1.1 Latar Belakang Masalah
Hubungan persaudaraan bisa
berantakan jika masalah pembagian harta warisan seperti rumah atau tanah tidak
dilakukan dengan adil. Untuk menghindari masalah, sebaiknya pembagian warisan
diselesaikan dengan adil. Salah satu caranya adalah menggunakan Hukum Waris
menurut Undang-Undang (KUH Perdata).
Banyak permasalahan yang terjadi
seputar perebutan warisan, seperti masing-masing ahli waris merasa tidak
menerima harta waris dengan adil atau ada ketidaksepakatan antara masing-masing
ahli waris tentang hukum yang akan mereka gunakan dalam membagi harta warisan.
Oleh karenanya, dalam pembagian
warisan harus di lihat terlebih dahulu hokum yang mana yang akan di gunakan
oleh para ahli waris dalam menyelesaikan sengketa waris yang terjadi.
Disini pemakalah akan sedikit
mengupas tentang Hukum waris dipandang dari Hukum Perdata (BW).
BAB II
2.1 Hukum
waris menurut BW
Hukum waris menurut konsepsi hukum perdata Barat yang bersumber pada BW,
merupakan bagian dari hukum harta kekayaan. Oleh karena itu, hanyalah hak dan
kewajiban yang berwujud harta kekayaan yang merupakan warisan dan yang akan
diwariskan. Hak dan kewajiban dalam hukum publik, hak dan kewajiban yang timbul
dari kesusilaan dan kesopanan tidak akan diwariskan, demikian pula halnya
dengan hak dan kewajiban yang timbul dari hubungan hokum keluarga, ini juga
tidak dapat diwariskan. Kiranya akan lebih jelas apabila kita memperhatikan
rumusan hukum waris yang diberikan oleh Pitlo di bawah ini, rumusan
tersebut menggambarkan bahwa hukum waris merupakan bagian dari kenyataan, yaitu
:
“Hukum waris adalah kumpulan peraturan yang mengatur hukum mengenai
kekayaan karena wafatnya seseorang, yaitu mengenai pemindahan kekayaan yang
ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini bagi orang-orang yang
memperolehnya, baik dalam hubungan antar mereka dengan mereka, maupun dalam
hubungan antara mereka dengan pihak ketiga”.[1]
Adapun kekayaan yang dimaksud dalam rumusan di atas adalah sejumlah harta
kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal dunia berupa kumpulan
aktiva dan pasiva. Pada dasarnya proses beralihnya harta kekayaan seseorang
kepada ahli warisnya, yang dinamakan pewarisan, terjadi hanya karena kematian.
Oleh karena itu, pewarisan baru akan terjadi jika terpenuhi tiga persyaratan,
yaitu :
- ada seseorang yang meninggal dunia;
- ada seseorang yang masih hidup sebagai ahli waris yang akan memperoleh warisan pada saat pewaris meninggal dunia;
- ada sejumlah harta kekayaan yang ditinggalkan pewaris.
Dalam hukum waris menurut BW berlaku suatu asas bahwa “apabila seseorang
meninggal dunia, maka seketika itu juga segala hak dan kewajibannya beralih
kepada sekalian ahli warisnya”.[2]
Hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang beralih pada ahli waris adalah sepanjang
termasuk dalam lapangan hukum harta kekayaan atau hanya hak dan kewajiban yang
dapat dinilai dengan uang.
Yang merupakan ciri khas hukum waris menurut BW antara lain “adanya hak
mutlak dari para ahli waris masing-masing untuk sewktu-waktu menuntut pembagian
dari harta warisan”.[3]
Ini berarti, apabila seorang ahli waris menuntut pembagian harta warisan di
depan pengadilan, tuntutan tersebut tidak dapt ditolak oleh ahli waris yang
lainnya. Ketentuan ini tertera dalam pasal 1066 BW, yaitu:
- Seseorang yang mempunyai hak atas sebagian dari harta peninggalan tidak dapat dipaksa untuk memberikan harta benda peninggalan dalam keadaan tidak terbagi-bagi di antara para ahli waris yang ada;
- Pembagian harta benda peninggalan itu selalu dapat dituntut walaupun ada perjanjian yang melarang hal tersebut;
- Perjanjian penangguhan pembagian harta peninggalan dapat saja dilakukan hanya untuk beberapa waktu tertentu;
- Perjanjian penagguhan pembagian hanya berlaku mengikat selama lima tahun, namun dapat diperbaharui jika masih dikehendaki oleh para pihak.
