12/12/12

Makalah Mengenai Ilmu dan Agama


A.        Introduksi
Pergulatan manusia untuk memenuhi ambisinya seakan tidak akan pernah mencapai titik jenuh setiap abad yang terlangkahi merupakan pelajaran bagi terbentuknya peradaban baru, terbentuknya keyakinan baru, terbentuknya tuhan-tuhan baru, hanya saja setiap kemajuan yang dicapai oleh umat manusia harus dibayar mahal dengan menipisnya keimanan, tentu saja hal ini tidak akan terjadi jika saja manusia selalu yakin pada prinsip ilmu pengetahuan tanpa agama buta, agama tanpa ilmu pengetahuan lumpuh, bagi mereka yang belajar ilmu pengetahuan saja tanpa dibarengi oleh nilai-nilai agama maka tujuan mereka belajarpun sudah akan bergeser kearah keuntungan duniawi saja, pada akhirnya yang terjadi adalah ukuran besar kecilnya dinar dan dirham yang didapat dari hasil ilmu yang mereka pelajari, bukannya manfaat ilmu tersebut.

Peradaban manusia, menurut Ahmad Muhammad al-’Assal, futuristik sains terkemuka, terbagi atas tiga gelombang. Pertama abad pertanian, kedua, abad industri, dan ketiga abad infomasi. Teori-teori yang berkembang sekarang ini melangkah ke arah era peradaban baru, yaitu gelombang keempat yang ditandai dengan kompetisi yang ketat dalam era globalisasi. Gelombang keempat itu disebut dengan Knowledge Based Economic (KBE).
Di sisi lain peradaban manusia, menurut Huntington dalam Ahmad Muhammad al-’Assal, seorang pakar sains politik terkemuka, akan ada benturan peradaban antara tujuh (hingga delapan) peradaban besar dunia, di antaranya Barat, Islam, dan China. Apa pun konsep peradaban manusia tersebut, "keseimbangan kekuatan" adalah kata kunci agar salah satu dari kelompok peradaban tersebut tidak saling berbenturan. Keseimbangan kekuatan tersebut kalau dahulu adalah lebih ke arah kekuatan militer (hard power), sekarang pada kekuatan daya saing yang menunjang ekonomi negara (soft power).
Soft power adalah kemampuan membuat pihak lain menjalankan apa yang kita inginkan tanpa kita harus menggunakan kekerasan atau membayar, melainkan melalui daya tarik. Dalam konteks penguasaan sains dan teknologi, soft power adalah kemampuan mendominasi suatu negara (dengan peradaban maju) terhadap negara lain melalui kemampuan memenuhi kebutuhannya terhadap sains dan teknologi.
Dunia Barat begitu mendominasi dalam kekuatan sains dan teknologi sejak keruntuhan kekhalifahan Abbasiyah. Dunia Timur yang diwakili Jepang dan China juga mulai unjuk gigi dalam sains dan teknologi. Bagaimana dunia Islam, yang diwakili negara-negara Timur Tengah dan beberapa kawasan Asia seperti Indonesia?
Sehubungan dengan perkuliahan Filsafat Ilmu yang membahas tentang “Ilmu tanpa Agama Buta, Agama tanpa Ilmu Lumpuh, maka dengan melihat pada uraian di atas, muncul pertanyaan-pertanyaan apakah ilmu telah mencakup segenap pengetahuan yang seyogyanya dapat ketahui dalam kehidupan ini? Di batas manakah ilmu mulai dan di batas manakah dia berhenti? Kemanakah kita harus berpaling di batas ketidaktahuan ini? Apakah kelebihan dan kekurangan ilmu? (Mengetahui kekurangan bukan berarti merendahkanmu, namun secara sadar memanfaatkan, untuk terlebih jujur dalam mencintaimu)."


B.        Proses Berpikir
Ilmu menyebabkan wajah dunia berubah dari berbagai segi termasuk struktur kehidupan. Fase kehidupan yang berlaku ini menjadikan kita terhutang budi pada semua perkara yang menyebabkan kita berilmu dan memperolehi ilmu. Adalah lebih bermanfaat jika kita membahas bersama mengenai proses keilmuan tersebut. Ilmu berkembang dan membuahkan hasil melalui proses berpikir. Maka apakah yang dimaksudkan dengan berpikir?

