8/12/09

PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH

Pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dan koperasi memiliki potensi yang besar dan strategis dalam meningkatkan aktivitas ekonomi nasional, termasuk menyediakan keperluan barang dan jasa dalam negeri. Keberadaan UMKM dan koperasi yang tersebar luas di seluruh daerah berperan besar dalam penyerapan tenaga kerja, karena lebih dari 79,1 juta tenaga kerja (99,5 persen dari jumlah tenaga kerja tahun 2004) bekerja pada UMKM dan koperasi.

I. Permasalahan yang Dihadapi

Dalam melaksanakan peran dan merealisasikan potensinya yang besar tersebut, UMKM dan koperasi masih menghadapi berbagai masalah. Salah satu diantaranya adalah masih kurang kondusifnya iklim usaha, yang mencakup (1) aspek legalitas badan usaha dan ketidakjelasan prosedur perizinan yang mengakibatkan besarnya biaya transaksi, panjangnya proses perizinan dan timbulnya berbagai pungutan tidak resmi; (2) praktik bisnis dan persaingan usaha yang tidak sehat; (3) ketidakpastian lokasi usaha; dan (4) lemahnya koordinasi lintas instansi dalam pemberdayaan koperasi dan UMKM. Di samping itu, otonomi daerah ternyata belum menunjukkan kemajuan yang merata dalam upaya mempercepat tumbuhnya iklim usaha yang kondusif bagi koperasi dan UMKM. Hal itu, misalnya tercermin dari masih terdapat daerah yang memandang koperasi dan UMKM sebagai sumber pendapatan asli daerah dengan mengenakan pungutan-pungutan baru yang tidak perlu sehingga biaya usaha koperasi dan UMKM meningkat. Oleh karena itu, aspek kelembagaan masih menjadi perhatian yang sungguh-sungguh dalam rangka memperoleh daya jangkau hasil dan manfaat yang semaksimal mungkin mengingat besarnya jumlah, keanekaragaman usaha, dan tersebarnya UMKM.

Permasalahan pokok lainnya adalah rendahnya produktivitas yang berakibat terjadinya kesenjangan yang sangat lebar antarpelaku usaha kecil, menengah, dan besar. Perkembangan produktivitas tenaga kerja usaha mikro dan kecil belum menunjukkan perkembangan yang berarti. Atas dasar harga berlaku tahun 2004, produktivitas per tenaga kerja usaha mikro dan kecil adalah sebesar Rp11,6 juta dan usaha menengah sebesar Rp38,7 juta, sedangkan produktivitas per tenaga kerja usaha besar telah mencapai Rp2,2 miliar. Kinerja seperti itu berkaitan dengan rendahnya kualitas sumber daya manusia UMKM khususnya dalam bidang manajemen, organisasi, penguasaan teknologi, dan pemasaran, serta rendahnya kompetensi kewirausahaan UMKM. Keadaan demikian melemahkan kesiapan bersaing dan daya adaptasi dalam menghadapi pelaksanaan perdagangan bebas sesuai dengan kesepakatan yang telah disetujui oleh masyarakat internasional.

UMKM dan koperasi juga masih menghadapi masalah keterbatasan akses ke modal. Pada tahun 2004, jumlah kredit perbankan yang disalurkan sebagai kredit skala mikro, kecil, dan menengah (MKM) adalah sebesar 50,5 persen dari total kredit perbankan. Dari jumlah tersebut, sebagian besar (50,5 persen) masih terserap ke dalam kegiatan-kegiatan konsumtif. Sementara itu, sisanya terserap untuk kegiatan produktif, yaitu untuk kredit modal kerja sebesar 39,4 persen dan sebagian terkecil untuk kredit investasi sebesar 10,1 persen. Keadaan itu bagi UMKM amat menyulitkan untuk meningkatkan kapasitas usaha ataupun mengembangkan produk-produk yang bersaing. Selain itu, meskipun usahanya layak, persyaratan pinjamannya seperti jumlah jaminan, juga tidak mudah dipenuhi oleh UMKM.

