A. Introduksi
Pergulatan manusia
untuk memenuhi ambisinya seakan tidak akan pernah mencapai titik jenuh setiap
abad yang terlangkahi merupakan pelajaran bagi terbentuknya peradaban baru,
terbentuknya keyakinan baru, terbentuknya tuhan-tuhan baru, hanya saja setiap
kemajuan yang dicapai oleh umat manusia harus dibayar mahal dengan menipisnya
keimanan, tentu saja hal ini tidak akan terjadi jika saja manusia selalu yakin
pada prinsip ilmu pengetahuan tanpa agama buta, agama tanpa ilmu pengetahuan
lumpuh, bagi mereka yang belajar ilmu pengetahuan saja tanpa dibarengi oleh
nilai-nilai agama maka tujuan mereka belajarpun sudah akan bergeser kearah
keuntungan duniawi saja, pada akhirnya yang terjadi adalah ukuran besar
kecilnya dinar dan dirham yang didapat dari hasil ilmu yang mereka pelajari,
bukannya manfaat ilmu tersebut.
Peradaban manusia,
menurut Ahmad Muhammad al-’Assal, futuristik sains terkemuka, terbagi atas tiga
gelombang. Pertama abad pertanian, kedua, abad industri, dan ketiga abad
infomasi. Teori-teori yang berkembang sekarang ini melangkah ke arah era peradaban
baru, yaitu gelombang keempat yang ditandai dengan kompetisi yang ketat dalam
era globalisasi. Gelombang keempat itu disebut dengan Knowledge Based Economic (KBE).
Di sisi lain
peradaban manusia, menurut Huntington
dalam Ahmad Muhammad al-’Assal, seorang pakar sains politik terkemuka, akan ada
benturan peradaban antara tujuh (hingga delapan) peradaban besar dunia, di
antaranya Barat, Islam, dan China.
Apa pun konsep peradaban manusia tersebut, "keseimbangan kekuatan" adalah
kata kunci agar salah satu dari kelompok peradaban tersebut tidak saling
berbenturan. Keseimbangan kekuatan tersebut kalau dahulu adalah lebih ke arah
kekuatan militer (hard power),
sekarang pada kekuatan daya saing yang menunjang ekonomi negara (soft power).
Soft power adalah kemampuan membuat pihak lain
menjalankan apa yang kita inginkan tanpa kita harus menggunakan kekerasan atau
membayar, melainkan melalui daya tarik. Dalam konteks penguasaan sains dan
teknologi, soft power adalah kemampuan
mendominasi suatu negara (dengan peradaban maju) terhadap negara lain melalui
kemampuan memenuhi kebutuhannya terhadap sains dan teknologi.
Dunia Barat begitu
mendominasi dalam kekuatan sains dan teknologi sejak keruntuhan kekhalifahan Abbasiyah.
Dunia Timur yang diwakili Jepang dan China juga mulai unjuk gigi dalam
sains dan teknologi. Bagaimana dunia Islam, yang diwakili negara-negara Timur
Tengah dan beberapa kawasan Asia seperti Indonesia?
Sehubungan dengan
perkuliahan Filsafat Ilmu yang membahas tentang “Ilmu tanpa Agama Buta, Agama
tanpa Ilmu Lumpuh, maka dengan melihat pada uraian di atas, muncul
pertanyaan-pertanyaan apakah
ilmu telah mencakup segenap pengetahuan yang seyogyanya dapat ketahui dalam
kehidupan ini? Di batas manakah ilmu mulai dan di batas manakah dia berhenti?
Kemanakah kita harus berpaling di batas ketidaktahuan ini? Apakah kelebihan dan
kekurangan ilmu? (Mengetahui kekurangan bukan berarti merendahkanmu, namun
secara sadar memanfaatkan, untuk terlebih jujur dalam mencintaimu)."
B. Proses Berpikir
Ilmu menyebabkan
wajah dunia berubah dari berbagai segi termasuk struktur kehidupan. Fase
kehidupan yang berlaku ini menjadikan kita terhutang budi pada semua perkara
yang menyebabkan kita berilmu dan memperolehi ilmu. Adalah lebih bermanfaat
jika kita membahas bersama mengenai proses keilmuan tersebut. Ilmu berkembang
dan membuahkan hasil melalui proses berpikir. Maka apakah yang dimaksudkan
dengan berpikir?
Bagaimanakah berpikir
dapat membantu kita dalam mengetahui sesuatu? Kenapa pengetahuan itu dibentuk
dan jalan manakah yang perlu ditempuh bagi mendapatkan penelitian keilmuan yang
tidak meragukan?, persoalan yang paling penting sekali ialah apakah nilai bagi
semua kegiatan ini? Dapatkah kita mempercayainya? Benarkah apa yang telah
terhasil boleh dibiarkan untuk memimpin berdasarkan pengetahuan keilmuan?.
Berpikir pada
dasarnya merupakan sebuah proses yang membuahkan pengetahuan. Proses ini adalah
rangkaian gerak pikir mengikut tatacara pikir yang tertentu untuk menemukan
kesimpulan berupa pengetahuan. Gerak pikir adalah berpedoman pada simbol yang
berimajinasi abstrak dari obyek yang sedang kita pikirkan. Bahasa adalah salah
satu daripada simbol tersebut dimana obyek-obyek kehidupan secara konkrit
dinyatakan dengan kata-kata.
Betapa sulitnya
kita membayangkan proses berpikir tersebut tanpa ada symbol-simbol yang menggmbarkan
berbagai gejala kehidupan. Matematika merupakan rangkaian simbol yang pada
hakikatnya mempunyai fungsi sama seperti bahasa. Pengetahuan merupakan hasil
kegiatan berpikir yang menjadi inspirasi dan asas peradaban dimana manusia
menemukan dirinya yang selanjutnya manusia dapat menghayati kehidupan dengan
lebih sempurna. Berbagai peralatan dikembangkan oleh manusia untuk meningkatkan
kualitas hidup. Semua ini adalah perkembangan pengetahuan yang dihasilkan oleh
pemikir tersebut. Bermula dari jaman batu sebagai peralatan keperluan hinggalah
ke jaman Internet hari ini. Berbagai masalah memasuki benak pikiran manusia
dalam menghadapi kenyataan hidup sehari-hari dan berbagai buah pikiran telah
ditemukan yang mana keadaan demikian adalah bagian dari sejarah kebudayaan.