Bagaimanakah berpikir dapat membantu kita dalam mengetahui sesuatu? Kenapa pengetahuan itu dibentuk dan jalan manakah yang perlu ditempuh bagi mendapatkan penelitian keilmuan yang tidak meragukan?, persoalan yang paling penting sekali ialah apakah nilai bagi semua kegiatan ini? Dapatkah kita mempercayainya? Benarkah apa yang telah terhasil boleh dibiarkan untuk memimpin berdasarkan pengetahuan keilmuan?.
Berpikir pada dasarnya merupakan sebuah proses yang membuahkan pengetahuan. Proses ini adalah rangkaian gerak pikir mengikut tatacara pikir yang tertentu untuk menemukan kesimpulan berupa pengetahuan. Gerak pikir adalah berpedoman pada simbol yang berimajinasi abstrak dari obyek yang sedang kita pikirkan. Bahasa adalah salah satu daripada simbol tersebut dimana obyek-obyek kehidupan secara konkrit dinyatakan dengan kata-kata.
 Betapa sulitnya kita membayangkan proses berpikir tersebut tanpa ada symbol-simbol yang menggmbarkan berbagai gejala kehidupan. Matematika merupakan rangkaian simbol yang pada hakikatnya mempunyai fungsi sama seperti bahasa. Pengetahuan merupakan hasil kegiatan berpikir yang menjadi inspirasi dan asas peradaban dimana manusia menemukan dirinya yang selanjutnya manusia dapat menghayati kehidupan dengan lebih sempurna. Berbagai peralatan dikembangkan oleh manusia untuk meningkatkan kualitas hidup. Semua ini adalah perkembangan pengetahuan yang dihasilkan oleh pemikir tersebut. Bermula dari jaman batu sebagai peralatan keperluan hinggalah ke jaman Internet hari ini. Berbagai masalah memasuki benak pikiran manusia dalam menghadapi kenyataan hidup sehari-hari dan berbagai buah pikiran telah ditemukan yang mana keadaan demikian adalah bagian dari sejarah kebudayaan. Biarpun banyak dan beraneka ragam, hakikat keupayaan manusia dalam memperolehi pengetahuan didasarkan kepada tiga persoalan pokok yaitu, pertama, apakah yang ingin kita ketahui?
 Kedua, bagaimanakah untuk kita sampai kepada pengetahuan tersebut? Dan ketiga, apakah manfaat pengetahuan tersebut bagi kita?. Pertanyaan tersebut kelihatannya hanya biasa dan sederhana, namun perlu kita sadari bahwa persoalan tadi mencangkupi masalah yang amat besar. Berbagai masalah dapat menjadi besar disebabkan oleh tiga persoalan itu. Keadaan ini bergantung kepada diri pemikir yang mau melangkah maju dibandingkan dengan pemikir biasa.
Ilmu adalah salah satu dari pemikiran manusia dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan ini. Untuk menghargai ilmu sepatutnya kita harus mengetahui tentang apakah hakikat ilmu sebagaimana ungkapan peribahasa Perancis "mengerti berarti memaafkan segalanya" maka pengertian dan kepahaman yang mendalam terhadap hakikat ilmu bukan saja menjadi penghargaan kita terhadap ilmu tetapi bahkan membuka mata kita kepada kekurangan yang harus ditangani. Mereka yang mendewakan ilmu sebagai satu-satunya sumber kebenaran biasanya tidak mengetahui tentang hakikat ilmu dengan sebenarnya demikian juga sebaliknya bagi mereka yang terus berpaling daripada ilmu.
 Betapa ilmu telah membentuk peradaban dimana hasilnya sedang kita nikmati hari ini. Apabila kita berada di tengah dua pola ekstrim ini, pastikan kita tidak keliru, meskipun ilmu yang memberikan kebenaran namun kebenaran keilmuan bukanlah semestinya kebenaran dalam hidup karena sebagian besar ilmu adalah pencetus teori untuk disampaikan, bukan kenyataan. Terdapat berbagai sumber kebenaran lain yang dapat memperkaya cakrawala kehidupan kita, dan semua kebenaran itu mempunyai manfaat serta harus diletakkan pada tempat yang sepatutnya.
 Kehidupan adalah terlalu rumit untuk di analisis oleh satu jalan pemikiran. Kita tidak beranggapan dengan mengatakan ilmu adalah alpha dan omega dari kebenaran karena falsafah, seni, agama dan sebaginya. Hal ini mempunyai kaitan penting dalam kehidupan manusia. Semuanya saling berkait sebagaimana telah dikatakan oleh Einstein bahwa "ilmu tanpa agama adalah buta dan agama tanpa ilmu adalah lumpuh". Maka semua ini perlu kepada berpikir.
Apakah sebenarnya berpikir?. Secara umum kita mendefinisikan berpikir adalah setiap proses perkembangan ide, konsep dan berbagai hal yang dapat disebut sebagai berpikir. Misalnyanya apabila kita bertanya kepada seseorang, apa yang sedang kamu pikirkan? Kemungkinan jawapan yang diberi, "saya sedang memikirkan tentang keluarga saya.". Hal ini berarti bayangan, kenangan dan berbagai suasana yang melingkupi keadaan seseorang yang sedang berpikir tersebut. Maka kesimpulan umum yang diperolehi dari berpikir adalah ide dan konsep.
Pemikiran keilmuan bukanlah pemikiran yang biasa. Pemikiran keilmuan adalah pemikiran yang bersungguh-sungguh. Artinya terdapat suatu etika berpikir yang disiplin, dimana semua yang berkaitan dengan berbagai hal yang sedang dipikirkan diarahkan pada tujuan yang telah ditentukan. Arah yang dimaksudkan di sini ialah pengetahuan. Oleh sebab itu berpikir keilmuan atau berpikir sungguh-sungguh merupakan cara berpikir yang didisiplinkan dan diarahkan kepada pengetahuan. Bagaimanakah pemikiran tersebut dapat membuahkan pengetahuan bagi kita?. Sesuatu obyek contohnya, telah ada dan sudah pasti (given) maka tidak berlakulah proses berpikir. Dalam hal ini hanya sekadar buka mata atau cukup memusatkan perhatian kepada obyek tersebut saja. Berbeda dengan keadaan jika obyek itu belum ada dan tidak pasti (non-given), maka proses berpikir akan bergerak dari satu fase ke satu fase berikutnya gunai mendapat gambaran dan asumsi yang belum pasti kebenarannya. Kemungkinan apa yang kita pikirkan tersebut tidak benar. Kedua situasi tersebut sebenarnya datang dari pengalaman dan pengetahuan yang lalu untuk mendapatkan bayangan yang akan datang.
Sebagai contoh kita perhatikan obyek yang ingin diketahui sudah ada dan pasti (given). Apa yang patut kita sadari obyek itu sebenarnya tidak sederhana karena pada obyek itu terdapat hal-hal yang rumit bagi penilai untuk mendalaminya. Mungkin pada obyek tersebut terdapat beratus-ratus persoalan jika ditinjau dari berbagai aspek, karakteristik dan sebagainya. Pikiran kita mungkin tidak dapat menampung semuanya dalam satu waktu tertentu. Seseorang yang ingin menilai keseluruhan persoalan yang terkandung dalam obyek tersebut harus sungguh-sungguh memperhatikan semua aspek kemungkinan yang ada pada obyek tersebut serta menganalisisnya dari sudut pandang yang berbeda-beda. Kesemua langkah analisis ini adalah melalui proses berpikir.

