7/9/18

ANALISIS PEMBUBARAN HTI MENURUT UU ORMAS 2017

Oleh: Syed Agung Afandi

DPR melalui rapat paripurna telah mengesahkan Perppu Ormas menjadi Undang-Undang setelah seblumnya pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Terdapat tujuh fraksi yang menerima perppu tersebut sebagai undang-undang yakni fraksi PDI-P, PPP, PKB, Golkar, Nasdem, Demokrat, dan Hanura. Meski demikian fraksi PPP, PKB, dan Demokrat menerima dengan catatan revisi. Sementara  fraksi yang menolak yakni PKS, PAN, dan Gerindra. Pemerintah menilai pengaturan ormas berdasarkan undang-undang “lama” sudah tidak sesuai lagi dengan dinamika masyarakat.

Aspek Yuridis

Dasar yuridis pembentukan Ormas adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28 yang berbunyi “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”, Serta Pasal 28E ayat (3) yaitu “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Secara internasional, kemerdekaan untuk berserikat dan berkumpul diakui sebagai hak asasi manusia sebagaimana ditegaskan dalam Universal Declaration of Human Right yang kemudian disetujui Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 217 A (III) dimana Pasal 20 ayat (1) menyebutkan bahwa “setiap orang mempunyai hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat” dan pada ayat (2) menyebutkan “tidak seorangpun dapat dipaksa memasuki suatu perkumpulan”.

Sementara itu, kewajiban negara sebagai pemangku HAM telah dituangkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28I Ayat (4) yaitu, “perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggungjawab negara, terutama pemerintah”. Selanjutnya, Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 71 menyatakan, “Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam undang-undang ini, peraturan perundang-undangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh negara Republik Indonesia”. Dalam konstitusi Indonesia pembatasan HAM diatur dalam UUD 1945 Pasal 28J ayat (2) yang menyatakan, “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”

Keberadaan Ormas di Indonesia selama ini antara lain diatur dengan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Seiring dengan perjalanan waktu, pengaturan ormas berdasarkan undang-undang ini dinilai pemerintah sudah tidak sesuai lagi dengan dinamika masyarakat sehingga pemerintah memandang perlu adanya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Dasar yuridis pembentukan perppu ormas merujuk kepada Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 yakni “dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”.

Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 memberikan kewenangan yang sah kepada presiden guna menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang dalam keadaan negara yang darurat dan pemerintahan yang berada pada situasi yang membahayakan sehingga dapat menyelesaikan permasalah tersebut dengan mengambil tindakan hukum konkret. Negara dapat dinyatkan dalam “keadaan negara darurat dan pemerintahan berada pada situasi genting” berdasarkan hasil pertimbangan rasional dan normative serta hasil kajian secara factual dengan menunjukkan ciri utama; adanya crisis dan kondisi emergency. Keadaan dinyatakan krisis apabila terdapat gangguan yang menimbulkan kegentingan dan bersifat mendadak (a grave and sudden disturbunse). Kondisi emergency adalah apabila terjadi berbagai keadaan yang tidak diperhitungkan sebelumnya dan menuntut suatu tindakan segera tanpa menunggu permusyawaratan terlebih dahulu atau telah ada tanda-tanda yang nyata dan menurut reasonableness apabila tidak diatur segera akan menimbulkan gangguan baik bagi masyarakat maupun terhadap jalannya pemerintahan. Tiga syarat materil penetapan Perppu yaitu; Reasonable necessity, Limited time dan beyond reasonable doubt.

Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, terbitnya perppu didasarkan pada adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang, adanya kekosongan hukum karena untuk membentuk undang-undang dibutuhkan waktu yang relatif lama, sedangkan undang-undang yang ada tidak memadai sehingga kekosongan hukum ini tidak dapat diatasi dengan prosedur normal dalam pembentukan undang-undang dan presiden berwewenang menerbitkan perppu. Sementara Perppu Ormas No. 2 Tahun 2017 ini dinilai tidak memenuhi syarat Putusan Mahkamah Konstitusi No 138/PUU-VII/2009 dimana tidak adanya kebutuhan mendesak, situasi kekosongan hukum dan tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena memerlukan waktu yang cukup lama.