Biarpun banyak dan beraneka ragam, hakikat keupayaan manusia dalam memperolehi
pengetahuan didasarkan kepada tiga persoalan pokok yaitu, pertama, apakah yang ingin kita ketahui?
Kedua, bagaimanakah untuk kita sampai
kepada pengetahuan tersebut? Dan ketiga,
apakah manfaat pengetahuan tersebut bagi kita?. Pertanyaan tersebut kelihatannya
hanya biasa dan sederhana, namun perlu kita sadari bahwa persoalan tadi
mencangkupi masalah yang amat besar. Berbagai masalah dapat menjadi besar
disebabkan oleh tiga persoalan itu. Keadaan ini bergantung kepada diri pemikir
yang mau melangkah maju dibandingkan dengan pemikir biasa.
Ilmu adalah salah
satu dari pemikiran manusia dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan ini. Untuk
menghargai ilmu sepatutnya kita harus mengetahui tentang apakah hakikat ilmu sebagaimana
ungkapan peribahasa Perancis "mengerti berarti memaafkan segalanya"
maka pengertian dan kepahaman yang mendalam terhadap hakikat ilmu bukan saja
menjadi penghargaan kita terhadap ilmu tetapi bahkan membuka mata kita kepada
kekurangan yang harus ditangani. Mereka yang mendewakan ilmu sebagai
satu-satunya sumber kebenaran biasanya tidak mengetahui tentang hakikat ilmu
dengan sebenarnya demikian juga sebaliknya bagi mereka yang terus berpaling
daripada ilmu.
Betapa ilmu
telah membentuk peradaban dimana hasilnya sedang kita nikmati hari ini. Apabila
kita berada di tengah dua pola ekstrim ini, pastikan kita tidak keliru, meskipun
ilmu yang memberikan kebenaran namun kebenaran keilmuan bukanlah semestinya
kebenaran dalam hidup karena sebagian besar ilmu adalah pencetus teori untuk disampaikan,
bukan kenyataan. Terdapat berbagai sumber kebenaran lain yang dapat memperkaya cakrawala
kehidupan kita, dan semua kebenaran itu mempunyai manfaat serta harus
diletakkan pada tempat yang sepatutnya.
Kehidupan
adalah terlalu rumit untuk di analisis oleh satu jalan pemikiran. Kita tidak beranggapan
dengan mengatakan ilmu adalah alpha dan omega dari kebenaran karena falsafah,
seni, agama dan sebaginya. Hal ini mempunyai kaitan penting dalam kehidupan
manusia. Semuanya saling berkait sebagaimana telah dikatakan oleh Einstein bahwa
"ilmu tanpa agama adalah buta dan agama tanpa ilmu adalah lumpuh".
Maka semua ini perlu kepada berpikir.
Apakah sebenarnya
berpikir?. Secara umum kita mendefinisikan berpikir adalah setiap proses
perkembangan ide, konsep dan berbagai hal yang dapat disebut sebagai berpikir. Misalnyanya
apabila kita bertanya kepada seseorang, apa yang sedang kamu pikirkan?
Kemungkinan jawapan yang diberi, "saya sedang memikirkan tentang keluarga
saya.". Hal ini berarti bayangan, kenangan dan berbagai suasana yang melingkupi
keadaan seseorang yang sedang berpikir tersebut. Maka kesimpulan umum yang
diperolehi dari berpikir adalah ide dan konsep.
Pemikiran keilmuan
bukanlah pemikiran yang biasa. Pemikiran keilmuan adalah pemikiran yang
bersungguh-sungguh. Artinya terdapat suatu etika berpikir yang disiplin, dimana
semua yang berkaitan dengan berbagai hal yang sedang dipikirkan diarahkan pada
tujuan yang telah ditentukan. Arah yang dimaksudkan di sini ialah pengetahuan.
Oleh sebab itu berpikir keilmuan atau berpikir sungguh-sungguh merupakan cara
berpikir yang didisiplinkan dan diarahkan kepada pengetahuan. Bagaimanakah
pemikiran tersebut dapat membuahkan pengetahuan bagi kita?. Sesuatu obyek
contohnya, telah ada dan sudah pasti (given) maka tidak berlakulah proses berpikir.
Dalam hal ini hanya sekadar buka mata atau cukup memusatkan perhatian kepada obyek
tersebut saja. Berbeda dengan keadaan jika obyek itu belum ada dan tidak pasti
(non-given), maka proses berpikir akan bergerak dari satu fase ke satu fase
berikutnya gunai mendapat gambaran dan asumsi yang belum pasti kebenarannya.
Kemungkinan apa yang kita pikirkan tersebut tidak benar. Kedua situasi tersebut
sebenarnya datang dari pengalaman dan pengetahuan yang lalu untuk mendapatkan
bayangan yang akan datang.
Sebagai contoh kita
perhatikan obyek yang ingin diketahui sudah ada dan pasti (given). Apa yang
patut kita sadari obyek itu sebenarnya tidak sederhana karena pada obyek itu
terdapat hal-hal yang rumit bagi penilai untuk mendalaminya. Mungkin pada obyek
tersebut terdapat beratus-ratus persoalan jika ditinjau dari berbagai aspek,
karakteristik dan sebagainya. Pikiran kita mungkin tidak dapat menampung
semuanya dalam satu waktu tertentu. Seseorang yang ingin menilai keseluruhan persoalan
yang terkandung dalam obyek tersebut harus sungguh-sungguh memperhatikan semua aspek
kemungkinan yang ada pada obyek tersebut serta menganalisisnya dari sudut
pandang yang berbeda-beda. Kesemua langkah analisis ini adalah melalui proses
berpikir.