Dari ketentuan pasal 1066 BW tentang pemisahan harta peninggalan dan
akibat-akibatnya itu, dapat dipahami bahwa system hukum waris menurut BW
memiliki ciri khas yang berbeda dari hukum waris yang lainnya. Ciri khas
tersebut di antaranya hokum waris menurut BW menghendaki agar harta peninggalan
seorang pewaris secepat mungkin dibagi-bagi kepada mereka yang berhak atas
harta tersebut. Kalau pun hendak dibiarkan tidak terbagi, harus terlebih dahulu
melalui persetujuan seluruh ahli waris.
2.2 Warisan
dalam sistem hukum waris BW
Berbeda dengan sistem hukum adat tentang warisan, menurut kedua sistem
hukum di atas yang dimaksud dengan warisan atau harta peninggalan adalah
sejumlah harta benda kekayaan pewaris dalam keadaan bersih. Artinya, setelah
dikurangi dengan pembayaran hutang pewaris dan pembayaran-pembayaran lain yang
diakibatkan oleh meninggalnya pewaris. Oleh karena itu, harta yang diterima
oleh ahli waris menurut sistem hukum Islam dan sistem hukum adat itu benarbenar
hak mereka yang bebas dari tuntutan kreditur pewaris.
Sedangkan warisan dalam sistem hukum perdata barat yang bersumber pada BW
itu meliputi seluruh harta benda beserta hak-hak dan kewajiban-kewajiban
pewaris dalam lapangan hukum harta kekayaan yang dapat dinilai dengan uang.
Akan tetapi terhadap ketentuan tersebut ada beberapa pengecualian, dimana
hak-hak dan kewajibankewajiban dalam lapangan hukum harta kekayaan ada juga
yang tidak dapat beralih kepada ahli waris, antara lain:
- Hak memungut hasil (vruchtgebruik);
- Perjanjian perburuhan, dengan pekerjaan yang harus dilakukan bersifat pribadi;
- Perjanjian perkongsian dagang, baik yang berbentuk maatschap menurut BW maupun firma menurut WvK, sebab perkongsian ini berakhir dengan meninggalnya salah seoranganggota/persero.
Pengecualian lain terdapat pula, yaitu ada beberapa hak yang walaupun hak
itu terletak dalam lapangan hukum keluarga, akan tetapi dapat diwariskan kepada
ahli waris pemilik hak tersebut, yaitu:
- Hak seorang ayah untuk menyangkal sahnya seorang anak;
- Hak seorang anak untuk menuntut supaya ia dinyatakan sebagai anak yang sah dari bapak atau ibunya.
Di atas telah dikemukakan bahwa kematian seseorang menurut BW mengakibatkan
peralihan segala hak dan kewajiban pada seketika itu juga kepada ahli warisnya.
Hal ini secara tegas disebutkan dalam pasal 833 ayat (1) BW, yaitu “sekalian
ahli waris dengan sendirinya karena hukum memperoleh hak milik atas segala
barang, segala hak, dan segala piutang dari yang meninggal”. Peralihan hak dan
kewajiban dari yang meninggal dunia kepada ahli warisnya disebut “saisine”.[4]
Adapun yang dimaksud dengan saisine yaitu:
“Ahli waris memperoleh segala hak dan kewajiban dari yang meninggal dunia
tanpa memerlukan suatu tindakan tertentu, demikian pula bila ahli waris
tersebut belum mengetahui tentang adanya warisan itu.”
Sistem waris BW tidak mengenal istilah “harta asal maupun harta gono-gini”
atau harta yang diperoleh bersama dalam perkawinan, sebab harta warisan dalam
BW dari siapa pun juga, merupakan “kesatuan” yang secara bulat dan utuh dalam
keseluruhan akan beralih dari tangan peninggal warisan/pewaris ke ahli
warisnya.
Artinya, dalam BW tidak dikenal perbedaan pengaturan atas dasar macam atau
asal barang-barang yang ditinggalkan pewaris. Seperti yang ditegaskan dalam
pasal 849 BW yaitu “Undang-undang tidak memandang akan sifat atau asal dari
pada barang-barang dalam suatu peninggalan untuk mengatur pewarisan
terhadapnya”. Sistem hukum waris BW mengenal sebaliknya dari sistem hukum waris
adat yang membedakan “macam” dan “asal” barang yang ditinggalkan pewaris.
