2/6/10

Estetika dan Mitos Perempuan dalam Iklan

IKLAN sebagai salah satu perwujudan kebudayaan massa tidak hanya bertujuan menawarkan dan mempengaruhi calon konsumen untuk membeli barang atau jasa, tetapi juga turut mendedahkan nilai tertentu yang secara terpendam terdapat di dalamnya. Oleh karena itulah, IKLAN yang sehari-hari kita temukan di berbagai media massa cetak maupun elektronik dapat dikatakan bersifat simbolik. Artinya, iklan dapat menjadi simbol sejauh imaji yang ditampilkannya membentuk dan merefleksikan nilai hakiki.

Karena keindahannya, tidak bisa dimungkiri perempuan sering ditampilkan dalam iklan, meskipun terkadang kehadirannya terasa agak diada-adakan. Menurut Nanik Ismiani (1997), karena keindahannya pula, untuk iklan sebuah produk yang bobot kehadiran tokohnya sama-antara pria dan perempuan-biasanya perempuanlah yang dipilih. Kriterianya antara lain karena keindahannya, perempuan sering menjadi sumber inspirasi, termasuk dalam melahirkan sebuah produk.
Pengiklan dan perusahaan periklanan berpandangan bahwa penggunaan sosok perempuan dalam ilustrasi iklan merupakan satu tuntutan estetika untuk memperebutkan perhatian konsumen. Di kalangan pekerja kreatif fenomena tersebut ditanggapi dengan memunculkan beberapa alasan tentang dipilihnya perempuan sebagai bintang iklan yang menjadi juru bicara bagi keberadaan sebuah produk.
Menurut catatan Gunawan Alif (1994), banyak produk yang ditujukan pada khalayak sasaran perempuan, baik pria maupun perempuan pada dasarnya menyukai perempuan yang anggun, santun, dan cantik. Sedangkan sebagian pria menyukai penampilan perempuan yang seksi. Di sisi lain, Okky Asokawati, mantan peragawati kondang mengakui, perempuan dan iklan memang tidak bisa dipisahkan. Ia juga tak menyangsikan perempuan memiliki kekuatan dalam membantu menjual produk yang diiklankan. Karena itulah, keberadaan perempuan dalam iklan selalu menyertai produk paling bersahaja hingga sedan mewah.
Tampilnya perempuan sebagai obyek dalam iklan dan media massa merupakan akibat dari posisi wanita yang dianggap rendah dalam sistem yang dianut masyarakat. Budaya kita menganut sistem patriarkhat. Artinya, perempuan ditempatkan dalam dunia yang sifatnya pribadi, yang dengan sendirinya dikecualikan dari dunia pria yang sifatnya terbuka.

Secara jelas juga dinyatakan bahwa seks bukan lagi sesuatu yang bersifat rahasia atau pribadi karena telah dijadikan komoditas dan secara terbuka tersedia ditatanan kapitalis. Iklan dianggap sebagai pengukuhan keinginan dan mimpi masyarakat karena dalam memajukan kapitalisme, obyek tidak hanya memiliki nilai guna, tetapi juga nilai tukar.
Melalui trik-trik iklan yang memang dirancang untuk memancing imajinasi, misalnya kontur tubuh (iklan peralatan aerobik), kemilau kulit (iklan bedak atau sabun mandi), kemilau rambut (iklan sampo), rekahan bibir (iklan lipstik), hubungan suami-istri (iklan obat kuat). Atau bisa pula kita simak pembabakan Tamrin A Tomagola (1996) perihal lima citra perempuan dalam iklan.
Melihat fenomena tadi, seyogianya persepsi yang salah dan anggapan yang merendahkan martabat perempuan terkait dengan masalah perempuan sebagai obyek iklan bisa diubah. Artinya, dengan kehadiran begitu banyak perempuan yang berperan dalam proses pembuatan iklan sejak dari ide, produksi sampai penayangannya, kita berharap muncul suasana aman dari usaha-usaha murahan berselera rendah dalam bentuk rangsangan tubuh.















No comments:

Post a Comment

PENERAPAN ILMU FORENSIK DALAM HUKUM PIDANA

Terbentuknya keyakinan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana didasarkan pada hasil pemeriksaan alat-alat bukti yang dikemukakan pada pros...