnya, pada diri anak-anak bisa ditanamkan nilai-nilai kemanusiaan, nilai pelestarian lingkungan dan meningkatkan rasa bakti kepada Tuhan. Ditegaskan, pendidikan budi pekerti bisa mempunyai daya tusuk yang tajam manakala gurunya dapat memberi panutan.
Etika dan moral menjadi suatu yang sangat penting dalam kehidupan. Betapa pintarnya seseorang, jika tanpa memiliki karakter, ia tidak ada apa-apanya. Karena itu, seseorang mesti disiplin, berbakti kepada Tuhan, memiliki dedikasi yang tinggi, daya beda dan bisa memilih mana yang baik dan mana yang buruk.
Berikut ini merupakan kisah dalam ajaran Islam mengenai nafsu manusia. Dalam sebuah kitab karangan 'Ustman bin Hasan bin Ahmad Asy-Syaakir Alkhaubawiyi, seorang ulama yang hidup dalam abad ke XIII Hijrah, menerangkan bahwa sesungguhnya Allah S.W.T telah menciptakan akal, maka Allah S.W.T telah berfirman yang bermaksud : "Wahai akal mengadaplah engkau." Maka akal pun mengadap kehadapan Allah S.W.T., kemudian Allah S.W.T berfirman yang bermaksud : "Wahai akal berbaliklah engkau!", lalu akal pun berbalik.
Kemudian Allah S.W.T. berfirman lagi yang bermaksud : "Wahai akal! Siapakah aku?". Lalu akal pun berkata, "Engkau adalah Tuhan yang menciptakan aku dan aku adalah hamba-Mu yang daif dan lemah."
Lalu Allah S.W.T berfirman yang bermaksud : "Wahai akal tidak Ku-ciptakan makhluk yang lebih mulia daripada engkau."
Setelah itu Allah S.W.T menciptakan nafsu, dan berfirman kepadanya yang bermaksud : "Wahai nafsu, mengadaplah kamu!". Nafsu tidak menjawab sebaliknya mendiamkan diri. Kemudian Allah S.W.T berfirman lagi yang bermaksud : "Siapakah engkau dan siapakah Aku?". Lalu nafsu berkata, "Aku adalah aku, dan Engkau adalah Engkau."
Setelah itu Allah S.W.T menyiksanya dengan neraka jahim selama 100 tahun, dan kemudian mengeluarkannya. Kemudian Allah S.W.T berfirman yang bermaksud : "Siapakah engkau dan siapakah Aku?". Lalu nafsu berkata, "Aku adalah aku dan Engkau adalah Engkau."
Lalu Allah S.W.T menyiksa nafsu itu dalam neraka Juu' selama 100 tahun. Setelah dikeluarkan maka Allah S.W.T berfirman yang bermaksud : "Siapakah engkau dan siapakah Aku?". Akhirnya nafsu mengakui dengan berkata, " Aku adalah hamba-Mu dan Kamu adalah tuhanku."
Dalam kitab tersebut juga diterangkan bahwa dengan sebab itulah maka Allah S.W.T mewajibkan puasa.
Dalam kisah ini dapatlah kita mengetahui bahwa nafsu itu adalah sangat jahat oleh itu hendaklah kita mengawal nafsu itu, jangan biarkan nafsu itu mengawal kita, sebab kalau dia yang mengawal kita maka kita akan menjadi musnah.

3.3.      Mata Pelajaran Kesehatan-Reproduksi (Kespro) Diujicobakan
Pada awal tahun pelajaran baru 2005--2006 di Bandar Lampung, mata pelajaran kesehatan reproduksi (kespro) dan seksual remaja telah diujicobakan di 11 sekolah menengah atas (SMA) dan sekolah menengah kejuruan (SMK) serta tiga pondok pesantren (ponpes).
Bidang studi kespro ini diberikan pada siswa kelas satu dan dua. Sementara itu, metode pengajaran dilakukan insersi (penyisipan) pada mata pelajaran lain seperti Biologi, Agama, atau Bimbingan Konseling (BK).
Menurut tim konselor Skala Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Lampung Dwi Hafsah Handayani, Senin (11-7), ke-11 sekolah tersebut SMA YP Unila, SMAN 4, MAN 1, SMKN 3, SMKN 4, SMKN 5, SMAN 8, SMAN 9, SMAN 10, SMA Persada, dan SMK Persada, serta tiga ponpes; MA Alhikmah, MA Hidayatul Islamiyah, dan MA Diniah Putri.
Pelajaran kespro ini disampaikan dengan penyisipan mata pelajaran lain sesuai dengan kondisi sekolah masing-masing. Mengenai materi pendidikan kespro lebih banyak mengacu mata pelajaran Biologi, Hafsah menilai karena lebih efektif kespro disisipkan pada mata pelajaran tersebut. Namun, tidak seluruh sekolah ada mata pelajaran Biologi, seperti SMK. Di sana, pendidikan kespro diberikan dalam pelajaran Agama. Dalam pendidikan kespro ini terdapat 19 bahasan yang perlu disampaikan pada siswa.
Sementara itu, media pengajaran dilakukan dengan modul, papan/plano, celemek bergambar organ reproduksi, dan audio visual berupa kaset atau film. Sedangkan kendala penyampaian materi kespro antara lain tenaga pengajar, modul, dan dana penunjang. Selain pendidikan kespro, pengetahuan mengenai HIV/AIDS dan penyalahgunaan narkotik juga termasuk di dalamnya.
Beberapa materi kespro yang dapat disisipkan dalam pelajaran Biologi antara lain perkembangan seksualitas remaja dan permasalahannya, lonceng faali, sistem saraf manusia, virus, dan penyakit menular seksual (PMS). Materi yang dapat disisipkan dalam BK antara lain hak-hak kesehatan reproduksi dan seksual, perilaku seksual remaja, PMS, penyalahgunaan narkoba, dan HIV/AIDS. Sedangkan materi yang dapat disisipkan pada mata pelajaran Agama antara lain kajian Alquran tentang proses penciptaan manusia, gangguan organ reproduksi, makanan halal dan bergizi, lonceng faali, dan pengertian dasar jenis-jenis narkoba.
Untuk menilai keberhasilan penyampaian pendidikan kespro ini, tim Skala PKBI bersama Dinas Pendidikan dan Perpustakaan (P & P) Kota Bandar Lampung melakukan monitoring berkala ke setiap sekolah yang melakukan uji coba. Selain itu, dalam jangka waktu tiga bulan sekali, dilakukan pertemuan antara kepala sekolah dan Perkumpulan Keluarga Besar Indonesia (PKBI).

