7/17/09

Tinjauan Pustaka Mal Praktik

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA





A. Hubungan Dokter dengan Pasien

Hubungan antara pemberi jasa pelayanan kesehatan (atau sang pengobat) dengan penerima jasa pelayanan kesehatan (atau si sakit) berawal dari pola hubungan vertikal yang bertolak dari prinsip “father knows best”, dan oleh karena itu pula melahirkan hubungan yang paternalistik antara sang pengobat dengan si sakit. Dalam pola hubungan vertikal ini kedudukan/posisi antara pemberi jasa pelayanan kesehatan dengan penerima jasa pelayanan kesehatan tidak sederajat, karena pemberi jasa pelayanan kesehatan mengetahui tentang segala sesuatu yang berkait dengan penyakit, sedang penerima jasa pelayanan kesehatan tidak tahu apa-apa tentang penyakit, apalagi tentang bagaimana penyembuhannya. Oleh karena itu dalam hubungan yang paternalistik ini si sakit menyerahkan nasibnya kepada sang pengobat[1].

Sebaliknya, sang pengobat berdasarkan prinsip “father knows best” dalam hubungan paternalistik ini akan mengupayakan untuk bertindak sebagai “bapak yang baik”, dengan mengupayakan untuk secara cermat dan hati-hati sesuai dengan pengetahuan dan keterampilannya yang diperolehnya melalui pendidikan yang sulit dan panjang serta pengalaman yang bertahun-tahun untuk kesembuhan si sakit. Dalam mengupayakan kesembuhan si sakit ini, sang pengobat dibekali oleh lafal sumpah yang diucapkannya pada awal ia memasuki jabatan sebagai pengobat yang berlandaskan pada norma etik yang mengikatnya berdasarkan pada kepercayaan si sakit yang datang kepadanya itu bahwa dialah yang dapat menyembuhkan penyakitnya[2]

Dengan berkembang pesatnya sarana informasi melalui berbagai mass media, kerahasiaan profesi dokter mulai terbuka, sementara itu keawaman pasien terhadap kesehatan mengalami perubahan kearah masyarakat yang terdidik dalam bidang kesehatan. Semakin meningkatnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap tanggung jawab atas kesehatannya sendiri, mengakibatkan pergeseran paradigma yang berlaku dari kepercayaan yang semula tertuju pada kemampuan dokter secara pribadi sekarang bergeser kearah kemampuan ilmu dari sang pengobat. Dari sinilah kemudian timbul kesadaran warga masyarakat untuk menuntut adanya hubungan seimbang antara dokter sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan dengan pasien sebagai pihak penerima jasa pelayanan kesehatan, dimana pasien tidak lagi sepenuhnya pasrah kepada dokter[3]



Berbagai ahli yang telah melakukan penelitian tentang hubungan antara dokter dan pasien baik dibidang medis, maupun sosiologis dan antropologis, antara lain Russel, Freidson & Darsky, Schwarz & Kart, Kisch & Reeder, serta Szasz & Hollender[4] :

· Russel menyatakan bahwa hubungan antara dokter dan pasien lebih merupakan hubungan kekuasaan, yaitu hubungan antara pihak yang memiliki wewenang (dokter) sebagai pihak yang aktif, dengan pasien yang menjalankan peran ketergantungan sebagai pihak yang pasif dan lemah.

· Freidson, Freeborn dan Darsky menyebutkan bahwa hubungan antara dokter dan pasien merupakan pelaksanaan kekuasaan medis oleh dokter terhadap pasien.

· Schwarz dan Kart mengungkapkan adanya pengaruh jenis praktik dokter terhadap perimbangan kekuasaan antara pasien dengan dokter dalam hubungan pelayanan kesehatan. Dalam praktik dokter umum, kendali ada pada pasien karena kedatangan pasien sangat diharapkan oleh dokter umum tersebut. Sedangkan pada jenis praktik dokter spesialis, kendali ada pada dokter umum sebagai pihak yang merujuk pasiennya untuk berkonsultasi kepada dokter spesialis yang dipilihnya. Hal ini berarti bahwa hubungan pasien dengan dokter umum lebih seimbang daripada hubungan pasien dengan dokter spesialis.

· Kisch dan Reeder meneliti seberapa jauh pasien dapat memegang kendali hubungan dan menilai penampilan kerja serta mutu pelayanan medis yang diberikan oleh dokter kepada pasien. Dalam penelitian ini ditemukan adanya beberapa faktor yang dapat mempengaruhi peran pasien dalam hubungan pelayanan medis, antara jenis praktik dokter (praktik individual atau praktik bersama atau berkelompok), atau sebagai dokter dalam suatu lembaga kedokteran. Masing-masing kedudukan tersebut merupakan variabel yang diperlukan yang dapat memberikan dampak terhadap mutu pelayanan medis yang diterimanya.

