8/16/09

BAB I PENGANTAR ETIKA TERAPAN

Pada topik pertama dari materi yang akan dibahas dalam buku ini akan dibicarakan terlebih dahulu beberapa hal yang berkaitan dengan etika terapan (applied ethic). Alasannya, karena sebagian besar dari materi yang dibahas dalam buku ini merupakan bahan-bahan pembahasan dari etika terapan. Istilah “etika terapan” kedengarannya agak baru, tapi isinya bukanlah sesuatu baru sama sekali dalam sejarah filsafat moral. Sudah sejak Plato dan Aristoteles (filsuf Yunani Kuno) terdapat penekanan yang jelas bahwa etika merupakan filsafat praktis yang ingin memberikan penyuluhan kepada tingkah laku manusia, dengan memperlihatkan apa yang harus dan tidak boleh dilakukan. Dalam abad pertengahan Thomas Aquinas melanjutkan tradisi filsafat praktis ini dengan menerapkannya dibidang teologi moral. Demikian juga dalam dunia modern, orientasi praktis dan etika berlangsung terus. Pada awal zaman modern muncul etika khusus (ethica spesialis, yang membahas masalah etis tentang suatu bidang tertentu, seperti keluarga dan negara. Etika terapan yang kita kenal sekarang sebenarnya tidak lain dari etika khusus itu, yang bermaksud menyorot hal-hal praktis kehidupan manusia. Situasi yang telah berlangsung dalam waktu yang cukup lama tersebut justru mengalami perubahan selama enam dasawarsa pertama abad ke-20. Pada masa-masa itu sifat praktis dari etika hampir terlupakan, Namun sejak tahun 1960-an situasinya berubah, perhatian pada etika kembali mendapat tempat penting. Bahkan sekarang dapat dikatakan bahwa filsafat moral, khususnya dalam bentuk etika terapan, mengalami masa suatu kejayaan.

A. Penjernihan Istilah
1. Etika dan Moral

Kata” etika” berasal dari bahasa Yunani kuno “ethos”, yang berarti: adat kebiasaan, cara berpikit; akhlak, sikap, watak, cara bertindak.

Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1988, menjelaskan pengertian etika dengan membedakan tiga arti yakni:

1). Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak).

2). Kumpulan azas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak;

3). Nilai mengenai benar dan salah, yang dianut suatu golongan masyarakat.

Dengan pembedaan tiga pengertian tersebut maka kita mendapatkan pengertian yang lebih lengkap mengenai apa itu etika, sekaligus kita lebih mampu memahami pengertian etika yang seringkali muncul dalam pembicaraan sehari-hari, baik secara lisan maupun yang tertulis diberbagai media.
Kata “moral” memiliki arti etimologis sama dengan etika, dan dapat kita artikan sama dengan pengertian pertama dari etika tadi, yakni nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau sekelompok orang dalam mengatur tingkah lakunya.
Arti pertama dari ”etika” adalah lebih dalam arti “moral” yakni sitem nilai yang merupakan pegangan atau pedoman tingkah laku baik dan buruk. Etika baru menjadi ilmu bila kemungkinan-kemungkinan etis (azas-azas dan nilai-nilai tentang yang dianggap baik dan buruk) , yang begitu saja diterima dalam masyarakat-yang seringkali tanpa disadari menjadi bahan refleksi bagi suatu penelitian sistematis dan methodis. Dalam arti ini etika sama dengan filsafat moral. Kuliah etika adalah suatu studi sistematis dan metodis tentang moralitas, suatu pembahasan filosofis tentang ajaran-ajaran moral. Jadi etika sebagai ilmu menginginkan pemahaman rasional tentang mengapa sesuatu disebut baik atau buruk secara moral.

2. Etika dan Etiket
Dalam pembicaran sehari-hari, baik secara lisan maupun tertulis, seringkali kita dengar kata etika dan etiket dicampuradukkan begitu saja. Mungkin karena kedua kata ini hampir sama, maka dalam pemakaian sehari-hari sering keduanya dimengerti sama, padahal antar keduanya terdapat perbedaan sangat mendasar. Etika bukanlah sekedar etiket. Etika adalah menyangkut moral, sedangkan etiket menyangkut sopan santun atau tata krama. Walaupun terdapat persamaan arti antara etika dan etiket, namun terdapat juga perbedaan mendasar antara keduanya:

q Etiket menyangkut cara suatu perbuatan dilakukan, sedangkan etika menyangkut masalah apakah suatu perbuatan boleh atau tidak boleh dilakukan. Ketika hendak melakukan suatu perbuatan, etiket memperhatikan cara yang tepat, yang sesuai dengan kebiasaan dalam kalangan tertentu. Umpamanya, kalau kita menyerahkan sesuatu kepada orang lain, kita hendaknya menyerahkan dengan tangan kanan. Kita melanggar etiket apabila kita menyerahkan dengan tangan kiri. Beda dengan etiket, etika tidak hanya sekedar menyangkut cara suatu perbuatan hendak dilakukan. Etika menegaskan sesuatau tentang perbuatan itu sendiri, bahwa suatu perbuatan harus atau tidak boleh dilakukan. Mengembalikan barang pinjaman adalah sesuatu yang harus, dan ini adalah masalah etika: sedang cara bagaimana mengembalikan barang pinjaman itu adalah masalah etiket.

q Etiket hanya berlaku dalam pergaulan, sedangkan etika tetap berlaku, dengan atau tanpa kehadiran orang lain. Etiket hanya berlaku atau perlu diperhatikan apabila ada orang lain yang menyaksikan atau dapat melihat perbuatan kita.

q Etiket bersifat relatif, sedangkan etika lebih bersifat absolut. Etiket bersifat kedaerahan, di mana hal-hal yang dianggap tidak sopan di suatu daerah bias saja dianggap sopan di daerah lain. Memanggil orang tua dengan menyebut nama aslinya bias sangat tidak sopan disuatu daerah, sedangkan di daerah atau kebudayaan lain malah dianggap sebagi ungkapan rasa hormat dan keakraban. Etika tidak demikian. Nortma-norma seperti, jangan membunuh atau mencuri merupakan prisnsip etika yang berlaku umum.

q Etiket lebuh pada penampilan lahiriah, sedangkan etika lebih pada penampilan rohaniah atau batiniah. Kita mengenal ungkapan “etiket bertelepon”, “etiket menerima tamu” dan sebagainya. Etika tidak terutama memperhatikan bahkan sama sekali tidak memperhatikan segi-segi lahiriah seperti itu, melainkan motif atau maksud yang melandasi tindakan etis.

No comments:

Post a Comment

PENERAPAN ILMU FORENSIK DALAM HUKUM PIDANA

Terbentuknya keyakinan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana didasarkan pada hasil pemeriksaan alat-alat bukti yang dikemukakan pada pros...