PEMBAHASAN KOMPILASI HUKUM ISLAM
Materi : HUKUM KEWARISAN
Oleh : Drs. H.A. Mukti Arto, SH, M.Hum.
PENDAHULUAN
Hukum
Kewarisan
Hukum
Kewarisan ialah Hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta
peninggalan (tirkah) dari pewaris kepada ahli waris, dan menentukan siapa-siapa
yang dapat menjadi ahli waris, dan menentukan berapa bagiannya masing-masing.
Islam sebagai agama samawi mengajarkan hukum kewarisan, disamping hukum-hukum
lainnya, untuk menjadi pedoman bagi umat manusia agar terjamin adanya
kerukunan, ketertiban, perlindungan dan ketentraman dalam kehidupan di bawah
naungan dan ridho Illahi. Aturan hukum kewarisan Islam diturunkan secara
berangsur-angsur sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan kesadaran hukumnya
sehingga menjadi suatu system hukum kewarisan yang sempurna.
Sejarah
Hukum Kewarisan Islam
Sejarah
Hukum Kewrisan Islam tidak terlepas dari hukum kewarisan zaman Jahiliyah.
Ringkasnya, perkembangan Hukum Kewarisan Islam dapat dipaparkan sebagai berikut
;
- Hukum kewarisan adat Arab pada zaman Jahiliyah menetapkan tatacara pembagian warisan dalam masyarakat yang didasarkan atas hubungan nasab atau kekerabatan, dan hal itu pun hanya diberikan kepada keluarga yang laki-laki saja, yaitu laki-laki yang sudah dewasa dan mampu memanggul senjata guna mempertahankan kehormatan keluarga dan melakukan peperangan serta merampas harta peperangan.
- Perempuan dan anak-anak tidak mendapatkan warisan, karena dipandang tidak mampu memangul senjata guna mempertahankan kehormatan keluarga dan melakukan peperangan serta merampas harta peperangan. Bahkan orang perempuan yaitu istri ayah dan/ atau istri saudara dijadikan obyek warisan yang dapat diwaris secara paksa. Praktik ini berakhir dan dihapuskan oleh Islam dengan yang melarang menjadikan wanita dijadikan sebagai warisan. Dalam Ayat tersebut Allah SWT. Berfirman : orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan …
- Selain itu perjanjian bersaudara, janji setia, juga dijadikan dasar untuk saling mewarisi. Apabila salah seorang dari mereka yang telah mengadakan perjanjian bersaudara itu meninggal dunia maka pihak yang masih hidup berhak mendapat warisan sebesar 1/6 (satu per enam) dari harta peninggalan. Sesudah itu barulah sisanya dibagikan untuk para ahli warisnya. Yang dapat mewarisi berdasarkan janji bersaudara inipun juga harus laki-laki.
- Pengangkatan anak yang berlaku di kalangan Jahiliyah juga dijadikan dasar untuk saling mewarisi. Apabila anak angkat itu telah dewasa maka ia mempunyai hak untuk sepenuhnya mewarisi harta bapak angkatnya, dengan syarat ia harus laki-laki. Bahkan pada masa permulaan Islam hal ini masih berlaku.
- Kemudian pada waktu Nabi Muhammad SAW. Hijrah ke Madinah beserta para sahabatnya, Nabi mempersaudarakan antara Muhajirin dengan kaum Anshor. Kemudian Nabi manjadikan hubungan persaudaraan karena hijrah antara Muhajirin dengan Anshor sebagai sebab untuk saling mewarisi
- Dari paparan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa dasar untuk dapat saling mewarisi pada Zaman Jahiliyah adalah :
- Adanya hubungan nasab/ kekerabatan
- Adanya pengangkatan anak
- Adanya janji setia untuk bersaudara
Ketiga jenis
ahli waris tersebut disyaratkan harus laki-laki dan sudah dewasa. Oleh karena
itu, perempuan dan anak-anak tidak dapat menjadi ahli waris. Kemudian pada masa
permulaan Isalam di Madinah, Rasulullah SAW. Mempersaudarakan Muhajirin dengan
Anshor, persaudaraan karena hijrah ini juga dijadikan dasar untuk saling
mewarisi.
