8/4/09

PEMBAGIAN HARTA BERSAMA SETELAH TERJADINYA PERCERAIAN MENURUT PASAL 37 UU NO 1 Tahun 1974 TENTANG PERKAWINAN

Proposal Skripsi Pembagian Harta Setelah Perceraian Menurut UU Perkawinan


A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.1

Disamping itu sebagaimana dikemukakan didalam UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 tersebut bahwa undang-undang menentukan prinsip-prinsip atau azas-azas mengenai perkawinan atau segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan, yang intinya adalah :

Asas membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
Asas keabsahan perkawinan didasarkan pada hukum agama dan kepercayaan bagi pihak yang melaksanakan perkawinan dan harus dicatat oleh petugas berwenang.
Asas monogami terbuka.
Asas calon suami dan calon isteri telah matang jiwa raganya dapat melangsungkan perkawinan, agar mewujudkan tujuan perkawinan secara baik dan mendapat keturunan yang baik dan sehat.
Asas mempersulit terjadinya perceraian.
Asas keseimbangan hak dan kewajiban antara suami dan istri, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat.
Asas pencatatan perkawinan.
Selain itu, keabsahan perkawinan diatur dalam pasal 2 ayat (1) UUP : “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.” Ayat (2) mengungkapkan : “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam Undang-Undang ini dinyatakan bahwa suatu perkawinan baru sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu. Jadi orang-orang yang beragama islam perkawinannya baru sah apabila dilakukan menurut hukum islam. Tetapi disamping itu ada keharusan pencatatan menurut perundangan yang berlaku, pencatatan setiap perkawinan sama halnya dengan pencatatan suatu peristiwa hukum dalam kehidupan seseorang misalnya, kelahiran dan kematian yang dinyatakan dalam suatu akta resmi yang dimuat dalam daftar pencatatan yang disediakan untuk itu.[2] Pencatatan itu perlu untuk kepastian hukum. Maka, perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan itu yang terjadi sebelum Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 ini berlaku yang dijalankan menurut peraturan perundangan yang lama adalah sah.[3]

Menurut UU No.1 tahun 1974 dikatakan bahwa perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian dan atas keputusan pengadilan (pasal 38) tapi pada dasarnya suatu perkawinan itu dapat putus dikarenakan “kematian” atau “perceraian”, walaupun hubungan perkawinan itu sendiri belum tentu putus sama sekali, dikarenakan hukum adat setempat tidak mengenal putus hubungan perkawinan. Tegasnya perkawinan antara suami isteri itu putus karena kematian, tetapi hubungan sebagai akibat perkawinan diantara kerabat para pihak bersangkutan tidak putus, apalagi jika dari perkawinan itu terdapat keturunan.

Dalam UU Perkawinan tersebut tidak menggariskan bagaimana akibat putusnya perkawinan karena kematian yang ditetapkan adalah bila perkawinan putus karena perceraian tetapi dengan adanya UU Perkawinan tersebut, tidaklah mudah perceraian itu terjadi, tanpa alasan yang dapat diterima. Akan tetapi didalam praktek sehari-hari, seorang isteri karena alasan-alasan sudah tidak mudah lagi hidup sebagai suami isteri, begitu mudah meminta cerai dengan suaminya. Dilain pihak kadangkala seorang suami bagitu mudah untuk menceraikan isterinya hanya karena dengan alasan tidak senang lagi. Atau si suami meninggalkan begitu saja isterinya, yang dalam kenyataan masih sebagai isteri, terutama dikalangan kaum wanita, tidaklah mudah seorang laki-laki yang sebagai suaminya tanpa alasan-alasan yang sah menurut undang-undang dapat menceraikan isterinya begitu saja.

Menurut UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 39 dikatakan : “ perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak dan untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami-isteri”. Didalam penjelasan dari pasal 39 tersebut dikatakan bahwa :

“alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian adalah :

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan ;

b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alas an yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya ;

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung ;

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain ;

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri ;

f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Menurut UU No.1 Tahun 1974 pasal 35 dinyatakan bahwa harta benda yang di peroleh selama perkawinan menjadi harta bersama, sedangkan harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang di peroleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Selanjutnya di dalam pasal 37 undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dikatakan bahwa : “apabila perkawinan putus maka harta bersama tersebut diatur menurut hukumnya masing-masing”, yaitu hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya.