C.        Pengertian Ilmu dan Agama
Rajawali dalam Christian Youth Magazine Mei 2005  Monday, 14 July 2008, Einstein, pria keturunan Yahudi yang menggebrak jagat ilmu pengetahuan dengan karya-karya temuan raksasanya yang ia siarkan pertama kali tepat satu abad silam, tahun 1905, itupun sangat terkenal sebagai ilmuan besar yang tetap beriman. Tak seperti banyak ilmuwan lainnya, yang semakin pintar dan luas pengetahuannya, semakin kritis terhadap ajaran agamanya sampai tak jarang menjadi atheis. Albert Einstein (1879 – 1955) pun karenanya amat sohor dengan kata-kata mutiaranya: Science without religion is blind, religion without science is lame. Ilmu pengetahuan tanpa agama memang buta, namun agama pun jika tanpa sains akan mirip orang lumpuh, tak bisa berbuat apa-apa.
Dalam kehidupan sehari-hari, dalil Einstein ini memang mudah kita temukan pembuktiannya. Para ilmuwan yang sudah melepas keyakinan agamanya, biasanya lantaran memang memiliki sifat sok, dan sifat sok bin sombongnya itulah yang kemudian makin berkembang jadi sikap takabur. Sikap takabur inilah yang membuat mereka merasa tak perlu lagi belajar banyak, gampang menarik kesimpulan kendati data belum lengkap, dan sebagainya, pendek kata orang tersebut  malah berbalik jadi bodoh. Dan kebodohan selalu dilukiskan dengan dunia gelap atau kebutaan. Sedang sebaliknya, tekun beragama saja tanpa membuka diri terhadap kebenaran ilmu pengetahuan lain tentu membuat kita tak bisa bikin apa-apa alias lumpuh. Bisa-bisa kita cuma berdoa melulu di dalam kamar, sementara amanat hukum utama Kristus untuk kita mengasihi orang lain itu tak pernah bisa kita tunaikan. Ada tetangga miskin yang sakit keras, kita tak bisa berbuat apa-apa jika ilmu pengetahuan tak pernah menemukan obat-obatan, kita tak bisa membawanya ke rumah sakit yang terletak sangat jauh dari rumah kita jika ilmu pengetahuan tak pernah menciptakan kendaraan. Ilmu pengetahuan menciptakan teknologi, dan dengan itu manusia bisa melakukan sangat banyak hal bagi kesejahteraanya maupun untuk menolong orang lain.

1.         Pengetian Ilmu
Pengertian ilmu dapat dirujukkan pada kata ‘ilm (Arab), science (Inggris), watenschap (Belanda), dan wissenschaf (Jerman). R. Harre menulis ilmu adalah a collection of well-attested theories which explain the patterns regularities and irregularities among carefully studied phenomena, atau kumpulan teori-teori yang sudah diuji coba yang menjelaskan tentang pola-pola yang teratur atau pun tidak teratur di antara fenomena yang dipelajari secara hati-hati.
Secara umum (science in general) berarti segenap pengetahuan ilmiah yang dipandang sebagai suatu kebulatan atau ilmu merupakan bidang pengetahuan ilmiah yang mempelajari pada bidang-bidang kajian tertentu seperti cabang ilmu antropologi, biologi, geografi, atau sosiologi. Lebih lanjut, Harre menjelaskan bahwa ada dua komponen utama yang dapat digunakan untuk menginvestigasi ilmu. Kita bertanya tentang fenomena sesuatu yang mana dianjurkan untuk mengetahuinya, dan bertanya tentang subject matter dan content dari pengetahuan teorinya.
Dalam pengertian yang lain, ilmu merupakan perkataan yang memiliki makna ganda, artinya mengandung lebih dari satu arti. Seringkali ilmu diartikan sebagai pengetahuan, tetapi tidak semua pengetahuan dapat dinamakan sebagai ilmu, melainkan pengetahuan yang diperoleh dengan cara-cara tertentu berdasarkan-kesepakatan para ilmuwan.
Pengetahuan yang dapat disepakati sehingga menjadi suatu “ilmu”, menurut Archie J. Bahm dapat diuji dengan enam komponen utama yang disebut dengan six kind of science , yang meliputi problems, attitude, method, activity, conclusions, dan effects.
Dari pendapat Bahm tersebut dapat diartikan bahwa ilmu lahir dari pengembangan suatu permasalahan-permasalahan (problems) yang dapat dijadikan sebagai kegelisahan akademik (kasus ilmiah atau obyek ilmu). Atas dasar problem, para kreator akan melakukan suatu sikap (attitude)untuk membangun suatu metode-metode dan kegiatan-kegiatan (method and activity) yang bertujuan untuk melahirkan suatu penyelesaian-penyelesaian kasus (conclusions) dalam bentuk teori-teori.
Konklusi-konklusi dapat diuji (diterima) dengan mempertimbangkan dari akibat-akibat yang ditimbulkan oleh teori (effects). Setiap individu yang berpotensi ilmiah dapat diketahui dari pengkayaan attitude yang meliputi curiosity (keingintahuan), speculativeness (berani bereksperimen), serta willingness to be objective, suatu sikap untuk selalu obyektif.
Obyek ilmu meliputi obyek material dan obyek formal. Obyek material adalah sesuatu yang dijadikan sasaran penyelidikan, seperti tubuh manusia adalah objek material ilmu kedokteran. Adapun obyek formal adalah cara pandang tertentu tentang obyek material tersebut, seperti pendekatan empiris dan eksperimen dalam ilmu kedokteran.
Jika sudah menjadi ilmu pengetahuan, maka klasifikasi ilmu berkembang secara umum menjadi beragam cabang, natural sciences, seperti ilmu fisika, kimia, astronomi, biologi, botani; social sciences seperti ilmu sosiologi, ekonomi, politik, antropologi; serta humanity science seperti ilmu bahasa, agama, kesusastraan, kesenian.
Dari beberapa penjelasan di atas, ilmu merupakan suatu perangkat fundamental dalam penciptaan peradaban. Dalam ilmu termuat pengetahuan manusia yang bersifat alamiah (natural) kemudian dikonstruksi menjadi teori-teori yang dapat memberikan konklusi bagi setiap persoalan-persoalan kehidupan.

