9/10/09

ARTIKEL KODE SUMBER WEBSITE SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM TINDAK PIDANA TERORISME DI INDONESIA

Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban serta merupakan salah satu ancaman serius terhadap kedaulatan setiap Negara. Upaya penanggulangan tindak pidana terorisme diwujudkan pemerintah dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002, yang kemudian disetujui oleh DPR menjadi Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Diperlukannya undang-undang ini karena pemerintah menyadari tindak pidana terorisme merupakan suatu tindak pidana yang luar biasa (extraordinary crime), sehingga membutuhkan penanganan yang luar biasa juga (extraordinary measures). Diantara ragam kejahatan menggunakan teknologi, terdapat didalamnya suatu bentuk kejahatan terorisme baru, yaitu cyberterrorism. Penanganan Cyberterrorism berbeda dengan penanganan terorisme konvensional. Salah satu perbedaannya adalah penggunaan alat bukti berupa informasi elektronik. Bagaimana pengaturan penggunaan alat bukti berupa informasi elektronik dalam Hukum Acara Pidana di Indonesia? Dapatkah sebuah kode sumber website dijadikan alat bukti di persidangan Tindak Pidana Terorisme? Bagaimana dalam prakteknya penerapan ketentuan Hukum Acara Pidana Terhadap Informasi Elektronik (Source Code Website) di dalam Peristiwa Tindak Pidana Terorisme pada Kasus Website Anshar.net? Penggunaan alat bukti berupa informasi elektronik telah diakomodir oleh Pasal 27 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Terkait hal tersebut diperlukan adanya Standar Operasional Prosedur dalam perolehan alat bukti berupa informasi elektronik tersebut.

Perumusan Tindak pidana dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 terbagi menjadi dua, yaitu tindak pidana terorisme yang diatur dalam BAB III, dan tindak pidana lain yang terkait dengan tindak pidana terorisme yang diatur dalam BAB IV undang-undang tersebut. Dalam membuat suatu rumusan tindak pidana, terdapat tiga macam cara. Pertama, perumusan dilakukan dengan cara merumuskan unsur-unsurnya saja, dan tidak disebutkan kualifikasi atau namanya. Kedua, perumusan dilakukan dengan merumuskan kualifikasinya saja, tidak dengan perumusan unsur-unsur. Cara yang ketiga, perumusan dilakukan dengan merumuskan unsur-unsur dan juga diberikan klasifikasi atau nama dari tindak pidana tersebut. Perumusan tindak pidana terorisme sendiri dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 menggunakan cara perumusan baik itu perumusan dengan cara merumuskan unsur-unsurnya saja maupun menggunakan cara perumusan dengan menguraikan unsur-unsur dan memberikan klasifikasi terhadap tindak pidana tersebut. Contoh dari pasal yang menggunakan cara perumusan tindak pidana dengan menguraikan unsur-unsurnya saja tanpa memberikan kualifikasi tindak pidananya adalah Pasal 6 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003, yang isinya sebagai berikut.
”Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat).”

