Secara harfiah illegal logging masih asing ditelinga kita masyarakat Habinsaran, namun, sadar atau tidak illegal logging terjadi dalam praktek kegiatan pengambilan kayu seperti: di Sibosur-Tornagodang-Natumingka, Sipagabu-Liat Tondung, Doloknanggaraja-Lumban Balik, Lumban Pea, Paridian, dan lain sebagainya. Bahkan, kayu-kayu di sepanjang sisi Jalan dari Silaen, Ombur, Sibosur, Parsoburan dan ke pelosok pedesaan Habinsaran dibabat habis, menyebabkan jalanan rusak parah. Pengambilan kayu dengan cara membalak ini dilakukan orang-orang yang tidak bertanggung jawab tanpa memperhatikan prinsip pengelolaan hutan (sustainable forest management).
Tidak hanya perorangan (cukong) yang bermain, dengan tameng perseroan (perusahaan), yang konon perusahaan bikinan pemerintah pun ikut meramaikan bursa illegal logging di Habinsaran. Mungkin masyarakat Habinsaran tidak sadar dan tidak paham tindakan menebangi (membalak) hutan tanpa izin atau melebihi izin melanggar hukum atau menganggap hutan itu tidak ada pemiliknya (res nullius), sehingga tidak berani melarang bahkan melaporkan ke Polisi atau pihak berwajib, atau Polisi juga telah dibungkam dengan amplop suap, atau bahkan aparat tersebut melegitimasi kekuasaanya untuk berprofesi ganda sebagai cukong? Atau semua berpura-pura tidak mau tahu?
Illegal Logging berdasarkan terminologi berasal dari 2 (dua) suku kata, yaitu illegal berarti perbuatan yang tidak sah (melanggar), sedangkan logging berarti kegiatan pembalakan kayu sehingga illegal logging diartikan sebagai perbuatan/kegiatan pembalakan kayu yang tidak sah. Prasetyo dalam makalah “Illegal Logging, suatu malpraktek Bidang Kehutanan”, 9 Januari 2003, mengungkapkan ada 7 (tujuh) dimensi dari kegiatan illegal logging, yaitu: (1) perizinan, apabila kegiatan tersebut tidak ada izinnya atau belum ada izinnya atau izin yang telah kadaluarsa, (2) praktek, apabila dalam praktek tidak menerapkan logging yang sesuai peraturan, (3) lokasi, apabila dilakukan pada lokasi diluar izin, menebang di kawasan konservasi/lindung, atau asal-usul lokasi tidak dapat ditunjukkan, (4) produksi kayu, apabila kayunya sembarangan jenis (dilindungi), tidak ada batas diameter, tidak ada identitas asal kayu, tidak ada tanda pengenal perusahaan, (5) dokumen, apabila tidak ada dokumen sahnya kayu, (6) pelaku, apabila orang-perorang atau badan usaha tidak memegang izin usaha logging atau melakukan kegiatan pelanggaran hukum dibidang kehutanan, dan (7) penjualan, apabila pada saat penjualan tidak ada dokumen maupun ciri fisik kayu atau kayu diseludupkan.
Sementara dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 2004 jo Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan (selanjutnya disebut “UU Kehutanan”) tidak mendefinisikan secara jelas illegal logging dan hanya menjabarkan tindakan-tindakan illegal logging. Kategori illegal logging menurut Pasal 50, antara lain: mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah (ilegal), merambah kawasan hutan, melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan, membakar hutan, dll. Cara-cara preman inilah yang dilakukan untuk membumi-haguskan hutan Habinsaran secara pelan-pelan. Fakta di lapangan menyajikan di hampir semua daerah pedesaan di Habinsaran terjadi penebangan liar tanpa izin dan dilakukan dengan cara berpindah-pindah, tidak mengenal kawasan hutan lindung dan dibantu masyarakat sekitar, dengan alasan sebagai profesi (“ajang cari makan”).
Sedikitnya ada 6 (enam) faktor yang mendorong illegal logging, yaitu: (1) krisis ekonomi, (2) perubahan tatanan politik, (3) lemahnya koordinasi antara aparat penegak hukum, (4) praktek KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme), (5) lemahnya sistem pengamanan hutan dan pengamanan hasil hutan. Namun faktor yang paling menonjol terlihat adalah lemahnya koordinasi antara aparat penegak hukum, mungkin disengaja atau tidak!, praktek KKN di jajaran pemerintahan dan lemahnya sistem pengamanan yang dilakukan Polisi Hutan. Disamping budaya keengganan berhadapan (berlawanan) dengan kerabat keluarga yang dipupuk sejak dulu, yang dikenal dengan dalihan natolu. Hampir tidak bisa diterima orang habinsaran dan batak pada umumnya, bere memenjarakan tulang-nya!
Siapa Yang Bertanggung Jawab?
