Keharmonisan dan keutuhan rumah tangga merupakan dambaan setiap orang yang berada dalam biduk rumah tangga. Akan tetapi, perkembangan dewasa ini menunjukkan banyak terjadinya tindak kekerasan dalam lingkup rumah tangga (KDRT), dan yang menjadi korban kebanyakan perempuan (istri) dan anak-anak. Selama ini, KDRT dianggap sebagai masalah privat sehingga tidak boleh ada campur tangan negara dalam penyelesaian tindak kekerasan tersebut. Hal ini sangat erat kaitannya dengan budaya masyarakat yang menganggap bahwa segala hal yang terjadi dalam rumah tangga, termasuk tindak kekerasan, merupakan suatu aib yang harus ditutup rapat.
Dalam bukunya “Advokasi Kebijakan Pro Perempuan: Agenda Politik untuk Demokrasi dan Kesetaraan” (hlm. 40-43), Ratna Batara Munti menyatakan bahwa sistem hukum dan sistem sosial yang ada belum sepenuhnya memberi perlindungan dan pelayanan bagi perempuan korban kekerasan, khususnya bagi para istri yang paling banyak menjadi korban KDRT yang sering dilakukan oleh suaminya. Sistem sosial yang ada mencerminkan kuatnya relasi gender yang timpang antara laki-laki dan perempuan. Dalam institusi keluarga, laki-laki telah ditempatkan sebagai pemimpin keluarga. Hal ini bahkan dibakukan dalam hukum negara melalui Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dengan konstruksi sosial yang menempatkan perempuan sebagai pihak yang subordinat tersebut, tak heran bila kemudian berlangsung apa yang disebut sebagai ‘conspiracy of silence’ berkaitan dengan kasus-kasus KDRT yang dialami oleh perempuan. Fenomenanya antara lain ditunjukkan dengan adanya sejumlah mitos atau anggapan budaya yang akhirnya menjadi norma sosial seperti berikut ini:
1. Kuatnya pandangan bahwa KDRT adalah masalah privat sehingga harus diselesaikan secara privat antara suami istri. Hal ini juga dikaitkan dengan ideologi harmonisasi keluarga yang terutama bebannya dilekatkan pada peran istri sebagai penjaga norma keluarga.
2. Masih dipegangnya mitos-mitos tentang institusi keluarga. Dalam salah satu mitos ditekankan bahwa istri berkewajiban mengabdi pada suami sebagai kepala rumah tangga. Bentuk pengabdian ini antara lain menjaga nama baik suami, yang sekaligus diartikan sebagai nama baik keluarga. Oleh karena itu, melaporkan perilaku suami yang tidak berkenan di hati istri selalu ditafsirkan masyarakat sebagai suatu pelanggaran terhadap nama baik keluarga. Hanya istri yang tidak baiklah yang akan melakukan hal tersebut. Dalam filsafat hidup orang Jawa, dikenal perkataan “olo meneng, becik meneng” (baik atau buruk harus tetap tutup mulut) atau “swarga nunut, neraka katut” (ke surga ikut, ke neraka ikut atau baik buruk suami, istri harus tetap mengikuti).
3. Masalah ketergantungan ekonomi pada suami sebagai pencari nafkah menyebabkan istri (dan seringkali disertai dengan desakan seluruh anggota keluarga) merasa tidak perlu melaporkan KDRT yang dilakukan suami terhadap diri ataupun terhadap anak-anaknya. Karena kalau suami sampai ditahan akan berdampak buruk terhadap keberlanjutan ekonomi keluarga.
4. Istri merasa takut terhadap suami yang akan bertambah ‘buas’ terhadap dirinya atau terhadap anggota keluarga lainnya, khususnya anak-anak, kalau ia melapor pada pihak yang berwenang. Biasanya dalam kasus-kasus KDRT, pelaku juga melakukan tekanan psikis berupa ancaman supaya istri tidak melakukan hal-hal yang tidak dikehendaki suami, termasuk menceritakan kekerasan yang dilakukannya pada orang lain. Ancaman-ancaman tersebut diiringi dengan ancaman selanjutnya berupa sanksi seperti akan diceraikan, ditinggal pergi, orang-orang yang disayangi oleh sang istri akan dibunuh, hingga si istri sendiri yang akan dibunuh.
5. Adanya anggapan bahwa suami melakukan KDRT sebagai salah satu bukti dari rasa cintanya pada istri dan anak. Anggapan ini berasal dari stereotipe seksual laki-laki yang antara lain menempatkan laki-laki sebagai makhluk agresif, kuat, terbiasa dengan cara-cara yang berkualitas dan berkuantitas kekerasan dalam menyelesaikan setiap masalah. Akibatnya, dalam menghadapi masalah keluarga, cara-cara kekerasan yang dilakukan suami merupakan hal yang dilegitimasi secara sosial. Hal tersebut juga dilegitimasi oleh penafsiran agama yang seakan membenarkan perilaku KDRT oleh suami sebagai cara untuk mendidik istri yang ‘tidak taat’ pada suami.