C. Pengertian Ilmu dan Agama
Rajawali dalam
Christian Youth Magazine Mei 2005 Monday, 14 July 2008, Einstein, pria
keturunan Yahudi yang menggebrak jagat ilmu pengetahuan dengan karya-karya
temuan raksasanya yang ia siarkan pertama kali tepat satu abad silam, tahun
1905, itupun sangat terkenal sebagai ilmuan besar yang tetap beriman. Tak
seperti banyak ilmuwan lainnya, yang semakin pintar dan luas pengetahuannya,
semakin kritis terhadap ajaran agamanya sampai tak jarang menjadi atheis.
Albert Einstein (1879 – 1955) pun karenanya amat sohor dengan kata-kata
mutiaranya: Science without religion is
blind, religion without science is lame. Ilmu pengetahuan tanpa agama
memang buta, namun agama pun jika tanpa sains akan mirip orang lumpuh, tak bisa
berbuat apa-apa.
Dalam kehidupan
sehari-hari, dalil Einstein ini memang mudah kita temukan pembuktiannya. Para ilmuwan yang sudah melepas keyakinan agamanya,
biasanya lantaran memang memiliki sifat sok, dan sifat sok bin sombongnya
itulah yang kemudian makin berkembang jadi sikap takabur. Sikap takabur inilah
yang membuat mereka merasa tak perlu lagi belajar banyak, gampang menarik
kesimpulan kendati data belum lengkap, dan sebagainya, pendek kata orang
tersebut malah berbalik jadi bodoh. Dan kebodohan selalu dilukiskan
dengan dunia gelap atau kebutaan. Sedang sebaliknya, tekun beragama saja tanpa
membuka diri terhadap kebenaran ilmu pengetahuan lain tentu membuat kita tak
bisa bikin apa-apa alias lumpuh. Bisa-bisa kita cuma berdoa melulu di dalam
kamar, sementara amanat hukum utama Kristus untuk kita mengasihi orang lain itu
tak pernah bisa kita tunaikan. Ada
tetangga miskin yang sakit keras, kita tak bisa berbuat apa-apa jika ilmu
pengetahuan tak pernah menemukan obat-obatan, kita tak bisa membawanya ke rumah
sakit yang terletak sangat jauh dari rumah kita jika ilmu pengetahuan tak
pernah menciptakan kendaraan. Ilmu pengetahuan menciptakan teknologi, dan
dengan itu manusia bisa melakukan sangat banyak hal bagi kesejahteraanya maupun
untuk menolong orang lain.
1. Pengetian
Ilmu
Pengertian ilmu dapat
dirujukkan pada kata ‘ilm (Arab), science (Inggris), watenschap (Belanda), dan
wissenschaf (Jerman). R. Harre menulis ilmu adalah a collection of well-attested theories which explain the patterns
regularities and irregularities among carefully studied phenomena, atau
kumpulan teori-teori yang sudah diuji coba yang menjelaskan tentang pola-pola
yang teratur atau pun tidak teratur di antara fenomena yang dipelajari secara
hati-hati.
Secara umum (science in general) berarti segenap
pengetahuan ilmiah yang dipandang sebagai suatu kebulatan atau ilmu merupakan
bidang pengetahuan ilmiah yang mempelajari pada bidang-bidang kajian tertentu
seperti cabang ilmu antropologi, biologi, geografi, atau sosiologi. Lebih
lanjut, Harre menjelaskan bahwa ada dua komponen utama yang dapat digunakan
untuk menginvestigasi ilmu. Kita bertanya tentang fenomena sesuatu yang mana
dianjurkan untuk mengetahuinya, dan bertanya tentang subject matter dan content
dari pengetahuan teorinya.
Dalam pengertian yang
lain, ilmu merupakan perkataan yang memiliki makna ganda, artinya mengandung
lebih dari satu arti. Seringkali ilmu diartikan sebagai pengetahuan, tetapi
tidak semua pengetahuan dapat dinamakan sebagai ilmu, melainkan pengetahuan
yang diperoleh dengan cara-cara tertentu berdasarkan-kesepakatan para ilmuwan.
Pengetahuan yang
dapat disepakati sehingga menjadi suatu “ilmu”, menurut Archie J. Bahm dapat
diuji dengan enam komponen utama yang disebut dengan six kind of science , yang meliputi problems, attitude, method, activity, conclusions, dan effects.
Dari pendapat Bahm
tersebut dapat diartikan bahwa ilmu lahir dari pengembangan suatu permasalahan-permasalahan
(problems) yang dapat dijadikan
sebagai kegelisahan akademik (kasus ilmiah atau obyek ilmu). Atas dasar
problem, para kreator akan melakukan suatu sikap (attitude)untuk membangun suatu metode-metode dan kegiatan-kegiatan
(method and activity) yang bertujuan
untuk melahirkan suatu penyelesaian-penyelesaian kasus (conclusions) dalam bentuk teori-teori.
Konklusi-konklusi
dapat diuji (diterima) dengan mempertimbangkan dari akibat-akibat yang ditimbulkan
oleh teori (effects). Setiap individu
yang berpotensi ilmiah dapat diketahui dari pengkayaan attitude yang meliputi curiosity
(keingintahuan), speculativeness (berani
bereksperimen), serta willingness to be
objective, suatu sikap untuk selalu obyektif.
Obyek ilmu meliputi
obyek material dan obyek formal. Obyek material adalah sesuatu yang dijadikan
sasaran penyelidikan, seperti tubuh manusia adalah objek material ilmu
kedokteran. Adapun obyek formal adalah cara pandang tertentu tentang obyek
material tersebut, seperti pendekatan empiris dan eksperimen dalam ilmu
kedokteran.
Jika sudah menjadi
ilmu pengetahuan, maka klasifikasi ilmu berkembang secara umum menjadi beragam
cabang, natural sciences, seperti
ilmu fisika, kimia, astronomi, biologi, botani; social sciences seperti ilmu sosiologi, ekonomi, politik,
antropologi; serta humanity science
seperti ilmu bahasa, agama, kesusastraan, kesenian.
Dari beberapa
penjelasan di atas, ilmu merupakan suatu perangkat fundamental dalam penciptaan
peradaban. Dalam ilmu termuat pengetahuan manusia yang bersifat alamiah (natural) kemudian dikonstruksi menjadi
teori-teori yang dapat memberikan konklusi bagi setiap persoalan-persoalan
kehidupan.