Praktek illegal logging di Habinsaran ibarat virus menular yang terus menyebar ke seluruh sendi kehidupan lapisan masyarakat maupun aparat pemerintah. Banyak aktor yang terlibat dan turut bermain, bahkan menjadi aktor utama. Ironisnya, tidak sedikit pejabat atau institusi yang secara umum terkait dalam tugas kewajiban mengelola hutan malah melibatkan diri dalam praktek illegal logging. Kejahatan illegal logging yang dibangun terintegrasi (integrated) mampu mengelabui masyarakat Habinsaran ala kejahatan kerah putih (white-collar crime), sehingga sulit tersentuh (untouchable) oleh hukum.
Pertanyaan muncul, siapa yang bertanggung jawab? Pertanyaan ini bisa dijawab setelah ada suatu proses hukum, akan tetapi sebelum itu perlu ada suatu keberanian politik, hukum dan budaya untuk menyeret 1 (satu) orang/pihak yang terlibat illegal logging. Karena kejahatan telah terintegrasi, maka akan memudahkan pihak kepolisian dan kejaksaan mengungkap siapa-siapa yang terlibat. Sebagai ilustrasi, misalnya Si A tertangkap tangan masyarakat Parsoburan sedang menebangi hutan Doloknanggaraja dengan menggunakan singso, kemudian dibawa ke Polisi untuk dimintai keterangan. Setelah cukup bukti, Si A dijadikan sebagai Tersangka dengan tuduhan illegal logging dan dibuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP), selanjutnya diserahkan ke kejaksaan dan dilimpahkan ke pengadilan. Nah, dari rentetan pertanyaan pasti muncul beberapa nama, misalnya siapa pemilik modal atau yang mempekerjakan si A, kepada siapa kayunya dijual (penadah), siapa yang membantu, apakah ada keterlibatan oknum Polisi, oknum TNI, oknum pemerintah kecamatan, oknum kelurahan, bahkan oknum anggota DPRD. Dengan demikian, nama-nama tersebut dapat dijadikan Tersangka dengan tuduhan illegal logging, suap, korupsi atau penyalahgunaan jabatan (abuse of power), perbuatan melawan hukum oleh penguasa/pejabat (onrechtmatige overheidsdaad) dan selanjutnya.
Pemberantasan Illegal Logging melalui Penegakan Hukum
Praktek illegal logging merupakan biang kerok yang telah membuyarkan rumusan fungsi hutan di Habinsaran dan bahkan telah menjelma menjadi ledakan sebuah sistem perusakan sumber daya hutan secara cepat, sistematis bahkan terorganisir. Sehingga, kejahatan illegal logging harus menjadi prioritas untuk segera diberantas. Opsi pemberantasan illegal logging dalam multi perspektif haruslah dipahami betul, baik dalam kajian teknis, politik maupun penegakan supremasi hukum (supremacy of law). Pemahaman secara holistik opsi pemberantasan illegal logging diharapkan menghasilkan sebuah solusi alternatif yang menyebabkan efek jera terhadap pelakunya.
Karena illegal logging telah masuk kedalam koridor tindak pidana kehutanan, opsi hukum yang paling tepat untuk menyelesaikan dan pemberantasan illegal logging. Tepat yang dikatakan Thomas Hobbes “….. but the major weapon is law itself” (tetapi senjata utamanya adalah hukum itu sendiri). Simbol hukum Dewi Themis dari Yunani yang selalu menutup matanya dengan kain sambil mengacungkan pedang bermata dua dan menjinjing timbangan, harus dicontoh aparat hukum untuk membasmi pelaku-pelaku illegal logging tanpa pandang bulu, apakah dia camat, lurah, kepala desa, polisi, tentara, anggota DPRD atau yang lain. Suatu keharusan dan kewajiban moral untuk menyeret setiap pelaku ke meja hijau dan menjatuhkan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya.
Sebagai contoh kasus yang telah diputus, ketika WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) menggugat Pemerintah RI dan PT. Inti Indorayon Utama (PT. IIU), dengan perkara No. 820/Pdt.G/1988/PN.JKT. PST. PT IIU dihukum bertanggung jawab atas kerusakan hutan akibat pembabatan hutan Sibatuloting (Desa Simalungun) dan Tapanuli Utara (hutan Parsoburan, Habinsaran, Silaen dan Siborong-borong). Dan juga masalah perluasan konsesi hutan dari 20.000 Ha menjadi 150.000 Ha untuk jangka waktu 20 tahun. Usaha WALHI yang hanya membuahkan hukuman ganti rugi kepada PT. IIU, setidaknya dapat dijadikan shock therapy kepada yang lain. WALHI yang tidak tahu betul kondisi lapangan saja bisa!, kenapa masyarakat Habinsaran tidak berani meneriakkan maling dirumah sendiri!
Inilah saatnya masyarakat Habinsaran bangkit melawan illegal logging. Kita harus berani mengatakan sekarang atau tidak sama sekali (it’s now or never). Kontinuitas fungsi hutan harus dijaga sampai anak cucu kita di masa depan. Budaya segan harus dibuang, berani mengatakan benar atau salah tanpa atau dengan risiko. The last but not least, say no to “illegal logging”.
No comments:
Post a Comment