IV.       PEMBAHASAN
4.1.      Review Hasil Penelitian (Studi Kasus di Makasar)
Pergaulan remaja usia SMA, betul-betul memprihatinkan dan sudah kehilangan kontrol. Betapa tidak, penelitian mahasiswa Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Istiana Tajuddin, khususnya anak gadis (siswi), pada umumnya sudah kehilangan budaya siri’.Mereka tak segan-segan melakukan perilaku seks di tempat umum (public space). Ironisnya, mereka pula yang memancing kaum lelaki untuk berlaku demikian.
Perilaku seks yang diteliti meliputi perilaku pegangan tangan, pelukan, ciuman dan bermesraan. Bermesraan di klasisfikasi Isti, adalah tingkatan lebih tinggi, yaitu masuk pada wilayah saling bercumbu.
Hasil tersebut diakumulasikan dari 260 siswi (responden) se Kota Makassar, pada empat SMA, yaitu SMaN 1 (55 siswi), SMAN 3 (100 siswi), SMAN 4 (50 siswi), dan SMAN 5 (60 siswi). Dari 260 siswi yang diambil sebagai sampel, melalui penyebaran quesioner, data yang memenuhi syarat untuk digunakan sebanyak 155 responden siswi, Hal itu disebabkan dalam riset ini mencari subyek yang pernah berpacaran.
Pengerjaan penelitian itu dilakukan hampir sebulan, dengan mencari siswi SMA kategori usia 15-18 tahun, yang bukan termasuk siswa di kelas unggulan. Jika kelas unggulan, diprediksi akan memberikan jawaban yang normatif, sehingga fakta yang dicari tidak akan terkuak.
Begitu pula bahan pertanyaan yang ada di quesioner, ada sekitar puluhan pertanyaan, namun tidak mencantumkan nama, agama dan asal keluarga. Yang diutamakan hanyalah suku. Pertimbangannya, suku Bugis-Makasar dikenal sangat menjunjung tinggi budaya siri’.
Jumlah siswi yang meminta untuk berpelukan 69, mengelus tangan 82 orang, dicium 38, bermesraan 39. Jumlah ini adalah kategori responden yang mau tanpa menolak. Sedangkan yang meminta, berpelukan 45, pegangan tangan 125, berciuman 5 orang.
Kalau dirata-ratakan, untuk kelas pegangan tangan, yaitu 12 persen menolak, 30 persen menerima terpaksa 19 persen menikmati, 39 persen meminta. Untuk kategori pelukan, yakni 22 persen menolak, 24 persen menerima terpaksa, 33 persen menikmati, dan 21 persen meminta.
Perilaku berciuman, ungkapnya lagi, 47 persen menolak, 13 persen menerima terpaksa, 20 persen menikmati, 20 persen meminta. Dan yang bermesraan dari 155 responden itu, 35 persen menolak, 17 persen menerima terpaksa, 32 persen menikmati, dan 16 persen meminta.
Kesimpulan dalam penelitian skripsi ini, menunjukkan peran orang tua dan budayawan dalam mengajarkan muda-mudi budaya siri’ sudah sangat jarang. “Tanpa penelitian data lapangan pun kita kerap melihat muda-mudi yang bermesuman di ruang-ruang publik.
Gaya Pacaran Remaja Makassar
Pegangan tangan
12 persen menolak
30 persen menerima terpaksa
19 persen menikmat
39 persen meminta

Pelukan
22 persen menolak
24 persen menerima terpaksa
33 persen menikmati
21 persen meminta

Ciuman
47 persen menolak
13 persen menerima terpaksa
20persen menikmati
20 persen meminta.

Bermesraan
35 persen menolak
17 persen menerima terpaksa
32 persen menikmati
16 persen meminta.

* Responden: 260 siswi di SMaN 1, 3, 4 dan 5
* Metode penelitian: Random Sampling


4.2.      Penjelasan Atas Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005
Dalam makalah ini PP RI No 19 Tahun 2005 digunakan sebagai landasan berpikir karena dalam ketentuan BAB I pasal 1 di atas dalam ayat 4 dinyatakan bahwa Standar kompetensi lulusan adalah kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan.
Pada hakekatnya pendidikan dalam konteks pembangunan nasional mempunyai fungsi: (1) pemersatu bangsa, (2) penyamaan kesempatan, dan (3) pengembangan potensi diri. Pendidikan diharapkan dapat memperkuat keutuhan bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), memberi kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam pembangunan, dan memungkinkan setiap warga negara untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya secara optimal.
Sementara itu, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional merupakan dasar hukum penyelenggaraan dan reformasi sistem pendidikan nasional. Undang-undang tersebut memuat visi, misi, fungsi, dan tujuan pendidikan nasional, serta strategi pembangunan pendidikan nasional, untuk mewujudkan pendidikan yang bermutu, relevan dengan kebutuhan masyarakat, dan berdaya saing dalam kehidupan global.
Visi pendidikan nasional adalah mewujudkan sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia agar berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. Misi pendidikan nasional adalah: (1) mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia; (2) meningkatkan mutu pendidikan yang memiliki daya saing di tingkat nasional, regional, dan internasional; (3) meningkatkan relevansi pendidikan dengan kebutuhan masyarakat dan tantangan global; (4) membantu dan memfasilitasi pengembangan potensi anak bangsa secara utuh sejak usia dini sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar; (5) meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas proses pendidikan untuk mengoptimalkan pembentukan kepribadian yang bermoral; (6) meningkatkan keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, sikap, dan nilai berdasarkan standar yang bersifat nasional dan global; dan (7) mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan berdasarkan prinsip otonomi dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Terkait dengan visi dan misi pendidikan nasional tersebut di atas, reformasi pendidikan meliputi hal-hal berikut:
Pertama; penyelenggaraan pendidikan dinyatakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat, di mana dalam proses tersebut harus ada pendidik yang memberikan keteladanan dan mampu membangun kemauan, serta mengembangkan potensi dan kreativitas peserta didik. Prinsip tersebut menyebabkan adanya pergeseran paradigma proses pendidikan, dari paradigma pengajaran ke paradigma pembelajaran. Paradigma pengajaran yang lebih menitikberatkan peran pendidik dalam mentransformasikan pengetahuan kepada peserta didiknya bergeser pada paradigma pembelajaran yang memberikan peran lebih banyak kepada peserta didik untuk mengembangkan potensi dan kreativitas dirinya dalam rangka membentuk manusia yang memiliki kekuatan spiritual keagamaan, berakhlak mulia, berkepribadian, memiliki kecerdasan, memiliki estetika, sehat jasmani dan rohani, serta keterampilan yang dibutuhkan bagi dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Kedua; adanya perubahan pandangan tentang peran manusia dari paradigma manusia sebagai sumberdaya pembangunan, menjadi paradigma manusia sebagai subjek pembangunan secara utuh. Pendidikan harus mampu membentuk manusia seutuhnya yang digambarkan sebagai manusia yang memiliki karakteristik personal yang memahami dinamika psikososial dan lingkungan kulturalnya. Proses pendidikan harus mencakup: (1) penumbuhkembangan keimanan, ketakwaan,; (2) pengembangan wawasan kebangsaan, kenegaraan, demokrasi, dan kepribadian; (3) penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi; (4) pengembangan, penghayatan, apresiasi, dan ekspresi seni; serta (5) pembentukan manusia yang sehat jasmani dan rohani. Proses pembentukan manusia diatas pada hakekatnya merupakan proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat.
Ketiga; Adanya pandangan terhadap keberadaan peserta didik yang terintegrasi dengan lingkungan sosial-kulturalnya dan pada gilirannya akan menumbuhkan individu sebagai pribadi dan anggota masyarakat mandiri yang berbudaya. Hal ini sejalan dengan proses pentahapan aktualisasi intelektual, emosional dan spiritual peserta didik di dalam memahami sesuatu, mulai dari tahapan paling sederhana dan bersifat eksternal, sampai tahapan yang paling rumit dan bersifat internal, yang berkenaan dengan pemahaman dirinya dan lingkungan kulturalnya.
Keempat; Dalam rangka mewujudkan visi dan menjalankan misi pendidikan nasional, diperlukan suatu acuan dasar (benchmark) oleh setiap penyelenggara dan satuan pendidikan, yang antara lain meliputi kriteria dan kriteria minimal berbagai aspek yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan. Dalam kaitan ini, criteria dan kriteria penyelenggaraan pendidikan dijadikan pedoman untuk mewujudkan: (1) pendidikan yang berisi muatan yang seimbang dan holistik; (2) proses pembelajaran yang demokratis, mendidik, memotivasi, mendorong kreativitas, dan dialogis; (3) hasil pendidikan yang bermutu dan terukur; (4) berkembangnya profesionalisme pendidik dan tenaga kependidikan; (5) tersedianya sarana dan prasarana belajar yang memungkinkan berkembangnya potensi peserta didik secara optimal; (6) berkembangnya pengelolaan pendidikan yang memberdayakan satuan pendidikan; dan (7) terlaksananya evaluasi, akreditasi dan sertifikasi yang berorientasi pada peningkatan mutu pendidikan secara berkelanjutan.
Acuan dasar tersebut di atas merupakan standar nasional pendidikan yang dimaksudkan untuk memacu pengelola, penyelenggara, dan satuan pendidikan agar dapat meningkatkan kinerjanya dalam memberikan layanan pendidikan yang bermutu. Selain itu, standar nasional pendidikan juga dimaksudkan sebagai perangkat untuk mendorong terwujudnya transparansi dan akuntabilitas publik dalam penyelenggaraan sistem pendidikan nasional.
Standar nasional pendidikan memuat kriteria minimal tentang komponen pendidikan yang memungkinkan setiap jenjang dan jalur pendidikan untuk mengembangkan pendidikan secara optimal sesuai dengan karakteristik dan kekhasan programnya. Standar nasional pendidikan tinggi diatur seminimal mungkin untuk memberikan keleluasaan kepada masing-masing satuan pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi dalam mengembangkan mutu layanan pendidikannya sesuai dengan program studi dan keahlian dalam kerangka otonomi perguruan tinggi. Demikian juga standar nasional pendidikan untuk jalur pendidikan nonformal hanya mengatur hal-hal pokok dengan maksud memberikan keleluasaan kepada masing-masing satuan pendidikan pada jalur pendidikan nonformal yang memiliki karakteristik tidak terstruktur untuk mengembangkan programnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Penyelenggaraan pendidikan jalur informal yang sepenuhnya menjadi kewenangan keluarga dan masyarakat didorong dan diberikan keleluasaan dalam mengembangkan program pendidikannya sesuai dengan kebutuhan keluarga dan masyarakat. Oleh karena itu, standar nasional pendidikan pada jalur pendidikan informal hanya mengatur hal-hal yang berkaitan dengan pengakuan kompetensi peserta didik saja.
Modal intelektual merupakan modal intangible, yang tidak dapat diraba, seperti gedung atau pabrik, tetapi "hidup" dalam manusia, struktur, proses, budaya, atau stakeholder organisasi.
Modal sosial terdiri atas manusia, struktural, dan pelanggan. Modal manusia terkait dengan kompetensi, integritas, kepemimpinan, kewirausahaan, dan pengetahuan personel organisasi. Modal struktural merupakan kemampuan organisasi dalam merespons aneka masalah melalui teknologi, metodologi, pengetahuan eksplisit, dan proses yang dimiliki. Modal pelanggan berupa relasi, umpan balik, dan pengetahuan pelanggan.
Dalam konteks negara, modal manusia menyangkut tingkat pendidikan, etos, integritas, kewirausahaan, dan pengetahuan masyarakat suatu negara. Sedangkan modal struktural menyangkut ideologi, budaya, dan sistem yang dijalankan masyarakat dan pemerintah, yang memampukan menjawab aneka tantangan dan perubahan. Terakhir, modal pelanggan mencakup kemampuan negara dalam melayani warga, dan keterbukaan negara dalam memproses umpan balik dari rakyat atau pihak lain.

