I.INRODUKSI
Bangsa-bangsa
yang kalah biasanya mengekor pada bangsa yang menang. Peradaban yang
terbelakang akan cenderung mengamini peradaban yang maju. Hal ini juga terjadi
pada bangsa yang sedang kita tinggali ini. Banyak hal negatif yang para remaja
dan pemuda bangsa ini lakukan mirip dengan remaja dan pemuda di Negara barat
atau di negara-negara maju lainnya. Memang tidak semuanya berlaku seperti itu,
ada juga remaja pemuda yang semakin religius. Namun kedua kelompok ini seolah
makin bertolak belakang. Mereka masing-masing bergerak ke kutub-kutub yang
berbeda. Akhirnya kita dapat membedakan antara remaja pemuda yang religius
dengan remaja pemuda yang tidak religius.
Pada hari ini
kita bisa lihat bagaimana rasa malu telah terenggut dari jiwa-jiwa manusia di Indonesia,
khususnya dikalangan mudanya. Mereka
mengikuti trend tanpa berpikir jauh alasan apa yang mendasari pilihan mereka
itu. Kita sering temukan makin banyak para remaja dan pemuda bermesraan
disembarang tempat. Bahkan berciuman ditempat-tempat umum pun bukanlah hal yang
memalukan untuk mereka. Pacaran mesra sudah begitu umum dalam pergaulan mereka.
Bahkan ketika ditanya mengapa mereka sampai berani melakukan hubungan suami
istri saat berpacaran, seorang remaja menjawab dengan entengnya ”Kalau nggak ML
(Make Love) buat apa saya berpacaran?”
Belum lagi, pada hari ini agaknya pornografi sudah sedemikian lumrah dimata
para remaja dan pemuda. Akses untuk melihat film-film dan gambar-gambar
porno pun begitu mudahnya untuk dilakukan.
Persoalan rokok
dan narkoba dikalangan remaja dan pemuda juga tidak kalah seriusnya, apalagi
mengingat sempat meledaknya kasus narkoba pada kurun waktu tiga tahun terakhir
ini. Pada akhir 1999 saja ada sekitar 4 juta pecandu narkoba yang tercatat di Indonesia.
Parahnya dari jumlah tersebut,
70%-nya adalah anak-anak usia sekolah antara 14-20 tahun. Yang KO dan masuk RS
Ketergantungan Obat Fatmawati saja cukup banyak. Remaja setingkat SLTP yang dirawat
inap di rumah sakit tersebut karena ketergantungan obat terlarang mencapai
1.055 anak, yang setingkat SLTA mencapai 2.096 anak, dan yang setingkat
perguruan tinggi mencapai 1.569 mahasiswa.
Kasus narkoba inipun tidak hanya menimpa kawula
muda di Jakarta saja, kota-kota lainnya seperti Bandung, Yogyakarta dan
Surabaya juga mengalami persoalan yang tidak kalah seriusnya. Staf pengajar FK
Psikologi UGM, Dr. Endang Ekowarni pernah melakukan penelitian pada tahun 1999,
dengan hasil yang mengejutkan. Dia menemukan paling tidak 60-80% dari murid SMP
se Jogya pernah mencicipi narkoba. Sementara di wilayah-wilayah pemukiman,
sedikitnya ABG di tiap RT pernah merasakan narkoba (Gatra, 24 Febuari 2001 :
31). Di kota lainnya juga terpampang data-data yang memprihatinkan. Sepanjang
tahun 2000, di Bandung terdapat 135 kasus narkoba yang ditangani Kejaksaan
Negri. Dari jumlah tersebut, 55 kasus melibatkan pelajar. Di Surabaya, data
yang dikeluarkan Gerakan Nasional Anti Narkoba (Granat), dari 79 SMU yang ada,
34 sekolah diantaranya punya murid yang terlibat sindikat perdagangan narkotika
(Gatra, 24 Febuari 2001). Di Jakarta Timur malah pernah beredar narkoba yang
diracik khusus untuk anak-anak SD dalam bentuk permen dan diberikan pertama
kali secara gratis (Media Indonesis, 8 September 1999).
Keprihatinan lain yang perlu disorot dari kalangan
remaja pemuda di Indonesia dewasa ini adalah semakin permisif dan hedonisnya
gaya hidup mereka, serta semakin kurang rasa pedulinya terhadap problematika
yang ada disekitar mereka. Mereka biasa menghabiskan waku berjam-jam di
mal-mal, café-café, club-club, diskotik-diskotik, dan sebagainya. Bahkan ada
juga anak-anak usia SMP, bahkan SD yang melakukan perbuatan amoral dengan cara
pesta seks. Belum lagi anak-anak ABG lainnya yang tidak malu melacurkan
diri. Ada yang
motifnya mencari uang untuk bersenang-senang, dan ada yang juga sama sekali
tidak minta dibayar karena mereka memang menyukai seks bebas. Beberapa diantara
mereka sebenarnya anak-anak orang kaya dan memiliki orangtua yang berkedudukan
penting.
Pada bulan
Desember 1997, empat gadis ABG dan delapan pria melakukan pesta seks selama
tiga hari tiga malam disebuah rumah bertingkat dua di semarang. Warga setempat yang mendengar musik
hangar-bingar sepanjang malam di rumah tersebut merasa resah. Akhirnya pada
dini hari, penduduk dan polisi menggerebek rumah tersebut. Dari kedelapan pria, lima diantaranya berusia
17-19 tahun, sementara tiga sisanya berusia 22-24 tahun. Sedangkan yang putri,
tiga orang berusia 15 tahun dan masih SMP, yang satunya berusia 16 tahun.
Mereka mengaku telah melakukan pesta seks atas dasar suka sama suka (Gatra 3
januari 1998 : 22-24).
Kira-kira sebulan sebelumnya di Ujungpandang, 2
pasang muda-mudi berusia 14-20 tahun juga melakukan hal yang sama. Cuma kali
ini mereka kurang beruntung. Mereka tewas diparkiran Hotel Makasar Indah
setelah melakukan pesta seks kecil-kecilan di dalam mobil. Padahal sehari
sebelumnya mereka juga telah menyewa sebuah kamar di hotel tersebut. Satpam
setempat menemukan keempat muda-mudi itu tewas pada pukul 01.00 di tempat
parker hotel. Diduga kematian mereka karena keracunan karbon monoksida yang
berasal dari kenalpot dan AC mobil (Gatra, 3 Januari 1998).
UNDIP (Universitas Diponogoro) mempunyai laporan
lain. Hasil penelitian tim peneliti kependudukan UNDIP bekerjasama dengan
Kantor Dinas Kesehatan Jawa Tengah melaksanakan penelitian prilaku siswa SMA
pada tahun 1995. Hasilnya sekitar 60.000 siswa SMU se – Jawa Tengah
(dari 600.000 orang yang dilibatkan dalam survei atau sekitar 10%-nya) pernah
melakukan sex-intercourse pranikah (PK Undip Depkes Jateng, 1995) (Gatra 3
Januari 1998:35)
Begitulah dengan kenyataan yang ada, pola hubungan
lelaki dan perempuan ternyata sudah bergeser sedemikian jauh di negri ini. Banyak
aspek persetubuhan sudah tidak dianggap sacral lagi. Lalu bagaimana dengan
pelacuran aBG? Banyak diantara
pelacur-pelacur ABG ini melakukannya bukan karena mereka berasal dari keluarga
kurang mampu. Tidak sedikit malah ortunya kaya raya dan berkedudukan penting. Salah
seorang remaja putri berusia 18 tahun (Kelas 3 SMU) yang pernah diwawancara
Gatra mengaku suka menggaet cowok berduit untuk tidur di hotel berbintang. Dia
juga mengatakan, ”Saya bukan cari makan dengan seks, melainkan untuk
senang-senang saja. Jika dikasih duit ya, saya mau, masa nolak rejeki.” Lain
lagi tiga orang mahasiswi usia 19-20 tahun di Ujungpandang yang bersedia diajak
jalan tanpa bayaran besar (Gatra, 3 januari 1998:26-27).
Bagaimanakah dengan kasus maraknya beredar VCD
porno dan Video porno para ABG, Mahasiswa, dan pejabat pemerintah? Sudah
sedemikian murahkah harga diri seseorang di negri Indonesia ini? Demikianlah
secuil potret suram para remaja dan pemuda Indonesia yang ada pada saat ini.
Remaja merupakan aset sumber daya manusia di masa
yang akan datang, pengembangan kualitasnya harus dimulai secara terpadu melalui
pendekatan struktural, apakah ketika mareka berada dalam lingkungan keluarga
atau dalam lembaga pendidikan, setiap tahap pendidikan memerlukan suatu usaha
yang terpadu pula yang memiliki format yang jelas, melalui nilai-nilai
keagamaan dan kurikulum sekolah beserta seluruh perangkatnya.
Oleh sebab itu peningkatan kualitas sumber daya
manusia melalui pendekatan nilai-nilai struktural keagamaan dinilai banyak
pihak merupakan langkah yang tepat, karena dapat mengontrol penyimpangan dan
sesuai pula dengan nilai-nilai kebudayaan masyarakat Indonesia dahulu, yang
secara historis telah dikenal dengan tiga keistimewaan yaitu, pendidikan, agama
dan adat istiadat.
Meskipun Syariat Islam telah berlangsung banyak
dikenal bahkan dipahami oleh pelajar, secara fenomenalogi prilaku siswa selama
ini tidak mengalami perubahan, bahkan menunjukkan indikasi yang
mengkhawatirkan, baik ketika mereka berada di sekolah, bahkan lebih parah
ketika mereka berada di luar, seperti beberapa kasus remaja yang ditemukan
akhir-akhir ini, sudah dapat dikatagorikan sebagai juvenile delinguency atau remaja berprilaku menyimpang yang
mengandung resiko tinggi (Kartono 1986 : 8-9).
Salah satu aspek penting mengapa penelitian ini
difokuskan pada para remaja SMU, karena dalam berbagai penelitian ditemukan
angka tertinggi kejahatan dan penyimpangan nilai-nilai mencapai 70% lebih
berada pada kelompok remaja, yang berumur 15 s/d 19 tahun, ini berarti pada
umumnya, usia ini mereka sedang duduk pada tahap akhir Sekolah Menengah Pertama
(SMP) atau sedang duduk di Sekolah Menengah Atas (SMU), di bawah dan di atas
usia tersebut kejahatannya menurun (Kartini Kartono 1996 : 8-9). Kalau tidak
ada upaya – upaya melalui konsep yang jelas, kerusakan moral yang lebih parah
akan terjadi dikalangan generasi muda, dengan demikian rusaklah
pemimpim-pemimpin bangsa yang datang.
Prilaku
menyimpang yang sering menjadi masalah di kalangan remaja adalah sex pranikah,
prilaku sex yang terlalu menonjol, minumas keras, narkoba, vcd porno, hal ini
adalah suatu kejahatan, bentuk-bentuk kejahatan tersebut sudah barang tentu
tidak muncul dengan sendirinya tetapi merupakan produk dari suatu kondisi dan
masyarakat dengan segala pergolakan sosial didalamnya (James Coleman dan Donald
Cressy 1986 : 409), semua prilaku remaja itu sering juga disebut dengan
penyakit sosial (Kartini Kartono 1986 : 4).
Pada umumnya
remaja atau masa muda dipandang sebagai suatu fase dalam pembentukan
kepribadian, dalam fase inilah proses pendewasaan kepribadian sangat mudah
terjadi, proses pengamatan terhadap nilai sosial budaya sendiri menimbulkan
pengertian-pengertian, biasanya bergerak sangat cepat dengan penuh emosional
sehingga remaja sangat mudah terpengaruh terhadap nilai-nilai asing yang
menyenangkan dan dapat membawa perubahan, namun seringkali perubahan-perubahan
itu menimbulkan hal-hal negatif, misalnya berpakaian yang kurang sopan,
penyalahgunaan narkotika, extasi, prilaku sex yang berlebihan, pergaulan bebas,
membuang-buang waktu, membolos dan sebagainya. Prilaku tersebut merupakan
bahagian dari penyimpangan dan di luar ketentuan yang telah digariskan baik
sekolah maupun agama. prilaku-prilaku tersebut adalah biang merosotnya pribadi,
prestasi dan moral remaja ke jurang yang sangat menyeramkan di kemudian hari.