Rangkaian proses beracara dalam hukum pidana telah dimulai ketika ada suatu peristiwa hukum yang terjadi. Adapun rangkaian proses acara pidana setelah diketahui adanya peristiwa pidana adalah dimulainya proses penyelidikan sebagai suatu cara atau metode yang mendahului tindakan lain. Penyelidikan dapat dikatakan sebagai langkah awal dari proses lebih lanjut, yaitu proses penyidikan, dan proses berupa upaya paksa lainnya seperti penangkapan, penahanan, dan penggeledahan.
Proses beracara dalam hukum pidana, pengaturannya secara umum diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHAP). Namun beberapa undang-undang ternyata juga mengatur mengenai hukum acara yang terkait dengan udang-undang tersebut. Contohnya dalam undang-undang tentang tindak pidana terorisme. Dengan demikian, kedudukan dari Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 adalah merupakan undang-undang khusus dari KUHAP. Hal ini disebabkan terdapat pengaturan hukum acara yang menyimpang dari KUHAP.
Pembuktian merupakan proses acara pidana yang memegang peranan penting dalam pemeriksaan sidang di pengadilan. Melalui pembuktian inilah ditentukan nasib terdakwa, apakah ia bersalah atau tidak. Darwan Prinst mendefinisikan pembuktian sebagai “pembuktian suatu peristiwa pidana telah terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya, sehingga harus mempertanggungjawabkannya.” Sesungguhnya, tujuan dari pembuktian adalah berusaha untuk melindungi orang yang tidak bersalah.
Dalam hal pembuktian, hakim perlu memperhatikan kepentingan masyarakat dan kepentingan terdakwa. Kepentingan masyarakat berarti, apabila seseorang telah melanggar ketentuan perundang-undangan, ia harus mendapat hukuman yang setimpal dengan kesalahannya. Sementara yang dimaksud dengan kepentingan terdakwa adalah, terdakwa harus tetap diperlakukan adil sehingga tidak ada seorang pun yang tidak bersalah akan mendapat hukuman, (asas persumtion of innocent) atau sekalipun ia bersalah ia tidak mendapat hukuman yang terlalu berat (dalam hal ini terkandung asas equality before the law). Sekalipun secara konteks yuridis teoritis, proses pembuktian dilakukan di pengadilan pada tahap pembuktian, sesungguhnya proses pembuktian sendiri telah dimulai pada tahap penyidikan. Pada tahap ini, penyidik mengolah apakah peristiwa yang terjadi merupakan peristiwa pidana atau hanya merupakan peristiwa biasa. Penyidik juga mencari dan mengumpulkan serta menganalisis bukti yang ia temukan.
Pembuktian merupakan proses acara pidana yang memegang peranan penting dalam pemeriksaan sidang di pengadilan. Melalui pembuktian inilah ditentukan nasib terdakwa, apakah ia bersalah atau tidak. Darwan Prinst mendefinisikan pembuktian sebagai “pembuktian suatu peristiwa pidana telah terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya, sehingga harus mempertanggungjawabkannya.” Sesungguhnya, tujuan dari pembuktian adalah berusaha untuk melindungi orang yang tidak bersalah.
Dalam proses pembuktian terdapat tiga hal paling utama, yaitu sistem pembuktian, beban pembuktian, dan alat bukti. Pada proses penyelesaian terhadap tindak pidana terorisme, pembuktian sangat terkait erat dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Untuk membuktian seseorang terlibat atau tidak dalam tindak pidana terorisme, proses pembuktian memegang peranan sangat penting, mengingat banyak pemidanaan dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 berupa hukuman seumur hidup atau hukuman mati yang sesungguhnya bertentangan dengan HAM. Untuk itu perlu dikaji mengenai sistem pembuktian, beban pembuktian, dan alat bukti terkait tindak pidana terorisme sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003.
Mengenai sistem pembuktian yang digunakan dalam hukum acara pidana di Indonesia dapat terlihat dalam Pasal 183 KUHAP yang menyatakan hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan, suatu tindak pidana benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya. Dengan demikian dapat disimpulkan sistem pembuktian di Indonesia menggunakan teori pembuktian undang-undang secara negatif (negatief wettelijk bewijstheori).
Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tidak secara khusus diatur mengenai syarat minimum alat bukti, atau pun ketentuan mengenai keyakinan hakim, sehingga tidak terlihat sistem pembuktian apa yang digunakan dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003. Namun, dengan menggunakan penafsiran secara a contrario terhadap prinsip lex specialis derogat legi generalis, ketentuan mengenai sistem pembuktian dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 menggunakan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 183 KUHAP, yaitu sistem pembuktian undang-undang secara negatif. Dengan demikian, hakim dapat memutus seseorang bersalah melakukan tindak pidana terorisme apabila dari dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan kalau terdakwalah yang melakukan tindak pindana terorisme tersebut.