1.         Pendidikan
Menyorot kondisi Indonesia melalui modal intelektual, terlihat pemandangan menyedihkan. Dari laporan Human Development Index (UNDP, 2006), posisi Indonesia masih di bawah Filipina, Malaysia, dan Thailand. Rendahnya mutu modal manusia Indonesia terutama disebabkan sistem pendidikan Indonesia yang miskin visi dan lemah konsep. Selama puluhan tahun, para penentu kebijakan pendidikan negeri ini masih mencari arah dan visi pendidikan.

2.         Modal struktural
Sebagai salah satu modal struktural, sistem birokrasi gagal direformasi, bahkan menjadi penghambat utama reformasi bidang lain. Birokrasi masih lebih terasa sebagai beban bagi masyarakat dalam menjalankan kehidupannya. Birokrasi masih diduduki pejabat penguasa, bukan pelayan masyarakat. Kultur birokrasi demikian adalah lahan subur tumbuhnya korupsi.
Modal struktural lainnya—sistem politik—juga gagal berfungsi sebagai leader machine. Hingga kini, pemimpin yang ditawarkan berbagai partai politik masih berupa daur ulang tokoh lama.
Indonesia yang bertengger dalam jajaran pembajak terbesar di dunia menunjukkan perlindungan atas modal intelektual yang belum serius. Akibatnya, negeri ini bukan tempat yang ramah bagi lahir dan berkembangnya orang kreatif dan penemu. Lebih menyedihkan lagi, kekayaan tradisional kita juga luput dari perlindungan hukum.
Modal struktural lain yang sudah luntur adalah sistem nilai. Para pemimpin tidak merevitalisasi nilai-nilai warisan founding fathers. Nilai-nilai Pancasila, gotong royong, dan kejuangan hanya disinggung. Mereka kurang percaya diri membicarakan, mungkin karena sudah gagal menjadi model dalam penerapan.
Bagaimana dengan modal pelanggan negara? Birokrasi adalah alat utama negara dalam melayani masyarakat sebagai pelanggan. Masalahnya, terminologi pelanggan dan pelayanan belum dikenal dalam sistem birokrasi Indonesia. Posisi rakyat dalam sistem birokrasi kita adalah pemohon, bukan pihak yang berhak mendapat pelayanan terbaik. Ini mengakibatkan kualitas layan publik mengecewakan.
Kondisi modal intelektual yang begitu memprihatinkan membuat bangsa ini kehilangan efektivitas dalam mengelola berbagai kekayaan. Karena yang dapat mengonversi aneka kekayaan menjadi kemakmuran adalah modal intelektual. Semakin rendah modal intelektual, semakin rendah kemampuan suatu bangsa mengelola kekayaannya. Akibatnya, kian kecil pula nilai tambah yang diperoleh. Bahkan pengelolaan berbagai kekayaan dengan semangat eksploitatif yang miskin modal intelektual sering menimbulkan bencana. Belum lagi menghadapi persoalan degradasi moral generasi muda seperti yang telah diuraikan di atas.
Komponen modal intelektual mana yang lebih dulu dibenahi? Modal manusia mungkin merupakan jawaban yang kita sepakati sebagai titik awal untuk membenahi benang kusut ini. Karena komponen inilah yang paling efektif memperbaiki jenis modal intelektual lainnya. Untuk itu, pembenahan sistem pendidikan tidak perlu diwacanakan lagi.