Masih banyak
mitos seputar kesehatan reproduksi di kalangan remaja. Berenang di kolam renang
dapat menyebabkan hamil, hubungan seksual pertama kali tidak akan hamil, atau
loncat-loncat setelah berhubungan seksual dapat mencegah kehamilan merupakan
beberapa mitos yang masih diyakini kebenarannya.
Remaja Indonesia
masih minim mendapatkan pengetahuan tentang seksualitas dan kesehatan
reproduksi, karena untuk penyampaian informasi mengenai hal itu masih dianggap
tabu. Selain itu belum ada kurikulum kesehatan reproduksi dan pelayanan yang
ramah terhadap remaja. Adalah kenyataan pendidikan kesehatan reproduksi remaja
yang telah dituangkan dalam kurikulum nasional tersebut belum sepenuhnya dapat
berjalan dalam proses belajar-mengajar. Kita juga belum memiliki undang-undang
yang mengakomodir hak-hak remaja. Hal tersebut juga disebabkan karena
ketidaksiapan tenaga pendidik, terbatasnya bahan pelajaran bagi guru, masih
dianggap tabu dan banyaknya hambatan kultural. Sehingga perlu sekali terobosan
yang dilakukan baik lewat jalur kurikuler, ekstrakurikuler maupun kegiatan
khusus kerjasama dengan lembaga lain.
Ketua
Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Propinsi Bali, dr Made Oka
Negara di Denpasar mengatakan, pihak Depdiknas dalam kurikulum nasional 1994
telah menyetujui pendidikan kesehatan reproduksi remaja diberikan secara umum
melalui mata pelajaran pendidikan jasmani dan kesehatan, IPA serta Agama.
Tetapi secara khusus masih sedikit yakni sekitar dua jam dalam seminggu. Menurutnya,
permasalahan kesehatan reproduksi remaja sangat penting dan aset masa depan,
tetapi remaja justru berada dalam periode transisi yang penuh gejolak. Masalah
itu disebabkan minimnya sarana dan prasarana dan kurangnya melibatkan remaja
dalam setiap kegiatan yang dilakukan Badan Koordinasi Keluarga Berencana
Nasional maupun KSM terkait.
II. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan
uraian pada bab di atas, maka makalah ini ingin mengungkap persoalan-persoalan membangun
intelektualitas generasi muda dan bagaimana upaya pencegahan terhadap perilaku sex
bebas di kalangan pelajar.
III. LANDASAN BERPIKIR
3.1. Peraturan Pemerintah
Nomor 19 Tahun 2005
Dalam PP RI
Nomor 19 Tahun 2005 Pasal 1 dinyatakan bahwa dalam Peraturan Pemerintah ini
yang dimaksud dengan:
1. Standar nasional pendidikan adalah
kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
2. Pendidikan formal adalah jalur
pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar,
pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
3. Pendidikan nonformal adalah jalur
pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur
dan berjenjang.
4. Standar
kompetensi lulusan adalah kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan,
dan keterampilan.
5. Standar
isi adalah ruang lingkup materi dan tingkat kompetensi yang dituangkan dalam
criteria tentang kompetensi tamatan, kompetensi bahan kajian, kompetensi mata
pelajaran, dan silabus pembelajaran yang harus dipenuhi oleh peserta didik pada
jenjang dan jenis pendidikan tertentu.
6. Standar
proses adalah standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan pelaksanaan
pembelajaran pada satu satuan pendidikan untuk mencapai standar kompetensi
lulusan.
7. Standar pendidik dan tenaga
kependidikan adalah kriteria pendidikan prajabatan dan kelayakan fisik maupun
mental, serta pendidikan dalam jabatan.
8. Standar sarana dan prasarana adalah
standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan criteria minimal tentang
ruang belajar, tempat berolahraga, tempat beribadah, perpustakaan,
laboratorium, bengkel kerja, tempat bermain, tempat berkreasi dan berekreasi,
serta sumber belajar lain, yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran,
termasuk penggunaan teknologi informasi dan komunikasi.
9. Standar pengelolaan adalah standar
nasional pendidikan yang berkaitan dengan perencanaan, pelaksanaan, dan
pengawasan kegiatan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan, kabupaten/kota,
provinsi, atau nasional agar tercapai efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan
pendidikan.
10. Standar pembiayaan adalah standar yang
mengatur komponen dan besarnya biaya operasi satuan pendidikan yang berlaku
selama satu tahun.
11. Standar penilaian pendidikan adalah
standar nasional pendidikan yang berkaitan dengan mekanisme, prosedur, dan
instrumen penilaian hasil belajar peserta didik.
12. Biaya operasi satuan pendidikan adalah
bagian dari dana pendidikan yang diperlukan untuk membiayai kegiatan operasi
satuan pendidikan agar dapat berlangsungnya kegiatan pendidikan yang sesuai
standar nasional pendidikan secara teratur dan berkelanjutan.
13. Kurikulum adalah seperangkat rencana dan
pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan
sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan
pendidikan tertentu.
14. Kerangka dasar kurikulum adalah
rambu-rambu yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah ini untuk dijadikan
pedoman dalam penyusunan kurikulum tingkat satuan pendidikan dan silabusnya pada
setiap satuan pendidikan.
15. Kurikulum tingkat satuan pendidikan
adalah kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di
masing-masing satuan pendidikan.
16. Peserta didik adalah anggota masyarakat
yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang
tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu.
17. Penilaian adalah proses pengumpulan dan
pengolahan informasi untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik.
18. Evaluasi pendidikan adalah kegiatan
pengendalian, penjaminan, dan penetapan mutu pendidikan terhadap berbagai
komponen pendidikan pada setiap jalur, jenjang, dan jenis pendidikan sebagai
bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan.
19. Ulangan adalah proses yang dilakukan
untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik secara berkelanjutan dalam
proses pembelajaran, untuk memantau kemajuan dan perbaikan hasil belajar
peserta didik .
20. Ujian adalah kegiatan yang dilakukan
untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik sebagai pengakuan prestasi
belajar dan/atau penyelesaian dari suatu satuan pendidikan.
21. Akreditasi adalah kegiatan penilaian
kelayakan program dan/atau satuan pendidikan berdasarkan kriteria yang telah
ditetapkan.
22. Badan Standar Nasional Pendidikan yang
selanjutnya disebut BSNP adalah badan mandiri dan independen yang bertugas
mengembangkan, memantau pelaksanaan, dan mengevaluasi standar nasional
pendidikan;
23. Departemen adalah departemen yang
bertanggung jawab di bidang pendidikan;
24. Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan yang
selanjutnya disebut LPMP adalah unit pelaksana teknis Departemen yang
berkedudukan di provinsi dan bertugas untuk membantu Pemerintah Daerah dalam bentuk
supervisi, bimbingan, arahan, saran, dan bantuan teknis kepada satuan pendidikan
dasar dan menengah serta pendidikan nonformal, dalam berbagai upaya penjaminan
mutu satuan pendidikan untuk mencapai standar nasional pendidikan;
25. Badan Akreditasi Nasional
Sekolah/Madrasah yang selanjutnya disebut BAN-S/M adalah badan evaluasi mandiri
yang menetapkan kelayakan program dan/atau satuan pendidikan jenjang pendidikan
dasar dan menengah jalur formal dengan mengacu pada Standar Nasional
Pendidikan.
26. Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Non
Formal yang selanjutnya disebut BAN-PNF adalah badan evaluasi mandiri yang
menetapkan kelayakan program dan/atau satuan pendidikan jalur pendidikan nonformal
dengan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan.
27. Badan Akreditasi Nasional Perguruan
Tinggi yang selanjutnya disebut BAN-PT adalah badan evaluasi mandiri yang
menetapkan kelayakan program dan/atau satuan pendidikan pada jenjang pendidikan
tinggi dengan mengacu pada Standar Nasional Pendidikan.
28. Menteri adalah menteri yang menangani
urusan pemerintahan di bidang pendidikan.
3.2. Pendidikan Budi Pekerti
Tak hanya cerdas
dalam ilmu pengetahuan, umat manusia dituntut bermoral. Keseimbangan penguasaan
ilmu pengetahuan dengan kemampuan spiritual itu, diharapkan umat mampu menjadi
orang yang bijak. Orang yang bijak manakala ia mampu menggunakan kecerdasannya
untuk kesejahteraan dan kedamaian umat manusia. Bagaimana upaya menjadikan umat
agar bermoral dan beretika? Jawabannya tentu melalui pendidikan agama dan atau
budi pekerti.
Selama ini
pendidikan budi pekerti cenderung kurang diperhatikan. Padahal, sesungguhnya
pendidikan budi pekerti merupakan landasan atau pedoman bagi umat dalam
berpikir, berkata dan berperilaku yang baik dan benar. Oleh karena itu, jika
pendidikan budi pekerti diabaikan, niscaya perilaku umat akan menyimpang. Dunia
pendidikan tidak hanya dituntut melahirkan SDM yang berkualitas keilmuan, juga
berkualitas dalam hal spiritual.
Untuk menjadikan
umat berkualitas dalam hal sepiritual --sehingga perilakunya beretika dan
bermoral -- keberpihakan terhadap mata pelajaran yang berbau humanis mesti
terus diupayakan. Artinya, selain pendidikan eksak yang mengantarkan umat mampu
menguasai iptek, anak didik juga diakrabkan pada pendidikan agama (budi
pekerti), sejarah, kesenian, sastra Indonesia serta muatan lokal
lainnya.
Dengan demikian,
selain menguasai iptek, mereka akan menjadi orang yang bijak dalam melakoni
kecerdasan intelektualnya. Sebab, dalam karya sastra misalnya, kerap ada
muatan-muatan nilai yang mesti diejawantahkan dalam kehidupan. Tuntunan nilai hidup dan kehidupan sering tersirat
dalam kesusastraan.
Pendidikan budi pekerti hendaknya makin digalakkan
di sekolah-sekolah, seperti halnya pada zaman dulu. Dulu, kata Artha,
siswa diberikan pelajaran khusus budi pekerti. Bahkan, pelajaran itu diberikan
beberapa kali dalam seminggu. Mata
pelajaran itu dirasa penting, karena dapat dijadikan pedoman dalam melakoni
kehidupan.
Sekarang, kendati tak diberikan khusus, pendidikan
itu tampaknya sudah dimasukkan dalam semua pelajaran. Pendidikan Budi Pekerti
tersebut pada era sekarang harus lebih digalakkan, terlebih dalam menghadapi
berbagai tantangan baik dari dalam maupun luar. Terutama dalam menghadapi
tantangan global, generasi muda mesti dibentengi oleh nilai-nilai agama. Dengan
demikian, mereka mampu menghadapi tantangan itu dengan baik.
Generasi muda mendatang diharapkan lebih
berkualitas dari generasi sebelumnya. Tak hanya pandai, tetapi sekaligus
bermoral. Karena itu, anak didik tak hanya dijejali dengan ilmu pengetahuan,
tetapi juga beretika dan bermoral. Anak-anak jangan hanya dituntut cerdas
sehingga sasarannya mudah mencari pekerjaan, tetapi juga beretika atau tidak
lepas dari norma-norma kehidupan. Melahirkan anak yang cerdas dan beretika
inilah tugas semua komponen.
Hal ini terutama jika melihat belakangan ini kerap
ditemukan perilaku menyimpang di kalangan masyarakat seperti terlibat pemakaian
narkoba, pelecehan seksual, kriminal, dan lain-lain seperti diuraikan di atas. Selain
merugikan diri sendiri, perilaku menyimpang tersebut juga berdampak pada
keluarga dan lingkungan, utamanya masyarakat yang menjadi korban. Kenyataan itu
tak dapat dimungkiri karena telah terjadi kemerosotan moral atau degradasi
moral. Karena itu, pendidikan budi pekerti sudah seharusnya dijadikan pedoman
dalam menjalankan kehidupan. Pendidikan itu bisa didapat baik melalui
pendidikan formal maupun nonformal seperti pesantren.