2. Pengertian Agama
Definisi agama dapat dirujukan pada makna ad-dien (Arab) atau religion (Inggris). Dalam bahasa Sanskrit, agama berasal dari dua kata yaitu “a” berarti “tidak” dan ‘“gam” berarti “pergi”. Jadi, agama mengandung arti “tidak pergi”, tetap di tempat, diwarisi turun temurun.
Argumentasi pendapat ini didasarkan pada kenyataan agama dalam kehidupannya ternyata memang mempunyai sifat turun temurun atau kebanyakan anak-anak akan belajar dan menganut agama sesuai dengan agama orangtuanya.
Pendapat lain mengatakan bahwa agama berarti teks atau kitab suci karena kata “gam” dalam kata a-gam-a berarti tuntutan. Jadi, agama bisa dikatakan yang mempunyai tuntutan, yaitu Kitab Suci.
St. Sunardi menjelaskan yang dimaksud dengan agama berarti religion, religio, religie, godsdient, dan ad-dien. Dia berpendapat bahwa dalam sejarah Barat penggunaan kata “religio” dalam arti kongkritnya lebih menunjuk segi religiositas seseorang daripada suatu konsep teknis dan abstrak atau iman konkrit daripada lembaga. Hans Kung menambahkan bahwa pada abad ke-16 kata “religio” baru tergeneralisasi dalam konsep yang dianggap sebagai konsep yang ambigu. Artinya, konsep “religio” mencakup segi-segi yang sama sekaligus tidak sama, segi--segi subyektif sekaligus obyektif sehingga menerangkan kata “religio” serumit menerangkan kata seperti “Allah” dan “waktu”.
Secara terminologis agama merupakan suatu sistem kepercayaan kepada Tuhan yang dianut oleh sekelompok manusia dengan selalu mengadakan interaksi dengan-Nya. Pokok persoalan yang dibahas dalam agama adalah eksistensi Tuhan, manusia, dan hubungan antara manusia dengan Tuhan, sedangkan faham yang tidak mengakui agama biasa disebut “atheisme”.
Pengertian “atheisme” sangat bermacam-macam. Dalam konteks Indonesia, “atheisme” sering dikaitkan dengan komunisme, walaupun sesungguhnya penganut atheisme, atau lebih tepatnya, mereka yang mengaku sebagai atheis tidak terbatas hanya kepada komunis. Komunisme menjadi amat penting sebagai gerakan atheis karena sistem doktrinnya yang lengkap dan rapi, serta gerakannya yang mendunia. Dasar atheisme adalah faham yang mengingkari adanya Tuhan sebagai wujud yang mutlak, Maha Tinggi, dan transendental. Bagi kaum atheis yang ada bukan Tuhan, tetapi alam kebendaan dan kehidupan pun terbatas hanya di dunia.
Dalam sejarah Barat, atheisme sangat banyak, ada yang tidak beraliran seperti Frederich Nietzche yang mengaku telah membunuh Tuhan, ada juga yang terbagi pada; atheis-anthropologis dipelopori oleh Fenerbech yang mengatakan bahwa agama adalah proyek si manusia yang sama sekali tidak bersifat jasmani.
Atheis-sosio-politis digawangi oleh Karl Marx yang berpendapat agama adalah candu. Atheis Psikoanalitis oleh Sigmund Freud yang mengatakan agama sebagai ilmu yang tidak sehat dan religion is the objective of fear or wishful thingking (agama adalah bayangan dari rasa takut atau gagasan yang khayali).
Dari beberapa pengertian atheisme menunjukkan faham yang tidak mengakui keyakinan agama, tetapi dalam atheisme juga timbul pula beragam keyakinan yang tidak bulat. Bisa jadi, inilah kelemahan dari atheism. Islam tidak toleransi terhadap atheism, setiap manusia harus beriman kepada Allah SWT dan bagi yang tidak beriman disebut musyrik, Yahudi atau kafir.
Menurut Hasan Hanafi jika didasarkan pada perkembangan transformasi kehidupan beragama, maka term “religion” dalam konteks Islam harus diartikan secara luas tidak hanya kepercayaan dan ideology yang diterjemahkan dengan ritual dan puja-puji.
Term agama harus pula mengejawantahkan nilai-nilai ethics, serta human and social science dalam kehidupan nyata. Jika term “religion” hanya menyangkut domain supranatural, magic, ritual, keyakinan, dogma, dan institusi. Hal tersebut komplit tidak lebih baik dari Judueo-Cristian yang telah mempunyai puja-puji atau cara menyembah.
Dari definisi yang ditawarkan Hasan Hanafi semakin memperjelas bahwa terdapat hubungan kuat agama dalam pengembangan ilmu dan etika. Apalagi al-Qur’an, sebagaimana yang ditulis Dr. A. Mukti Ali, merupakan kitab suci yang sangat berpengaruh dalam perkembangan ilmu-ilmu dalam beragam disiplin, sedangkan nilai-nilai dalam etika merupakan pengendali dari sikap dan perilaku manusia dalam mengimplementasikan ajaran agama dan kekuatan ilmu dalam kehidupan nyata (empiris).