4.3.      Upaya Pencegahan Terhadap Perilaku Sex Bebas
1.         Pendidikan Agama Sebagai Pendidikan Budi Pekerti Yang Utama
Pada suatu senja yang lenggang, terlihat seorang wanita berjalan  terhuyung-huyung. Pakaiannya yang serba hitam menandakan bahwa ia  berada dalam dukacita yang mencekam. Kerudungnya menangkup rapat hampir seluruh wajahnya. Tanpa hias muka atau perhiasan menempel di tubuhnya. Kulit yang bersih, badan yang ramping dan roman mukanya yang ayu, tidak dapat menghapus kesan kepedihan yang tengah meruyak hidupnya. Ia melangkah terseret-seret mendekati kediaman rumah Nabi Musa a.s. Diketuknya pintu pelan- pelan sambil mengucapkan uluk salam. Maka terdengarlah ucapan dari dalam "Silakan masuk".
Perempuan cantik itu lalu berjalan masuk sambil kepalanya terus merunduk.  Air matanya berderai tatkala ia Berkata, "Wahai Nabi Allah. Tolonglah saya.  Doakan saya agar Tuhan berkenan mengampuni dosa keji saya."
"Apakah dosamu wahai wanita ayu?" tanya Nabi Musa a.s. terkejut.
"Saya takut mengatakannya."jawab wanita cantik. "Katakanlah jangan ragu-ragu!" desak Nabi Musa.
Maka perempuan itupun terpatah bercerita, "Saya... telah berzina.
"Kepala Nabi Musa terangkat,hatinya tersentak. Perempuan itu meneruskan,
"Dari perzinaan itu saya pun...lantas hamil. Setelah anak itu lahir,langsung saya... cekik lehernya sampai... tewas," ucap wanita itu seraya menangis sejadi-jadinya.
Nabi Musa berapi-api matanya. Dengan muka berang ia mengherdik, "Perempuan bejad, enyah kamu dari sini! Agar siksa Allah tidak jatuh ke dalam rumahku karena perbuatanmu. Pergi!"... teriak Nabi Musa sambil memalingkan mata karena jijik.
Perempuan berwajah ayu dengan hati bagaikan kaca membentur batu, hancur luluh segera bangkit dan melangkah surut. Dia terantuk-antuk keluar dari dalam rumah Nabi Musa. Ratap tangisnya amat memilukan.Ia tak tahu harus kemana lagi hendak mengadu. Bahkan ia tak tahu mau dibawa kemana lagi kaki-kakinya. Bila seorang Nabi saja sudah menolaknya, bagaimana pula manusia lain bakal menerimanya? Terbayang olehnya betapa besar dosanya, betapa jahat perbuatannya. Ia tidak tahu bahwa sepeninggalnya, Malaikat Jibril turun mendatangi Nabi Musa.
Sang Ruhul Amin Jibril lalu bertanya, "Mengapa engkau menolak seorang wanita yang hendak bertaubat dari dosanya? Tidakkah engkau tahu dosa yang lebih besar daripadanya?" Nabi Musa terperanjat. "Dosa apakah yang lebih besar dari kekejian wanita pezina dan pembunuh itu?" Maka Nabi Musa dengan penuh rasa ingin tahu bertanya kepada Jibril. "Betulkah ada dosa yang lebih besar daripada perempuan yang nista itu?"
"Ada!" jawab Jibril dengan tegas. "Dosa apakah itu?" tanya Musa kian penasaran."Orang yang meninggalkan sholat dengan sengaja dan tanpa menyesal. Orang itu dosanya lebih besar dari pada seribu kali berzina"
Mendengar penjelasan ini Nabi Musa kemudian memanggil wanita tadi untuk menghadap kembali kepadanya. Ia mengangkat tangan dengan khusuk untuk memohonkan ampunan kepada Allah untuk perempuan tersebut. Nabi Musa menyedari, orang yang meninggalkan sembahyang dengan sengaja dan tanpa penyesalan adalah sama saja seperti berpendapat bahwa sembahyang itu tidak wajib dan tidak perlu atas dirinya. Berarti ia seakan-akan menganggap remeh perintah Tuhan, bahkan seolah-olah menganggap Tuhan tidak punya hak untuk mengatur dan memerintah hamba-Nya.
Sedang orang yang bertobat dan menyesali dosanya dengan sungguh-sungguh berarti masih mempunyai iman di dadanya dan yakin bahwa Allah itu berada di jalan ketaatan kepada-Nya. Itulah sebabnya Tuhan pasti mau menerima kedatangannya. (Dikutip dari buku 30 kisah teladan - KH Abdurrahman Arroisy)
Dalam hadis Nabi SAW disebutkan : Orang yang meninggalkan sholat lebih besar dosanya dibanding dengan orang yang membakar 70 buah Al-Qur'an, membunuh 70 nabi dan bersetubuh dengan ibunya di dalam Ka'bah. Dalam hadis yang lain disebutkan bahwa orang yang meninggalkan sholat sehingga terlewat waktu, kemudian ia mengqadanya, maka ia akan disiksa dalam neraka selama satu huqub. Satu huqub adalah delapan puluh tahun. Satu tahun terdiri dari 360 hari, sedangkan satu hari diakherat perbandingannya adalah seribu tahun di dunia.
Demikianlah kisah Nabi Musa dan wanita penzina dan dua hadis Nabi, mudah-mudahan menjadi pelajaran bagi kita dan timbul niat untuk melaksanakan kewajiban sholat dengan istiqomah.
Ada seorang lelaki yang merayu-rayu seorang wanita agar mau melakukan zina dengannya. Segala jurus tipu daya ia lakukan untuk meruntuhkan keteguhan iman sang wanita. Memang, lelaki itu ganteng sekali, ditambah lagi ia sangat kaya dikampungnya. Tentu saja tidak sedikit wanita yang menaruh hati padanya. Bagaimana dengan wanita yang dirayunya itu ?
Wanita tersebut sebetulnya sudah bersuami. Ia adalah seorang istri yang taat kepada suaminya. Suaminya sendiri adalah seorang yang taat pula. Perihal rayuan lelaki itu ia adukan kepada suaminya.
"Wahai suamiku, lelaki kaya yang tinggal disebelah sana itu seringkali menggoda aku. Ia tinggal masih sekampung dengan kita. Tiap kali ia berpapasan denganku, atau kebetulan saja bertemu dengannya, pasti saja ia merayu-rayu aku agar mau berbuat zina dengannya. Ia terus-menerus melakukan hal itu padaku. Apa yang harus aku perbuat, suamiku ?" Sang suami menanggapi istrinya dengan tenang-tenang saja. " Katakan kepada laki-laki itu bahwa engkau akan mau menuruti godaannya, yaitu berzina dengannya. Cuma, dia mesti memenuhi satu persyaratan dahulu".
Dengan patuh istrinya kemudian mendengarkan terus apa yang dikatakan oleh suami tercintanya. Setelah itu pergilah ia menemui laki-laki yang sering mengganggunya itu.
Begitu mengetahui si wanita yang selalu diincarnya datang mencarinya, bukan main gembira perasaannya. Hatinya berbunga-bunga. Akhirnya kesampaian juga apa yang menjadi keinginannya selama ini kepada wanita cantik itu. Dengan penuh ketidaksabaran ia menantikan apa yang akan dikatakan sang wanita.
"Aku akan mau berbuat zina denganmu sebagaimana yang selalu engkau katakan kepadaku dalam rayuan-rayuanmu selama ini !" Mendengar kesediaan wanita itu, lelaki tersebut langsung berseri-seri wajahnya. Pikirnya, apapun yang dikehendaki wanita ini akan ia penuhi asalkan ia mau berzina bersamanya. Sungguh ia tak dapat menahan keinginannya melihat kecantikan dan keelokan tubuh wanita tersebut yang indah.
"Apapun akan kupenuhi demi kamu. Seandainya engkau punya permintaan, katakan. Apakah kamu butuh uang atau apa saja. Pendeknya, aku akan memenuhi apa saja yang engkau inginkan dariku ".
" Baiklah, Aku tak meminta uang atau materi apa pun. Permintaanku sederhana dan mudah saja." Dengan rasa tak sabar yang terbaca dari air mukanya, laki-laki-laki itu terus mendesak siwanita agar ia mengutarakan persyaratan yang ia kehendaki.
" Ayo, katakan apa saja, aku pasti akan memenuhinya".
" Sebelum kita sama-sama melakukan perbuatan itu, aku minta agar kamu mau melakukan sholat berjamaah bersama suamiku. Tidak banyak, hanya empat puluh subuh saja secara terus menerus. Tidak boleh terputus." Mengetahui cuma itu permintaan siwanita, maka dengan bersemangat si laki-laki tersebut menyatakan kesangggupannya.
Demikianlah kisahnya. Mulai sejak ia berjanji, maka sholat subuhlah ia sebagaimana permintaan itu. Hingga pada sholat subuh yang keempat puluh berlangsung, yakni setelah janji itu terpenuhi, maka si wanita telah bersiap-siap untuk memenuhi janjinya. Rupanya, si laki-laki-laki telah bertekun karena keinginan hatinya, demikian pikir si wanita.
Pergilah si wanita menemui laki-laki tersebut. Begitu mereka bertemu, apa yang terjadi ? Ternyata kejadian menjadi terbalik. Si wanita mencoba merayu-rayu si laki-laki itu untuk memenuhi keinginannya. Namun apa jawab laki-laki itu ?
"Aku kini sudah bertaubat kepada Allah SWT, wahai perempuan ! Aku tidak mau lagi melakukan perbuatan terkutuk seperti itu !" Mendengar cerita sang istri, perihal jawaban si laki-laki yang tempo hari menggodanya, sang suami wanita itu memanjatkan doa` kepada Allah SWT . "Maha Benar Allah SWT ! Firman-Nya adalah benar. Bahwa sholat dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar." ( Diceritakan oleh Imam Naisaburi r.a )
Dari dua kisah di atas hal yang dapat dijadikan pelajaran adalah pentingnya pondasi beragama bagi setiap manusia. Dengan taat beragama maka manusia akan menjauhi perbuatan-perbuatan keji dan munkar. Adanya kekhawatiran akan kerusakan akhlak para generasi muda mungkin tidak terlalu berlebihan jika para generasi muda mempunyai ketaatan dalam beragama. Tumbuhnya ketaatan beragama ini dimulai dari seseorang masih baru dilahirkan sampai dengan dia meninggal. Faktor kondisi rumah tangga sangat memegang peran penting dalam membangun ketaatan keluarga. Kondisi yang dimaksud disini adalah seberapa sering ayah sebagai kepala rumah tangga memberikan pembinaan rohani, seberapa sering kepala rumah tangga mengontrol keluarga dalam beribadah, seberapa banyak pengetahuan rohani yang telah disampaikan, dan seterusnya.
Seringkali kita dengar orang-orang yang membangun karir bertahun-tahun akhirnya terpuruk oleh kelakuan keluarganya. Ada yang dimuliakan di kantornya tapi dilumuri aib oleh anak-anaknya sendiri, ada yang cemerlang karirnya di perusahaan tapi akhirnya pudar oleh perilaku istrinya dan anaknya. Ada juga yang populer di kalangan masyarakat tetapi tidak populer di hadapan keluarganya. Ada yang disegani dan dihormati di lingkungannya tapi oleh anak istrinya sendiri malah dicaci, sehingga kita butuh sekali keseriusan untuk menata strategi yang tepat, guna meraih kesuksesan yang benar-benar hakiki. Jangan sampai kesuksesan kita semu. Merasa sukses padahal gagal, merasa mulia padahal hina, merasa terpuji padahal buruk, merasa cerdas padahal bodoh, ini tertipu!
Penyebab kegagalan seseorang diantaranya :
* Karena dia tidak pernah punya waktu yang memadai untuk mengoreksi dirinya. Sebagian orang terlalu sibuk dengan kantor, urusan luar dari dirinya akibatnya dia kehilangan fondasi yang kokoh. Karena orang tidak bersungguh-sungguh menjadikan keluarga sebagai basis yang penting untuk kesuksesan.
* Sebagian orang hanya mengurus keluarga dengan sisa waktu, sisa pikiran, sisa tenaga, sisa perhatian, sisa perasaan, akibatnya seperti bom waktu. Walaupun uang banyak tetapi miskin hatinya. Walaupun kedudukan tinggi tapi rendah keadaan keluarganya.
Oleh karena itulah, jikalau kita ingin sukses, mutlak bagi kita untuk sangat serius membangun keluarga sebagai basis (base), Kita harus jadikan keluarga kita menjadi basis ketentraman jiwa. Bapak pulang kantor begitu lelahnya harus rindu rumahnya menjadi oase ketenangan. Anak pulang dari sekolah harus merindukan suasana aman di rumah. Istri demikian juga. Jadikan rumah kita menjadi oase ketenangan, ketentraman, kenyamanan sehingga bapak, ibu dan anak sama-sama senang dan betah tinggal dirumah.
Agar rumah kita menjadi sumber ketenangan, maka perlu diupayakan:
# Jadikan rumah kita sebagai rumah yang selalu dekat dengan Allah SWT, dimana di dalamnya penuh dengan aktivitas ibadah; sholat, tilawah qur'an dan terus menerus digunakan untuk memuliakan agama Allah, dengan kekuatan iman, ibadah dan amal sholeh yang baik, maka rumah tersebut dijamin akan menjadi sumber ketenangan.
# Seisi rumah Bapak, Ibu dan anak harus punya kesepakatan untuk mengelola perilakunya, sehingga bisa menahan diri agar anggota keluarga lainnya merasa aman dan tidak terancam tinggal di dalam rumah itu, harus ada kesepakatan diantara anggota keluarga bagaimana rumah itu tidak sampai menjadi sebuah neraka.
# Rumah kita harus menjadi "Rumah Ilmu" Bapak, Ibu dan anak setelah keluar rumah, lalu pulang membawa ilmu dan pengalaman dari luar, masuk kerumah berdiskusi dalam forum keluarga; saling bertukar pengalaman, saling memberi ilmu, saling melengkapi sehingga menjadi sinergi ilmu. Ketika keluar lagi dari rumah terjadi peningkatan kelimuan, wawasan dan cara berpikir akibat masukan yang dikumpulkan dari luar oleh semua anggota keluarga, di dalam rumah diolah, keluar rumah jadi makin lengkap.
# Rumah harus menjadi "Rumah pembersih diri" karena tidak ada orang yang paling aman mengoreksi diri kita tanpa resiko kecuali anggota keluarga kita. Kalau kita dikoreksi di luar resikonya terpermalukan, aib tersebarkan tapi kalau dikoreksi oleh istri, anak dan suami mereka masih bertalian darah, mereka akan menjadi pakaian satu sama lain. Oleh karena itu,barangsiapa yang ingin terus menjadi orang yang berkualitas, rumah harus kita sepakati menjadi rumah yang saling membersihkan seluruh anggota keluarga. Keluar banyak kesalahan dan kekurangan, masuk kerumah saling mengoreksi satu sama lain sehingga keluar dari rumah, kita bisa mengetahui kekurangan kita tanpa harus terluka dan tercoreng
karena keluarga yang mengoreksinya.
# Rumah kita harus menjadi sentra kaderisasi sehingga Bapak-Ibu mencari nafkah, ilmu, pengalaman wawasan untuk memberikan yang terbaik kepada anak-anak kita sehingga kualitas anak atau orang lain yang berada dirumah kita, baik anak kandung, anak pungut atau orang yang bantu-bantu di rumah, siapa saja akan meningkatkan kualitasnya. Ketika kita mati, maka kita telah melahirkan generasi yang lebih baik.
Tenaga, waktu dan pikiran kita pompa untuk melahirkan generasi-generasi yang lebih bermutu, kelak lahirlah kader-kader pemimpin yang lebih baik. Inilah sebuah rumah tangga yang tanggung jawabnya tidak hanya pada rumah tangganya tapi pada generasi sesudahnya serta bagi lingkungannya.