2. Pengertian
Agama
Definisi agama dapat
dirujukan pada makna ad-dien (Arab)
atau religion (Inggris). Dalam bahasa
Sanskrit, agama berasal dari dua
kata yaitu “a” berarti “tidak” dan ‘“gam” berarti “pergi”. Jadi, agama mengandung
arti “tidak pergi”, tetap di tempat, diwarisi turun temurun.
Argumentasi pendapat
ini didasarkan pada kenyataan agama dalam kehidupannya ternyata memang
mempunyai sifat turun temurun atau kebanyakan anak-anak akan belajar dan
menganut agama sesuai dengan agama orangtuanya.
Pendapat lain
mengatakan bahwa agama berarti teks atau kitab suci karena kata “gam” dalam
kata a-gam-a berarti tuntutan. Jadi, agama bisa dikatakan yang mempunyai
tuntutan, yaitu Kitab Suci.
St. Sunardi
menjelaskan yang dimaksud dengan agama berarti religion, religio, religie, godsdient, dan ad-dien. Dia
berpendapat bahwa dalam sejarah Barat penggunaan kata “religio” dalam arti
kongkritnya lebih menunjuk segi religiositas seseorang daripada suatu konsep
teknis dan abstrak atau iman konkrit daripada lembaga. Hans Kung menambahkan
bahwa pada abad ke-16 kata “religio” baru tergeneralisasi dalam konsep yang
dianggap sebagai konsep yang ambigu. Artinya, konsep “religio” mencakup
segi-segi yang sama sekaligus tidak sama, segi--segi subyektif sekaligus obyektif
sehingga menerangkan kata “religio” serumit menerangkan kata seperti “Allah”
dan “waktu”.
Secara terminologis
agama merupakan suatu sistem kepercayaan kepada Tuhan yang dianut oleh
sekelompok manusia dengan selalu mengadakan interaksi dengan-Nya. Pokok
persoalan yang dibahas dalam agama adalah eksistensi Tuhan, manusia, dan
hubungan antara manusia dengan Tuhan, sedangkan faham yang tidak mengakui agama
biasa disebut “atheisme”.
Pengertian “atheisme”
sangat bermacam-macam. Dalam konteks Indonesia, “atheisme” sering dikaitkan
dengan komunisme, walaupun sesungguhnya penganut atheisme, atau lebih tepatnya,
mereka yang mengaku sebagai atheis tidak terbatas hanya kepada komunis.
Komunisme menjadi amat penting sebagai gerakan atheis karena sistem doktrinnya
yang lengkap dan rapi, serta gerakannya yang mendunia. Dasar atheisme adalah
faham yang mengingkari adanya Tuhan sebagai wujud yang mutlak, Maha Tinggi, dan
transendental. Bagi kaum atheis yang ada bukan Tuhan, tetapi alam kebendaan dan
kehidupan pun terbatas hanya di dunia.
Dalam sejarah Barat,
atheisme sangat banyak, ada yang tidak beraliran seperti Frederich Nietzche
yang mengaku telah membunuh Tuhan, ada juga yang terbagi pada; atheis-anthropologis dipelopori oleh
Fenerbech yang mengatakan bahwa agama adalah proyek si manusia yang sama sekali
tidak bersifat jasmani.
Atheis-sosio-politis
digawangi oleh Karl Marx yang berpendapat agama adalah candu. Atheis Psikoanalitis oleh Sigmund Freud
yang mengatakan agama sebagai ilmu yang tidak sehat dan religion is the objective of fear or wishful thingking (agama
adalah bayangan dari rasa takut atau gagasan yang khayali).
Dari beberapa
pengertian atheisme menunjukkan faham yang tidak mengakui keyakinan agama, tetapi
dalam atheisme juga timbul pula beragam keyakinan yang tidak bulat. Bisa jadi,
inilah kelemahan dari atheism. Islam tidak toleransi terhadap atheism, setiap
manusia harus beriman kepada Allah SWT dan bagi yang tidak beriman disebut
musyrik, Yahudi atau kafir.
Menurut Hasan Hanafi
jika didasarkan pada perkembangan transformasi kehidupan beragama, maka term
“religion” dalam konteks Islam harus diartikan secara luas tidak hanya
kepercayaan dan ideology yang diterjemahkan dengan ritual dan puja-puji.
Term agama harus pula
mengejawantahkan nilai-nilai ethics,
serta human and social science dalam
kehidupan nyata. Jika term “religion” hanya menyangkut domain supranatural,
magic, ritual, keyakinan, dogma, dan institusi. Hal tersebut komplit tidak
lebih baik dari Judueo-Cristian yang telah mempunyai puja-puji atau cara
menyembah.
Dari definisi yang
ditawarkan Hasan Hanafi semakin memperjelas bahwa terdapat hubungan kuat agama
dalam pengembangan ilmu dan etika. Apalagi al-Qur’an, sebagaimana yang ditulis
Dr. A. Mukti Ali, merupakan kitab suci yang sangat berpengaruh dalam
perkembangan ilmu-ilmu dalam beragam disiplin, sedangkan nilai-nilai dalam etika
merupakan pengendali dari sikap dan perilaku manusia dalam mengimplementasikan
ajaran agama dan kekuatan ilmu dalam kehidupan nyata (empiris).
D. Pembahasan
1. Netralitas
Ilmu
Ilmu atau yang
dikenal pula dengan pengetahuan bersumber dari otak. Ilmu memberi keterangan bagaimana
kedudukan suatu masalah dalam hubungan sebab akibat. Ilmu mempelajari hubungan kausal
di antara sejenis masalah. Kebenaran yang didapat dengan keterangan ilmu hanya
benar atas syarat yang diumpamakan dalam suatu keterangan. Oleh karena itu,
keterangan ilmu bersifat relatif.
Orang yang berilmu
akan menerima setiap kebenaran yang didapat dalam penyelidikan ilmu dengan kritis.
Tiap-tiap pendapat yang dikemukakan diuji kebenarannya, itulah yang membawa
kemajuan ilmu. Kelanggengannya dapat diganti dengan penemuan yang baru.