Mencermati hal
itu dapat dinyatakan bahwa sekarang ada kecenderungan penurunan nilai-nilai
etika dan moral. Dimasukkannya pendidikan budi pekerti di sekolah, mestinya
tidak sekadar lips service.
Nilai-nilai pendidikan ini mesti diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Perilaku pendidik dan yang dididik hendaknya mencerminkan nilai-nilai
pendidikan budi pekerti. Agar anak-anak tergerak mengimplementasikan
nilai-nilai itu dalam kehidupan bermasyarakat, diperlukan keteladanan. Teladan
dalam berperilaku, termasuk dalam hal kedisiplinan memang sudah semestinya
tidak sekadar wacana. Itu akan berhasil manakala figur yang disegani -- seperti
guru atau para pemimpin bangsa -- memberikan contoh yang patut dicontoh.
Keteladanan
mutlak adanya dalam situasi dan kondisi bangsa seperti saat ini -- di mana
terjadi multikrisis, termasuk krisis kepercayaan. Munculnya krisis kepercayaan
masyarakat, karena umumnya para elite hanya melempar janji, tetapi tanpa
diikuti dengan bukti. Karena itu, kita tidak menginginkan pepatah guru kencing
berdiri dan murid kencing berlari menjadi kenyataan. Dengan pemberian
pendidikan budi pekerti yang betul-betul menyentuh hati para pendidik,
diharapkan perilaku menyimpang bisa diminimalkan.
Rohaniawan Ketut
Wiana mengatakan, arah pembinaan agama nampaknya perlu dibenahi. Sebab,
nilai-nilai luhur yang terkandung dalam agama belum berhasil meningkatkan
keluhuran moral dan daya tahan mental umat dalam kehidupan sehari-hari, baik
dalam kehidupan bernegara, berbangsa maupun bermasyarakat. Munculnya banyak
kasus korupsi, kolusi dan nepotisme, kriminalitas, narkoba, pelacuran,
perjudian dan penyalahgunaan wewenang, karena nilai-nilai agama belum didayagunakan
sebagai pegangan hidup. Hal itu sampai terjadi, kata Wiana dalam bukunya
berjudul Makna Agama Dalam Kehidupan, tentu banyak faktor penyebabnya. Salah
satunya karena arah pembinaan kehidupan beragama kurang diarahkan untuk
menanamkan sikap religiusitas. Kehidupan beragama mestinya lebih mengutamakan
pembenahan kualitas perilaku secara nyata. Karena itu, kontribusi aktivitas
beragama dalam menyertai kehidupan sehari-hari, haruslah lebih diperluas dan
diperdalam. Jadikan kehidupan sehari-hari sebagai ajang untuk melatih mengamalkan
berbagai aspek ajaran agama.
Menularkan pendidikan budi pekerti kepada anak
didik mestinya dimulai dari sumbernya. Artinya, para gurulah yang mesti paham
dulu pendidikan budi pekerti. Pengamat agama yang praktisi pendidikan Prof. Dr.
Wayan Jendra mengatakan, jika para guru tak paham pendidikan budi pekerti apa
yang akan diajarkan kepada anak didik. Dikatakan, dalam mengajarkan
pendidikan budi pekerti, ada beberapa metode yang bisa digunakan baik secara
langsung maupun tak langsung. Misalnya lewat meditasi, sembahyang, bernyanyi,
bercerita dan kerja sama. Sebelum memberikan pendidikan, anak-anak diajak duduk
agak lama (meditasi), sehingga memiliki konsentrasi. Jangan baru datang sudah
dijejali ilmu. Jauh lebih bagus, jika pikiran anak-anak sudah mulai tenang,
sehingga mampu berkonsentrasi dengan baik, ujarnya.
Jika pada zaman dulu pendidikan budi pekerti
diajarkan secara khusus, sekarang pendidikan itu bisa diintegrasikan dalam mata
pelajaran lainnya. Misalnya dalam pelajaran matematika, untuk menyelipkan
pendidikan budi pekerti, anak-anak SD disuruh menjawab pertanyaan sebagai
berikut: Kakak membeli apel merah enam biji. Jika apel tersebut diberikan
kepada adik tiga biji, berapa sisa apel kakak? Hitungan matematika seperti itu,
menurut Jendra, akan mampu menumbuhkan rasa kasih sayang anak-anak kepada
keluarga, terutama kepada sang kakak. Dengan cara seperti ini diharapkan
pendidikan berjalan lebih hidup dan anak-anak sekaligus mendapatkan pendidikan
budi pekerti, ujarnya.
Dalam pelajaran bernyanyi misalnya, pada diri
anak-anak bisa ditanamkan nilai-nilai kemanusiaan, nilai pelestarian lingkungan
dan meningkatkan rasa bakti kepada Tuhan. Ditegaskan, pendidikan budi
pekerti bisa mempunyai daya tusuk yang tajam manakala gurunya dapat memberi
panutan.
Etika dan moral menjadi suatu yang sangat penting
dalam kehidupan. Betapa pintarnya seseorang, jika tanpa memiliki
karakter, ia tidak ada apa-apanya. Karena itu, seseorang mesti disiplin,
berbakti kepada Tuhan, memiliki dedikasi yang tinggi, daya beda dan bisa
memilih mana yang baik dan mana yang buruk.
Berikut ini merupakan kisah dalam ajaran Islam
mengenai nafsu manusia. Dalam sebuah kitab karangan 'Ustman bin Hasan bin Ahmad
Asy-Syaakir Alkhaubawiyi, seorang ulama yang hidup dalam abad ke XIII Hijrah,
menerangkan bahwa sesungguhnya Allah S.W.T telah menciptakan akal, maka Allah
S.W.T telah berfirman yang bermaksud : "Wahai akal mengadaplah
engkau." Maka akal pun mengadap kehadapan Allah S.W.T., kemudian Allah
S.W.T berfirman yang bermaksud : "Wahai akal berbaliklah engkau!",
lalu akal pun berbalik.
Kemudian Allah S.W.T. berfirman lagi yang
bermaksud : "Wahai akal! Siapakah aku?". Lalu akal pun berkata,
"Engkau adalah Tuhan yang menciptakan aku dan aku adalah hamba-Mu yang
daif dan lemah."
Lalu Allah S.W.T berfirman yang bermaksud :
"Wahai akal tidak Ku-ciptakan makhluk yang lebih mulia daripada
engkau."
Setelah itu Allah S.W.T menciptakan nafsu, dan
berfirman kepadanya yang bermaksud : "Wahai nafsu, mengadaplah
kamu!". Nafsu tidak menjawab sebaliknya mendiamkan diri. Kemudian Allah
S.W.T berfirman lagi yang bermaksud : "Siapakah engkau dan siapakah
Aku?". Lalu nafsu berkata, "Aku adalah aku, dan Engkau adalah
Engkau."
Setelah itu Allah S.W.T menyiksanya dengan neraka
jahim selama 100 tahun, dan kemudian mengeluarkannya. Kemudian Allah S.W.T
berfirman yang bermaksud : "Siapakah engkau dan siapakah Aku?". Lalu
nafsu berkata, "Aku adalah aku dan Engkau adalah Engkau."
Lalu Allah S.W.T menyiksa nafsu itu dalam neraka
Juu' selama 100 tahun. Setelah dikeluarkan maka Allah S.W.T berfirman yang
bermaksud : "Siapakah engkau dan siapakah Aku?". Akhirnya nafsu
mengakui dengan berkata, " Aku adalah hamba-Mu dan Kamu adalah
tuhanku."
Dalam kitab tersebut juga diterangkan bahwa dengan
sebab itulah maka Allah S.W.T mewajibkan puasa.
Dalam kisah ini dapatlah kita mengetahui bahwa
nafsu itu adalah sangat jahat oleh itu hendaklah kita mengawal nafsu itu,
jangan biarkan nafsu itu mengawal kita, sebab kalau dia yang mengawal kita maka
kita akan menjadi musnah.
3.3. Mata
Pelajaran Kesehatan-Reproduksi (Kespro) Diujicobakan
Pada awal tahun pelajaran baru 2005--2006 di
Bandar Lampung, mata pelajaran kesehatan reproduksi (kespro) dan seksual remaja
telah diujicobakan di 11 sekolah menengah atas (SMA) dan sekolah menengah
kejuruan (SMK) serta tiga pondok pesantren (ponpes).
Bidang studi kespro ini diberikan pada siswa kelas
satu dan dua. Sementara itu, metode pengajaran dilakukan insersi (penyisipan)
pada mata pelajaran lain seperti Biologi, Agama, atau Bimbingan Konseling (BK).
Menurut tim konselor Skala Perkumpulan Keluarga
Berencana Indonesia (PKBI) Lampung Dwi Hafsah Handayani, Senin (11-7), ke-11
sekolah tersebut SMA YP Unila, SMAN 4, MAN 1, SMKN 3, SMKN 4, SMKN 5, SMAN 8,
SMAN 9, SMAN 10, SMA Persada, dan SMK Persada, serta tiga ponpes; MA Alhikmah,
MA Hidayatul Islamiyah, dan MA Diniah Putri.
Pelajaran kespro ini disampaikan dengan penyisipan
mata pelajaran lain sesuai dengan kondisi sekolah masing-masing. Mengenai
materi pendidikan kespro lebih banyak mengacu mata pelajaran Biologi, Hafsah
menilai karena lebih efektif kespro disisipkan pada mata pelajaran tersebut.
Namun, tidak seluruh sekolah ada mata pelajaran Biologi, seperti SMK. Di sana, pendidikan kespro
diberikan dalam pelajaran Agama. Dalam pendidikan kespro ini terdapat 19
bahasan yang perlu disampaikan pada siswa.
Sementara itu,
media pengajaran dilakukan dengan modul, papan/plano, celemek bergambar organ
reproduksi, dan audio visual berupa kaset atau film. Sedangkan kendala
penyampaian materi kespro antara lain tenaga pengajar, modul, dan dana
penunjang. Selain pendidikan kespro, pengetahuan mengenai HIV/AIDS dan
penyalahgunaan narkotik juga termasuk di dalamnya.
Beberapa materi
kespro yang dapat disisipkan dalam pelajaran Biologi antara lain perkembangan
seksualitas remaja dan permasalahannya, lonceng faali, sistem saraf manusia,
virus, dan penyakit menular seksual (PMS). Materi yang dapat disisipkan dalam
BK antara lain hak-hak kesehatan reproduksi dan seksual, perilaku seksual
remaja, PMS, penyalahgunaan narkoba, dan HIV/AIDS. Sedangkan materi yang dapat
disisipkan pada mata pelajaran Agama antara lain kajian Alquran tentang proses
penciptaan manusia, gangguan organ reproduksi, makanan halal dan bergizi,
lonceng faali, dan pengertian dasar jenis-jenis narkoba.
Untuk menilai
keberhasilan penyampaian pendidikan kespro ini, tim Skala PKBI bersama Dinas
Pendidikan dan Perpustakaan (P & P) Kota Bandar Lampung melakukan
monitoring berkala ke setiap sekolah yang melakukan uji coba. Selain itu, dalam jangka waktu tiga bulan sekali,
dilakukan pertemuan antara kepala sekolah dan Perkumpulan Keluarga Besar
Indonesia (PKBI).
IV. PEMBAHASAN
4.1. Review Hasil Penelitian
(Studi Kasus di Makasar)
Pergaulan remaja
usia SMA, betul-betul memprihatinkan dan sudah kehilangan kontrol. Betapa tidak,
penelitian mahasiswa Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada (UGM)
Yogyakarta, Istiana Tajuddin, khususnya anak gadis (siswi), pada umumnya sudah
kehilangan budaya siri’.Mereka tak segan-segan melakukan perilaku seks di
tempat umum (public space).