Penguasaan teknologi, manajemen, informasi dan pasar oleh UMKM dan koperasi masih jauh dari memadai, sedangkan untuk memenuhi kebutuhan tersebut, hal itu relatif memerlukan biaya yang besar apalagi untuk dikelola secara mandiri oleh UMKM. Sementara itu, ketersediaan lembaga yang menyediakan jasa di bidang tersebut juga sangat terbatas dan tidak merata ke seluruh daerah. Peran masyarakat dan dunia usaha dalam menyediakan jasa pengembangan bisnis sebagai usaha komersial kepada UMKM juga belum berkembang karena pelayanan kepada UMKM umumnya ditulai masih kurang menguntungkan.

Khusus mengenai koperasi, masalah pokok yang masih dihadapi adalah rendahnya kualitas kelembagaan dan organisasi koperasi, tertinggalnya kinerja koperasi, dan kurang baiknya citra koperasi. Meskipun jumlahnya cukup besar dan terus meningkat, kualitas kelembagaan dan organisasi koperasi sampai saat itu masih jauh dari yang diharapkan. Sebagai contoh, jumlah koperasi yang aktif menjalankan kegiatan usahanya pada tahun 2003 adalah sebanyak 93,8 ribu unit atau hanya sekitar 76 persen dari koperasi yang ada. Di antara koperasi yang aktif tersebut, hanya 44,7 ribu koperasi atau kurang dari 48 persen yang menyelenggarakan rapat anggota tahunan (RAT), salah satu perangkat organisasi yang merupakan lembaga (forum) pengambilan keputusan tertinggi dalam organisasi koperasi. Selain itu, secara rata-rata baru 27 persen koperasi aktif yang memiliki manajer koperasi. Keadaan demikian belum berubah banyak dalam setahun terakhir.



II. Langkah-Langkah Kebijakan dan Hasil-Hasil yang Dicapai
Dalam rangka mengurangi beban administratif dan hambatan usaha yang dihadapi UMKM dan koperasi, peningkatan efektivitas kebijakan dan peraturan menjadi prasyarat tercapainya penurunan biaya transaksi. Hasilnya akan memberikan dampak pada meningkatnya kesempatan berusaha dan berkembangnya aktivitas usaha dari para pengusaha mikro, kecil, dan menengah (PMKM) serta koperasi. Sehubungan dengan itu, langkah-langkah kebijakan yang telah dilaksanakan selama itu, termasuk dalam 10 bulan terakhir, diutamakan dalam rangka menata kembali landasan hukum dan kelembagaan pendukung lain bagi pengembangan UMKM dan koperasi.

Dalam rangka memfasilitasi terselenggaranya iklim dan lingkungan usaha yang efisien secara ekonomi dan sehat dalam persaingan bagi kelangsungan usaha dan peningkatan kinerja UMKM, langkah pokok yang dilakukan antara lain adalah menyempurnakan peraturan perundangan untuk membangun landasan legalitas usaha yang kuat bagi UMKM serta menyederhanakan birokrasi dan perizinan. Sehubungan dengan itu, telah dilakukan pengkajian secara komprehensif terhadap UU No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil yang dirasakan belum optimal dalam mendukung upaya peningkatan peran usaha kecil dalam perekonomian nasional, terutama dalam menghadapi berbagai kendala dan hambatan, baik yang bersifat eksternal maupun yang bersifat internal. Dalam UU No. 9 Tahun 1995 usaha mikro masih dikelompokkan ke dalam usaha kecil. Padahal, jumlahnya mencapai puluhan juta dan bahkan sebagai unsur utama pelaku usaha nasional serta memiliki karakteristik yang berbeda dengan usaha kecil. Di sisi lain, diperlu­kan pula du­kung­an yang lebih tegas kepada usaha menengah dalam mengembangkan usahanya. Sebagai hasil pengkajian itu, telah tersusun naskah RUU Pemberdayaan Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah yang merupakan penyempurnaan dari UU No. 9 Tahun 1995.