Kemudian di mana
letak kenetralan ilmu? Untuk melacak kenetralan ilmu, maka apllied-science atau
ilmu terapan atau teknologi di dunia modern tidak dapat dijadikan sebagai
indikator ilmu dalam kategori netral atau tidak netral.
Kenetralan ilmu
terletak pada pengetahuan yang carteis, asli, murni, tanpa pamrih, tanpa motif
atau guna. Artinya, ilmu akan netral bila bebas nilai secara moral dan sosial.
Namun demikian, dalam
perkembangan ilmu tidak sedikit yang semestinya netral dan bertujuan baik
karena dipraktikkan oleh ilrnuwan yang disebabkan banyak faktor seperti
sosial-politik sehingga eksperimen dan penelitian yang dilakukan berkembang
sesuai dengan kepentingannya, bukan berdasarkan pada kepentingan ilmu. Kemudian
ilmu berkembang sebagai sesuatu yang tidak netral, bahkan seringkali
menciptakan traumatik terhadap lingkungan.
Dalam konteks
kenetralan ilmu yang kemudian menjadi tidak netral, bahkan menjadi sesuatu yang
traumatik, siapa yang mesti bertanggung jawab? Ilmu atau ilmuwan? Apakah Albert
Einstein harus bertanggung jawab atas bom-bom yang sebenarnya merupakan
perwujudan secara praktis dari pandangan teori murninya mengenai
“interconvertablitas” dari zat dan energi?
2. Ilmu
Dalam Pandangan Religius
Berbicara tentang
ilmu dalam pandangan religius memang mempunyai cakupan yang sangat luas, bukan
saja menyangkut masalah kepentingan. Ilmu bagi manusia, masalah nilai dan etika
ilmu, masalah kebenaran, masalah kemajuan ilmu dan teknologis, bahkan tidak
jarang juga membicarakan hakikat sesuatu, kebenaran dan penciptaan sehingga
pembicaraan ini memang berkaitan antara keberadaan alam, manusia dan
penciptaannya yang pada umumnya mengakui adanya kekuatan supranatural pada
adanya Tuhan dari mengamati dan memikirkan serta merenungkan keberadaan alam
dan manusia, baik melalui argumentasi kosmologis maupun argumentasi ontologis.
Senada dengan hal di
atas bahwa pengalaman ilmiah sebagai bukti, yaitu berdasarkan ontologikal dan teologikal.
Hal ini membuktikan
bahwa pembahasan ilmu kosmologikal dalam prosesnya tidak dapat melepaskan diri
dari agama. Menurut pandangan Islam bahwa keberadaan agama Islam menjadi sumber
motivasi pengembangan ilmu.
Agama Islam yang
bersumberkan al-Qur’an dan Hadis, mengajar dan mendidik manusia untuk berpikir
dan menganalisis tentang unsur kejadian alam semesta beserta isinya. Dengan
demikian, agama telah
memberikan ruang lingkup bagi pengembangan ilmu dan teknologi dan pemikiran
bahwa kemajuan dan teknologi jangan sampai menjauhkan apalagi menghapuskan peran
agama.
Persoalan sains dalam
Islam tidak begitu saja diterima, apakah benar agama Islam saling melengkapi
dengan ilmu perigetahuan alam secara harmonis, ataukah terjadi benturan antara system
metafisika yang didasarkan kepada agama dengan tuntutan akal dengan penelitian
empiris? Memang selama ini terjadi perdebatan dan ketidaksepakatan antara
muslim reformis, modernis, dan ortodoks satu dengan yang lain tentang masalah
Islam dan sains, terutama masalah yang mendasar, yaitu sains adalah upaya
sekuler dengan karakter sekuler, sains tidak mengakui eksistensi Sang Ilahi.
Dengan demikian,
dapat dipahami bahwa membicarakan masalah ilmu dalam pandangan religius, bukan
saja dalam persoalan pandangan agama terhadap ilmu. Akan tetapi, ilmu itu
sendiri dalam kerangka agama yang mengakui dan mengembangkan keberadaan ilmu
pengetahuan bagi kehidupan manusia.
Persoalan ilmu tidak
saja mengenai bagaimana keberadaan ilmu itu sendiri dan bagaimana cara
memperolehnya. Akan tetapi, juga menyangkut bagaimana ilmu itu diaplikasikan,
yang setidak-tidaknya harus memahami tiang-tiang penyangga ilmu pengetahuan
yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
Sebagai makhluk
berakal, manusia sangat menyadari kebutuhannya untuk memperoleh kepastian, baik
pada tataran ilmiah maupun ideologi. Melalui sains, manusia berhubungan dengan
realitas dalam memahami keberadaan diri dan lingkungannya. Sedangkan agama
menyadarkan manusia akan hubungan keragaman realitas tersebut, untuk memperoleh
derajat kepastian mutlak, yakni kesadaran akan kehadiran Tuhan. Keduanya
sama-sama penjelajahan realitas. Namun kualifikasi kebenaran yang bagaimanakah
yang diperlukan manusia, sehingga realitas sains dan agama masih sering
dipertentangkan? Untuk menyelesaikan ketegangan yang terjadi antara sains dan
agama dapat ditinjau berbagai macam varian hubungan yang dapat terjadi antara
sains dan agama. Demikian, analisa M. Ridwan.
Komaruddin Hidayat
dan Muhammad Wahyuni Nafis lebih melihat peran dan fungsi ilmu dan agama dalam
persepektif kekinian. Dalam era globalisasi yang ditandai dengan tingkat
kecanggihan teknologi, agama mulai terlihat kembali dibicarakan oleh banyak
orang, karena memiliki kesempatan yang jauh lebih besar untuk dikonsumsi oleh
masyarakat. Umat manusia tentunya merasa bersyukur, mengingat pembicaraan agama
berarti sebagai pertanda bahwa umat manusia mulai lagi membicarakan dan mencari
tentang makna dan tujuan hidup. Hal ini menunjukkan bahwa, orang mulai
menyadari keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki ilmu pengetahuan dan
teknologi. Dalam kaitan ini, Yudim mengatakan bahwa kebutaan moral dari ilmu
itu mungkin akan membawa manusia ke jurang malapetaka. Relativitas atau
kenisbian ilmu pengetahuan bermuara pada filsafat, relatifitas atau kenisbian
ilmu pengetahuan, dan ilmu pengetahuan bermuara pada agama. Dengan demikian,
agama memegang peranan sentral dalam proses mencapai tujuan hidup.