· Szasz dan Hollender mengemukakan tiga jenis prototif hubungan antara dokter dan pasien yaitu hubungan antara orang tua dan anak, antara orang tua dan remaja, dan prototif hubungan antara orang dewasa.

Sarjana lain yang bernama Thiroux membagi hubungan yang seharusnya antara dokter dan pasien dalam 3 (tiga) sudut pandang sebagai berikut [5] :

1. Pandangan paternalisme, menghendaki dokter untuk berperan sebagai orang tua terhadap pasien atau keluarganya. Dalam pandangan ini, segala keputusan tentang pengobatan dan perawatan berada dalam tangan dokter sebagai pihak yang mempunyai pengetahuan tentang pengobatan, sementara pasien dianggap tidak mempunyai pengetahuan sama sekali dibidang pengobatan. Informasi yang dapat diberikan kepada pasien seluruhnya merupakan kewenangan dokter dan asisten profesionalnya, dan pasien tidak boleh ikut campur di dalam pengobatan yang dianjurkannya.

2. Pandangan individualisme, beranggapan bahwa pasien mempunyai hak mutlak atas tubuh dan nyawanya sendiri. Oleh karena itu, semua keputusan tentang pengobatan dan perawatan sepenuhnya berada ditangan pasien yang mempunyai hak atas dirinya sendiri.

3. Pandangan resiprocal dan collegial, yang mengelompokan pasien dan keluarganya sebagai inti dalam kelompok, sedang dokter, perawat dan para profesional kesehatan lainnya harus bekerja sama untuk melakukan yang terbaik bagi pasien dan keluarganya. Hak pasien atas tubuh dan nyawanya tidak dipandang sebagai hal yang mutlak menjadi kewenangan pasien, tetapi dokter dan staf medis lainnya harus memandang tubuh dan nyawa pasien sebagai prioritas utama yang menjadi tujuan pelayanan kesehatan yang dilakukannya. Oleh karena itu, kepada pasien harus dijelaskan tentang prosedur yang akan diterimanya dan diberikan hak untuk memilih alternatif pengobatan yang dilakukan terhadap dirinya yang dikenal dengan istilah “informed consent”. Keputusan yang diambil dalam perawatan dan pengobatan harus bersifat resiprocal yang artinya bersifat memberi dan menerima, dan collegial yang berarti pendekatan yang dilakukan merupakan pendekatan kelompok atau tim yang setiap anggotanya mempunyai masukan dan tujuan yang sama.

Pandangan mana yang dianut oleh masyarakat penerima pelayanan kesehatan, sangat dipengaruhi oleh nilai kultural dan sistem pelayanan kesehatan yang dimilikinya.

Ada dua pola hubungan antara dokter dan pasien yaitu pola hubungan vertikal yang peternalistik dan pola hubungan horisontal yang kontraktual[6]

Apabila ditarik persamaan dan perbedaan antara pola hubungan yang vertikal paternalistik dengan pola hubungan yang horisontal kontraktual dari hubungan tersebut, baik dalam pola hubungan yang vertikal paternalistik maupun pola hubungan yang horisontal kontraktual dua-duanya melahirkan hak dan kewajiban kepada masing-masing pihak. Hanya saja dalam hubungan vertikal paternalistik hak si sakit untuk menyampaikan pendapatnya melalui komunikasi dengan sang pengobat tidak dimanfaatkan secara optimal[7]

Sebenarnya pola dasar hubungan dokter dan pasien, terutama berdasarkan keadaan sosial budaya dan penyakit pasien dapat dibedakan dalam tiga pola hubungan[8] , yaitu :

1. Activity - Passivity.

Pola hubungan ini seperti pola hubungan antara orang tua-anak yang merupakan pola hubungan klasik sejak profesi kedokteran dimulai mengenal kode etik pada abad ke 5 S.M. Disini dokter seolah-olah dapat sepenuhnya melaksanakan ilmunya tanpa campur tangan pasien, dengan suatu motivasi altruistis.

Biasanya hubungan ini berlaku pada pasien yang keselamatan jiwanya terancam, atau sedang tidak sadar, atau menderita gangguan mental berat.

2. Guidance – Cooperation.

Hubungan yang berupa membimbing-kerjasama seperti halnya orang tua dengan remaja. Pola ini diketemukan apabila keadaan pasien tidak terlalu berat misalnya penyakit infeksi baru atau penyakit akut lainnya. Meskipun sakit, pasien tetap sadar dan memiliki perasaan serta kemauan sendiri. Ia berusaha mencari pertolongan pengobatan dan bersedia bekerja sama. Walaupun dokter mengetahui lebih banyak, ia tidak semata-mata menjalankan kekuasaan, namun mengharapkan kerja sama pasien yang diwujudkan dengan menuruti nasihat atau anjuran dokter.