Beban pembuktian adalah kewajiban yang dibebankan kepada suatu pihak untuk memberikan suatu fakta di depan umum demi membuktikan fakta tersebut di depan hakim yang sedang memeriksa kasus tersebut di persidangan. Baik tindak pidana korupsi maupun tindak pidana terorisme, kedua tindak pidana tersebut termasuk dalam jenis extraordinary crime. Akan tetapi, dalam hal pembuktian, khususnya mengenai beban pembuktian terdapat perbedaan. Dalam tindak pidana korupsi, beban pembuktiannya adalah pembuktian terbalik terbatas, sedangkan dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003, beban pembuktiannya adalah beban pembuktian biasa.
Dengan demikian dalam tindak pidana terorisme, Penuntut Umum yang dibebani oleh undang-undang kewajiban untuk membuktikan seorang terdakwa terlibat atau tidak dalam tindak pidana terorisme sesuai dengan yang ia tuliskan dalam surat dakwaan.
Tidak ditemukan suatu definisi khusus mengenai apa itu alat bukti, namun secara umum yang dimaksud dengan alat bukti adalah alat bukti yang tercantum dalam pasal 184 ayat (1) KUHAP. Fungsi dari alat bukti itu sendiri adalah untuk membuktikan adalah benar terdakwa yang melakukan tindak pidana dan untuk itu terdakwa harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Beberapa undang-undang pidana yang memiliki aspek formil juga mengatur menggenai alat bukti tersendiri. Meskipun demikian, secara umum alat bukti yang diatur dalam undang-undang pidana formil tersebut tetap merujuk pada alat bukti yang diatur dalam KUHAP. Undang-undang No. 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme selain mengatur tentang pidana material yaitu tentang macam pidana yang diklasifikasikan sebagai terorisme atau unsur tindak pidana terorisme juga mengatur aspek formil atau acara dari pidana terorisme tersebut. Dalam sub bab ini yang akan dibahas secara khusus adalah terkait dengan alat bukti yang diatur dalam Undang-undang No. 15 Tahun 2003.
Penggunaan bukti digital dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003, terlihat pada Pasal 27 tersebut. Dalam Pasal 27 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 dinyatakan yang dapat menjadi alat bukti pemeriksaan tindak pidana terorisme adalah alat bukti sebagaimana dalam Hukum Acara Pidana (merujuk pada KUHAP) dan terdapat dua alat bukti lainnya yang merupakan alat bukti digital. Selain Undang-undang No. 15 Tahun 2003, Undang-undang No. 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (Undang-undang No. 15 Tahun 2002) mengatur pula aspek formil atau acara dari pidana pencucian uang tersebut. Pasal 38 Undang-undang No. 15 Tahun 2002, menggunakan informasi elektronik sebagai alat bukti dalam penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan.
Pasal 38 Undang-undang No. 15 Tahun 2002, khususnya huruf b membuktikan bahwa Undang-undang tersebut menggunakan alat bukti yang terkait dengan elektronik seperti informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik. Contohnya adalah informasi yang didapat dari email atau bukti transfer uang melalui e-banking.
Undang-undang yang memuat alat bukti elektronik menandakan adanya perkembangan penggunaan alat bukti konvensional menjadi alat bukti berteknologi modern sesuai perkembangan zaman. Hal tersebut berbeda dengan alat bukti yang diatur dalam KUHAP. Beberapa alat bukti yang diatur dalam KUHAP adalah surat dan petunjuk. Akan tetapi, KUHAP tidak mengakomodir kemungkinan bahwa surat atupun petunjuk tersebut ditemukan dalam format, misal, email atau website di Internet. Namun demikian, ketiga undang-undang tersebut mengatur lebih lanjut alat bukti yang mengandung unsur elektronik. Sehingga, dengan adanya ketiga undang-undang tersebut memungkinkan penggunaan informasi dan dokumen elektronik sebagai alat bukti.
Ketiga undang-undang yang memuat alat bukti elektronik menandakan adanya perkembangan penggunaan alat bukti konvensional menjadi alat bukti berteknologi modern sesuai perkembangan zaman. Hal tersebut berbeda dengan alat bukti yang diatur dalam KUHAP. Beberapa alat bukti yang diatur dalam KUHAP adalah surat dan petunjuk. Akan tetapi, KUHAP tidak mengakomodir kemungkinan bahwa surat atupun petunjuk tersebut ditemukan dalam format, misal, email atau website di Internet. Namun demikian, ketiga undang-undang tersebut mengatur lebih lanjut alat bukti yang mengandung unsur elektronik. Sehingga, dengan adanya ketiga undang-undang tersebut memungkinkan penggunaan informasi dan dokumen elektronik sebagai alat bukti.
Dikaitkan dengan tindak pidana terorisme, pengaturan alat bukti berupa informasi dan dokumen elektronik sangat diperlukan. Alasannya, aksi terorisme semakin gencar dan menghalalkan segala cara untuk dapat beraksi. Aksi terorisme yang dilakukan pun lebih pintar yaitu dengan digunakannya teknologi modern.

No comments:

Post a Comment

PENERAPAN ILMU FORENSIK DALAM HUKUM PIDANA

Terbentuknya keyakinan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana didasarkan pada hasil pemeriksaan alat-alat bukti yang dikemukakan pada pros...