Ironisnya, mereka pula yang memancing kaum lelaki untuk berlaku demikian.
Perilaku seks yang diteliti meliputi perilaku
pegangan tangan, pelukan, ciuman dan bermesraan. Bermesraan di
klasisfikasi Isti, adalah tingkatan lebih tinggi, yaitu masuk pada wilayah
saling bercumbu.
Hasil tersebut
diakumulasikan dari 260 siswi (responden) se Kota Makassar, pada empat SMA,
yaitu SMaN 1 (55 siswi), SMAN 3 (100 siswi), SMAN 4 (50 siswi), dan SMAN 5 (60
siswi). Dari 260 siswi yang diambil sebagai sampel, melalui penyebaran
quesioner, data yang memenuhi syarat untuk digunakan sebanyak 155 responden
siswi, Hal itu disebabkan dalam riset ini mencari subyek yang pernah berpacaran.
Pengerjaan
penelitian itu dilakukan hampir sebulan, dengan mencari siswi SMA kategori usia
15-18 tahun, yang bukan termasuk siswa di kelas unggulan. Jika kelas unggulan, diprediksi
akan memberikan jawaban yang normatif, sehingga fakta yang dicari tidak akan
terkuak.
Begitu pula
bahan pertanyaan yang ada di quesioner, ada sekitar puluhan pertanyaan, namun
tidak mencantumkan nama, agama dan asal keluarga. Yang diutamakan hanyalah
suku. Pertimbangannya, suku Bugis-Makasar dikenal sangat menjunjung tinggi
budaya siri’.
Jumlah siswi
yang meminta untuk berpelukan 69, mengelus tangan 82 orang, dicium 38,
bermesraan 39. Jumlah ini adalah kategori responden yang mau tanpa menolak.
Sedangkan yang meminta, berpelukan 45, pegangan tangan 125, berciuman 5 orang.
Kalau dirata-ratakan, untuk kelas pegangan tangan,
yaitu 12 persen menolak, 30 persen menerima terpaksa 19 persen menikmati, 39
persen meminta. Untuk kategori pelukan, yakni 22 persen menolak, 24
persen menerima terpaksa, 33 persen menikmati, dan 21 persen meminta.
Perilaku
berciuman, ungkapnya lagi, 47 persen menolak, 13 persen menerima terpaksa, 20
persen menikmati, 20 persen meminta. Dan yang bermesraan dari 155 responden
itu, 35 persen menolak, 17 persen menerima terpaksa, 32 persen menikmati, dan
16 persen meminta.
Kesimpulan dalam
penelitian skripsi ini, menunjukkan peran orang tua dan budayawan dalam
mengajarkan muda-mudi budaya siri’ sudah sangat jarang. “Tanpa penelitian data lapangan pun kita kerap
melihat muda-mudi yang bermesuman di ruang-ruang publik.
Gaya Pacaran Remaja Makassar
Pegangan tangan12 persen menolak
30 persen menerima terpaksa
19 persen menikmat
39 persen meminta
Pelukan
22 persen menolak
24 persen menerima terpaksa
33 persen menikmati
21 persen meminta
Ciuman
47 persen menolak
13 persen menerima terpaksa
20persen menikmati
20 persen meminta.
Bermesraan
35 persen menolak
17 persen menerima terpaksa
32 persen menikmati
16 persen meminta.
* Responden: 260 siswi di SMaN 1,
3, 4 dan 5
* Metode penelitian: Random
Sampling
4.2. Penjelasan Atas
Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005
Dalam makalah ini PP RI No 19 Tahun 2005 digunakan sebagai landasan
berpikir karena dalam ketentuan BAB I pasal 1 di atas dalam ayat 4 dinyatakan
bahwa Standar kompetensi lulusan adalah kualifikasi kemampuan lulusan yang
mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan.
Pada hakekatnya pendidikan dalam konteks pembangunan
nasional mempunyai fungsi: (1) pemersatu bangsa, (2) penyamaan kesempatan, dan
(3) pengembangan potensi diri. Pendidikan diharapkan dapat memperkuat keutuhan
bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), memberi kesempatan yang
sama bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam pembangunan, dan
memungkinkan setiap warga negara untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya
secara optimal.
Sementara itu,
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
merupakan dasar hukum penyelenggaraan dan reformasi sistem pendidikan nasional.
Undang-undang tersebut memuat visi, misi, fungsi, dan tujuan pendidikan
nasional, serta strategi pembangunan pendidikan nasional, untuk mewujudkan
pendidikan yang bermutu, relevan dengan kebutuhan masyarakat, dan berdaya saing
dalam kehidupan global.
Visi pendidikan
nasional adalah mewujudkan sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat
dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia agar berkembang menjadi
manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman
yang selalu berubah. Misi pendidikan nasional adalah: (1) mengupayakan
perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi
seluruh rakyat Indonesia; (2) meningkatkan mutu pendidikan yang memiliki daya
saing di tingkat nasional, regional, dan internasional; (3) meningkatkan
relevansi pendidikan dengan kebutuhan masyarakat dan tantangan global; (4)
membantu dan memfasilitasi pengembangan potensi anak bangsa secara utuh sejak
usia dini sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar; (5)
meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas proses pendidikan untuk
mengoptimalkan pembentukan kepribadian yang bermoral; (6) meningkatkan
keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan
ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, sikap, dan nilai berdasarkan
standar yang bersifat nasional dan global; dan (7) mendorong peran serta
masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan berdasarkan prinsip otonomi dalam
konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Terkait dengan
visi dan misi pendidikan nasional tersebut di atas, reformasi pendidikan
meliputi hal-hal berikut:
Pertama; penyelenggaraan pendidikan dinyatakan sebagai suatu proses
pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat, di
mana dalam proses tersebut harus ada pendidik yang memberikan keteladanan dan
mampu membangun kemauan, serta mengembangkan potensi dan kreativitas peserta
didik. Prinsip tersebut menyebabkan adanya pergeseran paradigma proses
pendidikan, dari paradigma pengajaran ke paradigma pembelajaran. Paradigma
pengajaran yang lebih menitikberatkan peran pendidik dalam mentransformasikan
pengetahuan kepada peserta didiknya bergeser pada paradigma pembelajaran yang
memberikan peran lebih banyak kepada peserta didik untuk mengembangkan potensi
dan kreativitas dirinya dalam rangka membentuk manusia yang memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, berakhlak mulia, berkepribadian, memiliki kecerdasan,
memiliki estetika, sehat jasmani dan rohani, serta keterampilan yang dibutuhkan
bagi dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Kedua; adanya perubahan pandangan tentang peran manusia dari
paradigma manusia sebagai sumberdaya pembangunan, menjadi paradigma manusia
sebagai subjek pembangunan secara utuh. Pendidikan harus mampu membentuk
manusia seutuhnya yang digambarkan sebagai manusia yang memiliki karakteristik personal
yang memahami dinamika psikososial dan lingkungan kulturalnya. Proses
pendidikan harus mencakup: (1) penumbuhkembangan keimanan, ketakwaan,; (2)
pengembangan wawasan kebangsaan, kenegaraan, demokrasi, dan kepribadian; (3)
penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi; (4) pengembangan, penghayatan,
apresiasi, dan ekspresi seni; serta (5) pembentukan manusia yang sehat jasmani
dan rohani. Proses pembentukan manusia diatas pada hakekatnya merupakan proses
pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat.
Ketiga; Adanya pandangan terhadap keberadaan peserta didik yang
terintegrasi dengan lingkungan sosial-kulturalnya dan pada gilirannya akan
menumbuhkan individu sebagai pribadi dan anggota masyarakat mandiri yang
berbudaya. Hal ini sejalan dengan proses pentahapan aktualisasi intelektual,
emosional dan spiritual peserta didik di dalam memahami sesuatu, mulai dari
tahapan paling sederhana dan bersifat eksternal, sampai tahapan yang paling
rumit dan bersifat internal, yang berkenaan dengan pemahaman dirinya dan lingkungan
kulturalnya.
Keempat; Dalam rangka mewujudkan visi dan menjalankan misi
pendidikan nasional, diperlukan suatu acuan dasar (benchmark) oleh setiap
penyelenggara dan satuan pendidikan, yang antara lain meliputi kriteria dan kriteria
minimal berbagai aspek yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan. Dalam
kaitan ini, criteria dan kriteria penyelenggaraan pendidikan dijadikan pedoman
untuk mewujudkan: (1) pendidikan yang berisi muatan yang seimbang dan holistik;
(2) proses pembelajaran yang demokratis, mendidik, memotivasi, mendorong
kreativitas, dan dialogis; (3) hasil pendidikan yang bermutu dan terukur; (4)
berkembangnya profesionalisme pendidik dan tenaga kependidikan; (5) tersedianya
sarana dan prasarana belajar yang memungkinkan berkembangnya potensi peserta
didik secara optimal; (6) berkembangnya pengelolaan pendidikan yang
memberdayakan satuan pendidikan; dan (7) terlaksananya evaluasi, akreditasi dan
sertifikasi yang berorientasi pada peningkatan mutu pendidikan secara
berkelanjutan.
Acuan dasar
tersebut di atas merupakan standar nasional pendidikan yang dimaksudkan untuk
memacu pengelola, penyelenggara, dan satuan pendidikan agar dapat meningkatkan
kinerjanya dalam memberikan layanan pendidikan yang bermutu. Selain itu,
standar nasional pendidikan juga dimaksudkan sebagai perangkat untuk mendorong
terwujudnya transparansi dan akuntabilitas publik dalam penyelenggaraan sistem pendidikan
nasional.
Standar nasional
pendidikan memuat kriteria minimal tentang komponen pendidikan yang
memungkinkan setiap jenjang dan jalur pendidikan untuk mengembangkan pendidikan
secara optimal sesuai dengan karakteristik dan kekhasan programnya. Standar
nasional pendidikan tinggi diatur seminimal mungkin untuk memberikan
keleluasaan kepada masing-masing satuan pendidikan pada jenjang pendidikan
tinggi dalam mengembangkan mutu layanan pendidikannya sesuai dengan program
studi dan keahlian dalam kerangka otonomi perguruan tinggi. Demikian juga
standar nasional pendidikan untuk jalur pendidikan nonformal hanya mengatur
hal-hal pokok dengan maksud memberikan keleluasaan kepada masing-masing satuan
pendidikan pada jalur pendidikan nonformal yang memiliki karakteristik tidak
terstruktur untuk mengembangkan programnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Penyelenggaraan pendidikan jalur informal yang sepenuhnya menjadi kewenangan
keluarga dan masyarakat didorong dan diberikan keleluasaan dalam mengembangkan
program pendidikannya sesuai dengan kebutuhan keluarga dan masyarakat. Oleh
karena itu, standar nasional pendidikan pada jalur pendidikan informal hanya
mengatur hal-hal yang berkaitan dengan pengakuan kompetensi peserta didik saja.
Modal
intelektual merupakan modal intangible, yang tidak dapat diraba, seperti gedung
atau pabrik, tetapi "hidup" dalam manusia, struktur, proses, budaya,
atau stakeholder organisasi.
Modal sosial
terdiri atas manusia, struktural, dan pelanggan. Modal manusia terkait dengan
kompetensi, integritas, kepemimpinan, kewirausahaan, dan pengetahuan personel
organisasi. Modal struktural merupakan kemampuan organisasi dalam merespons
aneka masalah melalui teknologi, metodologi, pengetahuan eksplisit, dan proses
yang dimiliki. Modal pelanggan berupa relasi, umpan balik, dan pengetahuan
pelanggan.
Dalam konteks
negara, modal manusia menyangkut tingkat pendidikan, etos, integritas,
kewirausahaan, dan pengetahuan masyarakat suatu negara. Sedangkan modal
struktural menyangkut ideologi, budaya, dan sistem yang dijalankan masyarakat
dan pemerintah, yang memampukan menjawab aneka tantangan dan perubahan.