D.        Pembahasan
1. Netralitas Ilmu
Ilmu atau yang dikenal pula dengan pengetahuan bersumber dari otak. Ilmu memberi keterangan bagaimana kedudukan suatu masalah dalam hubungan sebab akibat. Ilmu mempelajari hubungan kausal di antara sejenis masalah. Kebenaran yang didapat dengan keterangan ilmu hanya benar atas syarat yang diumpamakan dalam suatu keterangan. Oleh karena itu, keterangan ilmu bersifat relatif.
Orang yang berilmu akan menerima setiap kebenaran yang didapat dalam penyelidikan ilmu dengan kritis. Tiap-tiap pendapat yang dikemukakan diuji kebenarannya, itulah yang membawa kemajuan ilmu. Kelanggengannya dapat diganti dengan penemuan yang baru.
Kemudian di mana letak kenetralan ilmu? Untuk melacak kenetralan ilmu, maka apllied-science atau ilmu terapan atau teknologi di dunia modern tidak dapat dijadikan sebagai indikator ilmu dalam kategori netral atau tidak netral.
Kenetralan ilmu terletak pada pengetahuan yang carteis, asli, murni, tanpa pamrih, tanpa motif atau guna. Artinya, ilmu akan netral bila bebas nilai secara moral dan sosial.
Namun demikian, dalam perkembangan ilmu tidak sedikit yang semestinya netral dan bertujuan baik karena dipraktikkan oleh ilrnuwan yang disebabkan banyak faktor seperti sosial-politik sehingga eksperimen dan penelitian yang dilakukan berkembang sesuai dengan kepentingannya, bukan berdasarkan pada kepentingan ilmu. Kemudian ilmu berkembang sebagai sesuatu yang tidak netral, bahkan seringkali menciptakan traumatik terhadap lingkungan.
Dalam konteks kenetralan ilmu yang kemudian menjadi tidak netral, bahkan menjadi sesuatu yang traumatik, siapa yang mesti bertanggung jawab? Ilmu atau ilmuwan? Apakah Albert Einstein harus bertanggung jawab atas bom-bom yang sebenarnya merupakan perwujudan secara praktis dari pandangan teori murninya mengenai “interconvertablitas” dari zat dan energi?



2.         Ilmu Dalam Pandangan Religius

Berbicara tentang ilmu dalam pandangan religius memang mempunyai cakupan yang sangat luas, bukan saja menyangkut masalah kepentingan. Ilmu bagi manusia, masalah nilai dan etika ilmu, masalah kebenaran, masalah kemajuan ilmu dan teknologis, bahkan tidak jarang juga membicarakan hakikat sesuatu, kebenaran dan penciptaan sehingga pembicaraan ini memang berkaitan antara keberadaan alam, manusia dan penciptaannya yang pada umumnya mengakui adanya kekuatan supranatural pada adanya Tuhan dari mengamati dan memikirkan serta merenungkan keberadaan alam dan manusia, baik melalui argumentasi kosmologis maupun argumentasi ontologis.
Senada dengan hal di atas bahwa pengalaman ilmiah sebagai bukti, yaitu berdasarkan ontologikal dan teologikal.
Hal ini membuktikan bahwa pembahasan ilmu kosmologikal dalam prosesnya tidak dapat melepaskan diri dari agama. Menurut pandangan Islam bahwa keberadaan agama Islam menjadi sumber motivasi pengembangan ilmu.
Agama Islam yang bersumberkan al-Qur’an dan Hadis, mengajar dan mendidik manusia untuk berpikir dan menganalisis tentang unsur kejadian alam semesta beserta isinya. Dengan
demikian, agama telah memberikan ruang lingkup bagi pengembangan ilmu dan teknologi dan pemikiran bahwa kemajuan dan teknologi jangan sampai menjauhkan apalagi menghapuskan peran agama.
Persoalan sains dalam Islam tidak begitu saja diterima, apakah benar agama Islam saling melengkapi dengan ilmu perigetahuan alam secara harmonis, ataukah terjadi benturan antara system metafisika yang didasarkan kepada agama dengan tuntutan akal dengan penelitian empiris? Memang selama ini terjadi perdebatan dan ketidaksepakatan antara muslim reformis, modernis, dan ortodoks satu dengan yang lain tentang masalah Islam dan sains, terutama masalah yang mendasar, yaitu sains adalah upaya sekuler dengan karakter sekuler, sains tidak mengakui eksistensi Sang Ilahi.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa membicarakan masalah ilmu dalam pandangan religius, bukan saja dalam persoalan pandangan agama terhadap ilmu. Akan tetapi, ilmu itu sendiri dalam kerangka agama yang mengakui dan mengembangkan keberadaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia.
Persoalan ilmu tidak saja mengenai bagaimana keberadaan ilmu itu sendiri dan bagaimana cara memperolehnya. Akan tetapi, juga menyangkut bagaimana ilmu itu diaplikasikan, yang setidak-tidaknya harus memahami tiang-tiang penyangga ilmu pengetahuan yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
Sebagai makhluk berakal, manusia sangat menyadari kebutuhannya untuk memperoleh kepastian, baik pada tataran ilmiah maupun ideologi. Melalui sains, manusia berhubungan dengan realitas dalam memahami keberadaan diri dan lingkungannya. Sedangkan agama menyadarkan manusia akan hubungan keragaman realitas tersebut, untuk memperoleh derajat kepastian mutlak, yakni kesadaran akan kehadiran Tuhan. Keduanya sama-sama penjelajahan realitas. Namun kualifikasi kebenaran yang bagaimanakah yang diperlukan manusia, sehingga realitas sains dan agama masih sering dipertentangkan? Untuk menyelesaikan ketegangan yang terjadi antara sains dan agama dapat ditinjau berbagai macam varian hubungan yang dapat terjadi antara sains dan agama. Demikian, analisa M. Ridwan.
Komaruddin Hidayat dan Muhammad Wahyuni Nafis lebih melihat peran dan fungsi ilmu dan agama dalam persepektif kekinian. Dalam era globalisasi yang ditandai dengan tingkat kecanggihan teknologi, agama mulai terlihat kembali dibicarakan oleh banyak orang, karena memiliki kesempatan yang jauh lebih besar untuk dikonsumsi oleh masyarakat. Umat manusia tentunya merasa bersyukur, mengingat pembicaraan agama berarti sebagai pertanda bahwa umat manusia mulai lagi membicarakan dan mencari tentang makna dan tujuan hidup. Hal ini menunjukkan bahwa, orang mulai menyadari keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam kaitan ini, Yudim mengatakan bahwa kebutaan moral dari ilmu itu mungkin akan membawa manusia ke jurang malapetaka. Relativitas atau kenisbian ilmu pengetahuan bermuara pada filsafat, relatifitas atau kenisbian ilmu pengetahuan, dan ilmu pengetahuan bermuara pada agama. Dengan demikian, agama memegang peranan sentral dalam proses mencapai tujuan hidup.
Dalam mencermati konsep sains, Bruno Guiderdoni (dalam M. Ridwan) mengemukakan pendapat yang disertai pula penalaran terhadap konsep agama. Dia membedakan istilah sains dan agama dalam banyak definisi, yaitu :
1.         Bahwa sains menjawab pertanyaan “bagaimana”, sedangkan agama menjawab pertanyaan “mengapa”.
2.         Sains berurusan dengan fakta, sedangkan agama berurusan dengan nilai atau makna.
3.         Sains mendekati realitas secara analisis, sedangkan agama secara sintesis.
4.         Sains merupakan upaya manusia untuk memahami alam semesta yang kemudian akan mempengaruhi cara hidup kita, tetapi tidak membuat kita menjadi manusia yang lebih baik. Sedangkan agama adalah pesan yang diberikan Tuhan untuk membantu manusia mengenal Tuhan dan mempersiapkan manusia untuk menghadap Tuhan.