2.         Soft Skills dan Pendidikan Kesehatan dan Reproduksi Dalam Kurikulum Pendidikan
a.         Soft Skill Trainee
Handrawan Nadesul (2007), seorang dokter dan penulis buku menyatakan bahwa untuk menjadi kaya, semua orang bisa instan melakoni. Namun, tidak siapa saja siap menjadi orang susah. Orang miskin baru kian banyak. Penganggur baru menambah bengkak angka kemiskinan. Bisa jadi, itu sebabnya, selain angka bunuh diri tinggi, tiga dari sepuluh orang Indonesia tercatat terganggu jiwanya.
Tidak siap hidup susah berisiko sakit jiwa. Ada cara sederhana menekan risiko sakit jiwa. Sejak kecil anak dibuat tahan banting. Ketahanan jiwa anak harus dibangun. Untuk itu, jiwa butuh "imunisasi".

1)         Menerima kenyataan
Sejak kecil anak diajar lebih membumi. Yang gagal kaya rela menerima kenyataan. Yang belum pernah hidup susah diajar prihatin sedari kecil. Kendati kecukupan, tidak semua yang anak minta perlu diberi. Anak dilatih merasakan kegagalan.
Tugas orangtua dan guru mengajak anak berempati pada kesusahan orang lain. Hidup tak luput dari berbagai stresor. Tak semua stresor jelek. Supaya jiwa tahan banting, stresor dibutuhkan. Anak perlu mengalami seperti apa tekanan hidup, konflik, kegagalan, rasa kecewa, dan krisis dalam hidup. Seperti vaksin, biasakan anak memikul aneka stresor yang bikin jiwanya kebal seandainya kelak hidupnya susah.
Tanpa dilatih hidup susah, anak yang terbiasa hidup berkecukupan tak tahan banting. Lebih banyak orang sukses lahir bukan dari keluarga kecukupan. Hidup prihatin membuat jiwa tegar bertahan melawan kesusahan. Hidup susah membangun mimpi ingin lepas dari rasa kapok menjadi orang susah. Demi mengubah mimpi jadi kenyataan, spirit kerja keras pun dipecut.
Einstein percaya, untuk sukses diperlukan lima persen otak, selebihnya keringat (perspirasi). Spirit kerja keras menjadi milik orang yang tak pernah puas pada prestasi yang diraih. Seperti bangsa Troya dulu, pembangunan Jepang dan Korea lebih pesat ketimbang bangsa sepantar karena memiliki "virus" n-Ach (need-for-Achievement) yang tinggi.
"Virus" n-Ach bisa ditularkan kepada anak lewat asuhan dan pendidikan. Bacaan memuat nilai kehidupan, termasuk mendongeng, pendidikan berdisiplin, dan keteladanan orang lebih tua. Itu modul-modul kehidupan agar anak tahu juga hidup susah.