Dalam mencermati
konsep sains, Bruno Guiderdoni (dalam M. Ridwan) mengemukakan pendapat yang
disertai pula penalaran terhadap konsep agama. Dia membedakan istilah sains dan
agama dalam banyak definisi, yaitu :
1. Bahwa sains menjawab pertanyaan
“bagaimana”, sedangkan agama menjawab pertanyaan “mengapa”.
2. Sains berurusan dengan fakta, sedangkan
agama berurusan dengan nilai atau makna.
3. Sains mendekati realitas secara
analisis, sedangkan agama secara sintesis.
4. Sains merupakan upaya manusia untuk
memahami alam semesta yang kemudian akan mempengaruhi cara hidup kita, tetapi
tidak membuat kita menjadi manusia yang lebih baik. Sedangkan agama adalah
pesan yang diberikan Tuhan untuk membantu manusia mengenal Tuhan dan
mempersiapkan manusia untuk menghadap Tuhan.
Berkenaan dengan sains Durkheim seperti dikutif Djuretna menegaskan bahwa agama merupakan suatu sistem pemikiran yang bertujuan menerangkan alam semesta ini, dan menugaskan diri untuk menterjemahkan realitas dengan bahasa yang dapat dimengerti, yang sebenarnya adalah bahasa sains. Durkheim tidak memberikan batasan yang jelas antara tugas ilmu dan mana tugas agama. Bila agama dikatakan dengan sistem pemikiran, maka apa bedanya dengan ilmu yang juga merupakan suatu proses berpikir yang sistemik/menggunakan kaidah-kaidah ilmiah.
Nico Syukur Dister
Ofm mencoba memilah keduanya, menurutnya, tidak juga dapat dikatakan bahwa
keinginan intelek dipuaskan oleh agama. Sebab untuk sebagian intelek manusia
bersifat rasional dan sejauh keinginannya ialah menangkap dan menguasai yang
dikenalnya itu. Namun demikian, agama memang memberi jawaban atas “kesukaran
intelektual kognitif”, sejauh kesukaran ini dilatarbelakangi oleh keinginan
eksistensial dan psikologis, yaitu keinginan dan kebutuhan manusia akan
orientasi dalam kehidupan, untuk dapat menetapkan diri secara berarti dan
bermakna di tengah-tengah kejadian alam semesta. Nico Syukur Dister Ofm,
meletakkan otonomi ilmu yang rasional untuk mengeksplorasi dan menganalisa
sejauh mungkin apa yang ingin diketahui. Sedangkan agama memberi ruang, hal
mana yang tidak terpecahkan oleh pemikiran manusia. Dengan demikian, logika
adalah kendaraan super-exekutif untuk mencapai hakekat, tanpa logika agama
takkan dapat dipahami Ahmad Mufli Saifuddin, menilai, sekalipun kedua berbeda,
namun ilmu dan agama dipertemukan dalam hal tujuannya. “Meskipun pendekatan
yang digunakan keduanya berbeda (ilmu dan agama) atau bahkan bertentangan,
keduanya memiliki tujuan yang sama yaitu menegaskan makna dan hakekat nilai
kemanusiaan dan kehidupan manusia”. demikian Ahmad Mufli Sulaiman.
Dalam perspektif
Smith hubungan agama dan sains sebagai konflik zero sum. Terhadap pernyataan
ini, Gregory R. Peterson (dalam Huston Smith : 2003, 308-401) memberikan
kritiknya terhadap sebuah tulisan, Menyoal Agama dan Sains: Tanggapan terhadap
Huston Smith, ia menegaskan bahwa model hubungan yang baik antara agama dan
sains, bukanlah zero sum seperti ditulis Smith, akan tetapi hubungan agama dan
sains bersifat non zero sum game agar
potensi keduanya dapat termanfaatkan dan akan memperkaya perpaduan keduanya.
Dengan kata lain bahwa meskipun wilayah agama dan ilmu masing-masing sudah
saling membatasi dengan jelas, akan tetapi terdapat hubungan dan ketergantungan
timbal balik yang amat kuat di antara keduanya. Meskipun agama adalah yang
menentukan tujuan, tetapi dia telah belajar dalam arti yang paling luas, dari
ilmu, tentang cara-cara apa yang akan menyumbang pencapaian tujuan-tujuan yang
telah ditetapkannya. Ilmu hanya dapat diciptakan oleh mereka yang telah
ter-ilhami oleh aspirasi terhadap kebenaran dan pemahaman. Sumber perasaan ini,
tumbuh dari wilayah agama. Termasuk juga disini kepercayaan akan kemungkinan
bahwa pengaturan yang absah bagi dunia kemaujudan ini bersifat rasional, yaitu
dapat dipahami nalar.
Dengan demikian,
jelas bahwa ilmu merupakan penyokong dalam mencapai tujuan hidup yang
direfleksikan oleh agama. Demikian sebaliknya agama memberikan tempat bagi
manusia (hamba) yang berilmu dihadapan Tuhan.
1. Sikap Beragama
Semua yang dilakukan
dan dipikirkan manusia adalah berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan
yang amat dirasakannya dan usaha menghindari perasaan tidak enak. Ini harus
tetap diingat jika kita akan memahami gerakan-gerakan spritual dan
perkembangannya. Perasaan dan keinginan adalah kekuatan pendorong segala upaya
dan kreasi manusia, betapapun tersamarnya ia menampakkan diri kepada kita.