Selanjutnya, penyempurnaan UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian yang telah dilakukan sejak tahun-tahun sebelumnya terus dilanjutkan. Naskah RUU Koperasi yang telah tersusun juga telah disosialisasikan dan dibahas dengan berbagai pihak yang terkait dan berkepentingan. Sehubungan dengan itu, diupayakan agar RUU Koperasi itu dapat dimasukkan ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2005. Adapun pokok-pokok perubahan dalam RUU Koperasi itu, antara lain menyangkut pengaturan perangkat organisasi, modal koperasi, pengesahan badan hukum, kegiatan usaha koperasi simpan pinjam, pemeriksaan koperasi, dan surplus hasil usaha.

Pada tingkat operasional dalam upaya penguatan kelembagaan koperasi, telah dihasilkan konsep Pengembangan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Koperasi (Notaris) melalui Keputusan Menteri Negara Koperasi dan UKM No.98/KEP/M.KUKM/ IX/2004 tentang Notaris sebagai Pembuat Akta Koperasi dan Penguatan Status Badan Hukum Koperasi. Upaya itu, diharapkan dapat memberikan jaminan bagi keberadaan dan eksistensi koperasi dalam menjalankan usahanya disamping mempermudah pemberian perijinan.

Kemudian, sebagai upaya meningkatkan mutu pelayanan aparatur pemerintah dalam melaksanakan pembinaan koperasi, dilaksanakan penyempurnaan sistem, prosedur dan tata cara pendirian/pendaftaran koperasi. Hal itu dimaksudkan agar hal-hal itu dapat diselenggarakan secara tertib, sederhana, mudah, cepat dan informatif sehingga dapat menciptakan kepastian hukum. Upaya itu, juga merupakan tindak lanjut dari Keputusan Menteri Koperasi dan UKM No. 104.1/Kep/M.KUKM/ X/2002 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pembentukan, Pengesahan Akta Pendirian, dan Perubahan Anggaran Dasar Koperasi. Selain itu, juga telah dikembangkan sistem dan prosedur pelaksanaan penerapan standarisasi akuntansi dan audit bagi koperasi.

Kegiatan lain yang telah dilaksanakan adalah mengkaji-ulang implementasi kegiatan kemitraan pola subkontrak yang dirasakan masih mengalami kendala, baik yang bersifat internal maupun yang bersifat eksternal. Faktor internal yang menjadi kendala, antara lain, adalah tidak seimbangnya daya tawar (bargaitung power) antarpelaku subkontrak, pemenuhan jumlah, kualitas, dan ketepatan waktu pengiriman produk. Sementara itu, faktor eksternal yang masih menjadi kendala, antara lain, adalah jumlah pesaing UMKM, keterlambatan pembayaran, dan belum adanya peraturan perundangan yang khusus tentang pelaksanaan subkontrak. Praktik subkontrak seringkali pula diikuti dengan perilaku eksploitatif dari kontraktor utama (main contractor) atau perusahaan pemberi pekerjaan kepada subkontraktor. Oleh karena itu, dalam rangka menyediakan payung perlindungan usaha kecil dan menengah yang berperan sebagai subkontraktor, telah disusun naskah Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kemitraan Pola Subkontrak yang telah dibahas bersama instansi terkait.

Dalam rangka mengatasi keterbatasan akses UMKM ke sumber daya produktif, seperti modal/pembiayaan, teknologi, dan pasar, ditempuh langkah-langkah pengembangan sistem pendukung usaha UMKM yang meliputi (1) perluasan sumber pembiayaan bagi koperasi dan UMKM, termasuk peningkatan kualitas dan kapasitas atau jangkauan layanan koperasi simpanpinjam (KSP) dan unit simpanpinjam (USP) koperasi; (2) pengembangan penyedia jasa pengembangan usaha (business development service/BDS provider), termasuk yang dikelola oleh masyarakat dan dunia usaha; serta (3) pengembangan peningkatan pasar bagi produk koperasi dan UMKM, termasuk melalui kemitraan usaha.