2)         Jiwa getas
Kebiasaan meloloh anak dengan kelimpahruahan tidak melatih anak merasakan gagal, kecewa, rasa ditekan, rasa konflik, atau rasa krisis. Tanpa tempaan stresor, jiwa getas. Jika jiwa getas, orang rentan stres. Bila tak terlatih hidup berdamai dengan stres, hidup berisiko gagal andai harus jatuh miskin.
Tak ada sekolah yang mengajarkan menjadi orang miskin. Tak pula ada kursus memampukan anak terbiasa hidup berdamai dengan stres. Yang bisa kita lakukan adalah mengasuh dan mendidik anak tahan banting. Mandat itu harus ada di pundak setiap orangtua.
Tidak semua anak kecukupan pernah mengalami stresor. Dalam pendidikan modern, anak sengaja dihadapkan pada stresor buatan. Ada pelatihan diam-diam, dalam suasana berkemah atau outbound diciptakan situasi krisis. Mobil sengaja dibuat mogok di tengah hutan pada malam hari, atau kehabisan makanan selagi camping.
Dihadang stressor buatan, anak dilatih bagaimana bereaksi, beradaptasi, agar mampu lolos dari rasa panik, rasa takut, rasa tidak enak berada dalam situasi darurat. Ini bagian dari upaya membuat kebal jiwa anak. Bila jiwa tak tahan banting, sontekan stres kecil mungkin diatasi dengan bunuh diri. Kini semakin banyak kasus bunuh diri hanya karena alasan enteng. Gara-gara ditinggal pacar, tidak naik kelas, sebab jiwa tak terlatih memikulnya. Maka jiwa perlu digembleng.

3)         Kerja keras
Menggembleng berarti menunjukkan rasa arah hidup prihatin, selain berdisiplin. Hidup berdisiplin berarti menjunjung tinggi kebenaran, memikul tanggung jawab, kerja keras, serta mampu menunda kepuasan.
Menunda kepuasan bentuk keunggulan sebuah bangsa. Bangsa unggul memiliki "virus" n-Ach tinggi. Anak yang diasuh dan dididik dengan nilai-nilai "virus" n-Ach, menyimpan bekal sukses. Itu kelihatan, misalnya, dari cara makan. Anak dengan n-Ach tinggi menyisihkan yang enak dimakan belakangan, yang tidak enak dimakan dulu. Tugas berat dikerjakan dulu, yang enteng belakangan. Bersakit-sakit dulu bersenang-senang kemudian menjadi kredo bangsa yang sukses.
Agar tahu hidup susah, anak diajak memahami bahasa hidup bukan uang semata. Tak semua semerbak kehidupan bisa dipetik dengan uang. Kebahagiaan tertinggi hanya terpetik setelah orang mampu merasa bersyukur meski cuma menjadi orang biasa (mengutip Gede Prama).
Sukses hidup sejati tak mungkin terpetik instan. Jiwa potong kompas, ingin lekas kaya, tumbuh dari budaya instan. Bukan rasa arah yang benar saja yang perlu ditanamkan saat membesarkan anak, tetapi harus benar pula menempuhnya di mata Tuhan.
Anak disiapkan menjadi insan linuwih (terinternalisasi penuh super- egonya) dengan cara mengempiskan egonya sekecil mungkin. Rekayasa sosial (social engineering) diperlukan dengan menyuntikkan "vaksin" hidup prihatin. Perlu pula penyubur super-ego agar kendati hidup susah, masih merasa bahagia.
Hanya bila bibit linuwih dipupuk sejak kecil, sekiranya hidup susah tak tergoda memilih serong. Kendati tak banyak harta, uang, atau kuasa, ke arah mana pun hidup memandang, merasa tetap "kaya". Mampu legawa, bersyukur, dan merasa berbahagia sudah pula meraih Oscar kehidupan, kendati mungkin hanya menjadi orang biasa.