- Dalam perkembangannya, dasar saling mewarisi karena adanya pengangkatan anak, janji setia, dan persaudaraan karena hijrah inipun dihapus. Untuk selanjutnya suatu ketentuan yang harus ditaati oleh setiap muslim.
- Perempuan dan anak-anak yang semula tidak tidak dapat mewarisi, kemudian oleh Hukum Islam diberikan hak (bagian) untuk mewarisi seperti halnya ahli waris laki-laki. Mereka mempunyai hak yang sama dalam mewarisi, baik sedikit maupun banyaknya menurut bagian yang ditetapkan Allah SWT. Menegaskan ini dengan Firman-artinya sebagai berikut ; -laki ada hak (bagian) dari hartapeninggalan ibu, bapak, dan kerabatnya; dan bagi orang perempuan juga ada hak (bagian) dari harta peninggalan ibu, bapak, dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah Berfirman yang artinya : (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu bahwa bagian seorang anak laki-.
- Selanjutnya pewarisan yang didasarkan perjanjian bersaudara (janji setia) juga dihapuskan dengan turunnya Ayat 6 Surat Al Ahzab, yang artinya : -orang yang mempunyai hubungan darah sebagiannya adalah lebih berhak daripada sebagian yang lain di dalam kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu mau berbuat baik kepada saudara-
10. Kemudian
mengenai kewarisan anak angkat juga dihapuskan dengan turunnya Ayat 4 dan 5
Surat Al Ahzab, yang artinya : -anak angkatmun sebagai anak kandungmu
sendiri. Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Sedang Allah
mengatakan yang sebenarnya dan menunjukkan jalan (yang benar). Panggillah
mereka dengan memakai nama-nama ayahnya (yang sebenarnya) sebab yang demikian
itu lebih adil di sisi Allah. Jika kamu tidak mengetahuiayahnya maka
(panggillah mereka seperti memanggil) saudara-saudaramu seagama dan
maula-maulamu (yakni orang-
Kemudian di
dalam Surat Al Ahzab, ayat 40 ditegaskan pula bahwa : -kali bukanlah
bapak dari seorang laki-laki di antara kamu 11. Sedang mengenai kewarisan
berdasarkan persaudaraan karena hijrah antara Muhajirin dengan Anshor telah
dihapuskan dengan Hadits Nabi Muhammad SAW. Dalam sabdanya :
Artinya :
(HR. Bukhori
dan Muslim)
Hal ini
terjadi pada tahun ke-8 Hijriyah. Hadits inilah yang dijadikan dasar
penghapusan hubungan Muwarosah antara Muhajirin dengan Anshor.
12.
Ayat-ayat kewarisan itu turun secara berangsur-angsur, sejak tahun ke-II sampai
VII Hijriyah, selama Rasulullah berada di Madinah, menggantikan hukum adat
kewarisan Jahiliyah, sejalan dengan yat-ayat yang mengatur hukum keluarga
(perkawinan). Demikian pula praktik pelaksanaan hukum kewarisan pun secara
berangsur-angsur mengalami perubahan demi perubahan yang kesemuanya itu menuju
kesempurnaan, yaitu suatu tatanan masyarakat yang tertib, adil, dan sejahtera
denga susunan keluarga yang ersifat bilateral.
13. Meskipun
adalah sistem kekeluargaan yang bersifat bilateral, akan tetapi ternyata
pengaruh adat istiadat masyarakat Arab jahiliyah yang Patrilineal itu sangatlah
kuat sehingga mempengaruhi pikiran dan praktik hukum keluarga dan Hukum
Kewarisan pada masa sahabat dan sesudahnya. Praktik kekeluargaan Patrilineal
yang sangat
menonjol
tersebut telah mempengaruhi praktik dan Ijtihad hukum kewarisan Islam pada masa
lalu sampai sekarang. Dan paham inilah yang masuk dan diajarkankepada ummat
Islam di Indonesia. Ketidakseimbangan telah terjadi karena hukum keluarga yang
dianut dan berkembang di Indonesia adalah kukum keluarga yang bersifat
bilateral, sementara hukum kewarisan yang diajarkan bersifat
patrilineal sehingga hukum kewarisan patrilineal tersebut kurang mendapat
sambutan secara tangan terbuka karena dirasa belum/ tidak pas untuk diterapkan
dalam praktik. Di sinilah diperlukan adanya kaji ulang dan ijtihad baru di
bidang hukum kewarisan.