Dalam hukum adat jika seseorang meninggal dengan meninggalkan sejumlah
harta, harta peninggalan tersebut senantiasa ditentukan dahulu, mana yang
termasuk harta asal yang dibawa salah satu pihak ketika menikah dan mana yang
termasuk harta gono-gini, yaitu harta yang diperoleh bersama suami-istri selama
dalam perkawinan. Sedangkan sistem BW, tidak mengenal hal tersebut, melainkan
sebaliknya yaitu harta asal yang dibawa masing-masing ketika menikah, maupun
harta yang diperoleh selama dalam perkawinan digabungkan menjadi satu kesatuan
bulat yang akan beralih dan diwarisi oleh seluruh ahli warisnya.
2.3 Pewaris
dan dasar hukum mewaris
Pewaris adalah seseorang yang meninggal dunia, baik laki-laki maupun
perempuan yang meninggalkan sejumlah harta kekayaan maupun hak-hak yang
diperoleh beserta kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan selama hidupnya,
baik dengan surat wasiat maupun tanpa surat wasiat.
Dasar hukum seseorang ahli waris mewarisi sejumlah harta pewaris menurut
sisten hukum waris BW ada dua cara, yaitu:
- menurut ketentuan undang-undang;
- ditunjuk dalam surat wasiat (testamen).[5]
Undang-undang telah menentukan bahwa untuk melanjutkan kedudukan hukum
seseorang yang meninggal, sedapat mungkin disesuaikan dengan kehendak dari
orang yang meninggal itu. Undang-undang berprinsip bahwa seseorang bebas untuk
menentukan kehendaknya tentang harta kekayaannya setelah ia meninggal dunia.
Akan tetapi apabila ternyata seorang tidak menentukan sendiri ketika ia
hidup tentang apa yang akan terjadi terhadap harta kekayaannya maka dalam hal
demikian undang-undang kembali akan menentukan perihal pengaturan harta yang
ditinggalkan seseorang tersebut.
Di samping undang-undang, dasar hukum seseorang mewarisi harta peninggalan
pewaris juga melalui cara ditunjuk dalam surat wasiat. Surat wasiat atau
testamen adalah “suatu pernyataan tentang apa yang dikehendaki setelah ia
meninggal dunia”.[6]
Sifat utama surat wasiat adalah mempunyai kekuatan berlaku setelah pembuat
surat wasiat meninggal dan tidak dapat ditarik kembali. Selama pembuat surat
wasiat masih hidup, surat wasiat masih dapat diubah atau dicabut, sedangkan
setelah pembuat wasiat meninggal dunia surat wasiat tidak dapat lagi diubah,
dicabut, maupun ditarik kembali oleh siapa pun.
Seseorang dapat mewariskan sebagian atau seluruhnya hartanya dengan surat
wasiat. Apabila seseorang hanya menetapkan sebagian dari hartanya melalui surat
wasiat, maka sisanya merupakan bagian ahli waris berdasarkan undang-undang
(ahli waris ab intestato). Jadi, pemberian seseorang pewaris berdasarkan surat
wasiat tidak bermaksud untuk menghapuskan hak untuk mewaris secara ab
intestato.
2.4 Ahli
waris menurut sistem BW
Undang-undang telah menetapkan tertib keluarga yang menjadi ahli waris,
yaitu: Isteri atau suami yang ditinggalkan dan keluarga sah atau tidak sah dari
pewaris. Ahli waris menurut undang undang atau ahli waris ab intestato
berdasarkan hubungan darah terdapat empat golongan, yaitu:
- Golongan pertama, keluarga dalam garis lurus ke bawah, meliputi anak-anak beserta keturunan mereka beserta suami atau isteri yang ditinggalkan / atau yang hidup paling lama. Suami atau isteri yang ditinggalkan / hidup paling lama ini baru diakui sebagai ahli waris pada tahun 1935, sedangkan sebelumnya suami / isteri tidak saling mewarisi;
- Golongan kedua, keluarga dalam garis lurus ke atas, meliputi orang tua dan saudara, baik laki-laki maupun perempuan, serta keturunan mereka. Bagi orang tua ada peraturan khusus yang menjamin bahwa bagian mereka tidak akan kurang dari ¼ (seperempat) bagian dari harta peninggalan, walaupun mereka mewaris bersamasama saudara pewaris;
- Golongan ketiga, meliputi kakek, nenek, dan leluhur selanjutnya ke atas dari pewaris;
- Golongan keempat, meliputi anggota keluarga dalam garis ke samping dan sanak keluarga lainnya sampai derajat keenam.