Pemerintah menilai UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan dari aspek substantif terkait dengan norma, larangan dan sanksi serta prosedur hukum sudah tidak memadai untuk mencegah meluasnya ideologi yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. UU ini tidak mewadahi asas hukum administrasi contrario actus yaitu asas hukum dimana lembaga yang memberikan izin dan mengesahkan ormas berhak dan berwewenang mencabut izin ormas yang melanggar ketentuan yang berlaku. Padahal UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan dinilai lebih baik apabila diukur dari prinsip Negara Hukum dan Negara Demokrasi yang menghormati Hak Asasi Manusia yang dianut oleh UUD 1945. UU No. 17 Tahun 2013 telah memiliki tata cara dan prosedur pembubaran ormas, dengan melalui proses dan tahapan yang lebih mengedepankan cara-cara yang persuasif, demokratis, dan menegakkan due process of law dengan melibatkan lembaga peradilan.

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 sendiri bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2) dan (3) maupun Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945. Pasal 1 ayat (2) menyatakan “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”, Selanjutnya juga Pasal 1 ayat (3) menyebutkan “Negara Indonesia adalah negara hukum”, Pasal 28 berbunyi “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”, Serta Pasal 28E ayat (3) menyatakan “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.

Pasal diatas pada hakikatnya menyatakan negara tidak berhak menghalangi  warga negara membentuk organisasi masyarakat. Secara konstitusional negara wajib menghormati dan melindungi organisasi masyarakat.  Selain tidak memiliki latar belakang yang objektif, Perppu Ormas juga berkontradiksi dengan fungsi dari negara hukum. Waluyo (2016)  menegaskan setidaknya ada dua garis besar fungsi yang disandang oleh negara hukum (Rechstaat), yakni (1) membatasi kesewenang-wenangan dan penggunaan yang tidak semestinya dari kekuasaan negara dan (2) melindungi kepemilikan dan keselamatan warga dari pelanggaran dan serangan warga lainnya.

Lebih lanjut, fungsi pertama dari prinsip di atas berperan sebagai tata aturan yang membatasi tindakan pemerintah dalam bertindak sehingga tidak melakukan langkah secara sewenang-wenang yang mengakibatkan terlanggarnya hak-hak dasar warga negara. Penegakan fungsi ini akan menjaga keterjaminan hak-hak dasar yang dimiliki oleh warga negara akibat represivitas pemerintah. Sedangkan fungsi kedua, sebagai sebuah instrumen yang mengatur tata hidup masyarakat, hukum harus mencegah terenggutnya hak-hak dan keselamatan warga negara dari warga negara lainnya. Dengan kata lain, hukum menjadi landasan tata kehidupan yang di dalamnya mesti menjamin hak setiap individu dalam masyarakat, tak terlepas dari hak untuk berkumpul dan berpolitik.

Aspek Empiris

Setiap orang/individu memiliki sikap dasar dan kecenderungan untuk selalu hidup berkelompok, karena pada hakekatnya manusia adalah makhluk sosial (Soekanto, 1977). Masyarakat adalah kumpulan individu-individu yang mendiami suatu wilayah dan melakukan interaksi antar individu serta dengan lingkungannya sehingga menimbulkan saling ketergantungan karena pada hakekatnya manusia tidak dapat hidup sendiri dan tidak dapat menyelesaikan persoalannya serta memenuhi kebutuhannya sendiri. Interaksi antar individu inilah yang akan membentuk kelompok-kelompok kecil guna memenuhi kebutuhan mereka dalam kelompok tersebut. Kelompok tersebut mengadakan pembagian kerja, selanjutnya melalui hubungan antar kelompok akan terbentuk kesatuan sosial yang lebih besar untuk mencapai tujuan yang lebih besar.

Melalui kebersamaan dan kerjasama akan memudahkan pencapaian tujuan bersama antara lain kehidupan yang lebih tertib, aman, damai dan sejahtera. Untuk menghindari konflik antara kelompok dan untuk terciptanya keamanan dan ketertiban, maka diperlukan kesepakatan bersama berupa perangkat peraturan dan hukum yang menjadi pegangan bersama agar tidak menimbulkan kekacauan. Modal sosial dalam masyarakat adalah masyarakat itu sendiri dengan keberagaman dan potensi sosial yang ada, baik etnis, daerah, kepercayaan, profesi, status dan strata sosial serta peran dalam masyarakat. Modal sosial juga terkait pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang menjadi potensi kekuatan untuk pemberdayaan masyarakat. Modal sosial akan memiliki nilai jika sistem hukum tentang pengaturan masyarakat khususnya ormas disesuiakan dengan dinamika yang ada.