Desakan-desakan sosial adalah sumber lain dari terbentuknya suatu agama. Semua
makhluk dapat berbuat salah. Kebutuhan mereka akan perlindungan, kasih sayang
dan dukungan mendorong manusia untuk membuat konsepsi sosial, atau moral
tentang Tuhan. Agama bangsa-bangsa beradab, khususnya bangsa-bangsa Timur, pada
pokoknya adalah agama moral. Perkembangan dari agama-takut ke agama-moral
adalah satu langkah besar dalam kehidupan umat manusia. Namun, kita tetap harus
mewaspadai prasangka bahwa agama primitif didasarkan sepenuhnya pada rasa
takut, dan agama bangsa beradab sepenuhnya pada moralitas. Yang benar adalah
bahwa semua agama merupakan campuran yang beragam dari kedua tipe tersebut,
dengan satu perbedaan: pada tingkat kehidupan sosial yang lebih tinggi, agama
moralitas lebih menonjol. Satu hal yang ada pada semua tipe ini adalah watak
antropomorfis dalam konsepsi tentang Tuhan.
2. Manusia Religius
Sudah pasti, tak
seorang pun akan menolak gagasan adanya suatu Tuhan personal yang mahakuasa,
adil, dan maha pemurah, dapat memberi bantuan dan pembimbing manusia. Tapi, di
pihak lain, ada kelemahan yang terasa amat menyakitkan sejak permulaan sejarah.
Yaitu bahwa jika Wujud ini mahakuasa, maka setiap peristiwa, termasuk setiap
perbuatan manusia, setiap pikiran manusia, dan setiap perasaan dan aspirasi
manusia adalah juga karya-Nya; bagaimana mungkin kita berpendapat bahwa manusia
bertanggung jawab atas semua perbuatannya dan pemikirannya di depan Wujud
mahakuasa seperti itu? Dalam memberikan hukuman dan ganjaran, Ia akan melewati
penilaian terhadap diri-Nya sendiri. Bagaimana ini dapat dikombinasikan dengan
kebaikan dan kemurahan yang menjadi sifat-Nya? Sumber utama dari pertentangan
masa ini antara ilmu dan agama terletak pada konsep Tuhan yang personal ini.
Orang yang yakin
sepenuhnya berlakunya hukum sebab akibat secara unuversal, tak akan bisa
menganut suatu gagasan tentang satu wujud yang ikut campur dalam terjadinya
peristiwa-peristiwa tentunya, dengan syarat ia memperlakukan hipotesis
sebab-akibat itu secara serius. Ia tidak butuh lagi agama-takut, begitu juga
agama-moral. Suatu Tuhan yang memberi ganjaran dan menghukum, tidak dapat lagi
dipahaminya, karena alasan sederhana bahwa segala perbuatan manusia sudah
ditentukan harus dilakukan, sehingga di mata Tuhan ia tak dapat bertanggung
jawab – persis sama sebagaimana halnya suatu benda mati tak bertanggung jawab
atas gerakan-gerakan yang dijalaninya. Demikianlah, maka ilmu telah dituduh
menghancurkan moralitas, tapi tuduhan itu tidaklah adil. Perilaku etis manusia
harus didasarkan secara efektif pada simpati, pendidikan, hubungan sosial, dan
kebutuhan-kebutuhan; tak diperlukan dasar agama. Manusia pasti akan menjadi
miskin kalau ia harus dikekang oleh perasaan takut akan hukuman dan harapan
akan ganjaran setelah mati.
E. Penutup
Dalam suatu Hadis
disebutkan, “Barang siapa menginginkan dunia maka harus dengan ilmu, barang
siapa menginginkan akhirat maka harus dengan ilmu, dan barang siapa
menginginkan keduanya maka dengan ilmu”.
Hadis tersebut
mempertegas bahwa ilmu menjadi pengendali dari perkembangan peradaban. Akan tetapi,
keterbatasan akal manusia dalam eksperimentasi ilmu pengetahuan seringkali berlandaskan
trial and errors. Oleh karena itu,
etika selalu dibutuhkan untuk menjaga kenetralan ilmu.
Dari uraian di atas
maka kita percaya bahwa filsafat adalah fondasi dari berbagai macam aspek
keilmuan bahkan teknologi sekalipun, dengan berpikir filsafati maka manusia
berusaha memahami kaitan ilmu dengan moral, kaitan ilmu dengan agama dan banyak
hal mendasar. Meminjam istilah Jujun bahwa Filsafat adalah Peretas Pengetahuan,
dan kemudian ilmulah yang membelah gunung dan merambah hutan, menjadikannya
sesuatu yang dapat diandalkan.
Begitu pula dengan
bahasa, tidak dapat di ingkari bahwa bahasa yang merupakan salah satu alat
komunikasi manusia atau Homo Sapiens, mampu di pelajari sebagai suatu
telaah ilmu tersendiri, sains psikologis dan linguistik (telaah bahasa secara
ilmiah) dan diaplikasikan kepada suatu mesin yang berpikir yang kemudian kita
sebut sebagai robot. Bahasa dan logika simbol juga di terapkan dalam memahami
mesin pintar ini, chatbot adalah salah satu bukti nyata kontribusi bahasa dalam
kecerdasan buatan dimana mesin mempelajari kata-kata yang di terima dari lawan
bicaranya secara on-line, yakni manusia.
Kata-kata yang
diterima tersebut disimpan dalam suatu data base untuk kemudian di gunakan
kembali oleh mesin tersebut maka kemudian mesin di katakan pintar. Apakah itu
mesin yang pintar? dan apakah benar mesin dapat berpikir?, sebenarnya sudah ada
sebuah tes untuk mendefinisikan hal tersebut. Tes tersebut bernama tes turing
yang di temukan oleh Alan Mathison Turing (1912-1952). Tes Turing dilakukan
dengan melakukan uji coba terhadap mesin dan manusia, seorang penguji (manusia)
tidak mengetahui dua hal yang sedang di ujinya, hal ini dilakukan secara
sengaja. Ketika penguji melempar pertanyaan terhadap dua object yang sedang di
uji tersebut dan mampu di jawab dengan baik oleh dua object teruji, dalam hal ini mesin dan manusia. Sehingga penguji
tidak mampu membedakan manakah object yang merupakan mesin dan manakah yang manusia,
maka mesin tersebut dikatakan pintar.