Adapun hasil yang dicapai dari langkah-langkah itu, antara lain, sebagai berikut. Dalam hal peningkatan akses dan perluasan sumber pembiayaan koperasi dan UMKM telah dilaksanakan hal berikut.

Pertama, penyusunan konsep peraturan perundangan tentang simpan-pinjam sebagai bagian dari RUU tentang Koperasi. Pembahasan substansinya telah dilakukan pada bulan Oktober 2004 yang melibatkan partisipasi aktif dari instansi terkait, gerakan koperasi, pakar koperasi, dan pemerhati koperasi.

Kedua, penyusunan naskah akademis penjaminan kredit sebagai bahan masukan untuk penyusunan RUU Penjaminan Kredit, yang meliputi aspek kelembagaan, mekanisme penjaminan, dan prosedur pengawasan serta pembinaan.

Ketiga, penyiapan kebijakan hapus-tagih kredit macet UKM untuk menyelesaikan kredit macet dari 461.457 debitur UKM di empat Bank BUMN dengan tujuan: (1) mempercepat penyelesaian utang UKM untuk memacu proses pemulihan dan pengembangan sektor riil; (2) menyelamatkan, melindungi, dan menyehatkan UKM; serta (3) mengeluarkan debitur macet UKM dari daftar hitam kredit macet bank sehingga dapat meneruskan usaha dan mendapatkan pendanaan kembali.

Keempat, merealisasikan kredit usaha mikro dan kecil yang bersumber dari dana Surat Utang Pemerintah (SUP-005) sebesar Rp3,1 triliun. Sampai dengan saat itu BUMN Pengelola dan Lembaga Keuangan Pelaksana (LKP) telah mencairkan dana sebesar Rp2,1 triliun dan yang telah disalurkan kepada usaha mikro dan kecil telah mencapai Rp1,8 triliun. Untuk mempercepat realisasi pencairan SUP-005, telah dilakukan evaluasi dan realokasi dana SUP-005 dari BUMN Pengelola dan LKP yang tingkat pencairannya rendah kepada BUMN Pengelola dan LKP yang kinerjanya baik.

Kelima, penyediaan jaminan kredit kepada UMKM yang layak usahanya tetapi kurang memiliki agunan memadai. Sampai dengan TA 2004, dana sebesar Rp260 miliar telah digulirkan dalam rangka menjamin kredit bagi 385 koperasi dengan 142.936 anggota dan 1.080 UMKM, dengan pagu kredit sebesar Rp508 miliar dan nilai penjaminan kredit sebesar Rp353,4 miliar.

Selain itu, dalam upaya pengembangan usaha dilaksanakan kegiatan perkuatan modal awal dan padanan (MAP) yang merupakan bentuk dukungan keuangan untuk meningkatkan kegiatan usaha UMKM. Dukungan dana MAP diberikan hanya sebagai dana stimulan untuk dapat dikelola, dikembangkan, dan digulirkan kepada usaha kecil anggota dan kepada KSP/USP Koperasi lain. Penyaluran dana MAP dilakukan melalui KSP/USP Koperasi, lembaga keuangan mikro (LKM), lembaga modal ventura, inkubator bisnis, dan lembaga penjaminan. Pada tahun 2004 dana MAP yang diperuntukkan bagi lebih dari 4.000 UMKM telah disalurkan melalui 200 KSP/USP-Koperasi di 30 provinsi.

Koperasi jasa keuangan syariah (KJKS) juga diperkuat untuk mendorong perkembangan kegiatan usaha dengan pola syariah sehingga memberikan manfaat bagi masyarakat, khususnya usaha mikro dan kecil. Pada tahun 2004 telah diberikan dukungan perkuatan dana bergulir syariah sebesar Rp5 miliar untuk 100 unit KJKS di 16 provinsi. Melalui program itu, setiap KJKS terpilih dapat memperoleh dana bergulir sebesar Rp50 juta. Ketentuan bagi KJKS terpilih dalam melaksanakan program bergulir dengan pola syariah ini, antara lain, adalah pengelolaan dana tersebut didasarkan pada akad mudarabah dan musyarakah.

