A. Berdasarkan hierarki norma hukum
1. Mengenai hierarki norma hukum Hans Kelsen mengemukakan suatu teori yang kemudian dikenal sebagai Stufentheorie adalah norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki susunan. Suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma lain yang lebih tinggi, dimana Norma yang lebih tinggi itu berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma lain yang lebih tinggi lagi. Demikian seterusnya norma itu berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma lain yang lebih tinggi sampai pada suatu norma yang tidak dapat di telusuri lagi karena bersifat hipotesis dan fiktif yang disebut Norma Dasar (Grundnorm) dan ditetapkan lebih dulu oleh masyarakat (pre-supposed).
2. Berdasarkan teori Hans Kelsen itu Amiroeddin Sjarif merinci hal-hal sebagai berikut :
a. Perundang-undangan yang lebih rendah derajatnya tidak dapat mengubah atau mengenyampingkan ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi tetapi yang sebaliknya dapat.
b. Perundang-undang hanya dapat dicabut, diubah atau ditambah oleh atau dengan perundang-undangan yang sederajat atau yang lebih tinggi tingkatannya.
c. Ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak mengikat apabila bertentangan dengan perundang-undangan yang lebih tinggi tetap berlaku dan mempunyai kekuatan hukum serta mengikat, walaupun diubah, ditambah, diganti atau dicabut oleh perundang-undangan yang lebih rendah.
d. Materi yang seharusnya diatur oleh perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatnya tidak dapat diatur oleh perundang-undangan yang lebih rendah. Tetapi hal yang sebaliknya dapat. Namun demikian, tidaklah baik apabila perundang-undangan yang lebih tinggi mengambil alih fungsi perundang-undangan yang lebih rendah. Apabila terjadi hal yang demikian maka, menjadi kaburlah pembagian wewenang mengatur di dalam suatu Negara. Disamping itu badan pembentuk perundang-undangan yang lebih tinggi tersebut akan teramat sibuk dengan persoalan-persoalan yang selayaknya diatur oleh badan pembentuk perundang-undangan yang lebih rendah.
3. Teori yang dikemukakan Hans Kelsen diilhami oleh pendapat Adof Merkl yang mengatakan, bahwa suatu norma hukum selalu memiliki dua wajah (Das Doppelte Rechtsantlitz). Suatu norma hukum pertama-tama ke atas bersumber dan berdasar pada norma yang di atasnya. Disamping itu, norma hukum ke bawah menjadi dasar dan sumber bagi norma hukum lain yang di bawah.
Dengan demikian, suatu norma hukum mempunyai masa berlaku (rechtskracht) yang relatif karena tergantung pada masa berlaku norma lain yang lebih tinggi. Jika norma hukum yang lebih tinggi tidak berlaku lagi, norma hukum yang berada dibawah akan tidak berlaku juga.
B. BERDASARKAN PEMBENTUKAN PERUNDANG-UNDANGAN
1. Dalam pembentukan peraturan perundangan harus didasarkan pada asas-asas Pembentukan peraturan perundangan yang baik dibedakan dalam 2(dua) kategori
• Asas Formil
a. Kejelasan Tujuan;
b. Kelembagaan atau organ pembentukan yang tepat
c. Kesesuain antara jenis dan materi muatan
d. Dapat dilaksanakan
e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan
f. Kejelasan rumusan dan
g. Keterbukaan
• Asas Materiil
a. pengayoman
b. kemanusian
c. kebangsaan
d. keluargaan
e. kenusantaraan
f. bhineka tunggal ika
g. keadilan
h. kesamaan kedudukan dalam hokum dan pemerintahan
i. ketertiban dan kepastian hokum dan/atau
j. keseimbangan, keserasian dan keselarasan
2. Peraturan perundang-undangan dapat pula berisi asas-asas lain sesuai dengan bidang hukum yang diatur oleh peraturan perundang-undangan yang bersangkutan dimana mencerminkan pula asas-asas yang berlaku dan diidealkan dalam bidang-bidang bersangkutan, berdasarkan penjelasannya pasal 6 ayat (2) adalah adanya asas-asas dalam hukum pidana dan perdata, mengenai pidana misalnya asas legalitas, tiada hukum tanpa ada kesalahan, asas pembinaan narapidana dan asas praduga tak bersalah sedangkan mengenai hukum perdata, dalam hokum perjanjian, antara lain asas-asas kesepakatan, kebebesan berkontrak, itikad baik
Berdasarkan Undang-undang No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan perundang-undangan pasal 7 ayat (1) mengenai Jenis dan Hierakhi Peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut :
a. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
b. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Penganti Undang-undang
c. Peraturan Pemerintah
d. Peraturan Presiden
e. Peraturan Daerah
Berdasarkan Undang-undang No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan perundang-undangan Pasal 7 Ayat (4) Jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengingat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undang yang lebih tinggi. Berdasarkan penjelasannya jenis peraturan perundang - undangan antara lain adalah peraturan yang dikeluarkan salah satunya oleh Menteri
Berdasarkan Undang-undang No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan perundang-undangan Pasal 14 Materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam Undang-undang dan Peraturan Daerah sebagaimana diatur pasal 14
C. ASAS LEGALITAS
1. Sumber utama tentang berlakunya Undang-undang Hukum Pidana menurut waktu, berdasarkan Pasal 1 ayat(1)KUHP, beberapa pengertian dapat diberikan, antara lain :
a. mempunyai makna “nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali”, tiada delik, tiada pidana, tanpa peraturan yang mengamcam pidan lebih dahulu.
