I. Latar Belakang
Untuk menjatuhkan putusan yang berupa pemidanaan, undang-undang telah mengisyaratkan adanya syarat minimal, yaitu harus didukung oleh dua alat bukti dan hakim menyakini akan kebenarannya, sehingga dengan alat bukti tersebut dapat menunjukkan bahwa seseorang telah melakukan tindak pidana.
Dalam contoh kasus tindak pidana,seperti pencurian,penggelapan,penipuan, dan sejenisnya,tentunya pihak penyidik tidak akan kesulitan untuk mengidentifikasi barang bukti yang salah satu atau beberapa di antaranya dapat dijadikan alat bukti, yang akan diperiksa dalam sidang pengadilan. Akan tetapi,apabila kejahatan tersebut yang berkaitan dengan terganggunya kesehatan seseorang, luka ataupun meninggalnya seseorang tersebut, persoalannya tidak menjadi sederhana. Oleh karena terganggunya kesehatan seseorang pada suatu saat akan berubah sembuh ataupun sebaliknya. Sementara, apa yang dinamakan dengan luka juga pada saat yang lain akan berubah sembuh maupun ada kemungkinan akan menjadi lebih parah. Demikian halnya korban yang meninggal, juga harus selekasnya dikubur.
Untuk mengungkapkan secara hukum tentang benarkah telah terjadi tindak pidana yang menyebabkan terganggunya kesehatan seseorang ? Benarkah telah terjadi tindak pidana yang menyebabkan lukanya seseorang ? Benarkah telah terjadi tindak pidana yang menyebabkan matinya seseorang ? Serta apakah sesungguhnya yang menyebabkan kesemuanya, diperlukan bukti yang konkrit pada saat terjadinya tindak pidana.Atau dengan kata lain diperlukn pengganti alat bukti yang membenarkan oleh undang-undang.
Bahwa tidak ada satu disiplin ilmupun yang sempurna ( termasuk didalamnya ilmu hukum), kiranya perlu disarari bahwa masalah kesehatan seseorang,terdapatnya luka ataupun mencari penyebab kematian si korban kejahatan bukanlah menjadi bagian dari obyek ilmu hukum. Akan tetapi, ilmu hukum harus memutuskan kesemuanya itu secara materiel dengan benar sehingga akan terungkap siapakah sesungguhnya pelaku-pelakunya yang kemudian akan dijatuhkan putusan oleh hakim. Dalam konteks inilah lembaga peradilan memerlukan bantuan ilmu kedokteran foensik.
Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya dari tahun 1995-sekarang telah melakukan kerjasama dengan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia untuk melakukan pengamatan otopsi di RSCM, kerjasama ini dilakukan untuk pembekalan bagi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya dalam proses pembelajaran, mengerti dan memahami fungsi dan peran kedokteran forensik dalam mendukung dalam proses peradilan.
II. Tujuan
Adapun tujuan dari pengamatan otopsi adalah :
Peserta didikdapat memahami dan menjelaskan peran tenaga medis dalam proses peradilan.
Peserta didik dapat memahami dan dapat menjelaskan tentang tanda-tanda kematian dalam proses penyidikan.
Peserta didik dapat memahami dan menjelaskan tentang perlukaan, sebab dan akibatnya serta kepentingannya dalam proses penyidikan.
Peserta didik dapat memahami dan menjelaskan tentang visum et repertum dalam proses peradilan.
III. Persyaratan Melakukan Pengamatan Otopsi
Telah lulus mata kuliah Hukum Pidana, Hukum Acara Pidana
Telah menempuh min.60 SKS
Mencantumkan mata kuliah Ilmu Kedokteran Forensik dalam KRS
IV.Tata Tertib Pelaksanaan Pengamatan Otopsi
Berpakaian rapi ( tidak memakai kaos dan celana jean ).
Diwajibkan hadir 15 menit sebelum pelaksanaan otopsi.
Sebelum masuk ke ruang otopsi mahasiswa diwajibkan absenterlebih dahulu.
Dilarang memakai parfum, minyak gosok (balsem, minyak kayu putih,dll ) pada saat berada di ruang otopsi.
Dilarang merokok pada saat berada di ruang otopsi.
Bagi mahasiswa yang tidak mampu untuk mengamati otopsi sampai akhir pelaksanaan agar keluar dari ruang otopsi.
V. Penilaian
Sistem penilaian bagi mahasiswa FH-UBJ dihitung kehadiran pada saat otopsi dan membuat laporan hasil pengamatan otopsi.
No comments:
Post a Comment