Undang-undang tidak membedakan ahli waris laki-laki dan perempuan, juga
tidak membedakan urutan kelahiran, hanya ada ketentuan bahwa ahli waris
golongan pertama jika masih ada maka akan menutup hak anggota keluarga lainnya
dalam dalam garis lurus ke atas maupun ke samping. Demikian pula golongan yang
lebih tinggiderajatnya menutup yang lebih rendah derajatnya. Sedangkan ahli
Waris menurut surat wasiat atau testamen, jumlahnya tidak tentu sebab ahli
waris macam ini bergantung pada kehendak si pembuat wasiat.
Suatu surat wasiat seringkali berisi penunjukan seseorang atau beberapa
orang ahli waris yang akan mendapat seluruh atau sebagian dari warisan. Akan
tetapi seperti juga ahli waris menurut undang-undang atau ab intestato, ahli
waris menurut surat wasiat atau ahli waris testamenter akan memperoleh segala
hak dan segala kewajiban dari pewaris.
Dari kedua macam ahli waris di atas, timbullah persoalan ahliwaris yang
manakah yang lebih diutamakan, apakah ahli waris menurut undang-undang atau
ahli waris menurut surat wasiat?
Berdasarkan beberapa peraturan-peraturan yang termuat dalam BW tentang
surat wasiat, dapat disimpulkan bahwa yang diutamakan adalah ahli waris menurut
undang-undang. Hal ini terbukti beberapa peraturan yang membatasi kebebasan
seseorang untuk membuat surat wasiat agar tidak sekehendak hatinya. Ketentuan
yang terdapat dalam BW yang isinya membatasi seseorang pembuat surat wasiat
agar tidak merugikan ahli waris menurut undang-undang antara lain dapat dilihat
dari substansi pasal 881 ayat (2), yaitu: “Dengan sesuatu pengangkatan waris
atau pemberian hibah, pihak yang mewariskan atau pewaris tidak boleh merugikan
para ahli warisnya yang berhak atas sesuatu bagian mutlak”.
Ahli waris yang memperoleh bagian mutlak atau “legitime portie”[7]
ini termasuk ahli waris menurut undang-undang, mereka adalah para ahli waris
dalam garis lurus ke atas maupun dalam garis lurus ke bawah yang memperoleh
bagian tertentu dari harta peninggalan dan bagian itu tidak dapat dihapuskan
oleh si pewaris.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, R. Subekti, mengemukakan dalam
bukunya, bahwa “peraturan mengenai legitime portie oleh undang-undang dipandang
sebagai pembatasan kemerdekaan seseorang untuk membuat wasiat atau testamen
menurut sekehendak hatinya sendiri”.[8]
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, seseorang yang akan menerima
sejumlah harta peninggalan terlebih dahulu harus memenuhi syarat-syarat,
sebagai berikut:
- Harus ada orang yang meninggal dunia (pasal 830 BW);
- Harus ahli waris atau para ahli waris harus ada pada saat pewaris meninggal dunia. Ketentuan ini tidak berarti mengurangi makna ketentuan pasal 2 BW, yaitu: “anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana kepentingan si anak menghendakinya”. Apabila ia meninggal saat dilahirkan, ia dianggap tidak pernah ada. Dengan demikian berarti bayi dalam kandungan juga sudah diatur haknya oleh hokum sebagai ahli waris dan telah dianggap cakap untuk mewaris;
- Seseorang ahli waris harus cakap serta berhak mewaris, dalam arti ia tidak dinyatakan oleh undang-undang sebagai seorang yang tidak patut mewaris karena kematian, atau tidak dianggap sebagi tidak cakap untuk menjadi ahli waris.
Setelah terpenuhi syarat-syarat tersebut di atas, para ahli waris diberi
kelonggaran oleh undang-undang untuk selanjutnya menentukan sikap terhadap
suatu harta warisan. Ahli waris diberi hak untuk berfikir selama empat bulan
setelah itu ia harus menyatakan sikapnya apakah menerima atau menolak warisan
atau mungkin saja ia menerima warisan dengan syarat yang dinamakan “menerima
warisan secara beneficiaire”,[9]
yang merupakan suatu jalan tengah antara menerima dan menolak warisan.