b. mempunyai makna “Undang-undang hukum pidana tidak mempunyai kekuatan berlaku” surut.,(Mr. J.E. Jonkers 1946:37)
c. mempunyai makna “lex temporis delicti” artinya Undang-undang berlaku terhadap delik yang terjadi pada saat itu (Mr. D.H. Suringga 1968 : 305)
2. Setelah asas legalitas berhasil masuk didalam konstitusi Amerika 1783, lalu diikuti oleh Prancis 1789 dan seterusnya dicantumkan penegasannya dalam Code Penal 1810, maka perlu dicantumkan asas legalitas dalam KUHP sebagaimana (pasal 2 AB menunjuk pasal 1 OV; pasal 775, 1993 BW; psl 1 SW). selanjutnya pasal 26,35,36, AB Jo pasal 143 IS memuat ketentuan bahwa tiada seorang juapun dapat dituntut dan dijatuhi pidan kecuali dalam hal-hal yang telah ditentukan dalam Undang-undang atau peraturan umum lebih dahulu, dan kalau tidak demikian harus dengan “alasan” karena pembentukan Undang-undang atau peraturan umum sebagai instansi yang lebih tinggi berhak untuk memberikan kekuatan berlaku surut.
3. Pembentukan Undang-undang telah menetapkan pengecualiannya pasal 1 ayat (1) KUHP dalam pasal 1 ayat (2) KUHP yang mempunyai dua ketentuan pokok yaitu :
a. sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam perundang-undangan
b. dipakai aturan yang paling meringankan /menguntungkan
4. Hukum peralihan yang tercantum seperti di dalam pasal 1 ayat (2) KUHP sebagai konsekuensi berpegang pada prinsip lex temporis delicti dengan pengertian suatu peraturan hukum yang menimbulkan ancaman pidana bagi suatu perbuatan melawan hukum tidak dapat berlaku surut kecuali dengan tegas ditentukan sebagai demikian.
5. Ilmu pengetahuan telah mencatat beberapa kesulitan berhubung adanya hukum peralihan yang tercantum seperti di dalam pasal 1 ayat (2) KUHP, yang menyangkut rumusan kalimat “perubahan undang-undang” dan “aturan yang paling meringankan/menguntungkan.”
D. REFERENSI PERADILAN
1. Putusan Mahkamah Agung 2 Juni 1974 No. 13 K/Kr/1964 yang menyatakan bahwa perubahan pasal 9 Prijsbeheersing-verordening 1984 yang diadakan oleh PP No. 10 tahun 1962 menentukan oleh pejabat yang berwenang dapat mengadakan peraturan tentang keharusan membuat catatan jalannya perusahaan, yang ternyata belum sempat diadakan peraturan yang dimaksud telah dikeluarkan pencabutan isi pasal 9 itu, sehingga perbuatan terdakwa berdasarkan pasal 1 ayat (2) KUHP pada saat itu tidak lagi sebagai kejahatan atau pelangaran lagi, maka putusan itu dapat diartikan mengikuti aliran onbeperkte materiele
2. Seorang terdakwa J bin B dituduh melanggar pasal 1 ayat (2) Sub c Peraturan Penguasa Perang Tertunggi No. 8/Peperti tahun 1962 dan mengajuhkan memori bahwa dasar tuduhan dalam perkaranya adalah Undang-undang keadaan Bahaya, sedangkan pada waktu keputusan pengadilan tinggi yang dijatuhkan pada tanggal 26 Juli 1963, Undang-undang keadaan Bahaya dicabut dan tidak berlaku sejak tangal 1 mei 1963, maka berdasarkan pasal 1 ayat (2) KUHP, ia harus dilepaskan dari segala tuntutan hukum.