Dalam rangka pengembangan kapasitas usaha UMKM dan koperasi, pengembangan lembaga penyedia jasa pengembangan bisnis terus dilanjutkan. Adapun tujuannya adalah untuk memberikan layanan informasi, konsultasi, pelatihan, bimbingan, bantuan kontak bisnis, fasilitasi dalam memperluas pasar, akses permodalan, pengembangan teknik produksi melalui teknologi tepat guna, serta pengembangan organisasi dan majemen, termasuk membantu penyusunan proposal pengembangan bisnis UMKM. Pada tahun 2004 telah diberikan perkuatan terhadap 200 BDS sehingga sejak tahun 2001 sampai dengan akhir tahun 2004 itu telah dikembangkan 907 BDS di seluruh Indonesia.

Sebagai upaya memfasilitasi UMKM dalam memperluas akses dan pangsa pasar, antara lain, terus dilakukan promosi produk-produk UMKM melalui pameran, baik di dalam maupun di luar negeri. Kegiatan itu juga dilakukan dengan mendorong partisipasi masyarakat dalam mengembangkan kegiatan promosi produk-produk UMKM. Hal penting yang telah dilaksanakan adalah merintis pembangunan pangkalan data produk UMKM, baik yang berorientasi ekspor maupun berorientasi pasar domestik. Hasil itu selanjutnya digunakan untuk membangun wahana perdagangan (trading board) yang berfungsi sebagai wahana pasar secara elektronis (electronic market place) yang dapat diakses secara elektronis (on-line).

Selain itu, pembentukan jaringan pemasaran produk UMKM, dan koperasi, dan kemitraan antara UMKM (termasuk koperasi) dan usaha besar terus ditingkatkan. Salah satu upaya yang ditempuh adalah pemanfaatan momentum hari-hari besar nasional dengan menyelenggarakan pasar rakyat. Manfaat penyelenggaraan pasar rakyat itu, antara lain, adalah memberikan kesempatan kepada koperasi dan UMKM untuk memasarkan produknya, membantu meringankan beban masyarakat dalam memenuhi keperluan bahan pokok seperti pakaian atau barang-barang lain yang diperlukan untuk merayakan hari besar dengan harga yang relatif murah dan terjangkau; serta memenuhi ketersediaan dan keperluan bahan pokok bagi masyarakat dengan menyinergikan potensi dunia usaha yang mencakup produsen, distributor, grosir, dan pengecer.

Dalam rangka pengembangan kewirausahaan dan daya saing UKM telah diupayakan langkah-langkah untuk meningkatkan penerapan dan kualitas kewirausahaan, baik PKM maupun calon-calon wirausaha baru. Untuk itu, telah disusun program induk pengembangan kewirausahaan serta model pemberdayaan sumber daya manusia UKM dan pelaksanaan pelatihan kewirausahaan. Langkah-langkah itu diharapkan juga akan mendorong peningkatan jumlah wirausaha baru berbasis iptek, dan berkembangnya ragam produk-produk unggulan UKM.

Kegiatan penumbuhan usaha baru juga didukung oleh penyediaan insentif melalui program kemitraan BUMN dengan usaha kecil dan program bina lingkungan (PKBL) sebagai kelanjutan program pembinaan usaha kecil dan koperasi (PUKK) yang telah berjalan sejak tahun 1989. Upaya itu dilaksanakan dengan memanfaatkan dana yang bersumber dari penyisihan laba BUMN bagian pemerintah.

Dalam rangka pengoptimalan penyaluran dana yang berasal dari BUMN ke usaha kecil dan koperasi telah dilakukan penyempurnaan mekanisme dan prosedur pelaksanaannya melalui diterbitkannya Peraturan Bersama Menteri Koperasi dan UKM dengan Menteri Negara BUMN pada tanggal 9 April 2005 tentang Optimalisasi Pengelolaan Dana Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Mikro, Kecil, dan Koperasi.