Selama ahli waris mempergunakan haknya untuk berfikir guna menentukan sikap
tersebut, ia tidak dapat dipaksa untuk memenuhi kewajiban sebagai ahli waris
sampai jangka waktu itu berakhir selama empat bulan (pasal 1024 BW). Setelah
jangka waktu yang ditetapkan undang-undang berakhir, seorang ahli waris dapat
memilih antara tiga
kemungkinan,
yaitu:
- Menerima warisan dengan penuh;
- Menerima warisan tetapi dengan ketentuan bahwa ia tidak akan diwajibkan membayar hutang-hutang pewaris yang melebihi bagiannya dalam warisan itu, atau disebut dengan istilah ”menerima warisan secara beneficiaire”;
- Menolak warisan.
Seorang ahli waris yang menyatakan menerima warisan secara beneficiaire atau
menerima dengan mengadakan inventarisasi harta peninggalan, mempunyai beberapa
kewajiban yaitu:
a) wajib melakukan pencatatan atas jumlah harta peninggalan dalam waktu
empat bulan setelah ia menyatakan kehendaknya kepada panitera pengadilan
negeri;
b) wajib mengurus harta peninggalan dengan sebaik-baiknya;
c) wajib membereskan urusan waris dengan segera;
d) wajib memberikan jaminan kepada kreditur, baik kreditur benda bergerak
maupun kreditur pemegang hipotik;
e) wajib memberikan pertanggung jawaban kepada seluruh kreditur pewaris,
maupun kepada orang-orang yang menerima pemberian secara “legaat”;
f) wajib memanggil para kreditur pewaris yang tidak dikenal melalui surat
kabar resmi.
Pengertian Legaat[10]R. Subekti, dalam bukunya “Pokok-pokok Hukum Perdata” menerangkan pengertian legaat
yaitu suatu pemberian kepada seseorang yang bukan ahli waris melalui surat
wasiat, berupa :
1) satu atau beberapa benda tertentu;
2) seluruh benda dari satu macam atau satu jenis, misalnya memberikan
seluruh benda bergerak;
3) hak memungut hasil dari seluruh atau sebagian harta warisan;
4) sesuatu hak lain terhadap harta peninggalan.
Orang yang menerima legaat dinamakan legataris, karena ia
bukan ahli waris maka ia tidak diwajibkan membayar hutang-hutang pewaris, ia
hanya mempunyai hak untuk menuntut legaat yang diberikan kepadanya.
2.5 Bagian
masing-masing ahli waris menurut BW
Di atas telah dikemukakan bahwa BW mengenal empat golongan ahli waris yang
bergiliran berhak atas harta peninggalan. Artinya, apabila golongan pertama
masih ada, maka golongan kedua dan seterusnya tidak berhak atas harta
peninggalan, demikian pula jika golongan pertama tidak ada sama sekali, yang
berhak hanya golongan kedua, sedangkan golongan ketiga dan keempat tidak
berhak. Bagian masing-masing ahli waris menurut BW adalah sebagai berikut:
a. Bagian golongan pertama yang meliputi anggota keluarga dalam garis lurus
ke bawah, yaitu anak-anak beserta keturunan mereka, dan janda atau duda yang
hidup paling lama, masing-masing memperoleh satu bagian yang sama. Jadi bila
terdapat empat orang anak dan janda, mereka masing-masing mendapat 1/5 bagian.
Apabila salah seorang anak telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris
akan tetapi mempunyai empat orang anak, yaitu cucu pewaris, maka bagian anak
yang 1/5 dibagi di antara anak-anak yang menggantikan kedudukan ayahnya yang
telah meninggal itu (plaatsvervulling), sehingga masing-masing cucu
memperoleh 1/20 bagian. Jadi hakikat bagian dari golongan pertama ini, jika
pewaris hanya meninggalkan seorang anak dan dua orang cucu, maka cucu tidak
memperoleh warisan selama anak pewaris masih ada, baru apabila anak pewaris itu
telah meninggal lebih dahulu dari pewaris, kedudukannya digantikan oleh
anakanaknya atau cucu pewaris.