Terakhir, modal pelanggan mencakup kemampuan negara dalam melayani warga, dan
keterbukaan negara dalam memproses umpan balik dari rakyat atau pihak lain.
1. Pendidikan
Menyorot kondisi Indonesia melalui modal
intelektual, terlihat pemandangan menyedihkan. Dari laporan Human Development
Index (UNDP, 2006), posisi Indonesia
masih di bawah Filipina, Malaysia, dan Thailand. Rendahnya mutu modal
manusia Indonesia terutama
disebabkan sistem pendidikan Indonesia
yang miskin visi dan lemah konsep. Selama puluhan tahun, para penentu kebijakan
pendidikan negeri ini masih mencari arah dan visi pendidikan.
2. Modal struktural
Sebagai salah satu modal struktural, sistem
birokrasi gagal direformasi, bahkan menjadi penghambat utama reformasi bidang
lain. Birokrasi masih lebih terasa sebagai beban bagi masyarakat dalam
menjalankan kehidupannya. Birokrasi masih diduduki pejabat penguasa, bukan
pelayan masyarakat. Kultur birokrasi demikian adalah lahan subur tumbuhnya
korupsi.
Modal struktural lainnya—sistem politik—juga
gagal berfungsi sebagai leader machine. Hingga kini, pemimpin yang ditawarkan
berbagai partai politik masih berupa daur ulang tokoh lama.
Indonesia yang bertengger dalam jajaran pembajak
terbesar di dunia menunjukkan perlindungan atas modal intelektual yang belum
serius. Akibatnya, negeri ini bukan tempat yang ramah bagi lahir dan
berkembangnya orang kreatif dan penemu. Lebih menyedihkan lagi, kekayaan
tradisional kita juga luput dari perlindungan hukum.
Modal struktural lain yang sudah luntur
adalah sistem nilai. Para pemimpin tidak
merevitalisasi nilai-nilai warisan founding fathers. Nilai-nilai Pancasila,
gotong royong, dan kejuangan hanya disinggung. Mereka kurang percaya diri
membicarakan, mungkin karena sudah gagal menjadi model dalam penerapan.
Bagaimana dengan modal pelanggan negara?
Birokrasi adalah alat utama negara dalam melayani masyarakat sebagai pelanggan.
Masalahnya, terminologi pelanggan dan pelayanan belum dikenal dalam sistem
birokrasi Indonesia.
Posisi rakyat dalam sistem birokrasi kita adalah pemohon, bukan pihak yang
berhak mendapat pelayanan terbaik. Ini mengakibatkan kualitas layan publik
mengecewakan.
Kondisi modal intelektual yang begitu
memprihatinkan membuat bangsa ini kehilangan efektivitas dalam mengelola
berbagai kekayaan. Karena yang dapat mengonversi aneka kekayaan menjadi
kemakmuran adalah modal intelektual. Semakin rendah modal intelektual, semakin
rendah kemampuan suatu bangsa mengelola kekayaannya. Akibatnya, kian kecil pula
nilai tambah yang diperoleh. Bahkan pengelolaan berbagai kekayaan dengan
semangat eksploitatif yang miskin modal intelektual sering menimbulkan bencana.
Belum lagi menghadapi persoalan degradasi moral generasi muda seperti yang
telah diuraikan di atas.
Komponen modal intelektual mana yang lebih
dulu dibenahi? Modal manusia mungkin merupakan jawaban yang kita sepakati
sebagai titik awal untuk membenahi benang kusut ini. Karena komponen inilah
yang paling efektif memperbaiki jenis modal intelektual lainnya. Untuk itu,
pembenahan sistem pendidikan tidak perlu diwacanakan lagi.
4.3. Upaya Pencegahan Terhadap Perilaku Sex Bebas
1. Pendidikan Agama Sebagai Pendidikan Budi Pekerti Yang Utama
Pada suatu senja yang lenggang, terlihat seorang
wanita berjalan terhuyung-huyung.
Pakaiannya yang serba hitam menandakan bahwa ia berada dalam dukacita yang mencekam.
Kerudungnya menangkup rapat hampir seluruh wajahnya. Tanpa hias muka atau
perhiasan menempel di tubuhnya. Kulit yang bersih, badan yang ramping dan roman
mukanya yang ayu, tidak dapat menghapus kesan kepedihan yang tengah meruyak
hidupnya. Ia melangkah terseret-seret mendekati kediaman rumah Nabi Musa a.s.
Diketuknya pintu pelan- pelan sambil mengucapkan uluk salam. Maka terdengarlah
ucapan dari dalam "Silakan masuk".
Perempuan cantik itu lalu berjalan masuk sambil
kepalanya terus merunduk. Air
matanya berderai tatkala ia Berkata, "Wahai Nabi Allah. Tolonglah
saya. Doakan saya agar Tuhan berkenan
mengampuni dosa keji saya."
"Apakah
dosamu wahai wanita ayu?" tanya Nabi Musa a.s. terkejut.
"Saya takut
mengatakannya."jawab wanita cantik. "Katakanlah jangan ragu-ragu!"
desak Nabi Musa.
Maka perempuan itupun terpatah bercerita,
"Saya... telah berzina.
"Kepala
Nabi Musa terangkat,hatinya tersentak. Perempuan itu meneruskan,
"Dari perzinaan itu saya pun...lantas hamil. Setelah
anak itu lahir,langsung saya... cekik lehernya sampai... tewas," ucap
wanita itu seraya menangis sejadi-jadinya.
Nabi Musa berapi-api matanya. Dengan muka
berang ia mengherdik, "Perempuan bejad, enyah kamu dari sini! Agar siksa
Allah tidak jatuh ke dalam rumahku karena perbuatanmu. Pergi!"... teriak
Nabi Musa sambil memalingkan mata karena jijik.
Perempuan
berwajah ayu dengan hati bagaikan kaca membentur batu, hancur luluh segera
bangkit dan melangkah surut. Dia terantuk-antuk keluar dari dalam rumah Nabi
Musa. Ratap tangisnya amat memilukan.Ia tak tahu harus kemana lagi hendak
mengadu. Bahkan ia tak tahu mau dibawa kemana lagi kaki-kakinya. Bila seorang
Nabi saja sudah menolaknya, bagaimana pula manusia lain bakal menerimanya?
Terbayang olehnya betapa besar dosanya, betapa jahat perbuatannya. Ia tidak
tahu bahwa sepeninggalnya, Malaikat Jibril turun mendatangi Nabi Musa.
Sang Ruhul Amin
Jibril lalu bertanya, "Mengapa engkau menolak seorang wanita yang hendak
bertaubat dari dosanya? Tidakkah engkau tahu dosa yang lebih besar
daripadanya?" Nabi Musa terperanjat. "Dosa apakah yang lebih besar
dari kekejian wanita pezina dan pembunuh itu?" Maka Nabi Musa dengan penuh
rasa ingin tahu bertanya kepada Jibril. "Betulkah ada dosa yang lebih
besar daripada perempuan yang nista itu?"
"Ada!" jawab Jibril dengan
tegas. "Dosa apakah itu?"
tanya Musa kian penasaran."Orang yang meninggalkan sholat dengan sengaja
dan tanpa menyesal. Orang itu dosanya lebih besar dari pada seribu kali
berzina"
Mendengar
penjelasan ini Nabi Musa kemudian memanggil wanita tadi untuk menghadap kembali
kepadanya. Ia mengangkat tangan dengan khusuk untuk memohonkan ampunan kepada
Allah untuk perempuan tersebut. Nabi Musa menyedari, orang yang meninggalkan
sembahyang dengan sengaja dan tanpa penyesalan adalah sama saja seperti berpendapat
bahwa sembahyang itu tidak wajib dan tidak perlu atas dirinya. Berarti ia
seakan-akan menganggap remeh perintah Tuhan, bahkan seolah-olah menganggap
Tuhan tidak punya hak untuk mengatur dan memerintah hamba-Nya.
Sedang orang
yang bertobat dan menyesali dosanya dengan sungguh-sungguh berarti masih
mempunyai iman di dadanya dan yakin bahwa Allah itu berada di jalan ketaatan
kepada-Nya. Itulah sebabnya Tuhan pasti mau menerima kedatangannya. (Dikutip
dari buku 30 kisah teladan - KH Abdurrahman Arroisy)
Dalam hadis Nabi
SAW disebutkan : Orang yang meninggalkan sholat lebih besar dosanya dibanding
dengan orang yang membakar 70 buah Al-Qur'an, membunuh 70 nabi dan bersetubuh
dengan ibunya di dalam Ka'bah. Dalam hadis yang lain disebutkan bahwa orang
yang meninggalkan sholat sehingga terlewat waktu, kemudian ia mengqadanya, maka
ia akan disiksa dalam neraka selama satu huqub. Satu huqub adalah delapan puluh
tahun. Satu tahun terdiri dari 360 hari, sedangkan satu hari diakherat
perbandingannya adalah seribu tahun di dunia.
Demikianlah
kisah Nabi Musa dan wanita penzina dan dua hadis Nabi, mudah-mudahan menjadi
pelajaran bagi kita dan timbul niat untuk melaksanakan kewajiban sholat dengan
istiqomah.
Ada seorang lelaki yang
merayu-rayu seorang wanita agar mau melakukan zina dengannya. Segala jurus tipu
daya ia lakukan untuk meruntuhkan keteguhan iman sang wanita. Memang, lelaki
itu ganteng sekali, ditambah lagi ia sangat kaya dikampungnya. Tentu saja tidak
sedikit wanita yang menaruh hati padanya. Bagaimana dengan wanita yang
dirayunya itu ?
Wanita tersebut
sebetulnya sudah bersuami. Ia adalah seorang istri yang taat kepada suaminya.
Suaminya sendiri adalah seorang yang taat pula. Perihal rayuan lelaki itu ia
adukan kepada suaminya.
"Wahai
suamiku, lelaki kaya yang tinggal disebelah sana itu seringkali menggoda aku. Ia tinggal
masih sekampung dengan kita. Tiap kali ia berpapasan denganku, atau kebetulan
saja bertemu dengannya, pasti saja ia merayu-rayu aku agar mau berbuat zina
dengannya. Ia terus-menerus melakukan hal itu padaku. Apa yang harus aku
perbuat, suamiku ?" Sang suami menanggapi istrinya dengan tenang-tenang
saja. " Katakan kepada laki-laki itu bahwa engkau akan mau menuruti
godaannya, yaitu berzina dengannya. Cuma, dia mesti memenuhi satu persyaratan dahulu".
Dengan patuh istrinya kemudian mendengarkan terus
apa yang dikatakan oleh suami tercintanya. Setelah itu pergilah ia
menemui laki-laki yang sering mengganggunya itu.
Begitu
mengetahui si wanita yang selalu diincarnya datang mencarinya, bukan main
gembira perasaannya. Hatinya berbunga-bunga. Akhirnya kesampaian juga apa yang
menjadi keinginannya selama ini kepada wanita cantik itu. Dengan penuh
ketidaksabaran ia menantikan apa yang akan dikatakan sang wanita.
"Aku akan
mau berbuat zina denganmu sebagaimana yang selalu engkau katakan kepadaku dalam
rayuan-rayuanmu selama ini !" Mendengar kesediaan wanita itu, lelaki
tersebut langsung berseri-seri wajahnya. Pikirnya, apapun yang dikehendaki
wanita ini akan ia penuhi asalkan ia mau berzina bersamanya. Sungguh ia tak
dapat menahan keinginannya melihat kecantikan dan keelokan tubuh wanita
tersebut yang indah.
"Apapun akan kupenuhi demi kamu. Seandainya
engkau punya permintaan, katakan. Apakah kamu butuh uang atau apa saja.
Pendeknya, aku akan memenuhi apa saja yang engkau inginkan dariku ".
" Baiklah,
Aku tak meminta uang atau materi apa pun. Permintaanku sederhana dan mudah
saja." Dengan rasa tak sabar yang terbaca dari air mukanya, laki-laki-laki
itu terus mendesak siwanita agar ia mengutarakan persyaratan yang ia kehendaki.