b.         Pendidikan Kesehatan dan Reproduksi
Pelayanan Kesehatan Reproduksi Esensial (PKRE), merupakan salah satu kebijakan nasional kesehatan reproduksi di Indonesia yang memprioritaskan empat komponen dalam pelayanan kesehatan reproduksi, yaitu meliputi : Kesehatan Ibu dan bayi baru lahir, Keluarga Berencana, Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR), dan Penyakit Menular Seksual (PMS) termasuk HIV/AIDS (Dep. Kes. R.I., 2002).
Lentera Sahaja PKBI Yogyakarta adalah sebuah proyek yang berada di bawah naungan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia, yang peduli terhadap permasalahan kesehatan reproduksi remaja.  Proyek ini bergerak dalam hal perlindungan dan pencegahan HIV/AIDS, PMS (Penyakit Menular Seksual) untuk remaja dan kelompok marginal.  Sasaran dari proyek ini adalah remaja berusia 10 – 24 tahun, yang rentan karena perilaku seksual beresiko, rendahnya akses terhadap layanan dan informasi kesehatan reproduksi / seksual, termarginalisasi (terpinggirkan ) karena status gender/orientasi seksnya dan status sosial ekonomi.  Banyak kegiatan yang dijalankan misalnya konseling, program siaran interaktif di radio, penulisan rubrik di media massa, pendampingan / outreach untuk anak sekolah maupun remaja jalanan serta kelompok marginal yang lain.  Tentu semua ini dilakukan dengan berpayung pada nilai-nilai non diskriminatif, adil gender, demokratis, setara dan juga partisipatif.
Masalah kesehatan reproduksi memang merupakan sebuah masalah yang pelik bagi remaja, karena masa remaja merupakan masa di mana manusia mengalami perkembangan yang pesat baik fisik, psikis maupun sosial.  Di mana perubahan ini juga akan berdampak pada perilaku remaja tersebut.  Perkembangan fisik ditandai dengan semakin matang dan mulai berfungsinya  organ – organ tubuh termasuk organ reproduksinya.  Perubahan psikis yang dialami pada masa pubertas tersebut adalah lebih perhatian terhadap diri sendiri, lebih perhatian dan juga ingin diperhatikan oleh lawan jenisnya, dengan menjaga penampilanya.  Termasuk dalam perubahan secara psikis ini adalah inginnya si remaja manjadi mandiri tanpa harus diatur – atur lagi oleh orang tua.  Sedangkan perubahan social yang dialaminya adalah bahwa remaja pada fase ini akan lebih dekat dengan teman sebayanya dibandingkan dengan orang tuanya sendiri. Hal ini tentu banyak sekali akibatnya, salah satunya adalah sumber informasi, karena remaja cenderung lebih dekat dengan teman sebayanya maka kemungkinan iapun akan lebih percaya pada informasi yang berasal dari teman – temannya, termasuk informasi tentang seksualitas.  Padahal informasi seperti itu belum tentu dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Inilah yang akhirnya memunculkan mitos-mitos di seputar seksualitas, sebuah informasi yang belum pasti kebenarannya, namun sudah terlanjur dipercaya oleh remaja. Mitos yang paling ngetren di kalangan remaja adalah hubungan seks ( HUS ) sekali tidak bakalan menyebabkan kehamilan. Atau HUS adalah tanda cinta dan sayang khususnya di hari-hari spesial seperti ‘hari jadian’, ultah ataupun valentine day. Salah satu cara menyikapi mitos-mitos tersebut adalah dengan memberikan informasi tentang kesehatan reproduksi dengan tepat dan benar, dan hal ini tercakup dalam pendidikan kesehatan reproduksi / seksualitas. Pendidikan seksualitas bukan sekedar memberi informasi yang lengkap mengenai seksualitas, misalnya dari sudut pandang bilogis yaitu tentang organ reproduksi  tetapi juga mengajarkan ketrampilan untuk memilih dan mengkomunikasikan pilihannya, serta mengajarkan laki-laki untuk lebih menghormati perempuan dengan demikian pendidikan seksualitas justru melindungi remaja dari resiko hubungan seks yang tidak terlindungi. Mengingat rasa ingin tahu remaja yang besar maka memaparkan fakta dan strategi pengambilan keputusan merupakan sesuatu yang sangat penting dalam pendidikan seksualitas. Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi agar pendidikan seks yang diberikan sesuai dengan kebutuhan remaja, serta tidak menyimpang dari prinsip pendidikan seksualitas itu sendiri.
Kriteria tersebut adalah :
1)         pendidikan seksualitas harus didasarkan pada penghormatan atas hak reproduksi dan hak seksual remaja untuk mempunyai pilihan
2)         berdasarkan pada kesetaraan gender
3)         melibatkan remaja untuk berpartisipasi dalam semua aspek pendidikan seksualitas
4)         dilakukan secara formal maupun non formal
5)         pendidikan seksualitas haruslah dilengkapi dengan peningkatan akses terhadap layanan yang terjangkau, friendly ( ramah ), dan tidak membeda-bedakan
Disini kita bias melihat kalau pendidikan seksualitas itu merupakan sebuah kebutuhan bagi kita para remaja, untuk mengurangi dahaganya atas informasi seksualitas yang benar dan bertanggung jawab yang tidak pernah kita dapatkan dari manapun, dari keluarga, sekolah maupun dari sumber-sumber lain. Apalagi saat ini tantangan yang dihadapi oleh remaja tidaklah ringan di mana kita berada di jaman yang serba modern, semua serba ada dan tersedia sehingga hanya kita sendirilah yang bisa mengontrol perilaku berkaitan dengan masalah seksualitas. Sehingga dengan adanya bekal pendidikan seksualitas ini harapannya adalah kita bakal menjadi lebih berdaya, bisa memutuskan mana yang terbaik untuk kita dengan segala resiko yang harus ditanggung.
Masyarakat menganggap bahwa pendidikan seksualitas merupakan sebuah malapetaka karena adanya persepsi / anggapan yang keliru tentang pendidikan seks itu sendiri di mana pendidikan seks selalu dianggap identik dengan mengajari remaja untuk berhubungan seks, padahal masalah seksualitas itu sangatlah luas dari semenjak manusia lahir sampai ia mati. Kebutuhan ataukah malapetaka sangat tergantung pada bagaimana masyarakat bisa memahami remaja, sebagai seorang yang sedang berada di persimpangan jalan bingung untuk memilih jalan mana yang harus ia lalui, dan pendidikan seksualitas itu berfungsi sebagai penunjuk jalan bagi remaja.
Perilaku seksual berisiko yang dapat mengakibatkan tertular infeksi menular seksual (IMS)—termasuk HIV/AIDS serta kehamilan tak dikehendaki di kalangan remaja—perlu mendapat perhatian serius. Pendidikan kesehatan reproduksi sepatutnya diberikan sejak anak di sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA). Masalah reproduksi perlu dibicarakan secara terbuka, sehingga anak dan remaja memahami bagaimana organ seksual bekerja, tidak panik lagi jika mengalami menstruasi pertama bagi perempuan, dan mimpi pertama bagi laki-laki. Pada saat itu secara biologis mereka dewasa, namun secara psikologis dan sosial, belum. Pendidikan kesehatan reproduksi diperlukan agar mereka lebih berhati-hati menjaga kesehatannya.
Pembinaan kesehatan di sekolah dipandang merupakan strategi yang tepat, mengingat sebagian besar waktu anak sekolah dihabiskan di sekolah dan sepertiga penduduk Indonesia adalah anak usia sekolah.
Hal ini telah dirintis sejak tahun 1956 dengan pengembangan model Usaha Kesehatan Sekolah (UKS). Untuk memantapkan pembinaan UKS secara terpadu, 3 September 1984 ditetapkan Surat Keputusan Bersama antara Menteri Pendidikan, Menteri Kesehatan, dan Menteri dalam Negeri tentang pembentukan Tim Pembina UKS tingkat pusat. Hal ini diikuti tim pembina tingkat provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, serta Tim Pelaksana UKS di sekolah.
Dalam Pasal 45 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan disebutkan, kesehatan sekolah diselenggarakan untuk meningkatkan kemampuan hidup sehat peserta didik dalam lingkungan hidup sehat, sehingga peserta didik dapat belajar, tumbuh dan berkembang secara harmonis dan optimal menjadi sumber daya manusia yang berkualitas.
Pendidikan dan kesehatan berkaitan erat. Anak yang sehat bisa belajar dengan baik. Sebaliknya, pendidikan mendukung tercapainya peningkatan status kesehatan.
Ada tiga program pokok UKS, yaitu pendidikan kesehatan yang diintegrasikan dengan semua mata pelajaran, pelayanan kesehatan di sekolah dengan adanya poliklinik (bagi sekolah yang mampu), usaha kesehatan gigi sekolah, serta pembinaan lingkungan sekolah sehat. Semua siswa diharapkan aktif berpartisipasi, memahami arti sehat, menerapkan perilaku sehat pada dirinya, dan menjaga kesehatan lingkungan. Juga memahami kesetaraan jender
Direktur Pusat Pengembangan kualitas Jasmani Departemen Pendidikan Nasional dr Suharto menambahkan, masalah kesetaraan jender merupakan bagian dari pendidikan kesehatan reproduksi. Saat ini ada beberapa materi yang disiapkan untuk masuk kurikulum.
Pemerintah sudah mengembangkan 25 buku pedoman untuk bacaan anak SD dan SMP. Sekarang sedang diui coba di 10 kabupaten di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Antara lain di Cilacap, Semarang, Demak, dan Pasuruan. Tujuannya, menyampaikan masalah kesehatan reproduksi secara betul. Buku ajar SD yang bias jender juga akan diubah.
Paparan Life Skill Education di SMPN 73 dan SMUN 26; serta forum diskusi bersama. Materi pertama dibawakan oleh Prof. Dr. Charles Surjadi, MPH. Inti dari isi materi yang disampaikan adalah bahwa sangatlah penting untuk melakukan pemetaan kegiatan Life Skill Education (LSE) yang ada di Indonesia. Dengan demikian dapat diketahui wilayah mana yang belum tercapai program LSE ini, sehingga mudah direncanakan strategi apa yang harus dilakukan berikutnya. Selain itu perlu dipahami bersama bahwa LSE bukan hanya sekedar sebuah “keterampilan mencari uang”, namun lebih kepada bagaimana seorang anak dapat menjadi dirinya sendiri, percaya diri akan kemampuannya, serta  dapat mengatasi segala permasalahan yang dihadapinya  dengan baik dan bijak.
UKS di sekolah sendiri dilaksanakan dalam 3 (tiga) program pokok, yaitu:
1)         Pendidikan Kesehatan (termasuk program intra dan ekstra kurikuler)
2)         Pelayanan Kesehatan (berupa upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif)
3)         Bina Lingkungan Kehidupan Sekolah Sehat (termasuk di dalamnya pembinaan fisik, mental dan sosial)
Masalah berkenaan dengan kegiatan UKS ini yang terkait dengan 3 (tiga) pokok masalah, yaitu belum adanya kebijakan pemerintah yang mengarah dan memperhatikan masalah kesehatan reproduksi, sumber daya manusia yang terbatas serta kegiatan yang walaupun ada namun masih belum berkembang.
Sasaran dari program yang salah satu tujuannya untuk meningkatkan pengetahuan dan perubahan perilaku sehat ini adalah seluruh remaja usia 10 – 19 tahun, baik itu yang duduk di kelas 5 – 6 SD, SMP, SMU maupun yang ada di Pondok Pesantren.
Kegiatan kesehatan reproduksi yang telah dilakukan di sekolah-sekolah hingga saat ini adalah pendidikan kesehatan yang diintegrasikan ke dalam pelajaran Penjaskes dan Biologi. Ada pula kegiatan yang lain, namun hingga kini belum terlihat keefektifannya, misalnya penyuluhan Kesehatan Repoduksi Remaja (KRR) dan konseling KRR. Adapun kegiatan seperti bimbingan dan konseling yang seharusnya ada di setiap sekolah lanjutan, nampaknya belum terarah pada KRR.
Masalah-masalah seputar KRR yang terjadi remaja di tingkat Sekolah Menengah Pertama antara lain sekitar menstruasi, seperti rasa tidak percaya diri saat haid hingga aktivitas yang ikut berkurang saat haid datang karena darah haid yang tembus, bau badan serta sakit saat haid (dysmenorrhoea). Selain itu ada juga masalah-masalah yang timbul akibat libido yang berlebihan pada remaja, misalnya mojok saat berpacaran hingga perilaku agresif terhadap lawan jenis (dilakukan oleh pelajar putri maupun putra). Masalah lain yang terkait dengan KRR adalah seputar kebingungan karena perubahan fisik dan emosi yang labil.
Hambatan-hambatan yang selama ini dihadapi para guru yang menangani KRR di sekolah antara lain karena kurangnya wawasan/ilmu yang dimiliki, sehingga tidak jarang terjadi salah persepsi antara guru yang satu dengan yang lainnya. Misalnya guru perempuan tidak bias menjelaskan darimana darah haid keluar. Selain itu, banyak orang  yang menganggap bahwa KRR merupakan suatu masalah yang tidak penting, baik orang tua, guru dan pihak terkait lainnya, sehingga banyak yang tidak mendukung program tersebut. Ditambah lagi dengan tidak adanya pedoman dan panduan dari kurikulum yang jelas, maka sisipan KRR dalam mata pelajaran tersebut, tampaknya hanya sebagai tambalan biasa.
Kesimpulan dari beberapa pernyataan baik berupa himbauan dan juga harapan agar dapat dibuat pelatihan atau penyuluhan yang intensif terutama untuk para guru, dengan demikian pemahaman tentang KRR dapat sama dan hasilnya pun menjadi efektif karena permasalahan KRR tidak hanya akan ditangani oleh guru BK, guru IPA atau guru Penjaskes saja, melainkan juga oleh semua guru tak terkecuali. Selain itu tentu saja bahwa pihak terkait (Dinas Kesehatan dan Dinas Pendidikan Nasional) perlu memasukkan kesehatan reproduksi ke dalam kurikulum pendidikan.  