b. Bagian golongan kedua yang meliputi anggota keluarga dalam garis lurus
ke atas yaitu orang tua, ayah dan ibu, serta saudara, baik laki-laki maupun
perempuan beserta keturunan mereka. Menurut ketentuan BW, baik ayah, ibu maupun
sudara-saudara pewaris masing-masing mendapat bagian yang sama. Akan tetapi
bagian ayah dan ibu senantiasa diistimewakan karena mereka tidak boleh kurang
dari ¼ bagian dari seluruh harta warisan. Jadi apabila terdapat tiga orang
saudara yang mewaris bersama-sama dengan ayah dan ibu, maka ayah dan ibu
masing-masing akan memperoleh ¼ bagian dari seluruh harta warisan. Sedangkan
separoh dari harta warisan itu akan diwarisi oleh tiga orang saudara,
masing-masing dari mereka akan memperoleh 1/6 bagian. Jika ibu atau ayah salah
seorang sudah meninggal dunia, yang hidup paling lama akan memperoleh bagian
sebagai berikut:
- ½ (setengah) bagian dari seluruh harta warisan, jika ia mewaris bersama
dengan seorang saudaranya, baik lakilaki maupun perempuan, sama saja;
- 1/3 bagian dari seluruh harta warisan, jika ia mewaris bersama-sama dengan dua
orang saudara pewaris;
- ¼ (seperempat) bagian dari seluruh harta warisan, jika ia mewaris
bersama-sama dengan tiga orang atau lebih saudara pewaris.
Apabila ayah dan ibu semuanya sudah meninggal dunia, maka harta peninggalan
seluruhnya jatuh pada saudara-saudara pewaris, sebagai ahli waris golongan dua
yang masih ada. Apabila di antara saudara-saudara yang masih ada itu ternyata
hanya ada yang seayah atau seibu saja dengan pewaris, maka harta warisan
terlebih dahulu dibagi dua, bagian yang satu bagian saudara seibu. Jika pewaris
mempunyai saudara seayah dan seibu di samping saudara kandung, maka bagian
saudara kandung itu diperoleh dari dua bagian yang dipisahkan tadi.
c. Bagian golongan ketiga yang meliputi kakek, nenek, dan leluhur
selanjutnya ke atas dari pewaris, apabila pewaris sama sekali tidak
meninggalkan ahli waris golongan pertama maupun kedua. Dalam keadaan seperti
ini sebelum harta warisan dibuka, terlebih dahulu harus dibagi dua (kloving).
Selanjutnya separoh yang satu merupakan bagian sanak keluarga dari pancer
ayah pewaris, dan bagian yang separohnya lagi merupakan bagian sanak keluarga
dari pancer ibu pewaris. Bagian yang masing-masing separoh hasil dari kloving
itu harus diberikan pada kakek pewaris untuk bagian dari pancer ayah,
sedangkan untuk bagian dari pancer ibu harus diberikan kepada nenek. Bagian
golongan keempat yang meliputi anggota keluarga dalam garis ke samping sampai
derajat keenam, apabila pewaris tidak meninggalkan ahli waris golongan ketiga
sekalipun, maka cara pembagiannya, bagian yang separoh dari pancer ayah atau
dari pancer ibu jatuh kepada saudarasaudara sepupu si pewaris yakni saudara
sekakek atau saudara senenek dengan pewaris.
Apabila dalam bagian pancer ibu sama sekali tidak ada ahli waris sampai
derajat keenam, maka bagian pancer ibu jatuh kepada para ahli waris dari pancer
ayah, demikian pula sebaliknya. Dalam pasal 832 ayat (2) BW disebutkan:
”Apabila ahli waris yang berhak atas harta peninggalan sama sekali tidak ada,
maka seluruh harta peninggalan jatuh menjadi milik negara. Selanjutnya negara
wajib melunasi hutang-hutang peninggal warisan, sepanjang harta warisan itu
mencukupi”.
Bagian warisan untuk anak yang lahir di luar perkawinan antara lain diatur
sebagai berikut :
- 1/3 dari bagian anak sah, apabila anak yang lahir di luar perkawinan mewaris
bersama-sama dengan anak yang sah serta janda atau duda yang hidup paling lama;
- ½ dari bagian anak sah, apabila anak yang lahir di luar perkawinan
mewaris bersama-sama dengan ahli waris golongan kedua dan golongan ketiga;
- ¾ dari bagian anak sah, apabila anak yang lahir di luar perkawinan
mewaris bersama-sama ahli waris golongan keempat, yaitu sanak keluarga pewaris
sampai derajat keenam.
- ½ dari bagian anak sah, apabila ia mewaris hanya bersamasama dengan kakek
atau nenek pewaris, setelah terjadi kloving.