" Ayo,
katakan apa saja, aku pasti akan memenuhinya".
" Sebelum kita sama-sama melakukan perbuatan
itu, aku minta agar kamu mau melakukan sholat berjamaah bersama suamiku. Tidak
banyak, hanya empat puluh subuh saja secara terus menerus. Tidak boleh
terputus." Mengetahui cuma itu permintaan siwanita, maka dengan
bersemangat si laki-laki tersebut menyatakan kesangggupannya.
Demikianlah
kisahnya. Mulai sejak ia berjanji, maka sholat subuhlah ia sebagaimana
permintaan itu. Hingga pada sholat subuh yang keempat puluh berlangsung, yakni
setelah janji itu terpenuhi, maka si wanita telah bersiap-siap untuk memenuhi
janjinya. Rupanya, si laki-laki-laki telah bertekun karena keinginan hatinya,
demikian pikir si wanita.
Pergilah si wanita menemui laki-laki tersebut. Begitu
mereka bertemu, apa yang terjadi ? Ternyata kejadian menjadi terbalik. Si
wanita mencoba merayu-rayu si laki-laki itu untuk memenuhi keinginannya. Namun
apa jawab laki-laki itu ?
"Aku kini
sudah bertaubat kepada Allah SWT, wahai perempuan ! Aku tidak mau lagi
melakukan perbuatan terkutuk seperti itu !" Mendengar cerita sang istri,
perihal jawaban si laki-laki yang tempo hari menggodanya, sang suami wanita itu
memanjatkan doa` kepada Allah SWT . "Maha Benar Allah SWT ! Firman-Nya
adalah benar. Bahwa sholat dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar." (
Diceritakan oleh Imam Naisaburi r.a )
Dari dua kisah
di atas hal yang dapat dijadikan pelajaran adalah pentingnya pondasi beragama
bagi setiap manusia. Dengan taat
beragama maka manusia akan menjauhi perbuatan-perbuatan keji dan munkar. Adanya
kekhawatiran akan kerusakan akhlak para generasi muda mungkin tidak terlalu
berlebihan jika para generasi muda mempunyai ketaatan dalam beragama. Tumbuhnya
ketaatan beragama ini dimulai dari seseorang masih baru dilahirkan sampai
dengan dia meninggal. Faktor kondisi rumah tangga sangat memegang peran penting
dalam membangun ketaatan keluarga. Kondisi yang dimaksud disini adalah seberapa
sering ayah sebagai kepala rumah tangga memberikan pembinaan rohani, seberapa
sering kepala rumah tangga mengontrol keluarga dalam beribadah, seberapa banyak
pengetahuan rohani yang telah disampaikan, dan seterusnya.
Seringkali kita
dengar orang-orang yang membangun karir bertahun-tahun akhirnya terpuruk oleh
kelakuan keluarganya. Ada yang dimuliakan di kantornya tapi dilumuri aib oleh
anak-anaknya sendiri, ada yang cemerlang karirnya di perusahaan tapi akhirnya
pudar oleh perilaku istrinya dan anaknya. Ada juga yang populer di kalangan
masyarakat tetapi tidak populer di hadapan keluarganya. Ada yang disegani dan
dihormati di lingkungannya tapi oleh anak istrinya sendiri malah dicaci,
sehingga kita butuh sekali keseriusan untuk menata strategi yang tepat, guna
meraih kesuksesan yang benar-benar hakiki. Jangan sampai kesuksesan kita semu.
Merasa sukses padahal gagal, merasa mulia padahal hina, merasa terpuji padahal
buruk, merasa cerdas padahal bodoh, ini tertipu!
Penyebab
kegagalan seseorang diantaranya :
* Karena dia
tidak pernah punya waktu yang memadai untuk mengoreksi dirinya. Sebagian orang
terlalu sibuk dengan kantor, urusan luar dari dirinya akibatnya dia kehilangan
fondasi yang kokoh. Karena orang tidak bersungguh-sungguh menjadikan keluarga
sebagai basis yang penting untuk kesuksesan.
* Sebagian orang hanya mengurus keluarga dengan
sisa waktu, sisa pikiran, sisa tenaga, sisa perhatian, sisa perasaan, akibatnya
seperti bom waktu. Walaupun uang banyak tetapi miskin hatinya. Walaupun
kedudukan tinggi tapi rendah keadaan keluarganya.
Oleh karena
itulah, jikalau kita ingin sukses, mutlak bagi kita untuk sangat serius
membangun keluarga sebagai basis (base), Kita harus jadikan keluarga kita
menjadi basis ketentraman jiwa. Bapak pulang kantor begitu lelahnya harus rindu
rumahnya menjadi oase ketenangan. Anak pulang dari sekolah harus merindukan
suasana aman di rumah. Istri demikian juga. Jadikan rumah kita menjadi oase
ketenangan, ketentraman, kenyamanan sehingga bapak, ibu dan anak sama-sama
senang dan betah tinggal dirumah.
Agar rumah kita
menjadi sumber ketenangan, maka perlu diupayakan:
# Jadikan rumah
kita sebagai rumah yang selalu dekat dengan Allah SWT, dimana di dalamnya penuh
dengan aktivitas ibadah; sholat, tilawah qur'an dan terus menerus digunakan
untuk memuliakan agama Allah, dengan kekuatan iman, ibadah dan amal sholeh yang
baik, maka rumah tersebut dijamin akan menjadi sumber ketenangan.
# Seisi rumah
Bapak, Ibu dan anak harus punya kesepakatan untuk mengelola perilakunya,
sehingga bisa menahan diri agar anggota keluarga lainnya merasa aman dan tidak
terancam tinggal di dalam rumah itu, harus ada kesepakatan diantara anggota
keluarga bagaimana rumah itu tidak sampai menjadi sebuah neraka.
# Rumah kita
harus menjadi "Rumah Ilmu" Bapak, Ibu dan anak setelah keluar rumah,
lalu pulang membawa ilmu dan pengalaman dari luar, masuk kerumah berdiskusi
dalam forum keluarga; saling bertukar pengalaman, saling memberi ilmu, saling
melengkapi sehingga menjadi sinergi ilmu. Ketika keluar lagi dari rumah terjadi
peningkatan kelimuan, wawasan dan cara berpikir akibat masukan yang dikumpulkan
dari luar oleh semua anggota keluarga, di dalam rumah diolah, keluar rumah jadi
makin lengkap.
# Rumah harus
menjadi "Rumah pembersih diri" karena tidak ada orang yang paling
aman mengoreksi diri kita tanpa resiko kecuali anggota keluarga kita. Kalau
kita dikoreksi di luar resikonya terpermalukan, aib tersebarkan tapi kalau
dikoreksi oleh istri, anak dan suami mereka masih bertalian darah, mereka akan
menjadi pakaian satu sama lain. Oleh karena itu,barangsiapa yang ingin terus menjadi
orang yang berkualitas, rumah harus kita sepakati menjadi rumah yang saling
membersihkan seluruh anggota keluarga. Keluar banyak kesalahan dan kekurangan,
masuk kerumah saling mengoreksi satu sama lain sehingga keluar dari rumah, kita
bisa mengetahui kekurangan kita tanpa harus terluka dan tercoreng
karena keluarga
yang mengoreksinya.
# Rumah kita
harus menjadi sentra kaderisasi sehingga Bapak-Ibu mencari nafkah, ilmu,
pengalaman wawasan untuk memberikan yang terbaik kepada anak-anak kita sehingga
kualitas anak atau orang lain yang berada dirumah kita, baik anak kandung, anak
pungut atau orang yang bantu-bantu di rumah, siapa saja akan meningkatkan
kualitasnya. Ketika kita mati, maka kita telah melahirkan generasi yang lebih
baik.
Tenaga, waktu
dan pikiran kita pompa untuk melahirkan generasi-generasi yang lebih bermutu,
kelak lahirlah kader-kader pemimpin yang lebih baik. Inilah sebuah rumah tangga
yang tanggung jawabnya tidak hanya pada rumah tangganya tapi pada generasi
sesudahnya serta bagi lingkungannya.
2. Soft Skills dan Pendidikan Kesehatan dan
Reproduksi Dalam Kurikulum Pendidikan
a. Soft Skill Trainee
Handrawan Nadesul (2007), seorang dokter dan
penulis buku menyatakan bahwa untuk menjadi kaya, semua orang bisa
instan melakoni. Namun, tidak siapa saja siap menjadi orang susah. Orang miskin
baru kian banyak. Penganggur baru menambah bengkak angka kemiskinan. Bisa jadi,
itu sebabnya, selain angka bunuh diri tinggi, tiga dari sepuluh orang Indonesia
tercatat terganggu jiwanya.
Tidak
siap hidup susah berisiko sakit jiwa. Ada cara sederhana menekan risiko sakit
jiwa. Sejak kecil anak dibuat tahan banting. Ketahanan jiwa anak harus
dibangun. Untuk itu, jiwa butuh "imunisasi".
1) Menerima kenyataan
Sejak kecil anak diajar lebih membumi. Yang
gagal kaya rela menerima kenyataan. Yang belum pernah hidup susah diajar
prihatin sedari kecil. Kendati kecukupan, tidak semua yang anak minta perlu
diberi. Anak dilatih merasakan kegagalan.
Tugas orangtua dan guru mengajak anak
berempati pada kesusahan orang lain. Hidup tak luput dari berbagai stresor. Tak
semua stresor jelek. Supaya jiwa tahan banting, stresor dibutuhkan. Anak perlu
mengalami seperti apa tekanan hidup, konflik, kegagalan, rasa kecewa, dan
krisis dalam hidup. Seperti vaksin, biasakan anak memikul aneka stresor yang
bikin jiwanya kebal seandainya kelak hidupnya susah.
Tanpa dilatih hidup susah, anak yang
terbiasa hidup berkecukupan tak tahan banting. Lebih banyak orang sukses lahir
bukan dari keluarga kecukupan. Hidup prihatin membuat jiwa tegar bertahan
melawan kesusahan. Hidup susah membangun mimpi ingin lepas dari rasa kapok
menjadi orang susah. Demi mengubah mimpi jadi kenyataan, spirit kerja keras pun
dipecut.
Einstein
percaya, untuk sukses diperlukan lima persen otak, selebihnya keringat (perspirasi).
Spirit kerja keras menjadi milik orang yang tak pernah puas pada prestasi yang
diraih. Seperti bangsa Troya dulu, pembangunan Jepang dan Korea lebih pesat ketimbang bangsa
sepantar karena memiliki "virus"
n-Ach (need-for-Achievement) yang tinggi.
"Virus"
n-Ach bisa ditularkan kepada anak lewat asuhan dan pendidikan. Bacaan memuat
nilai kehidupan, termasuk mendongeng, pendidikan berdisiplin, dan keteladanan
orang lebih tua. Itu modul-modul kehidupan agar anak tahu juga hidup susah.
2) Jiwa getas
Kebiasaan
meloloh anak dengan kelimpahruahan tidak melatih anak merasakan gagal, kecewa,
rasa ditekan, rasa konflik, atau rasa krisis. Tanpa tempaan stresor, jiwa
getas. Jika jiwa getas, orang rentan stres. Bila tak terlatih hidup berdamai
dengan stres, hidup berisiko gagal andai harus jatuh miskin.
Tak
ada sekolah yang mengajarkan menjadi orang miskin. Tak pula ada kursus
memampukan anak terbiasa hidup berdamai dengan stres. Yang bisa kita lakukan
adalah mengasuh dan mendidik anak tahan banting. Mandat itu harus ada di pundak
setiap orangtua.
Tidak
semua anak kecukupan pernah mengalami stresor. Dalam pendidikan modern, anak
sengaja dihadapkan pada stresor buatan. Ada pelatihan diam-diam, dalam suasana
berkemah atau outbound diciptakan situasi krisis. Mobil sengaja dibuat mogok di
tengah hutan pada malam hari, atau kehabisan makanan selagi camping.
