Defenisi Penyidikan
Menurut Undang-Undang No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Pasal 1 angka 13 penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Dalam memulai penyidikan tindak pidana Polri menggunakan parameter alat bukti yang sah sesuai dengan Pasal 184 KUHAP yang dikaitkan dengan segi tiga pembuktian/evidence triangle untuk memenuhi aspek legalitas dan aspek legitimasi untuk membuktikan tindak pidana yang terjadi. Adapun rangkaian kegiatan penyidik dalam melakukan penyidikan adalah Penyelidikan, Penindakan, pemeriksaan dan penyelesaian berkas perkara.
1. Penyelidikan
Tahap penyelidikan merupakan tahap
pertama yang dilakukan oleh penyidik dalam melakukan penyelidikan tindak pidana
serta tahap tersulit dalam proses penyidikan mengapa demikian? Karena dalam
tahap ini penyidik harus dapat membuktikan tindak pidana yang terjadi serta
bagaimana dan sebab - sebab tindak pidana tersebut untuk dapat menentukan
bentuk laporan polisi yang akan dibuat. Informasi biasanya didapat dari
NCB/Interpol yang menerima surat pemberitahuan atau laporan dari negara lain
yang kemudian diteruskan ke Unit cybercrime/ satuan yang ditunjuk. Dalam
penyelidikan kasus-kasus cybercrime yang modusnya seperti kasus carding metode
yang digunakan hampir sama dengan penyelidikan dalam menangani kejahatan
narkotika terutama dalam undercover dan control delivery. Petugas setelah
menerima informasi atau laporan dari Interpol atau merchant yang dirugikan
melakukan koordinasi dengan pihak shipping untuk melakukan pengiriman barang.
Permasalahan yang ada dalam kasus seperti ini adalah laporan yang masuk terjadi
setelah pembayaran barang ternyata ditolak oleh bank dan barang sudah diterima
oleh pelaku, disamping adanya kerjasama antara carder dengan karyawan shipping
sehingga apabila polisi melakukan koordinasi informasi tersebut akan bocor dan
pelaku tidak dapat ditangkap sebab identitas yang biasanya dicantumkan adalah
palsu.
Untuk kasus hacking atau memasuki jaringan komputer orang lain secara ilegal dan melakukan modifikasi (deface), penyidikannya dihadapkan problematika yang rumit, terutama dalam hal pembuktian. Banyak saksi maupun tersangka yang berada di luar yurisdiksi hukum Indonesia, sehingga untuk melakukan pemeriksaan maupun penindakan amatlah sulit, belum lagi kendala masalah bukti-bukti yang amat rumit terkait dengan teknologi informasi dan kode-kode digital yang membutuhkan SDM serta peralatan komputer forensik yang baik. Dalam hal kasus-kasus lain seperti situs porno maupun perjudian para pelaku melakukan hosting/ pendaftaran diluar negeri yang memiliki yuridiksi yang berbeda dengan negara kita sebab pornografi secara umum dan perjudian bukanlah suatu kejahatan di Amerika dan Eropa walaupun alamat yang digunakan berbahasa Indonesia dan operator daripada website ada di Indonesia sehingga kita tidak dapat melakukan tindakan apapun terhadap mereka sebab website tersebut bersifat universal dan dapat di akses dimana saja. Banyak rumor beredar yang menginformasikan adanya penjebolan bank-bank swasta secara online oleh hacker tetapi korban menutup-nutupi permasalahan tersebut. Hal ini berkaitan dengan kredibilitas bank bersangkutan yang takut apabila kasus ini tersebar akan merusak kepercayaan terhadap bank tersebut oleh masyarakat. Dalam hal ini penyidik tidak dapat bertindak lebih jauh sebab untuk mengetahui arah serangan harus memeriksa server dari bank yang bersangkutan, bagaimana kita akan melakukan pemeriksaan jika kejadian tersebut disangkal oleh bank.
Untuk kasus hacking atau memasuki jaringan komputer orang lain secara ilegal dan melakukan modifikasi (deface), penyidikannya dihadapkan problematika yang rumit, terutama dalam hal pembuktian. Banyak saksi maupun tersangka yang berada di luar yurisdiksi hukum Indonesia, sehingga untuk melakukan pemeriksaan maupun penindakan amatlah sulit, belum lagi kendala masalah bukti-bukti yang amat rumit terkait dengan teknologi informasi dan kode-kode digital yang membutuhkan SDM serta peralatan komputer forensik yang baik. Dalam hal kasus-kasus lain seperti situs porno maupun perjudian para pelaku melakukan hosting/ pendaftaran diluar negeri yang memiliki yuridiksi yang berbeda dengan negara kita sebab pornografi secara umum dan perjudian bukanlah suatu kejahatan di Amerika dan Eropa walaupun alamat yang digunakan berbahasa Indonesia dan operator daripada website ada di Indonesia sehingga kita tidak dapat melakukan tindakan apapun terhadap mereka sebab website tersebut bersifat universal dan dapat di akses dimana saja. Banyak rumor beredar yang menginformasikan adanya penjebolan bank-bank swasta secara online oleh hacker tetapi korban menutup-nutupi permasalahan tersebut. Hal ini berkaitan dengan kredibilitas bank bersangkutan yang takut apabila kasus ini tersebar akan merusak kepercayaan terhadap bank tersebut oleh masyarakat. Dalam hal ini penyidik tidak dapat bertindak lebih jauh sebab untuk mengetahui arah serangan harus memeriksa server dari bank yang bersangkutan, bagaimana kita akan melakukan pemeriksaan jika kejadian tersebut disangkal oleh bank.