Berkenaan dengan sains Durkheim seperti dikutif Djuretna menegaskan bahwa agama merupakan suatu sistem pemikiran yang bertujuan menerangkan alam semesta ini, dan menugaskan diri untuk menterjemahkan realitas dengan bahasa yang dapat dimengerti, yang sebenarnya adalah bahasa sains. Durkheim tidak memberikan batasan yang jelas antara tugas ilmu dan mana tugas agama. Bila agama dikatakan dengan sistem pemikiran, maka apa bedanya dengan ilmu yang juga merupakan suatu proses berpikir yang sistemik/menggunakan kaidah-kaidah ilmiah.
Nico Syukur Dister Ofm mencoba memilah keduanya, menurutnya, tidak juga dapat dikatakan bahwa keinginan intelek dipuaskan oleh agama. Sebab untuk sebagian intelek manusia bersifat rasional dan sejauh keinginannya ialah menangkap dan menguasai yang dikenalnya itu. Namun demikian, agama memang memberi jawaban atas “kesukaran intelektual kognitif”, sejauh kesukaran ini dilatarbelakangi oleh keinginan eksistensial dan psikologis, yaitu keinginan dan kebutuhan manusia akan orientasi dalam kehidupan, untuk dapat menetapkan diri secara berarti dan bermakna di tengah-tengah kejadian alam semesta. Nico Syukur Dister Ofm, meletakkan otonomi ilmu yang rasional untuk mengeksplorasi dan menganalisa sejauh mungkin apa yang ingin diketahui. Sedangkan agama memberi ruang, hal mana yang tidak terpecahkan oleh pemikiran manusia. Dengan demikian, logika adalah kendaraan super-exekutif untuk mencapai hakekat, tanpa logika agama takkan dapat dipahami Ahmad Mufli Saifuddin, menilai, sekalipun kedua berbeda, namun ilmu dan agama dipertemukan dalam hal tujuannya. “Meskipun pendekatan yang digunakan keduanya berbeda (ilmu dan agama) atau bahkan bertentangan, keduanya memiliki tujuan yang sama yaitu menegaskan makna dan hakekat nilai kemanusiaan dan kehidupan manusia”. demikian Ahmad Mufli Sulaiman.
Dalam perspektif Smith hubungan agama dan sains sebagai konflik zero sum. Terhadap pernyataan ini, Gregory R. Peterson (dalam Huston Smith : 2003, 308-401) memberikan kritiknya terhadap sebuah tulisan, Menyoal Agama dan Sains: Tanggapan terhadap Huston Smith, ia menegaskan bahwa model hubungan yang baik antara agama dan sains, bukanlah zero sum seperti ditulis Smith, akan tetapi hubungan agama dan sains bersifat non zero sum game agar potensi keduanya dapat termanfaatkan dan akan memperkaya perpaduan keduanya. Dengan kata lain bahwa meskipun wilayah agama dan ilmu masing-masing sudah saling membatasi dengan jelas, akan tetapi terdapat hubungan dan ketergantungan timbal balik yang amat kuat di antara keduanya. Meskipun agama adalah yang menentukan tujuan, tetapi dia telah belajar dalam arti yang paling luas, dari ilmu, tentang cara-cara apa yang akan menyumbang pencapaian tujuan-tujuan yang telah ditetapkannya. Ilmu hanya dapat diciptakan oleh mereka yang telah ter-ilhami oleh aspirasi terhadap kebenaran dan pemahaman. Sumber perasaan ini, tumbuh dari wilayah agama. Termasuk juga disini kepercayaan akan kemungkinan bahwa pengaturan yang absah bagi dunia kemaujudan ini bersifat rasional, yaitu dapat dipahami nalar.
Dengan demikian, jelas bahwa ilmu merupakan penyokong dalam mencapai tujuan hidup yang direfleksikan oleh agama. Demikian sebaliknya agama memberikan tempat bagi manusia (hamba) yang berilmu dihadapan Tuhan.
1.         Sikap Beragama
Semua yang dilakukan dan dipikirkan manusia adalah berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan yang amat dirasakannya dan usaha menghindari perasaan tidak enak. Ini harus tetap diingat jika kita akan memahami gerakan-gerakan spritual dan perkembangannya. Perasaan dan keinginan adalah kekuatan pendorong segala upaya dan kreasi manusia, betapapun tersamarnya ia menampakkan diri kepada kita. Desakan-desakan sosial adalah sumber lain dari terbentuknya suatu agama. Semua makhluk dapat berbuat salah. Kebutuhan mereka akan perlindungan, kasih sayang dan dukungan mendorong manusia untuk membuat konsepsi sosial, atau moral tentang Tuhan. Agama bangsa-bangsa beradab, khususnya bangsa-bangsa Timur, pada pokoknya adalah agama moral. Perkembangan dari agama-takut ke agama-moral adalah satu langkah besar dalam kehidupan umat manusia. Namun, kita tetap harus mewaspadai prasangka bahwa agama primitif didasarkan sepenuhnya pada rasa takut, dan agama bangsa beradab sepenuhnya pada moralitas. Yang benar adalah bahwa semua agama merupakan campuran yang beragam dari kedua tipe tersebut, dengan satu perbedaan: pada tingkat kehidupan sosial yang lebih tinggi, agama moralitas lebih menonjol. Satu hal yang ada pada semua tipe ini adalah watak antropomorfis dalam konsepsi tentang Tuhan.