Dihadang
stressor buatan, anak dilatih bagaimana bereaksi, beradaptasi, agar mampu lolos
dari rasa panik, rasa takut, rasa tidak enak berada dalam situasi darurat. Ini
bagian dari upaya membuat kebal jiwa anak. Bila jiwa tak tahan banting,
sontekan stres kecil mungkin diatasi dengan bunuh diri. Kini semakin banyak
kasus bunuh diri hanya karena alasan enteng. Gara-gara ditinggal pacar, tidak
naik kelas, sebab jiwa tak terlatih memikulnya. Maka jiwa perlu digembleng.
3) Kerja
keras
Menggembleng
berarti menunjukkan rasa arah hidup prihatin, selain berdisiplin. Hidup
berdisiplin berarti menjunjung tinggi kebenaran, memikul tanggung jawab, kerja
keras, serta mampu menunda kepuasan.
Menunda
kepuasan bentuk keunggulan sebuah bangsa. Bangsa unggul memiliki
"virus" n-Ach tinggi. Anak yang diasuh dan dididik dengan nilai-nilai
"virus" n-Ach, menyimpan bekal sukses. Itu kelihatan, misalnya, dari
cara makan. Anak dengan n-Ach tinggi menyisihkan yang enak dimakan belakangan,
yang tidak enak dimakan dulu. Tugas berat dikerjakan dulu, yang enteng
belakangan. Bersakit-sakit dulu bersenang-senang kemudian menjadi kredo bangsa
yang sukses.
Agar
tahu hidup susah, anak diajak memahami bahasa hidup bukan uang semata. Tak
semua semerbak kehidupan bisa dipetik dengan uang. Kebahagiaan tertinggi hanya
terpetik setelah orang mampu merasa bersyukur meski cuma menjadi orang biasa
(mengutip Gede Prama).
Sukses
hidup sejati tak mungkin terpetik instan. Jiwa potong kompas, ingin lekas kaya,
tumbuh dari budaya instan. Bukan rasa arah yang benar saja yang perlu
ditanamkan saat membesarkan anak, tetapi harus benar pula menempuhnya di mata
Tuhan.
Anak
disiapkan menjadi insan linuwih (terinternalisasi penuh super- egonya) dengan
cara mengempiskan egonya sekecil mungkin. Rekayasa sosial (social engineering) diperlukan dengan menyuntikkan
"vaksin" hidup prihatin. Perlu pula penyubur super-ego agar kendati
hidup susah, masih merasa bahagia.
Hanya
bila bibit linuwih dipupuk sejak kecil, sekiranya hidup susah tak tergoda
memilih serong. Kendati tak banyak harta, uang, atau kuasa, ke arah mana pun
hidup memandang, merasa tetap "kaya". Mampu legawa, bersyukur, dan
merasa berbahagia sudah pula meraih Oscar kehidupan, kendati mungkin hanya
menjadi orang biasa.
b. Pendidikan
Kesehatan dan Reproduksi
Pelayanan
Kesehatan Reproduksi Esensial (PKRE), merupakan salah satu kebijakan nasional
kesehatan reproduksi di Indonesia yang memprioritaskan empat komponen dalam
pelayanan kesehatan reproduksi, yaitu meliputi : Kesehatan Ibu dan bayi baru
lahir, Keluarga Berencana, Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR), dan Penyakit
Menular Seksual (PMS) termasuk HIV/AIDS (Dep. Kes. R.I., 2002).
Lentera
Sahaja PKBI Yogyakarta adalah sebuah proyek yang berada di bawah naungan
Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia,
yang peduli terhadap permasalahan kesehatan reproduksi remaja. Proyek ini
bergerak dalam hal perlindungan dan pencegahan HIV/AIDS, PMS (Penyakit Menular
Seksual) untuk remaja dan kelompok marginal. Sasaran dari proyek ini
adalah remaja berusia 10 – 24 tahun, yang rentan karena perilaku seksual
beresiko, rendahnya akses terhadap layanan dan informasi kesehatan reproduksi /
seksual, termarginalisasi (terpinggirkan ) karena status gender/orientasi
seksnya dan status sosial ekonomi. Banyak kegiatan yang dijalankan
misalnya konseling, program siaran interaktif di radio, penulisan rubrik di
media massa, pendampingan / outreach
untuk anak sekolah maupun remaja jalanan serta kelompok marginal yang
lain. Tentu semua ini dilakukan dengan berpayung pada nilai-nilai non
diskriminatif, adil gender, demokratis, setara dan juga partisipatif.
Masalah
kesehatan reproduksi memang merupakan sebuah masalah yang pelik bagi remaja,
karena masa remaja merupakan masa di mana manusia mengalami perkembangan yang
pesat baik fisik, psikis maupun sosial. Di mana perubahan ini juga akan
berdampak pada perilaku remaja tersebut. Perkembangan fisik ditandai
dengan semakin matang dan mulai berfungsinya organ – organ tubuh termasuk
organ reproduksinya. Perubahan psikis yang dialami pada masa pubertas
tersebut adalah lebih perhatian terhadap diri sendiri, lebih perhatian dan juga
ingin diperhatikan oleh lawan jenisnya, dengan menjaga penampilanya. Termasuk
dalam perubahan secara psikis ini adalah inginnya si remaja manjadi mandiri
tanpa harus diatur – atur lagi oleh orang tua. Sedangkan perubahan social
yang dialaminya adalah bahwa remaja pada fase ini akan lebih dekat dengan teman
sebayanya dibandingkan dengan orang tuanya sendiri. Hal ini tentu banyak sekali
akibatnya, salah satunya adalah sumber informasi, karena remaja cenderung lebih
dekat dengan teman sebayanya maka kemungkinan iapun akan lebih percaya pada
informasi yang berasal dari teman – temannya, termasuk informasi tentang
seksualitas. Padahal informasi seperti itu belum tentu dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Inilah
yang akhirnya memunculkan mitos-mitos di seputar seksualitas, sebuah informasi
yang belum pasti kebenarannya, namun sudah terlanjur dipercaya oleh remaja. Mitos yang paling ngetren di kalangan
remaja adalah hubungan seks ( HUS ) sekali tidak bakalan menyebabkan kehamilan.
Atau HUS adalah tanda cinta dan sayang khususnya di hari-hari spesial
seperti ‘hari jadian’, ultah ataupun valentine
day. Salah satu cara menyikapi mitos-mitos tersebut adalah dengan
memberikan informasi tentang kesehatan reproduksi dengan tepat dan benar, dan
hal ini tercakup dalam pendidikan kesehatan reproduksi / seksualitas.
Pendidikan seksualitas bukan sekedar memberi informasi yang lengkap mengenai
seksualitas, misalnya dari sudut pandang bilogis yaitu tentang organ
reproduksi tetapi juga mengajarkan ketrampilan untuk memilih dan
mengkomunikasikan pilihannya, serta mengajarkan laki-laki untuk lebih
menghormati perempuan dengan demikian pendidikan seksualitas justru melindungi
remaja dari resiko hubungan seks yang tidak terlindungi. Mengingat rasa ingin
tahu remaja yang besar maka memaparkan fakta dan strategi pengambilan keputusan
merupakan sesuatu yang sangat penting dalam pendidikan seksualitas. Ada beberapa persyaratan
yang harus dipenuhi agar pendidikan seks yang diberikan sesuai dengan kebutuhan
remaja, serta tidak menyimpang dari prinsip pendidikan seksualitas itu sendiri.
Kriteria
tersebut adalah :
1) pendidikan seksualitas
harus didasarkan pada penghormatan atas hak reproduksi dan hak seksual remaja
untuk mempunyai pilihan
2) berdasarkan pada
kesetaraan gender
3) melibatkan remaja untuk
berpartisipasi dalam semua aspek pendidikan seksualitas
4) dilakukan secara formal
maupun non formal
5) pendidikan seksualitas
haruslah dilengkapi dengan peningkatan akses terhadap layanan yang terjangkau,
friendly ( ramah ), dan tidak membeda-bedakan
Disini
kita bias melihat kalau pendidikan seksualitas itu merupakan sebuah kebutuhan
bagi kita para remaja, untuk mengurangi dahaganya atas informasi seksualitas
yang benar dan bertanggung jawab yang tidak pernah kita dapatkan dari manapun,
dari keluarga, sekolah maupun dari sumber-sumber lain. Apalagi saat ini tantangan
yang dihadapi oleh remaja tidaklah ringan di mana kita berada di jaman yang
serba modern, semua serba ada dan tersedia sehingga hanya kita sendirilah yang
bisa mengontrol perilaku berkaitan dengan masalah seksualitas. Sehingga dengan
adanya bekal pendidikan seksualitas ini harapannya adalah kita bakal menjadi
lebih berdaya, bisa memutuskan mana yang terbaik untuk kita dengan segala
resiko yang harus ditanggung.
Masyarakat
menganggap bahwa pendidikan seksualitas merupakan sebuah malapetaka karena adanya
persepsi / anggapan yang keliru tentang pendidikan seks itu sendiri di mana
pendidikan seks selalu dianggap identik dengan mengajari remaja untuk
berhubungan seks, padahal masalah seksualitas itu sangatlah luas dari semenjak
manusia lahir sampai ia mati. Kebutuhan ataukah malapetaka sangat tergantung
pada bagaimana masyarakat bisa memahami remaja, sebagai seorang yang sedang
berada di persimpangan jalan bingung untuk memilih jalan mana yang harus ia
lalui, dan pendidikan seksualitas itu berfungsi sebagai penunjuk jalan bagi
remaja.
Perilaku
seksual berisiko yang dapat mengakibatkan tertular infeksi menular seksual
(IMS)—termasuk HIV/AIDS serta kehamilan tak dikehendaki di kalangan
remaja—perlu mendapat perhatian serius. Pendidikan kesehatan reproduksi sepatutnya
diberikan sejak anak di sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA). Masalah
reproduksi perlu dibicarakan secara terbuka, sehingga anak dan remaja memahami
bagaimana organ seksual bekerja, tidak panik lagi jika mengalami menstruasi
pertama bagi perempuan, dan mimpi pertama bagi laki-laki. Pada saat itu secara
biologis mereka dewasa, namun secara psikologis dan sosial, belum. Pendidikan
kesehatan reproduksi diperlukan agar mereka lebih berhati-hati menjaga
kesehatannya.
Pembinaan
kesehatan di sekolah dipandang merupakan strategi yang tepat, mengingat
sebagian besar waktu anak sekolah dihabiskan di sekolah dan sepertiga penduduk Indonesia
adalah anak usia sekolah.
Hal ini telah dirintis sejak tahun 1956
dengan pengembangan model Usaha Kesehatan Sekolah (UKS). Untuk
memantapkan pembinaan UKS secara terpadu, 3 September 1984 ditetapkan Surat
Keputusan Bersama antara Menteri Pendidikan, Menteri Kesehatan, dan Menteri
dalam Negeri tentang pembentukan Tim Pembina UKS tingkat pusat. Hal ini diikuti
tim pembina tingkat provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, serta Tim Pelaksana
UKS di sekolah.
Dalam
Pasal 45 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan disebutkan,
kesehatan sekolah diselenggarakan untuk meningkatkan kemampuan hidup sehat
peserta didik dalam lingkungan hidup sehat, sehingga peserta didik dapat
belajar, tumbuh dan berkembang secara harmonis dan optimal menjadi sumber daya
manusia yang berkualitas.
Pendidikan dan kesehatan berkaitan erat. Anak
yang sehat bisa belajar dengan baik. Sebaliknya, pendidikan mendukung
tercapainya peningkatan status kesehatan.
