Kekuasaan merupakan gejala sosial yang selalu ada di masyarakat manapun, yang membedakannya hanya pada bentuk-bentuk gejala kekuasaan itu sendiri. Sebenarnya konsep kekuasaan mengandung kerumitan-kerumitan untuk mendefinisikannya secara mutlak dikarenakan adanya hubungan sosial atau politik yang dilandasi oleh tindakan politik yang sangat terpengaruh kondisi-kondisi lingkungan sekitar yang menunjukkan perubahan-perubahan yang dinamis, walaupun perubahan-perubahan itu berjalan secara lambat.
Gejala kekuasaan hanya dikenal oleh masyarakat manusia. Sekali menciptakan kekuasaan , manusia menjadi sasaran kekuasaan. Secara teknis dikatakan manusia adalah subyek dan obyek kekuasaan. Impuls akan kekuasaan itu nampak pada dua golongan manusia, yaitu pada mereka yang melaksanakan kekuasaan (subyek kekuasaan atau kelas penguasa), dimana impuls itu nampak secara eksplisit dalam tindakan dan perbuatan, dan pada golongan terhadap siapa kekuasaan itu ditujukan (obyek kekuasaan atau golongan pengikut) pada siapa impuls kekuasaan nampak secara implisit dalam sifat mengikut, sifat takluk pada pemegang kekuasaan itu.1
Kekuasaan dapat dibagi menjadi kekuasaan sosial dan kekuasaan politik. Menurut Mac Iver kekuasaan sosial adalah kemampuan mengendalikan tingkah laku orang lain, baik secara langsung dengan jalan memberi perintah maupun secara tidak langsung dengan memepergunakan segala alat dan cara yang tersedia. Menurut Budiardjo kekuasaan politik sering diartikan sebagai kemampuan mempengaruhi kebijaksanaan umum pemerintah, baik terbentuknya maupun akibat-akibat yang sesuai dengan tujuan-tujuan pemegang kekuasaan itu sendiri.
Sebagai pihak yang telah diberi kepercayaan oleh rakyat untuk menjalankan pemerintah dengan harapan untuk menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Dalam menjalankan amanah rakyat tersebut sudah seharusnya pejabat negara/daerah memegang teguh prinsip kejujuran serta profesionalisme.
Namun sayangnya fenomena yang terjadi dikalangan pejabat negara kita baik dilembaga eksekutif, legislatif bahkan yudikatif justru sebaliknya. Praktek korupsi, kolusi dan nepotisme makin marak terjadi bahkan di Era Reformasi yang pada dasarnya mempunyai semangat pemberantasan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme).
Dari segi semantik, korupsi berasal dari bahasa Inggris, yaitu corrupt yang
berasal dari perpaduan dua kata dalam bahasa latin yaitu com yang berarti bersama-sama dan rumpere yang berarti pecah atau jebol. Istilah korupsi juga bisa dinyatakan sebagai suatu perbuatan tidak jujur atau penyelewengan yang dilakukan karena adanya suatu pemberian. Dalam prakteknya, korupsi lebih dikenal sebagai menerima uang yang ada hubungannya dengan jabatan tanpa ada catatan administrasinya.
Secara hukum pengertian korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi. Pengertian korupsi lebih ditekankan pada perbuatan yang merugikan kepentingan publik atau masyarakat luas untuk keuntungan pribadi atau golongan.
Menurut Black’s Law Dictionary, korupsi adalah perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak resmi dengan hak-hak dari pihak lain secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain, berlawanan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak-pihak lain. 3
Ada yang mengatakan bahwa pejabat dekat dengan suap/sogok (salah satu bentuk korupsi). Meski tak semua pejabat bisa disuap, namun jabatan seringkali menjadi taruhan kejujuran bagi pejabat. Di kalangan masyarakat Indonesia sudah lama berkembang persepsi bahwa menjadi pejabat negara identik dengan kaya raya, bahkan memiliki istri simpanan. Pejabat yang jujur apalagi miskin dicap sebagai orang yang bodoh, tidak pandai memanfaatkan kedudukan dan sebagainya. Pejabat yang jujur justru dihina, sedangkan pejabat yang dianggap pandai menyelewengkan harta negara akan disanjung sebagai orang sukses dan hebat. Budaya ini pula yang memunculkan adanya departemen atau instansi basah dan instansi kering.
Oleh karena itu ketika gerakan anti korupsi, anti kolusi, anti nepotisme gencar dilaksanakan banyak pejabat dan mantan pejabat yang panik menyelamatkan/menyembunyikan harta bendanya. Apalagi banyak pejabat mulai gubernur, bupati, walikota, dan anggota DPR ditangkap karena dugaan korupsi. Mereka yang biasa bekerja dengan uang suap, sogok dan pungutan liar merasa kehilangan peluang.
Sebaliknya masyarakat umumnya gembira dengan adanya gerakan anti KKN. Terlebih lagi dengan kehadiran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang sebelumnya didukung oleh Tim Tastipikor. Namun ketika jaring pemberantasan korupsi kendur, praktek korupsi dengan segala bentuknya mulai dari tingkat kelurahan hingga tingkat lembaga tinggi negara berlangsung seperti sedia kala. Ironisnya korupsi ternyata juga melibatkan aparat penegak hukum, baik kepolisian, kejaksaan, maupun pengadilan.
No comments:
Post a Comment