6. Anggapan bahwa perempuan adalah pihak yang patut disalahkan (victim blaming), yang tercermin dalam ungkapan sehari-hari, misalnya “Enggak bakalan laki-laki ngegebukin bininya kalau bukan salahnya si bini” atau “Lakinya bener-bener cinta sama bininya, tapi bininya aja yang kagak tau diri...Ya pantas aja kalau laki-lakinya jadi kesel, ditabok deh bininya buat kasi pelajaran...”
7. Anggapan bahwa dalam masalah KDRT, tidak hanya pelaku yang harus bertanggung jawab atas kejadian tersebut, tetapi juga sang istri (“tidak ada asap kalau tidak ada api”). Tidak ada empati yang diberikan kepada korban karena korban dianggap ikut berpartisipasi atas timbulnya KDRT tersebut (victim participating).
8. Adanya anggapan bahwa laki-laki (suami) sebagai pelaku sering mengalami kekerasan pada masa kecil atau remaja. Pengalaman pahit ini membekas dalam hidupnya dan ‘secara tidak sengaja’ kekerasan yang dialaminya itu tampil dalam bentuk KDRT yang dilampiaskan pada istri dan anak-anaknya, yang diketahuinya dengan baik bahwa mereka tidak akan menentangnya atau berbalik melawannya.
Anggapan-anggapan tersebut telah diinternalisasi pada perempuan secara terus-menerus sebagai suatu kebenaran yang tidak dapat disangkal. Anggapan-anggapan tersebut juga menjadi dasar pemikiran bahwa kekerasan yang dilakukan suami terhadap istri hanya berlaku sesaat saja. Kalau masalah yang menjadi sumber KDRT dapat diselesaikan secara baik-baik, maka suami tidak akan melakukan KDRT lagi. Kenyataannya, dalam konteks KDRT terdapat siklus kekerasan. Siklus ini terus berkelanjutan tanpa akhir, dimulai dari bulan madu, lalu perselisihan, kemudian terjadi KDRT, dan kembali lagi ke siklus bulan madu dan seterusnya. Pola ini membuat para korban (istri) tidak mudah keluar dari situasi KDRT yang dialami.
Seorang psikiater, Theresia Kaunang, menyatakan bahwa KDRT membawa dampak yang sangat serius bagi korban. Bagi anak-anak, terjadi proses pembelajaran, berlaku teori modeling. Anak yang dibesarkan dengan tindak kekerasan akan menjadi pelaku kekerasan di kemudian hari. Misalnya seorang anak laki-laki tinggal bersama ayah pelaku kekerasan terhadap ibunya. Maka anak tersebut akan berlaku sama yaitu cenderung menggunakan cara yang sama kepada pasangannya di kemudian hari. Selain itu, gangguan kesehatan baik fisik maupun mental dapat terjadi pada korban berupa trauma, keguguran, penyakit menular seksual, sakit kepala, masalah kandungan, gangguan pencernaan, perilaku hidup tidak sehat dan kecacatan. Gangguan kesehatan mental dapat berupa stres, gangguan depresi, gangguan kecemasan, disfungsi seksual, psikotik, kepribadian ganda, gangguan obsesif kompulsi, dan lain-lain. Dari data WHO 1998, dikatakan bahwa perempuan korban KDRT berobat dua setengah kali lebih sering dibandingkan perempuan yang tidak mengalaminya. Dari segi produktivitas, 30 persen perempuan yang mengalami kekerasan tidak dapat mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan 50 persen dari perempuan pekerja tidak dapat mengerjakan pekerjaannya dengan baik. Dengan demikian KDRT berdampak sangat luas terhadap lingkungan sosial secara global, karena dapat menurunkan produktivitas kinerja suatu perusahaan.