2. Penindakan
Penindakan kasus cybercrime sering
mengalami hambatan terutama dalam penangkapan tersangka dan penyitaan barang
bukti. Dalam penangkapan tersangka sering kali kita tidak dapat menentukan
secara pasti siapa pelakunya karena mereka melakukannya cukup melalui komputer
yang dapat dilakukan dimana saja tanpa ada yang mengetahuinya sehingga tidak
ada saksi yang mengetahui secara langsung. Hasil pelacakan paling jauh hanya
dapat menemukan IP Address dari pelaku dan komputer yang digunakan. Hal itu
akan semakin sulit apabila menggunakan warnet sebab saat ini masih jarang
sekali warnet yang melakukan registrasi terhadap pengguna jasa mereka sehingga
kita tidak dapat mengetahui siapa yang menggunakan komputer tersebut pada saat
terjadi tindak pidana. Penyitaan barang bukti banyak menemui permasalahan
karena biasanya pelapor sangat lambat dalam melakukan pelaporan, hal tersebut
membuat data serangan di log server sudah dihapus biasanya terjadi pada kasus
deface, sehingga penyidik menemui kesulitan dalam mencari log statistik yang
terdapat di dalam server sebab biasanya secara otomatis server menghapus log
yang ada untuk mengurangi beban server. Hal ini membuat penyidik tidak
menemukan data yang dibutuhkan untuk dijadikan barang bukti sedangkan data log
statistik merupakan salah satu bukti vital dalam kasus hacking untuk menentukan
arah datangnya serangan.
3. Pemeriksaan
Penerapan pasal-pasal yang dikenakan
dalam kasus cybercrime merupakan suatu permasalahan besar yang sangat
merisaukan, misalnya apabila ada hacker yang melakukan pencurian data apakah
dapat ia dikenakan Pasal 362 KUHP? Pasal tersebut mengharuskan ada sebagian
atau seluruhnya milik orang lain yang hilang, sedangkan data yang dicuri oleh
hacker tersebut sama sekali tidak berubah. Hal tersebut baru diketahui biasanya
setelah selang waktu yang cukup lama karena ada orang yang mengetahui rahasia
perusahaan atau menggunakan data tersebut untuk kepentingan pribadi.
Pemeriksaan terhadap saksi dan korban banyak mengalami hambatan, hal ini
disebabkan karena pada saat kejahatan berlangsung atau dilakukan tidak ada
satupun saksi yang melihat (testimonium de auditu). Mereka hanya mengetahui
setelah kejadian berlangsung karena menerima dampak dari serangan yang
dilancarkan tersebut seperti tampilan yang berubah maupun tidak berfungsinya
program yang ada, hal ini terjadi untuk kasus-kasus hacking. Untuk kasus
carding, permasalahan yang ada adalah saksi korban kebanyakan berada di luar
negeri sehingga sangat menyulitkan dalam melakukan pelaporan dan pemeriksaan
untuk dimintai keterangan dalam berita acara pemeriksaan saksi korban. Apakah
mungkin nantinya hasil BAP dari luar negri yang dibuat oleh kepolisian setempat
dapat dijadikan kelengkapan isi berkas perkara? Mungkin apabila tanda tangan
digital (digital signature) sudah disahkan maka pemeriksaan dapat dilakukan
dari jarak jauh dengan melalui e-mail atau messanger. Internet sebagai sarana
untuk melakukan penghinaan dan pelecehan sangatlah efektif sekali untuk
“pembunuhan karakter”. Penyebaran gambar porno atau email yang mendiskreditkan
seseorang sangatlah sering sekali terjadi. Permasalahan yang ada adalah, mereka
yang menjadi korban jarang sekali mau menjadi saksi karena berbagai alasan.
Apabila hanya berupa tulisan atau foto2 yang tidak terlalu vulgar penyidik
tidak dapat bersikap aktif dengan langsung menangani kasus tersebut melainkan
harus menunggu laporan dari mereka yang merasa dirugikan karena kasus tersebut
merupakan delik aduan (pencemaran nama baik dan perbuatan tidak menyenangkan).
Peranan saksi ahli sangatlah besar sekali dalam memberikan keterangan pada kasus cybercrime,sebab apa yang terjadi didunia maya membutuhkan ketrampilan dan keahlian yang spesifik. Saksi ahli dalam kasus cybercrime dapat melibatkan lebih dari satu orang saksi ahli sesuai dengan permasalahan yang dihadapi, misalnya dalam kasus deface, disamping saksi ahli yang menguasai desain grafis juga dibutuhkan saksi ahli yang memahami masalah jaringan serta saksi ahli yang menguasai program.