Jadi dalam hal demikian, bagian anak yang lahir di luar nikah bukan ¾,
sebab untuk ahli waris golongan keempat ini sebelum warisan dibuka terlebih
dahulu diadakan kloving/ dibagi dua, sehingga anak yang lahir di luar
nikah akan memperoleh ¼ dari bagian anak sah dari separoh warisan pancer ayah
dan ¼ dari bagian anak sah dari separoh warisan pacer ibu, sehingga menjadi ½
bagian. Apabila pewaris sama sekali tidak meninggalkan ahli waris sampai
derajat keenam sedang yang ada hanya anak yang lahir di luar nikah, maka harta
peninggalan seluruhnya jatuh pada tangan anak yang lahir di luar pernikahan,
sebagai ahli waris satu-satunya.
Anak yang lahir dari zina dan anak yang lahir dari orang tua yang tidak
boleh menikah karena keduanya sangat erat hubungan kekeluargaannya, menurut
sistem BW sama sekali tidak berhak atas harta warisan dari orang tuanya,
anak-anak tersebut hanya berhak memperoleh bagian sekedar nafkah untuk hidup
seperlunya, (lihat Pasal 867 BW).
2.6 Peran
Balai Harta Peninggalan dalam pembagian warisan
Apabila harta warisan telah terbuka namun tidak seorang pun ahli waris yang
tampil ke muka sebagai ahli waris, tak seorang pun yang menolak warisan, maka
warisan tersebut dianggap sebagai harta warisan yang tidak terurus. Dalam
keadaaan seperti ini, tanpa menunggu perintah hakim, Balai Harta Peninggalan
wajib mengurus harta peninggalan tersebut. Pekerjaan pengurusan itu harus dilaporkan
kepada kejaksaan negeri setempat. Jika terjadi perselisihan tentang apakah
suatu harta peninggalan tidak terurus atau tidak, penentuan ini akan diputus
oleh hakim.
Apabila dalam jangka waktu tiga tahun terhitung mulai saat terbukanya
warisan, belum juga ada ahli waris yang tampil ke muka, Balai Harta Peninggalan
akan memberikan pertanggung jawaban atas pengurusan itu kepada negara.
Selanjutnya harta peninggalan itu akan diwarisi dan menjadi hak milik negara.
2.7 Ahli
waris yang tidak patut menerima harta warisan
Undang-undang menyebut empat hal yang menyebabkan seseorang ahli waris
menjadi tidak patut mewaris karena kematian, yaitu sebagai berikut:
a. seorang ahli warais yang dengan putusan hakim telah dipidana karena
dipersalahkan membunuh atau setidaktidaknya mencoba membunuh pewaris;
b. seorang ahli waris yang dengan putusan hakim telah dipidana karena
dipersalahkan memfitnah dan mengadukan pewarisbahwa pewaris difitnah melakukan
kejahatan yang diancam pidana penjara empat tahun atau lebih;
c. ahli waris yang dengan kekerasan telah nyata-nyata menghalangi atau
mencegah pewaris untuk membuat atau menarik kembali surat wasiat;
d. seorang ahli waris yang telah menggelapkan, memusnahkan, dan memalsukan
surat wasiat.
BAB III
3.1 Penutup
Dengan
adanya aturan-aturan yang telah di nukilkan di dalam KUH-Perdata mengenai hal
waris, maka kita dapat menjadikannya sebagai acuan untuk menyelesaikan segala
bentuk sengketa waris yang terjadi.
Namun bila
KUH-Perdata tidak dapat menyelesaikan sengketa waris tersebut, maka dapat di
gunakan alternative lain yaitu dengan menggunakan referensi Hukum Agama ataupun
Hukum Adat.
Seperti yang
telah di papar kan di atas, terdapat beberapa golongan orang yang berhak
mendapatkan waris (ahli waris). Dan setiap golongan menutup golongan yang lain.
Dengan artian, golongan pertama menutup hak waris golongan kedua dan begitu
seterusnya.
Demikianlah
makalah ini kami susun, semoga bisa menjadi bahan bacaan yang bermanfaat dan
dapat memberikan kontribusi kepada proses pembelajaran kita semua.
[7] Legitime portie, yaitu: suatu
bagian tertentu dari harta peninggalan yang tidak dapat dihapuskan oleh orang
yang meninggalkan warisan. Lihat, R. Subekti, Op. Cit., h. 93.
No comments:
Post a Comment