Sebelas tahun sudah Asia Tenggara khususnya Indonesia1 melewati sebuah peristiwa ekonomi yang telah membuka mata dan pikiran semua pihak betapa rapuhnya bangunan ekonomi yang dibangun. Setelah sebelumnya mendapat julukan sebagai The East Asian Miracle dan macannya
Asia (Asian tiger), tidak lama berselang terjadilah guncangan (shock) ekonomi
yang berawal dari sisi moneter. Dari sisi nilai tukar (exchange rate), pada
tanggal 18 januari 1998 rupiah mencapai puncak kejatuhannya dengan
menembus angka Rp. 16.000 per 1 dolar AS.2 Dari sisi inflasi, angka inflasi
mencapai 77,60 % dan PDB -13,20 %.3
Bagaimana dengan kondisi ekonomi saat ini? Kondisi ekonomi Indonesia pada tahun 2007 secara umum berada dalam tekanan krisis pada sektor properti (kredit macet subprime mortgage)4 yang terjadi di Amerika
Serikat serta melambungnya harga minyak dunia yang mencapai US $100 per
barrel5 dan adanya perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia.
Sebagaimana halnya di tahun 2007, kondisi makroekonomi Indonesia pada tahun 2008 masih tetap dalam tekanan krisis subprime mortgage yang masih terus berlanjut di AS bahkan ada kecendungan untuk semakin gawat,berpotensinya harga minyak dunia mengalami kenaikan yang tajam,8 masih berlanjutnya perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia. Serta dikeluarkannya keputusan pemerintah untuk menaikkan harga BBM
sekitar 28,5 % yang sudah dapat dipastikan berimplikasi kepada kenaikan harga-harga barang.Walaupun kondisi ekonomi Indonesia masih menunjukkan stabilitas yang terjaga,faktor-faktor eksternal di atas akan sangat mempengaruhi nilai tukar rupiah terhadap dolar dan pencapaian target inflasi di tahun 2008 ini.Hal ini tentu saja akan mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan sektor riil.
Keberadaan permasalahan inflasi dan tidak stabilnya sektor riil dari waktu ke waktu senantiasa menjadi perhatian sebuah rezim pemerintahan yang berkuasa serta otoritas moneter.Lebih dari itu, ada kecendrungan Inflasi dipandang sebagai permasalahan yang senantiasa akan terjadi.
Hal ini tercermin dari kebijakan otoritas moneter dalam menjaga tingkat inflasi. Setiap tahunnya otoritas moneter senantiasa menargetkan bahwa angka atau tingkat inflasi harus diturunkan menjadi satu digit atau inflasi moderat.
Dengan paradigma berpikir seperti itu, otoritas moneter dalam upayanya menyelesaikan permasalahan inflasi cenderung “berkutat” pada bagaimana menurunkan tingkat inflasi yang tinggi, bukan berpikir bagaimana agar inflasi tidak terjadi.
Upaya otoritas moneter mengendalikan iflasi memang sangatlah beralasan. Terutama disebabkan dampak inflasi terhadap pertumbuhan ekonomi. Dari segi biaya, biaya yang harus ditanggung pemerintah dengan adanya inflasi sangatlah besar.Terjadinya inflasi dapat mendistorsi hargaharga relatif, tingkat pajak, suku bunga riil, pendapatan masyarakat akan terganggu, mendorong investasi yang keliru, dan menurunkan moral.18 Maka dari itu, mengatasi inflasi merupakan sasaran utama kebijakan moneter.
Secara empirik, pengaruh inflasi terhadap pertumbuhan ekonomim dapat dilihat dari krisis tahun 1997 - 1998 yang mengakibatkan terganggunya sektor riil. Krisis ini diawali dari krisis di sektor moneter (depresiasi nilai tukar rupiah dengan dolar) yang kemudian merambat kepada semua sektor tanpa terkecuali.Tingkat Inflasi ketika itu sebesar 77,60 % yang diikuti pertumbuhan ekonomi minus 13,20 %.Adapun terganggunya sektor riil tampak pada kontraksi produksi pada hampir seluruh sektor perekonomian.
Tahun 1998, seluruh sektor dalam perekonomian (kecuali sektor listrik, gas,dan air bersih) mengalami kontraksi. Sektor konstruksi mengalami kontraksi terbesar yaitu 36,4 %. Disusul kemudian sektor keuangan sebesar 26,6 %.
Inflasi sesungguhnya mencerminkan kestabilan nilai sebuah mata uang.Stabilitas tersebut tercermin dari stabilitas tingkat harga yang kemudian berpengaruh terhadap realisasi pencapaian tujuan pembangunan ekonomi suatu negara, seperti pemenuhan kebutuhan dasar, pemerataan distribusi pendapatan dan kekayaan, perluasan kesempatan kerja, dan stabilitas ekonomi.24
Sebagaimana disebutkan di atas, kestabilan nilai mata uang sangat penting untuk dijaga yang merupakan cerminan dari inflasi. Maka timbul pertanyaan, bagaimana caranya menjaga kestabilan nilai mata uang kertas
sekarang?
Sistem moneter dunia kini dikuasai fiat money yang sangat rentan
dengan fluktuasi (Volatile25), kecuali beberapa negara yang menggunakan uang dwi-logam (dinar dan dirham).26 Implikasi dari dominannya penggunaan fiat money, perjalanan perekonomian dunia senantiasa mengalami “pasangsurut”.
Robert A Mundell, peraih nobel ekonomi, mengatakan ketika masyarakat dunia menggunakan fiat money, maka konsekuensi logisnya, mereka telah memasuki tahapan ekonomi baru: regime of permanent inflation atau inflasi abadi.27 Hal yang sama juga dikatakan oleh William Cobbet dalam tulisannya yang berjudul Peper Againts Gold (1828). Ia mengatakan bahwa utang nasional dan inflasi adalah anak dari sistem uang kertas.
Dalam rangka mengendalikan inflasi dan menjaga stabilnya nilai mata uang, Pemerintah dan otoritas moneter yang ada mengambil beberapa kebijakan baik dari segi moneter, fiskal, maupun sektor riil.29 Dari segi moneter maka bank sentral akan menaikkan suku bunga dan pengetatan likuiditas perbank-kan, mengkaji efektivitas instrumen moneter dan jalur transmisi kebijakan moneter, menentukan sasaran akhir kebijakan moneter, mengidentifikasi variabel yang menyebabkan tekanan-tekanan inflasi,
memformulasikan respon kebijakan moneter
No comments:
Post a Comment