Sebagai salah satu negara yang telah meratifikasi Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Woman (CEDAW), maka negara wajib memberikan penghormatan (how to respect), perlindungan (how to protect) dan pemenuhan (how to fulfill) terhadap hak asasi warga negaranya terutama hak atas rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan serta diskriminasi. Terlebih lagi dalam UUD 1945 pasca amandemen II, pengaturan hak asasi manusia sudah sangat kongkrit sebagimana yang dimaksud dalam Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28D ayat 1 dan ayat 2, Pasal 28 E, Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal 28I, Pasal 28J, dan Pasal 29, juga Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Sebenarnya, KUHP telah mengkategorikan penganiayaan terhadap anggota keluarga sebagai kejahatan. Pasal 351-355 KUHP mengatur penganiayaan sebagai tindak pidana dengan ancaman pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus. Jika mengakibatkan luka-luka berat, pelaku diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun. Jika mengakibatkan kematian korban, diancam dengan pidana penjara sampai paling lama tujuh tahun. Selanjutnya dalam Pasal 356 KUHP menyebutkan bahwa ketentuan pidana dalam Pasal 351-355 dapat ditambah sepertiga jika penganiayaan tersebut dilakukan terhadap ibu, bapak yang sah, istri, dan anak si pelaku. Akan tetapi, dalam praktiknya selama ini, banyak kasus-kasus KDRT yang penanganannya gugur di tengah jalan. Oleh karena itu, keberadaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) dimaksudkan untuk dapat menjadi perangkat hukum yang lebih memadai untuk menghapus KDRT.
Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Pasal 1 angka 1)
Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya keseng-saraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (Pasal 1 angka 1).
Lingkup Rumah Tangga (Pasal 2)
Yang termasuk cakupan rumah tangga adalah:
suami, isteri, dan anak (termasuk anak angkat dan anak tiri);
orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana disebutkan di atas karena hubungan darah, perkawinan (misalnya mertua, menantu, ipar, dan besan), persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau
orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut, dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersang-kutan.
Asas Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Pasal 3)
penghormatan hak asasi manusia;
keadilan dan kesetaraan gender, yakni suatu keadaan di mana perempuan dan laki-laki menikmati status yang setara dan memiliki kondisi yang sama untuk mewu-judkan secara penuh hak-hak asasi dan potensinya bagi keutuhan dan kelangsu-ngan rumah tangga secara proporsional.
nondiskriminasi; dan
perlindungan korban.
Tujuan Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Pasal 4)
mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga;
melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga;
menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga; dan
memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.
Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga
KEKERASAN FISIK, yakni perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat (Pasal 5 jo. Pasal 6);
KEKERASAN PSIKIS, yakni perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/ atau penderitaan psikis berat pada seseo-rang (Pasal 5 jo. Pasal 7);
KEKERASAN SEKSUAL, yakni setiap per-buatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu (Pasal 5 jo. Pasal 8), yang meliputi:
pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut;
pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
PENELANTARAN RUMAH TANGGA, yakni perbuatan menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangga, padahal menurut hukum yang berlaku bagi yang bersangkutan atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut (Pasal 5 jo. Pasal 9).
Hak-Hak Korban (Pasal 10)
Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial , atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;
Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
Penanganan secara khusus berkaitan de-ngan kerahasiaan korban;
Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
Pelayanan bimbingan rohani.
Kewajiban Pemerintah
Pemerintah (cq. Menteri Pemberdayaan Pe-rempuan) bertanggung jawab dalam upaya pencegahan kekerasan dalam rumah tangga (Pasal 11). Oleh karenanya, sebagai pelaksanaan tanggung jawab tersebut, pemerintah (Pasal 12):
merumuskan KEBIJAKAN PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA;
menyelenggarakan KOMUNIKASI, INFORMASI dan EDUKASI tentang kekerasan dalam rumah tangga;
menyelenggarakan ADVOKASI dan SOSIALISASI tentang kekerasan dalam rumah tangga;
menyelenggarakan PENDIDIKAN dan PELATIHAN SENSITIF JENDER dan ISU KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA serta menetapkan STANDAR dan AKREDITASI pelayanan yang sensitif gender.
Selanjutnya menurut Pasal 13, untuk penyelenggaraan pelayanan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga, pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan fungsi dan tugasnya masing-masing dapat melakukan upaya:
penyediaan Ruang Pelayanan Khusus (RPK) di kantor kepolisian;
penyediaan aparat, tenaga kesehatan, pekerja sosial, dan pembimbing rohani;
pembuatan dan pengembangan sistem dan mekanisme kerja sama program pelayanan yang melibatkan pihak yang mudah diakses oleh korban; dan
memberikan perlindungan bagi pendamping, saksi, keluarga, dan teman korban.
Dalam penyelenggaraan upaya-upaya tersebut, pemerintah dan pemerintah daerah dapat melakukan kerja sama dengan masyarakat atau lembaga sosial lainnya (Pasal 14).
Kewajiban Masyarakat (Pasal 15)
Sesuai batas kemampuannya, setiap orang yang MENDENGAR, MELIHAT, atau MENGETAHUI terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya untuk:
mencegah berlangsungnya tindak pidana;
memberikan perlindungan kepada korban;
memberikan pertolongan darurat; dan
membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.
No comments:
Post a Comment