Peranan saksi ahli sangatlah besar sekali dalam memberikan keterangan pada kasus cybercrime,sebab apa yang terjadi didunia maya membutuhkan ketrampilan dan keahlian yang spesifik. Saksi ahli dalam kasus cybercrime dapat melibatkan lebih dari satu orang saksi ahli sesuai dengan permasalahan yang dihadapi, misalnya dalam kasus deface, disamping saksi ahli yang menguasai desain grafis juga dibutuhkan saksi ahli yang memahami masalah jaringan serta saksi ahli yang menguasai program.
4. Penyelesaian berkas perkara
Setelah penyidikan lengkap dan
dituangkan dalam bentuk berkas perkara maka permasalahan yang ada adalah
masalah barang bukti karena belum samanya persepsi diantara aparat penegak
hukum, barang bukti digital adalah barang bukti dalam kasus cybercrime yang
belum memiliki rumusan yang jelas dalam penentuannya sebab digital evidence
tidak selalu dalam bentuk fisik yang nyata. Misalnya untuk kasus pembunuhan
sebuah pisau merupakan barang bukti utama dalam melakukan pembunuhan sedangkan
dalam kasus cybercrime barang bukti utamanya adalah komputer tetapi komputer
tersebut hanya merupakan fisiknya saja sedangkan yang utama adalah data di
dalam hard disk komputer tersebut yang berbentuk file, yang apabila dibuat
nyata dengan print membutuhkan banyak kertas untuk menuangkannya, apakah dapat
nantinya barang bukti tersebut dalam bentuk compact disc saja, hingga saat ini
belum ada Undang- Undang yang mengatur mengenai bentuk dari pada barang bukti
digital (digital evidence) apabila dihadirkan sebagai barang bukti di
persidangan.
5. UPAYA-UPAYA YANG DILAKUKAN OLEH PIHAK KEPOLISIAN
Untuk meningkatkan penanganan kejahatan cyber yang
semakin hari semakin berkembang seiring dengan kemajuan teknologi maka Polri
melakukan beberapa tindakan, yaitu:
a. Personil
Terbatasnya sumber daya manusia merupakan suatu masalah yang tidak dapat diabaikan, untuk itu Polri mengirimkan anggotanya untuk mengikuti berbagai macam kursus di negara–negara maju agar dapat diterapkan dan diaplikasikan di Indonesia, antara lain: CETS di Canada, Internet Investigator di Hongkong, Virtual Undercover di Washington, Computer Forensic di Jepang.
b. Sarana Prasarana
Perkembangan tehnologi yang cepat juga tidak dapat dihindari sehingga Polri berusaha semaksimal mungkin untuk meng-up date dan up grade sarana dan prasarana yang dimiliki, antara lain Encase Versi 4, CETS, COFE, GSM Interceptor, GI 2.
c. Kerjasama dan koordinasi
Melakukan kerjasama dalam melakukan penyidikan kasus kejahatan cyber karena sifatnya yang borderless dan tidak mengenal batas wilayah, sehingga kerjasama dan koordinasi dengan aparat penegak hukum negara lain merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan.
d. Sosialisasi dan Pelatihan
Memberikan sosialisasi mengenai kejahatan cyber dan cara penanganannya kepada satuan di kewilayahan (Polda) serta pelatihan dan ceramah kepada aparat penegak hukum lain (jaksa dan hakim) mengenai cybercrime agar memiliki kesamaan persepsi dan pengertian yang sama dalam melakukan penanganan terhadap kejahatan cyber terutama dalam pembuktian dan alat bukti yang digunakan.
a. Personil
Terbatasnya sumber daya manusia merupakan suatu masalah yang tidak dapat diabaikan, untuk itu Polri mengirimkan anggotanya untuk mengikuti berbagai macam kursus di negara–negara maju agar dapat diterapkan dan diaplikasikan di Indonesia, antara lain: CETS di Canada, Internet Investigator di Hongkong, Virtual Undercover di Washington, Computer Forensic di Jepang.
b. Sarana Prasarana
Perkembangan tehnologi yang cepat juga tidak dapat dihindari sehingga Polri berusaha semaksimal mungkin untuk meng-up date dan up grade sarana dan prasarana yang dimiliki, antara lain Encase Versi 4, CETS, COFE, GSM Interceptor, GI 2.
c. Kerjasama dan koordinasi
Melakukan kerjasama dalam melakukan penyidikan kasus kejahatan cyber karena sifatnya yang borderless dan tidak mengenal batas wilayah, sehingga kerjasama dan koordinasi dengan aparat penegak hukum negara lain merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan.
d. Sosialisasi dan Pelatihan
Memberikan sosialisasi mengenai kejahatan cyber dan cara penanganannya kepada satuan di kewilayahan (Polda) serta pelatihan dan ceramah kepada aparat penegak hukum lain (jaksa dan hakim) mengenai cybercrime agar memiliki kesamaan persepsi dan pengertian yang sama dalam melakukan penanganan terhadap kejahatan cyber terutama dalam pembuktian dan alat bukti yang digunakan.
No comments:
Post a Comment