Namun alangkah celaka
dan naifnya ketika kita mulai menyamakan robot dengan manusia, maka di sinilah
titik kritis nilai kemanusiaan dan hilangnya rasa pertanggungjawaban. Robot
hanya mampu memikirkan (baca; mengolah data) untuk keputusan-keputusan tertentu
secara sistematis, dalam hal ini kita dapat melihat pada sistem pakar. Berbeda
dengan manusia yang mengambil keputusan dengan mempertimbangkan banyak aspek
disamping hanya bernalar, yakni rasa tanggung jawab dan efek sosial yang
mengakibatkan pengambilan keputusan, dan banyak faktor lain dalam
ketidakpastian hidup manusia itu sendiri. Karena ilmu pengetahuan selalu
memiliki dua sisi positif dan negatif. Dan dalam batas-batas tertentu mengenai
penggunaan suatu ilmu pengetahuan, tidak selalu objectif melainkan juga
subjectif. Falsafah hidup sang ilmuwan juga akan berpengaruh. Mengutip apa yang
pernah dikatakan Einstein bahwa "Ilmu tanpa agama adalah buta, dan agama
tanpa ilmu adalah lumpuh."
Daftar
Pustaka
Abdul Mun’im Muhammad
Khallaf dalam pendahuluan bukunya, Agama dalam Perspektif Rasional, menyatakan
di antara masalah besar kehidupan manusia adalah masalah yang berkaitan dengan
agama. Lihat Tobroni dan Syamsul Arifin, Islam Pluralisme Budaya dan Politik (TTP:
Sipres, TT), hal. 5.
Ahmad Mufli
Saifuddin, Pengembangan Iptek Berwawasan Kemanusiaan dalam Masa Depan
Kemanusiaan, ed. Said Tuhuleley dkk, (Yogyakarta:
Jenddela, 2003) h.60
Ahmad Muhammad
al-’Assal dan Fathi Ahmad Abdul Karim, Sistem, Prinsip dan Tujuan Ekonmi Islam,
Teremahan Imam Saefudin (Bandung: Pustaka Setia, 1999),
A. Mukti Ali, Seni
Ilmu dan Agama, (Yogyakarta: Yayasan Nida, 1972), hal. 5-7.
Amsal Bakhtiar,
Filsafat Agama, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hal. 1.
Archie J. Bahm,
What’s Science, (TTP: TP, TT), hal. l.
Aslam Hady, Pengantar
Filsafat Agama (Jakarta: Rajawali Pers, 1956), hal. 6.
Daved Trueblood,
Filsafat Agama, Terjemahan. M. Rasyidi (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), hal.
53-54.
Djuretna A. Imam
Muhni, Moral dan Religi menurut Emile Durkeim dan Henri Bergson, (Yogyakarta:
Kanisius, 1994) h.129
Hasan Hanafi pada “International
Seminar on Islam and Humanism”, dalam Makalah Seminar Global Ethics and Human
Solidarity di IAIN Walisongo Semarang,
pada 5-8 November 2000, hal. 1.
Huston Smith, Ajal
Agama di Tengah Kedigdayaan Sains penterjemah Ari Budiyanto (Bandung: Mizan,2003) h.403
http://filsafatislam.net
http://lhyling.multply.com.//joutnal/item
hh. 1-3. Tema
tentang "agama dan Ilmu" pertama ditulis New York Times Magazine 9
November 1930; kemudaian pada princeton Theological Seminary, 19 Mei 1939; dan
ketiga dimuat pada Science, Philosophi, and Religion: Sympisium yang
diterbitkan pada 1941 oleh Comference on Scince, Philosophi, and Religion in
Their Relation to The Democratic Way of Life. Diterjemahkan oleh Zainal Abidin
dari Sonja Bargman (ed), Ideas and Opinions by Albert Einstein, Bonanza.
http://yudim.blogspot.com/2008/01
Imam Syafi’ie, Konsep
1lmu Pengetahuan dalam al-Qur’an (Yogyakarta:
UII Press, 2000), hal. 26.
Jujun S, Jujun S.
Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarata: Pustaka Sinar
Harapan, 1999).
Komaruddin Hidayat
dan Muhammad Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan Perspektif Filsafat Parennial,
(Jakarta: Paramadina, 1995) h. 114
M. Amin Abdullah,
Studi Agama, Normativitas atau Historisitas, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1999), hal. 61. Tulisan yang sama pernah dimuat dengan penulisan lain dalam Th.
Sumartana dkk., (ed), Dialog: Kritik dan Identitas Agama, Cet. 2. (Yogyakarta:
Dian Interfidei, 1994).
M. Arifin, Agama,
Ilmu, dan Teknologi (Jakarta: Golden Terayon Press, 1995), hal. 131.
M. Dawam Raharjo,
“Ilmu, Ensiklopedi al-Qur’an”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, No. 4. Vol. 1, Jakarta, 1090, hal. 56.
M.Ridwan dalam http://forum.detik.com/showthread.
Lihat pula al Quran Surat Al Faatir ayat 28.
Nico Syukur Dister
Ofm, Pengalaman dan Motivasi Beragama, (Yogyakarta: Kanisius, 1996). h. 105
Nurcholis Madjid,
Islam Agama Peradaban (Jakarta:
Paramadina, 2000), hal. 120-121. Dikutip St. Sunardi dari Does God Exist? hal.
191-339. Lihat Th. Sumartana (Ed.), Ibid., hal. 64.
Pervez Hoodbhoy,
Islam dan Sains, Terjemahan Luqman, (Bandung: Pustaka, 1997), hal. 2.
R. Harre, The
Philosophies of Science, an Introductory Survey (London: The Oxford University
Press, 1995), hal. 62.
Richard C. Martin
(ed.), Approaches to Islam in Religious Studies, (Tucsoty: The University of
Arizona Press, 1985), hal. 15.
St. Sunardi, “Dialog:
Cara baru Beragama” dalam Th. Sumartana (Ed.), Dialog: Kritik dan Identitas
Agama (Yogyakarta: Dian Interfidei, 1994), hal. 61. William G. Oxtoby, The
Meaning of Other Faiths (Philadelphia:
The Westetminster Press, 1983), hal. 35.
No comments:
Post a Comment