Selanjutnya, untuk memberikan peluang yang lebih luas bagi UKM dalam rangka meningkatkan nilai tambah berbagai produk, telah dilaksanakan kegiatan percontohan usaha dengan pola perguliran di sektor agribisnis yang dirintis di berbagai daerah, yang meliputi pengembangan usaha sapi perah, sapi potong (penggemukan sapi), persusuan, usaha budi daya, pembibitan itik, usaha kambing, domba, perikanan, dan serat rami (haramai).

Dalam rangka meningkatkan kapasitas dan produktivitas dari usaha berskala mikro yang merupakan bagian terbesar pelaku usaha, ditempuh langkah-langkah pemberdayaan usaha mikro sebagai berikut (1) pengembangan usaha mikro, termasuk yang tradisional melalui pendekatan sentra-sentra produksi/klaster; (2) penyediaan skim pembiayaan dan peningkatan kualitas layanan lembaga keuangan mikro; dan (3) penyediaan insentif dan pembinaan usaha mikro.

Beberapa hasil yang telah dicapai dalam rangka pemberdayaan usaha mikro adalah sebagai berikut: (1) Hingga saat itu sebanyak 1.006 sentra/klaster yang tersebar di seluruh Indonesia telah dikembangkan melalui dukungan perkuatan berupa penyediaan dana MAP dan pendampingan oleh lembaga pelayanan bisnis – LPB (BDS). (2) Untuk meningkatkan produktivitas dan mutu produk telah dilakukan pula bimbingan/pemanfaatan teknologi tepat guna, sertifikasi label halal dan merek, standarisasi bagi produk-produk UKM, dan pengembangan desain produk. (3) Untuk meningkatkan akses usaha mikro khususnya ke perbankan, antara lain, telah dilaksanakan kegiatan sertifikasi hak atas tanah di berbagai daerah untuk memfasilitasi pengusaha mikro dan kecil agar dapat menyediakan agunan tanah bersertifikat. Pada tahun 2004 dilaksanakan bantuan sertifikasi di 24 provinsi meliputi 230 kabupaten/kota dengan sasaran sebanyak 41.600 pengusaha mikro dan kecil dan telah terealisasi di 22 provinsi mencakup 162 kabupaten/kota untuk sebanyak 25.525 pengusaha mikro dan kecil. (4) Pencanangan tahun 2005 sebagai Tahun Keuangan Mikro 2005 diikuti dengan kegiatan peyelenggaraan temu karya perluasan sumber pembiayaan usaha mikro, pembentukan kelompok kerja keuangan mikro untuk menyiapkan landasan hukum dan peta jalan (road map) pengembangan keuangan mikro, meningkatkan sinergi kerja sama antara lintas pelaku terkait, dan meningkatkan penyaluran kredit mikro oleh perbankan dalam rencana bisnisnya.



III. Tindak Lanjut yang Diperlukan
Berlandaskan kondisi objektif dan isu-isu strategis yang berkembang, beberapa tindak lanjut untuk memberdayakan koperasi dan UMKM perlu dilakukan, khususnya meliputi (1) penuntasan penyelesaian penyempurnaan UU tentang Koperasi, UU tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, termasuk produk perundangan turunannya, antara lain, tentang kegiatan usaha simpanpinjam dan kemitraan pola subkontrak serta peningkatan fasilitasi perizinan dan formalisasi badan usaha bagi UMKM dan koperasi; (2) penuntasan penyelesaian kredit macet UKM dan menyusun peta jalan pengembangan lembaga keuangan mikro beserta landasan hukumnya; (3) peningkatan kualitas koordinasi kebijakan dan program antarinstansi sektoral, antara pemerintah pusat, daerah, dan pemilik kepentingan; (4) peningkatan kualitas kelembagaan koperasi melalui penataan serta penguatan organisasi dan manajemen koperasi, termasuk pula memperluas pemasyarakatan praktik-praktik terbaik koperasi.

No comments:

Post a Comment

PENERAPAN ILMU FORENSIK DALAM HUKUM PIDANA

Terbentuknya keyakinan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana didasarkan pada hasil pemeriksaan alat-alat bukti yang dikemukakan pada pros...