3. Mutual Participation.

Filosofi pola ini berdasarkan pemikiran bahwa setiap manusia memiliki martabat dan hak yang sama. Pola ini terjadi pada mereka yang ingin memelihara kesehatannya seperti medical check-up atau pada pasien penyakit kronis. Pasien secara sadar aktif dan berperan dalam pengobatan terhadap dirinya. Hal ini tidak dapat diterapkan pada pasien dengan latar belakang pendidikan dan sosial yang rendah, juga pada anak atau pasien dengan gangguan mental tertentu.

Dari tiga pola hubungan dokter dan pasien di atas maka pola hubungan activity – passivity merupakan pola hubungan vertikal paternalistik, sedangkan pola hubungan guidance – cooperation dan pola hubungan mutual participation merupakan pola hubungan horisontal kontraktual.

Jika ditinjau dari sudut hukum medik, maka hubungan antara dokter dan pasiennya dapat dimasukan ke dalam golongan kontrak. Suatu kontrak adalah pertemuan pikiran (meeting of minds) dari dua orang mengenai suatu hal (sollis). Pihak pertama mengikatkan diri untuk memberikan pelayanan sedangkan pihak kedua menerima pemberian pelayanan tersebut. Pasien datang meminta kepada dokter untuk diberikan pelayanan pengobatan sedang sang dokter menerima untuk memberikannya. Dengan demikian maka sifat hubungannya mempunyai 2 (dua) unsur :

1. Adanya suatu persetujuan (consensual, agreement), atas dasar saling menyetujui dari pihak dokter dan pasien tentang pemberian pelayanan pengobatan.

2. Adanya suatu kepercayaan (fiduciary relationship), karena hubungan kontrak tersebut berdasarkan saling percaya mempercayai satu sama lain[9]

Secara yuridis timbulnya hubungan hukum antara dokter dan pasien bisa berdasarkan dua hal,[10] yaitu :

a. Perjanjian (Ius contractu).

Timbulnya hubungan hukum antara dokter dan pasien berdasarkan perjanjian mulai terjadi saat seorang pasien datang ke tempat praktik dokter atau ke rumah sakit dan dimulainya anamnesa dan pemeriksaan oleh dokter. Dari seorang dokter harus dapat diharapkan bahwa ia akan berusaha sebaik mungkin untuk menyembuhkan pasiennya dan disyaratkan bahwa ia di dalam melakukan suatu tindakan medik harus :

- Bertindak dengan hati-hati dan teliti,

- Berdasarkan indikasi medik,

- Tindakan yang dilakukan berdasarkan standar profesi medik,

- Adanya persetujuan pasien (informed consent) (Leenen).

Jika seorang dokter (1) tidak melakukan, (2) salah melakukan, atau (3) terlambat melakukan, sehingga sampai menimbulkan kerugian/cedera kepada pasien, maka ia dapat dituntut berdasarkan wanprestasi seperti tercantum di dalam KUH Perdata pasal 1239, 1243 dan 1245.

b. Undang-undang (Ius delicto)

Di Indonesia hal ini diatur di dalam KUH Perdata pasal 1365 tentang perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) :

Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.

Arrest Hoge Raad 31 Januari 1919 telah merumuskan perbuatan melanggar hukum “sebagai suatu tindakan atau non-tindakan yang atau yang atau bertentangan dengan kewajiban si pelaku, atau bertentangan dengan susila baik, atau kurang hati-hati dan ketelitian yang seharusnya dilakukan di dalam masyarakat terhadap seseorang atau barang orang lain”.

Jika seorang dokter tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan di atas, maka ia dapat dianggap telah melakukan pelanggaran hukum. Melanggar ketentuan yang ditentukan oleh undang-undang karena tindakannya bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian serta sikap hati-hati yang seharusnya dapat diharapkan daripadanya dalam pergaulan sesama warga masyarakat.

Namun tidak saja terhadap suatu perbuatan yang dilakukan, tetapi juga terhadap suatu kelalaian yang menyebabkan kerugian kepada orang lain dapat pula dimintakan penggantian kerugian. Hal ini dirumuskan di dalam pasal 1366 yang berbunyi [11] :

Setiap orang bertanggungjawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatinya.




No comments:

Post a Comment

PENERAPAN ILMU FORENSIK DALAM HUKUM PIDANA

Terbentuknya keyakinan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana didasarkan pada hasil pemeriksaan alat-alat bukti yang dikemukakan pada pros...