14. dalam
upaya menghapuskan perbudakan maka Rasulullah SAW. Menetapkan bahwa orang yang
memerdekakan budak, maka ia menjadi ahli warisnya bila budak itu meninggal
dunia. Akan tetapi pada masa kini perbudakan secara yuridis sudah tiada lagi.
15. Hukum
Kewarisan dan Hukum Perkawinan, masing-masing merupakan Sub-sistem yang
membentuk suatu Sistem Hukum, yaitu hukum keluarga. Antara keduanya tidak dapat
dipisahkan ibarat sekeping mata uang, antara satu sisi dengan sisi lainnya.
Oleh karenanya kedua hukum tersebut harus mempunyai sifat, asas dan gaya yang
sama sehingga dapat dilaksanakan dengan enak dan selaras dalam dalam tata
kehidupan keluarga, apabila terjadi ketidakselarasan maka dapat dipastikan akan
terjadi ketimpangan dalam kehidupan keluarga. Demikian pula halnya dengan Hukum
Kewarisan Islam sebagai sub-sistem dari sistem hukum keluarga harus memiliki
sifat, asas, dan gaya yang sama dengan Hukum Perkawinan.
16. Selain
itu dalam pengajaran Hukum Waris pun terdapat berbagai Mahdzab, seperti halnya
pada bidang-bidang lain. Perbedaan ini terjadi karena faktor sejarah, tata
berbeda-beda. Demikian pula dalam perkembangan hukum kewarisan Islam di
Indonesia, dan juga menimbulkan disparitas nya putusan Pengadilan Agama.
17.
Disamping itu, corak kehidupan masyarakat Arab yang bersifat patrilineal sangat
menonjol dan mempengaruhi pemahaman terhadap Hukum Kewarisan Islam. Hukum
Kewarisan Islam yang kita pelajari selama ini adalah hukum kewarisan yang lebih
bercorak patrilineal karena beraal dari pemahaman masyarakat Arab tempo dulu
sehingga sering kali terasa janggal dan tidak adil karena corak kehidupan
masyarakat kita adalah bilateral, sementara hukum waris yang akan diterapkan
bercorak Patrilineal.
18. Keadaan
yang demikian ini sangat dirasakan oleh Mahkamah Agung RI. Sebagai Pengadilan
Negara tertinggi yang bertugas membina jalannya peradilan dari semua lingkungan
peradilan, termasuk disini adalah Peradilan Agama.
19. Sejak dikeluarkannya
Undang-Undang No.7, Tahun 1989, tentang Peradilan Agama, dimana kekuasaan
Pengadilan Agama untuk memeriksa, mengadili, serta menyelesaikan sengketa waris
dipulihkan kembali, maka kebutuhan terhadap hukum waris yang jelas, rinci, mudah
dan pasti serta sesuai dengan tata kehidupan masyarakat Islam Indonesia yang
bilateral semakin terasa mendesak. Untuk itu pulalah kemudian dikeluarkan
Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang diberlakukan dengan Instruksi Presiden Nomor
1, tahun 1991, tanggal 10 Juni 1991. 20. Menghadapi kenyataan tentang
perkembangan hukum kewarisan Islam di Indonesia, KH. Ali Darokah mengatakan
bahwa :
faraid
konkrit yang dapat mencakup soal-soal penting yang berkait dengan faraid, dan
mencakup petunjuk ayat-
Untuk
menghilangkan kesenjangan antara teori kewarisan dalam ilmu fiqih dengan rasa
keadilan masyarakat islam maka perlu diadakan kaji ulang terhadap hukum
kewarisan
No comments:
Post a Comment