Ada tiga program pokok
UKS, yaitu pendidikan kesehatan yang diintegrasikan dengan semua mata
pelajaran, pelayanan kesehatan di sekolah dengan adanya poliklinik (bagi
sekolah yang mampu), usaha kesehatan gigi sekolah, serta pembinaan lingkungan
sekolah sehat. Semua siswa
diharapkan aktif berpartisipasi, memahami arti sehat, menerapkan perilaku sehat
pada dirinya, dan menjaga kesehatan lingkungan. Juga memahami kesetaraan jender
Direktur Pusat Pengembangan kualitas
Jasmani Departemen Pendidikan Nasional dr Suharto menambahkan, masalah
kesetaraan jender merupakan bagian dari pendidikan kesehatan reproduksi. Saat
ini ada beberapa materi yang disiapkan untuk masuk kurikulum.
Pemerintah
sudah mengembangkan 25 buku pedoman untuk bacaan anak SD dan SMP. Sekarang
sedang diui coba di 10 kabupaten di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Antara lain di
Cilacap, Semarang, Demak, dan Pasuruan. Tujuannya, menyampaikan masalah
kesehatan reproduksi secara betul. Buku ajar SD yang bias jender juga akan
diubah.
Paparan
Life Skill Education di SMPN 73 dan
SMUN 26; serta forum diskusi bersama. Materi pertama dibawakan oleh Prof. Dr.
Charles Surjadi, MPH. Inti dari isi materi yang disampaikan adalah bahwa
sangatlah penting untuk melakukan pemetaan kegiatan Life Skill Education (LSE) yang ada di Indonesia. Dengan demikian
dapat diketahui wilayah mana yang belum tercapai program LSE ini, sehingga
mudah direncanakan strategi apa yang harus dilakukan berikutnya. Selain itu
perlu dipahami bersama bahwa LSE bukan hanya sekedar sebuah “keterampilan
mencari uang”, namun lebih kepada bagaimana seorang anak dapat menjadi dirinya
sendiri, percaya diri akan kemampuannya, serta dapat mengatasi segala
permasalahan yang dihadapinya dengan baik dan bijak.
UKS
di sekolah sendiri dilaksanakan dalam 3 (tiga) program pokok, yaitu:
1) Pendidikan Kesehatan
(termasuk program intra dan ekstra kurikuler)
2) Pelayanan Kesehatan
(berupa upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif)
3) Bina Lingkungan Kehidupan Sekolah Sehat (termasuk di
dalamnya pembinaan fisik, mental dan sosial)
Masalah berkenaan dengan kegiatan UKS ini
yang terkait dengan 3 (tiga) pokok masalah, yaitu belum adanya kebijakan
pemerintah yang mengarah dan memperhatikan masalah kesehatan reproduksi, sumber
daya manusia yang terbatas serta kegiatan yang walaupun ada namun masih belum
berkembang.
Sasaran
dari program yang salah satu tujuannya untuk meningkatkan pengetahuan dan
perubahan perilaku sehat ini adalah seluruh remaja usia 10 – 19 tahun, baik itu
yang duduk di kelas 5 – 6 SD, SMP, SMU maupun yang ada di Pondok Pesantren.
Kegiatan
kesehatan reproduksi yang telah dilakukan di sekolah-sekolah hingga saat ini
adalah pendidikan kesehatan yang diintegrasikan ke dalam pelajaran Penjaskes
dan Biologi. Ada
pula kegiatan yang lain, namun hingga kini belum terlihat keefektifannya,
misalnya penyuluhan Kesehatan Repoduksi Remaja (KRR) dan konseling KRR. Adapun
kegiatan seperti bimbingan dan konseling yang seharusnya ada di setiap sekolah
lanjutan, nampaknya belum terarah pada KRR.
Masalah-masalah
seputar KRR yang terjadi remaja di tingkat Sekolah Menengah Pertama antara lain
sekitar menstruasi, seperti rasa tidak percaya diri saat haid hingga aktivitas
yang ikut berkurang saat haid datang karena darah haid yang tembus, bau badan
serta sakit saat haid (dysmenorrhoea).
Selain itu ada juga masalah-masalah yang timbul akibat libido yang berlebihan
pada remaja, misalnya mojok saat berpacaran hingga perilaku agresif terhadap
lawan jenis (dilakukan oleh pelajar putri maupun putra). Masalah lain yang
terkait dengan KRR adalah seputar kebingungan karena perubahan fisik dan emosi
yang labil.
Hambatan-hambatan
yang selama ini dihadapi para guru yang menangani KRR di sekolah antara lain
karena kurangnya wawasan/ilmu yang dimiliki, sehingga tidak jarang terjadi
salah persepsi antara guru yang satu dengan yang lainnya. Misalnya guru perempuan tidak bias menjelaskan
darimana darah haid keluar. Selain itu, banyak orang yang menganggap
bahwa KRR merupakan suatu masalah yang tidak penting, baik orang tua, guru dan
pihak terkait lainnya, sehingga banyak yang tidak mendukung program tersebut. Ditambah
lagi dengan tidak adanya pedoman dan panduan dari kurikulum yang jelas, maka
sisipan KRR dalam mata pelajaran tersebut, tampaknya hanya sebagai tambalan
biasa.
Kesimpulan
dari beberapa pernyataan baik berupa himbauan dan juga harapan agar dapat
dibuat pelatihan atau penyuluhan yang intensif terutama untuk para guru, dengan
demikian pemahaman tentang KRR dapat sama dan hasilnya pun menjadi efektif
karena permasalahan KRR tidak hanya akan ditangani oleh guru BK, guru IPA atau
guru Penjaskes saja, melainkan juga oleh semua guru tak terkecuali. Selain itu
tentu saja bahwa pihak terkait (Dinas Kesehatan dan Dinas Pendidikan Nasional)
perlu memasukkan kesehatan reproduksi ke dalam kurikulum
pendidikan.
V. PENUTUP
Dari uraian dan pembahasan
mengenai permasalahan perilaku sex bebas pelajar di atas maka sebagai
penutup ini akan dijelaskan beberapa hal
sebagai berikut.
1. Reformasi
dalam struktur sistem pendidikan yang ada di Indonesia harus ditegakkan dengan
mengacu pada : Pertama;
penyelenggaraan pendidikan dinyatakan sebagai suatu proses pembudayaan dan
pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat, di mana dalam
proses tersebut harus ada pendidik yang memberikan keteladanan dan mampu
membangun kemauan, serta mengembangkan potensi dan kreativitas peserta didik. Kedua; adanya perubahan pandangan
tentang peran manusia dari paradigma manusia sebagai sumberdaya pembangunan,
menjadi paradigma manusia sebagai subjek pembangunan secara utuh. Ketiga; adanya pandangan terhadap
keberadaan peserta didik yang terintegrasi dengan lingkungan sosial-kulturalnya
dan pada gilirannya akan menumbuhkan individu sebagai pribadi dan anggota
masyarakat mandiri yang berbudaya. Dan keempat;
dalam rangka mewujudkan visi dan menjalankan misi pendidikan nasional,
diperlukan suatu acuan dasar (benchmark)
oleh setiap penyelenggara dan satuan pendidikan, yang antara lain meliputi
kriteria dan kriteria minimal berbagai aspek yang terkait dengan
penyelenggaraan pendidikan. Kondisi
modal intelektual yang begitu memprihatinkan membuat bangsa ini kehilangan
efektivitas dalam mengelola berbagai kekayaan. Karena yang dapat
mengonversi aneka kekayaan menjadi kemakmuran adalah modal intelektual. Semakin
rendah modal intelektual, semakin rendah kemampuan suatu bangsa mengelola
kekayaannya. Akibatnya, kian kecil pula nilai tambah yang diperoleh. Bahkan
pengelolaan berbagai kekayaan dengan semangat eksploitatif yang miskin modal
intelektual sering menimbulkan bencana. Belum lagi menghadapi persoalan degradasi moral generasi muda seperti
yang telah diuraikan di atas.
2. Dalam upaya menjaga budi pekerti generasi muda, maka perlu ditumbuhkan ketaatan beragama yang dimulai dari seseorang masih baru dilahirkan sampai dengan dia meninggal. Faktor kondisi rumah tangga sangat memegang peran penting dalam membangun ketaatan keluarga. Kondisi yang dimaksud disini adalah seberapa sering ayah sebagai kepala rumah tangga memberikan pembinaan rohani, seberapa sering kepala rumah tangga mengontrol keluarga dalam beribadah, seberapa banyak pengetahuan rohani yang telah disampaikan, dan seterusnya. Rekayasa sosial (social engineering) diperlukan dengan menyuntikkan "vaksin need for echievement", yaitu hidup prihatin. Perlu pula penyubur super ego agar kendati hidup susah, masih merasa bahagia.
3. Berbagai
himbauan dan juga harapan
agar dapat dibuat pelatihan atau penyuluhan yang intensif terutama untuk para
guru, mengenai pemahaman tentang Kesehatan Reproduksi Remaja (KKR) dapat sama
dan hasilnya pun menjadi efektif karena permasalahan KRR tidak hanya akan
ditangani oleh guru BK, guru IPA atau guru Penjaskes saja, melainkan juga oleh
semua guru tak terkecuali. Selain itu tentu saja bahwa pihak terkait (Dinas
Kesehatan dan Dinas Pendidikan Nasional) perlu memasukkan kesehatan reproduksi
ke dalam kurikulum pendidikan.
REFERENSI :
Anwar. 2001. Prilaku
Buruk Siswa dan Pengelolaannya. Studi
pada SMA Laboratorium IKIP Malang.
Seri
Tesis Program Pascasarjana IKIP Malang.
Alasuutari,
Pertti. 1996. Reseaching
Culture, Qualitative Method and Cultural Studies. Sage Publications. London, Thousand Oaks, New Delhi
Bogdan, Robert, C. and Biklen, Sari
Knop1998. Qualitative Research for
Education : an intruduction to theory and Methods. Allyn and Bacon Inc: Boston, London, Sydney and Toronto
Beth, Hess, B. Dkk. 1982. Sociology, Second Edition, Macmillan Publishing Company, Inc:
New York
Debert Miller, C. 1980. Handbook of Research Design and Social
Measurement, David McKay Company, Inc: New York
Daradjat, Zakiah. 1975. Pendidikan Agama dalam pembinaan Mental.
Bulan Bintang.
Jakarta --------------. 1975. Membina Nilai-nilai
Moral di Indonesia. Bulan Bintang. Jakarta
Denzim, N.K. 1994. Handbook of Qualitatif Reseach, Sage Publisher: London
Evans William, H. 1989. Behavior and Instructional Management an
Ecological Approach, Allyn and Bacon : Boston,
London Toronto.
Faisal, Sanapiah. 1995. Format-format Penelitian Sosial, Dasar-dasar
dan Aplikasi. Raja Wali Press. Jakarta
Howard, Alvin, W. 1998. Teaching in Middles Schools,
International text Book Company: Pennsylvania..
Ibrahim, Muslem, (2007). Qanun Syariat Tidak untuk Non-Muslem, Harian
Serambi Indonesia Tanggal 6 Juli 2007
Istiana Tajuddin, (2007). Gaya Berpacaran Pelajar Makasar Kehilangan
Kontrol-Bermesaraan Bukan Hal Tabu. Skripsi. Fakultas Psikologi,
Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta.
James Coleman and Donald Cressey. 1987. Social Problems. Second Edition. Harper
& Row Publisher, Inc: USA
Kartini Kartono 1986. Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja, Penerbit CV. Rajawali:Jakarta
Lee Cronbach, J. 1984. Educational Psycology, Harcourt, Brace and Company Inc: USA
Yusri. 2005. Peranan Lembaga Pendidikan dalam Mengatasi Kenakalan Remaja. Dalam
Jurnal Triwulan GIRALDA Jaringan Penelitian Pendidikan dan Kebudayaan. BAPEDA
Prov. NAD
Yusuf Qardhawi. 1991. Bagaimana Memahami Syariat Islam (Alih Bahasa oleh Nabhani Idris)
Penerbit Islamna Press: Jakarta
Zulkifli Ali, M. 2005. Masa Depan Pelajar dan Ancaman Narkoba, Harian Serambi Indonesia
Tanggal 29 Agustus 2005 : Banda Aceh
No comments:
Post a Comment