Harta warisan seseorang yang meninggal dunia, menurut Hukum Adat dan Hukum Islam yang beralih pada hakekatnya hanya sisa dari harta warisan setelah dikurangi dengan hutang-hutang dari si peninggal warisan.[4]

Berbeda dengan pengaturan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang beralih pada hakekatnya adalah semua harta warisan yang meliputi juga hutang-hutang dari si peninggal warisan. Hukum waris menurut KUHPerdata mempunyai sifat individual dan bilateral, dasar pokok hukumnya adalah pandangan individualistis (meminjam istilah Prof. Soediman).[5] Ketentuan Hukum yang bernafaskan semangat mengutamakan kepentingan perorangan atas benda itu mudah menimbulkan sengketa antara para ahli waris sepeninggal si pewaris, sebab pada hakekatnya semua harta peninggalan, baik aktiva maupun pasivanya beralih kepada ahli waris.[6]

Menurut KUHPerdata yang diwarisi adalah aktiva dan pasiva, sedangkan menurut hukum adat dan Hukum Islam yang diwarisi adalah suatu budel. Budel adalah suatu saldo atau apa yang dari kekayaan si peninggal tersisa setelah di bayar semua hutang dari si peninggal dan semua hibah wasiat diberikan yang berhak, jadi tidak mungkin yang diwaris itu suatu minus.[7]

Berbeda dari hukum waris barat yang semata-mata mengatur tentang harta warisan yang bernilai ekonomis, maka dalam hokum waris adat yang dimaksud dengan harta warisan bukan semata-mata yang bernilai ekonomis tetapi termasuk juga yang non ekonomis, yaitu yang mengandung nilai-nilai kehormatan adat dan yang bersifat magis religious. Sehingga apabila ada pewaris wafat maka bukan saja harta warisan yang berwujud benda yang akan diteruskan atau dialihkan kepada para waris, tetapi juga yang tidak berwujud benda, seperti hal nya kedudukan atau jabatan adat serta tanggung jawab kekeluargaan atau kekerabatan. Bagaimana penerusan dan peralihan warisan itu bergantung pada struktur masyarakat adat bersangkutan, apakah patrilinial, matrilineal, atau farental. Sedangkan jenis-jenis harta warisannya dapat dibedakan antara ‘Warisan kedudukan adat’, ‘warisan harta pusaka’, ‘warisan harta bersama’, dan ‘warisan harta bawaan kedalam perkawinan’.

Sistem Pewarisan menurut Hukum Islam agak mirip dengan system pewarisan menurut hokum barat sebagaimana di atur dalam KUHPerdata atau BW. Sifat kewarisannya juga individual jadi tidak ada pewarisan tanpa kematian. Pewarisannya berlaku setelah pewaris wafat, tetapi tidak ada ketentuan bahwa ahli waris dapat menggugat agar warisan dibagi-bagi atau melarang harta warisan dalam keadaan tidak terbagi-bagi.

Adapun penulis memilih judul Pembagian Harta Bersama Setelah Terjadinya Perceraian menurut pasal 37 UU No1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan di Tinjau Dari Hukum Adat ingin mengetahui bagaimana hal tersebut diatur dalam berbagai hukum yang ada di kalangan masyarakat Indonesia yaitu hukum perdata, hukum adat dan hukum islam. Jadi pentingnya untuk meneliti harta bersama dalam perkawinan yang diatur dalam hukum yang berbeda-beda.



B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka dapat diidentifikasikan beberapa hal sebagai masalah penelitian ini yaitu :

1. Bagaimana kedudukan harta bersama menurut hukum adat dalam masyarakat yang bersifat parental atau bilateral ?

2. Bagaimana kedudukan dan hak waris anak di lingkungan masyarakat martilinial setelah terjadi perceraian ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian.

Apabila bertitik tolak dari berbagai permasalahan yang dikemukakan di atas dapat disebutkan bahwa tujuan penelitian ini untuk :

1. Penelitian ini pada azasnya dalam susunan masyarakat yang bersifat ke orang tuaan (Parental), atau yang menarik garis keturunan dari dua sisi, dari pihak ayah dan dari pihak ibu (bilateral), tidak membedakan kedudukan anak pria maupun anak wanita sebagai waris. Baik anak-anak pria maupun anak-anak wanita berhak mendapat bagian warisan dari orang tuanya, baik terhadap harta peninggalan yang tergolong harta pusaka keturunan, maupunyang berasal dari harta bawaan ayah atau ibu, ataupun harta pencarian selama hidup mereka.