2. Manusia Religius
Sudah pasti, tak seorang pun akan menolak gagasan adanya suatu Tuhan personal yang mahakuasa, adil, dan maha pemurah, dapat memberi bantuan dan pembimbing manusia. Tapi, di pihak lain, ada kelemahan yang terasa amat menyakitkan sejak permulaan sejarah. Yaitu bahwa jika Wujud ini mahakuasa, maka setiap peristiwa, termasuk setiap perbuatan manusia, setiap pikiran manusia, dan setiap perasaan dan aspirasi manusia adalah juga karya-Nya; bagaimana mungkin kita berpendapat bahwa manusia bertanggung jawab atas semua perbuatannya dan pemikirannya di depan Wujud mahakuasa seperti itu? Dalam memberikan hukuman dan ganjaran, Ia akan melewati penilaian terhadap diri-Nya sendiri. Bagaimana ini dapat dikombinasikan dengan kebaikan dan kemurahan yang menjadi sifat-Nya? Sumber utama dari pertentangan masa ini antara ilmu dan agama terletak pada konsep Tuhan yang personal ini.

Orang yang yakin sepenuhnya berlakunya hukum sebab akibat secara unuversal, tak akan bisa menganut suatu gagasan tentang satu wujud yang ikut campur dalam terjadinya peristiwa-peristiwa tentunya, dengan syarat ia memperlakukan hipotesis sebab-akibat itu secara serius. Ia tidak butuh lagi agama-takut, begitu juga agama-moral. Suatu Tuhan yang memberi ganjaran dan menghukum, tidak dapat lagi dipahaminya, karena alasan sederhana bahwa segala perbuatan manusia sudah ditentukan harus dilakukan, sehingga di mata Tuhan ia tak dapat bertanggung jawab – persis sama sebagaimana halnya suatu benda mati tak bertanggung jawab atas gerakan-gerakan yang dijalaninya. Demikianlah, maka ilmu telah dituduh menghancurkan moralitas, tapi tuduhan itu tidaklah adil. Perilaku etis manusia harus didasarkan secara efektif pada simpati, pendidikan, hubungan sosial, dan kebutuhan-kebutuhan; tak diperlukan dasar agama. Manusia pasti akan menjadi miskin kalau ia harus dikekang oleh perasaan takut akan hukuman dan harapan akan ganjaran setelah mati.


E.         Penutup
Dalam suatu Hadis disebutkan, “Barang siapa menginginkan dunia maka harus dengan ilmu, barang siapa menginginkan akhirat maka harus dengan ilmu, dan barang siapa menginginkan keduanya maka dengan ilmu”.
Hadis tersebut mempertegas bahwa ilmu menjadi pengendali dari perkembangan peradaban. Akan tetapi, keterbatasan akal manusia dalam eksperimentasi ilmu pengetahuan seringkali berlandaskan trial and errors. Oleh karena itu, etika selalu dibutuhkan untuk menjaga kenetralan ilmu.
Dari uraian di atas maka kita percaya bahwa filsafat adalah fondasi dari berbagai macam aspek keilmuan bahkan teknologi sekalipun, dengan berpikir filsafati maka manusia berusaha memahami kaitan ilmu dengan moral, kaitan ilmu dengan agama dan banyak hal mendasar. Meminjam istilah Jujun bahwa Filsafat adalah Peretas Pengetahuan, dan kemudian ilmulah yang membelah gunung dan merambah hutan, menjadikannya sesuatu yang dapat diandalkan.
Begitu pula dengan bahasa, tidak dapat di ingkari bahwa bahasa yang merupakan salah satu alat komunikasi manusia atau Homo Sapiens, mampu di pelajari sebagai suatu telaah ilmu tersendiri, sains psikologis dan linguistik (telaah bahasa secara ilmiah) dan diaplikasikan kepada suatu mesin yang berpikir yang kemudian kita sebut sebagai robot. Bahasa dan logika simbol juga di terapkan dalam memahami mesin pintar ini, chatbot adalah salah satu bukti nyata kontribusi bahasa dalam kecerdasan buatan dimana mesin mempelajari kata-kata yang di terima dari lawan bicaranya secara on-line, yakni manusia.
Kata-kata yang diterima tersebut disimpan dalam suatu data base untuk kemudian di gunakan kembali oleh mesin tersebut maka kemudian mesin di katakan pintar. Apakah itu mesin yang pintar? dan apakah benar mesin dapat berpikir?, sebenarnya sudah ada sebuah tes untuk mendefinisikan hal tersebut. Tes tersebut bernama tes turing yang di temukan oleh Alan Mathison Turing (1912-1952). Tes Turing dilakukan dengan melakukan uji coba terhadap mesin dan manusia, seorang penguji (manusia) tidak mengetahui dua hal yang sedang di ujinya, hal ini dilakukan secara sengaja. Ketika penguji melempar pertanyaan terhadap dua object yang sedang di uji tersebut dan mampu di jawab dengan baik oleh dua object teruji, dalam hal ini mesin dan manusia. Sehingga penguji tidak mampu membedakan manakah object yang merupakan mesin dan manakah yang manusia, maka mesin tersebut dikatakan pintar.
Namun alangkah celaka dan naifnya ketika kita mulai menyamakan robot dengan manusia, maka di sinilah titik kritis nilai kemanusiaan dan hilangnya rasa pertanggungjawaban. Robot hanya mampu memikirkan (baca; mengolah data) untuk keputusan-keputusan tertentu secara sistematis, dalam hal ini kita dapat melihat pada sistem pakar. Berbeda dengan manusia yang mengambil keputusan dengan mempertimbangkan banyak aspek disamping hanya bernalar, yakni rasa tanggung jawab dan efek sosial yang mengakibatkan pengambilan keputusan, dan banyak faktor lain dalam ketidakpastian hidup manusia itu sendiri. Karena ilmu pengetahuan selalu memiliki dua sisi positif dan negatif. Dan dalam batas-batas tertentu mengenai penggunaan suatu ilmu pengetahuan, tidak selalu objectif melainkan juga subjectif. Falsafah hidup sang ilmuwan juga akan berpengaruh. Mengutip apa yang pernah dikatakan Einstein bahwa "Ilmu tanpa agama adalah buta, dan agama tanpa ilmu adalah lumpuh."