V.        PENUTUP
            Dari uraian dan pembahasan mengenai permasalahan perilaku sex bebas pelajar di atas maka sebagai penutup  ini akan dijelaskan beberapa hal sebagai berikut.
1.         Reformasi dalam struktur sistem pendidikan yang ada di Indonesia harus ditegakkan dengan mengacu pada : Pertama; penyelenggaraan pendidikan dinyatakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat, di mana dalam proses tersebut harus ada pendidik yang memberikan keteladanan dan mampu membangun kemauan, serta mengembangkan potensi dan kreativitas peserta didik. Kedua; adanya perubahan pandangan tentang peran manusia dari paradigma manusia sebagai sumberdaya pembangunan, menjadi paradigma manusia sebagai subjek pembangunan secara utuh. Ketiga; adanya pandangan terhadap keberadaan peserta didik yang terintegrasi dengan lingkungan sosial-kulturalnya dan pada gilirannya akan menumbuhkan individu sebagai pribadi dan anggota masyarakat mandiri yang berbudaya. Dan keempat; dalam rangka mewujudkan visi dan menjalankan misi pendidikan nasional, diperlukan suatu acuan dasar (benchmark) oleh setiap penyelenggara dan satuan pendidikan, yang antara lain meliputi kriteria dan kriteria minimal berbagai aspek yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan. Kondisi modal intelektual yang begitu memprihatinkan membuat bangsa ini kehilangan efektivitas dalam mengelola berbagai kekayaan. Karena yang dapat mengonversi aneka kekayaan menjadi kemakmuran adalah modal intelektual. Semakin rendah modal intelektual, semakin rendah kemampuan suatu bangsa mengelola kekayaannya. Akibatnya, kian kecil pula nilai tambah yang diperoleh. Bahkan pengelolaan berbagai kekayaan dengan semangat eksploitatif yang miskin modal intelektual sering menimbulkan bencana. Belum lagi menghadapi persoalan degradasi moral generasi muda seperti yang telah diuraikan di atas.

2.         Dalam upaya menjaga budi pekerti generasi muda, maka perlu ditumbuhkan ketaatan beragama yang dimulai dari seseorang masih baru dilahirkan sampai dengan dia meninggal. Faktor kondisi rumah tangga sangat memegang peran penting dalam membangun ketaatan keluarga. Kondisi yang dimaksud disini adalah seberapa sering ayah sebagai kepala rumah tangga memberikan pembinaan rohani, seberapa sering kepala rumah tangga mengontrol keluarga dalam beribadah, seberapa banyak pengetahuan rohani yang telah disampaikan, dan seterusnya. Rekayasa sosial (social engineering) diperlukan dengan menyuntikkan "vaksin need for echievement", yaitu hidup prihatin. Perlu pula penyubur super ego agar kendati hidup susah, masih merasa bahagia.

3.         Berbagai himbauan dan juga harapan agar dapat dibuat pelatihan atau penyuluhan yang intensif terutama untuk para guru, mengenai pemahaman tentang Kesehatan Reproduksi Remaja (KKR) dapat sama dan hasilnya pun menjadi efektif karena permasalahan KRR tidak hanya akan ditangani oleh guru BK, guru IPA atau guru Penjaskes saja, melainkan juga oleh semua guru tak terkecuali. Selain itu tentu saja bahwa pihak terkait (Dinas Kesehatan dan Dinas Pendidikan Nasional) perlu memasukkan kesehatan reproduksi ke dalam kurikulum pendidikan.  

REFERENSI :

Anwar. 2001. Prilaku Buruk Siswa dan Pengelolaannya. Studi pada SMA Laboratorium IKIP Malang. Seri Tesis Program Pascasarjana IKIP Malang.
Alasuutari, Pertti. 1996. Reseaching Culture, Qualitative Method and Cultural Studies. Sage Publications. London, Thousand Oaks, New Delhi
Bogdan, Robert, C. and Biklen, Sari Knop1998. Qualitative Research for Education : an intruduction to theory and Methods. Allyn and Bacon Inc: Boston, London, Sydney and Toronto Beth, Hess, B. Dkk. 1982. Sociology, Second Edition, Macmillan Publishing Company, Inc: New York
Debert Miller, C. 1980. Handbook of Research Design and Social Measurement, David McKay Company, Inc: New York
Daradjat, Zakiah. 1975. Pendidikan Agama dalam pembinaan Mental. Bulan Bintang.
Jakarta --------------. 1975. Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia. Bulan Bintang. Jakarta
Denzim, N.K. 1994. Handbook of Qualitatif Reseach, Sage Publisher: London
Evans William, H. 1989. Behavior and Instructional Management an Ecological Approach, Allyn and Bacon : Boston, London Toronto.
Faisal, Sanapiah. 1995. Format-format Penelitian Sosial, Dasar-dasar dan Aplikasi. Raja Wali Press. Jakarta
Howard, Alvin, W. 1998. Teaching in Middles Schools, International text Book Company: Pennsylvania..
Ibrahim, Muslem, (2007). Qanun Syariat Tidak untuk Non-Muslem, Harian Serambi Indonesia Tanggal 6 Juli 2007
Istiana Tajuddin, (2007). Gaya Berpacaran Pelajar Makasar Kehilangan Kontrol-Bermesaraan Bukan Hal Tabu. Skripsi. Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta.
James Coleman and Donald Cressey. 1987. Social Problems. Second Edition. Harper & Row Publisher, Inc: USA
Kartini Kartono 1986. Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja, Penerbit CV. Rajawali:Jakarta
Lee Cronbach, J. 1984. Educational Psycology, Harcourt, Brace and Company Inc: USA
Yusri. 2005. Peranan Lembaga Pendidikan dalam Mengatasi Kenakalan Remaja. Dalam Jurnal Triwulan GIRALDA Jaringan Penelitian Pendidikan dan Kebudayaan. BAPEDA Prov. NAD
Yusuf Qardhawi. 1991. Bagaimana Memahami Syariat Islam (Alih Bahasa oleh Nabhani Idris) Penerbit Islamna Press: Jakarta
Zulkifli Ali, M. 2005. Masa Depan Pelajar dan Ancaman Narkoba, Harian Serambi Indonesia Tanggal 29 Agustus 2005 : Banda Aceh

No comments:

Post a Comment

PENERAPAN ILMU FORENSIK DALAM HUKUM PIDANA

Terbentuknya keyakinan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana didasarkan pada hasil pemeriksaan alat-alat bukti yang dikemukakan pada pros...