III. III. ANALISA
Berdasarkan permasalahan diatas dan pembahasan berdasarkan kajian akademis, maka dapat disampaikan hal-hal sebagai berikut :
Berlakunya Undang-undang No.13/2003 ttg Ketenagakerjaan secara otomatis membatalkan pemberlakuan Undang-undang No.14/1969 ttg ketentuan-ketentuan Pokok mengenai Ketenagakerjaan serta segala ketentuan peraturan petujuk pelaksanaannya
1. Berdasarkan Teori hierarki norma hukum(Stufentheorie) Hans Kelsen
bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki susunan. Suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma lain yang lebih tinggi dan dukung oleh pendapat Adof Merkl yang mengatakan, bahwa suatu norma hukum selalu memiliki dua wajah (Das Doppelte Rechtsantlitz). Suatu norma hukum pertama-tama ke atas bersumber dan berdasar pada norma yang di atasnya. Disamping itu, norma hukum ke bawah menjadi dasar dan sumber bagi norma hukum lain yang di bawah.
Dengan demikian, suatu norma hukum mempunyai masa berlaku (rechtskracht) yang relatif karena tergantung pada masa berlaku norma lain yang lebih tinggi. Jika norma hukum yang lebih tinggi tidak berlaku lagi, norma hukum yang berada dibawah akan tidak berlaku juga.
2. Berdasarkan Asas–asas Peraturan Perundang-undangan,
Berdasarkan Pasal 7 Ayat (4) Jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 Ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengingat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undang yang lebih tinggi. Pasal 10 mengatur Materi Muatan Peraturan Pemerintah berisi materi untuk menjalankan Undang-undang, sedangkan Materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam Undang-undang dan Peraturan Daerah ( pasal 14 )
3. Berdasarkan Asas Legalitas
Pasal 1 ayat(1) KUHP, “nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali”, tiada delik, tiada pidana, tanpa peraturan yang mengamcam pidan lebih dahulu dan “Undang-undang hukum pidana tidak mempunyai kekuatan berlaku surut serta Undang-undang berlaku terhadap delik yang terjadi pada saat itu.
Hukum peralihan yang tercantum seperti di dalam pasal 1 ayat (2) KUHP sebagai konsekuensi berpegang pada prinsip lex temporis delicti dengan pengertian suatu peraturan hukum yang menimbulkan ancaman pidana bagi suatu perbuatan melawan hukum tidak dapat berlaku surut kecuali dengan tegas ditentukan sebagai demikian.
Dengan demikian Peraturan Pemerintah No. 8/1981 ttg Perlindungan Upah dan Permenaker R.I., No.04/1994 Mengenai THR Keagamaan Bagi Pekerja Di Perusahaan sudah tidak dapat diterapkan sanksi pidananya.
Pemberian THR yang sudah diberlakukan diperusahaan-perusahan selama ini dan tata cara pemberian THR yang telah merupakan muatan dari perikatan antara pekerja/buruh dengan pengusaha yang pelaksanaan diatur dalam PK, PP, PKB dengan dicabutnya pemberlakukan dengan Undang-undang No.14 tahun 1969 yang sanksi pidana diatur dalam Permenaker R.I., No.04/1994 tidak dapat diberlakuan lagi, maka pemeberian THR oleh Pengusaha kepada pekerja/buruh sudah berubah dari hokum Publik menjadi Hukum Privat dalam praktenya dapat dikreterikan sebagai kebiasaan yang tetap harus dilaksanakan
IV. KESIMPULAN
Dari pointer permasalahan dan argumentasi hukum serta pembahasan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Sanksi pidana yang diatur pada Peraturan Pemerintah No. 8/1981 ttg Perlindungan Upah dan Permenaker R.I., No.04/1994 Mengenai THR Keagamaan Bagi Pekerja Di Perusahaan sudah tidak dapat diberlakukan.
2. Adanya pengusaha yang tidak memberikan THR kepada pekerjanya maka pekerja dapat mengajuhkan gugatan perdata pada pengadilan setempat
3. Dalam kaidah keperdataan apa yang selama ini telah disepakati untuk diberikan, maka permberian tersebut tidak boleh dikurangi/ ditiadakan , kecuali atas kesepakatan para pihak.
V. SARAN TINDAK
Untuk memberikan kepastian hukum kepada pengusaha dan pekerja, maka perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut :
1. Mensosialisasikan kepada pekerja dan pengusaha, bahwa pemberian THR kepada pekerja/buruh tetap merupakan ketentuan yang bersifat normative, apabila pengusaha tidak memberikan THR kepada pekerjanya, maka tidak dapat dilakukan upaya paksa melalui penerapan sanksi pidananya, akan tetapi pihak pekerja dapat mengajuhkan gugatan perdata pada pengadilan setempat.
2. Karena pemberian THR sebelum berlakunya UU No.13 tahun 2003 mempunyai kekuatan sanksi pidana, maka perlu dibuatkan aturan hukum baru agar pemberian THR boleh kembali menjadi Hukum public yang mempunyai sanksi pidana
No comments:
Post a Comment