9/27/10

PERBANDINGAN KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG KdRT DENGAN KETENTUAN PASAL 352 KUHP DALAM RANGKA PENANGGULANGAN KdRT

Kekerasan dalam rumah tangga (KdRT) merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan kejahatan terhadap harkat dan martabat manusia. Dikatakan demikian, karena beberapa instrument internasional di bidang HAM, seperti Pernyataan Sedunia Tentang HAM (Declaration of Human Right) (UDHR), Perjanjian Internasional Civil dan Politik (The International Covenant on Civil and Political Right) (ICCPR), dan Konferensi Tentang Penghapusan Kekerasan dan Human Yang merendahkan Martabat Manusia (Convention Againts Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment) (CAT) dengan tegas menyatakan, bahwa segala bentuk kekerasan, baik fisik maupun mental adalah dilarang dan bertentangan dengan HAM.

Kekerasan dalam rumah tangga sering terjadi dalam masyarakat, dan ini adalah bentuk ketidak adilan gender yang biasa terjadi. Pada mulanya, kekerasan terhadap perempuan hanya dimaknai sebagai bentuk kekerasan seksual secara fisik oleh laki-laki terhadap perempuan sebagai perwujudan budaya patriarkhi yang memposisikan laki-laki sebagai pihak yang dominan terhadap perempuan yang subordinan. Namun, seiring dengan dinamika perkembangan gerakan feminis yang menyuarakan pengaruh utama gender. Pemahaman Kekerasan dalam Rumah tangga (KdRT) tidak hanya dipahami sebagai kekerasan seksual, tetapi juga dipahami sebagai kekerasan mental psikologis dan social pelaku maupun korban.

Ketentuan KUHP Bab XIV tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Bab XX tentang Penganiayaan, kemudian membandingkannya dengan ketentuan pidana dalam UU No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, ternyata, kecuali tindak pidana yang ditentukan dalam Pasal 45 dan Pasal 49, semua tindak pidana yang diatur dalam UU No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT telah ditentukan sebagai tindak pidana dalam KUHP.



Tindak pidana berupa kekerasan fisik yang ditentukan dalam Pasal 44 UU No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, telah diatur dalam KUHP Bab XX tentang Penganiayaan. Sedangkan tindak pidana berupa kekerasan seksual yang ditentukan dalam Pasal 46, Pasal 47, dan Pasal 48 UU No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, telah diatur dalam KUHP Bab XIV tentang Kejahatan Terhadap Kesusilaan. Adapun tindak pidana penelantaran rumah tangga yang ditentukan dalam Pasal 49 UU No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, sekalipun tidak ditentukan sebagai tindak pidana, tetapi di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disingkat UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan), hal tersebut telah diatur sebagai perbuatan yang tidak melaksanakan kewajiban.

Penelusuran lebih dalam terhadap ketentuan pidana dalam UU No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, khususnya ketentuan Pasal 44 ayat(1) dan ayat(4) juncto Pasal 51 dibandingkan dengan ketentuan Pasal 352 ayat(1) KUHP, maka pengesahan UU No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, justru membebaskan pelaku tindak pidana kekerasan fisik dari pertanggungjawaban pidana, yang oleh KUHP dituntut pertanggungjawabannya., Pasal 352 ayat (1) KUHP menentukan semua perbuatan kekerasan fisik adalah tindak pidana penganiayaan, yang merupakan tindak pidana biasa, tetapi Pasal 44 ayat (1) dan ayat (4) juncto Pasal 51 Pasal 44 ayat (1) dan ayat (4) juncto Pasal 51 UU No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT justru menjadikannya sebagai delik aduan apabila dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menitikberatkan pada kebijakan hukum pidana dan pendapat kalangan hukum mengenai perbedaan kontradiksi tentang penghapusan KdRT. Hal inilah yang coba penulis angkat sebagai pokok permasalahan dalam penulisan skripsi ini.

No comments:

Post a Comment

PENERAPAN ILMU FORENSIK DALAM HUKUM PIDANA

Terbentuknya keyakinan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana didasarkan pada hasil pemeriksaan alat-alat bukti yang dikemukakan pada pros...