2. Penelitian ini pada azasnya dalam susunan kekerabatan masyarakat adat yang mempertahankan garis keibuan (matrilinial) yang berhak menjadi ahli waris adalah anak-anak wanita sedangkan anak-anak pria ideologisnya bukan ahli waris. Kedudukan anak-anak wanita sebagai ahli waris dalam susunan matrilinial berbeda dari kedudukan anak-anak pria sebagai ahli waris dalam susunan patrilinial.

Dengan telah berlakunya Undang-undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 maka tulisan ini merupakan bahan-bahan yang perlu untuk dipelajari dan dipahami guna mengetahui sejauh mana Undang-undang tersebut dapat diterapkan dengan sempurna terhadap lingkungan masyarakat setempat.

D. Kerangka Teori dan Kerangka Konsep

1. Kerangka Teori

Hukum waris adat meliputi keseluruhan asas, norma dan keputusan/ketetapan hokum yang bertalian dengan proses penerusan serta pengendalian harta benda(materiil)dan harta cita (non materiil) dari generasi ke generasi berikutnya, c.q. ahli waris.[8] Hukum Waris Adat yang berlaku di Indonesia sangat beraneka ragam tergantung pada daerahnya. Dalam kewarisan adat ini ada yang bersifat patrilinial, matrilineal, dan bilateral atau parental. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan-perbedaan daerah hokum adat yang satu dengan lainnya, yang berkaitan dengan sistem kekeluargaan dengan jenis serta status harta yang akan diwariskan.[9]

Hal mana tidak sesuai dengan hokum pewarisan barat yang bersifat individual semata, yang mana setelah pewaris wafat, maka warisannya dibagi-bagi secara individual kepada ahli warisnya, sebagaimana juga berlaku dalam hokum waris islam.

Jadi, sistem kewarisan menurut Hukum Adat berlatar belakang pada bentuk susunan kemasyarakatannya, yaitu sistem keturunan dan kekerabatannya yang pada pokoknya dibedakan dalam tiga macam, yaitu sistem patrilinial, matrilineal, dan parental/bilateral.

Menurut Hazairin, Di Indonesia kita menjumpai tiga macam sistem kewarisan, yaitu pertama : sistem kewarisan individual…., kedua : sistem kewarisan kolektif…., ketiga : sistem kewarisan mayorat….’ (Hazairin, Tinta Mas. 13). Dari ketiga macam sistem keawrisan itu ternyata dapat berlaku dalam masyarakat yang sistem keturunannya sama ataupun berbeda.

Menurut Ter Haar’……hokum waris adat adalah aturan-aturan hokum yang mengenai cara bagaimana dari abad ke abad penerusan dan peralihan dari harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi ke generasi’ (Ter Haar 1950 : 197).

Menurut Soepomo menyatakan bahwa ‘Hukum Waris Adat memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda (immateriele goederen) dari suatu angkatan manusia (generatie) kepada turunannya’ (Soepomo, 1967 : 72)

F. Metode Penelitian

Di dalam penulisan penelitian ini penulis akan menggunakan Library Reseach, yakni dengan cara meneliti data-data yang berasal dari kepustakan yang beberapa buku-buku.

Data penelitian adalah bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang berbentuk Undang-Undang, Keputusan Hakim, sedangkan bahan sekunder adalah bahan hukum dalam bentuk-bentuk ilmiah, sedangkan bahan hukum tersiar adalah bahan hukum dalam bentuk kamus hukum dan kamus yang relevan.

Dalam penelitian hukum yang objeknya adalah kaidah-kaidah hukum, pemahaman terhadap kaidah hukum dilakukan denhan menggunakan saran penafsiran. Dengan menggunakan metode penelitian ini, penulis tidak bermaksud mengurangi kebenaran dari permasalahan, oleh sebab itu untuk dapat menyelesaikan suatu masalah yang dapat dipertanggung jawabkan.

No comments:

Post a Comment

PENERAPAN ILMU FORENSIK DALAM HUKUM PIDANA

Terbentuknya keyakinan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana didasarkan pada hasil pemeriksaan alat-alat bukti yang dikemukakan pada pros...