Daftar Pustaka

Abdul Mun’im Muhammad Khallaf dalam pendahuluan bukunya, Agama dalam Perspektif Rasional, menyatakan di antara masalah besar kehidupan manusia adalah masalah yang berkaitan dengan agama. Lihat Tobroni dan Syamsul Arifin, Islam Pluralisme Budaya dan Politik (TTP: Sipres, TT), hal. 5.

Ahmad Mufli Saifuddin, Pengembangan Iptek Berwawasan Kemanusiaan dalam Masa Depan Kemanusiaan, ed. Said Tuhuleley dkk, (Yogyakarta: Jenddela, 2003) h.60
Ahmad Muhammad al-’Assal dan Fathi Ahmad Abdul Karim, Sistem, Prinsip dan Tujuan Ekonmi Islam, Teremahan Imam Saefudin (Bandung: Pustaka Setia, 1999),
A. Mukti Ali, Seni Ilmu dan Agama, (Yogyakarta: Yayasan Nida, 1972), hal. 5-7.

Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hal. 1.

Archie J. Bahm, What’s Science, (TTP: TP, TT), hal. l.

Aslam Hady, Pengantar Filsafat Agama (Jakarta: Rajawali Pers, 1956), hal. 6.

Daved Trueblood, Filsafat Agama, Terjemahan. M. Rasyidi (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), hal. 53-54.

Djuretna A. Imam Muhni, Moral dan Religi menurut Emile Durkeim dan Henri Bergson, (Yogyakarta: Kanisius, 1994) h.129

Hasan Hanafi pada “International Seminar on Islam and Humanism”, dalam Makalah Seminar Global Ethics and Human Solidarity di IAIN Walisongo Semarang, pada 5-8 November 2000, hal. 1.

Huston Smith, Ajal Agama di Tengah Kedigdayaan Sains penterjemah Ari Budiyanto (Bandung: Mizan,2003) h.403

http://filsafatislam.net

http://lhyling.multply.com.//joutnal/item hh. 1-3. Tema tentang "agama dan Ilmu" pertama ditulis New York Times Magazine 9 November 1930; kemudaian pada princeton Theological Seminary, 19 Mei 1939; dan ketiga dimuat pada Science, Philosophi, and Religion: Sympisium yang diterbitkan pada 1941 oleh Comference on Scince, Philosophi, and Religion in Their Relation to The Democratic Way of Life. Diterjemahkan oleh Zainal Abidin dari Sonja Bargman (ed), Ideas and Opinions by Albert Einstein, Bonanza.

http://yudim.blogspot.com/2008/01

Imam Syafi’ie, Konsep 1lmu Pengetahuan dalam al-Qur’an (Yogyakarta: UII Press, 2000), hal. 26.

Jujun S, Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarata: Pustaka Sinar Harapan, 1999).

Komaruddin Hidayat dan Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan Perspektif Filsafat Parennial, (Jakarta: Paramadina, 1995) h. 114

M. Amin Abdullah, Studi Agama, Normativitas atau Historisitas, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hal. 61. Tulisan yang sama pernah dimuat dengan penulisan lain dalam Th. Sumartana dkk., (ed), Dialog: Kritik dan Identitas Agama, Cet. 2. (Yogyakarta: Dian Interfidei, 1994).

M. Arifin, Agama, Ilmu, dan Teknologi (Jakarta: Golden Terayon Press, 1995), hal. 131.

M. Dawam Raharjo, “Ilmu, Ensiklopedi al-Qur’an”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, No. 4. Vol. 1, Jakarta, 1090, hal. 56.

M.Ridwan dalam http://forum.detik.com/showthread. Lihat pula al Quran Surat Al Faatir ayat 28.

Nico Syukur Dister Ofm, Pengalaman dan Motivasi Beragama, (Yogyakarta: Kanisius, 1996). h. 105

Nurcholis Madjid, Islam Agama Peradaban (Jakarta: Paramadina, 2000), hal. 120-121. Dikutip St. Sunardi dari Does God Exist? hal. 191-339. Lihat Th. Sumartana (Ed.), Ibid., hal. 64.

Pervez Hoodbhoy, Islam dan Sains, Terjemahan Luqman, (Bandung: Pustaka, 1997), hal. 2.

R. Harre, The Philosophies of Science, an Introductory Survey (London: The Oxford University Press, 1995), hal. 62.

Richard C. Martin (ed.), Approaches to Islam in Religious Studies, (Tucsoty: The University of Arizona Press, 1985), hal. 15.

St. Sunardi, “Dialog: Cara baru Beragama” dalam Th. Sumartana (Ed.), Dialog: Kritik dan Identitas Agama (Yogyakarta: Dian Interfidei, 1994), hal. 61. William G. Oxtoby, The Meaning of Other Faiths (Philadelphia: The Westetminster Press, 1983), hal. 35.


No comments:

Post a Comment

PENERAPAN ILMU FORENSIK DALAM HUKUM PIDANA

Terbentuknya keyakinan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana didasarkan pada hasil pemeriksaan alat-alat bukti yang dikemukakan pada pros...