Gejolak sosial yang ditimbulkan oleh kepentingan ormas dapat berbentuk gesekan antar ormas, ormas dengan masyarakat ataupun ormas dengan penguasa. Dalam hal ini tindakan pemerintah menerbitkan perppu ormas di nilai menciderai hukum. Pemerintah tidak dalam posisi yang tepat dalam mengeluarkan perppu yang kemudian kini telah disahkan menjadi UU tersebut. Selain itu konten dari UU ini sendiri dinilai menciderai demokrasi dan HAM, terutama dipandang sangat diskriminatif dan menyudutkan umat islam dimana fenomena ahir-ahir ini ormas-ormas islam terus melakukan kritik keras terhadap jalannya pemerintahan. UU ini dijadikan alat penguasa membungkam ormas-ormas  islam, padalahal sejarah telah membuktikan peran besar ormas islam dalam perjuangan kemerdekaan serta pembangunan nasional. Sejarah nasional telah mencatat dengan tinta emas bagaimana tokoh-tokoh Islam, para kiyai, para santri, serta umat islam berjuang dengan pengorbanan harta, tenaga, dan nyawa untuk mencapai kemerdekaan. Umat Islam juga  berkomitmen mengisi kemerdekaan dengan berbagai pemikian dan perbuatan menuju terwujudnya negara yang bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.

Rezim saat ini cenderung menilai  umat islam dan organisasi masyarakat yang berbasis islam bertentangan dengan Pancasila, NKRI dan kebhinekaan. Padahal tidak dapat dipungkiri dan masih dapat dilihat secara nyata bahwa organisasi masyarakat yang tumbuh sejak zaman sebelum kemerdekaan masih terus tumbuh seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) yang secara konsisten membaktikan diri dalam bidang sosial, pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi dan lain-lain. Hal ini menunjukkan bahwa organisasi masyarakat dapat memberikan manfaat yang signifikan bagi peningkatan kualitas kehidupan masyarakat dalam berbagai bidang dan sangat membantu mencapai tujuan utama negara.

Pembentukan perppu ormas nampaknya tidak dapat dipisahkan dari gejolak ketika pilgub DKI Jakarta lalu. Beragam konflik horizontal, persekusi, diskriminasi atas minoritas, sampai kasus-kasus pemidanaan melonjak cukup signifikan. Namun kondisi tersebut tetap tidak dapat membenarkan pemerintah mengelarkan Perppu 2 Tahun 2017. Dinamika saat ini masih dalam kapasitas pemerintah untuk mengambil tindakan secara tegas melalui dasar hukum yang berlaku. Keputusan pemberlakuan perppu ormas untuk menyudahi konflik bersifat prematur dan hanya berdasarkan subjektivitas pemerintah belaka. Perppu ormas dinilai sebagai protect penguasa demi melanggengkan status quo.

Aspek Filosofis

Penguasa menilai penggantian Undang-Undang Nomor 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan diperlukan untuk penyempurnaan guna menjamin hak individu untuk kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat sesuai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Penggantian dan penyempurnaan pengaturan tentang ormas untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta dalam perdamaian dunia. Negara wajib menjamin setiap warga dalam perbedaan dan kemajemukan. Indonesia sebagai bangsa yang berbhinneka terdiri dari berbagai macam suku, etnis, agama profesi dan peran dalam masyarakat.

Keberagaman tersebut memerlukan pengaturan yang optimal hingga dapat menjadi potensi perekat dalam perlindungan negara terhadap warga negara dan mendorong partisipasi masyarakat dalam mencapai tujuan nasional, serta semakin memantapkan kesadaran kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam upaya mensukseskan pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia menuju cita-cita nasional bangsa Indonesia yaitu menuju masyarakat yang adil dan makmur, maka setiap hak asasi warga negara khususnya berserikat dan berkumpul, maka negara menjamin dan memfasilitasi aktivitas masyarakat, seperti melalui organisasi masyarakat. Ormas mempunyai peranan yang sangat penting dalam meningkatkan keikutsertaan secara aktif seluruh lapisan masyarakat dalam rangka menjamin pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa, menjamin keberhasilan pembangunan nasional, dan menjamin tercapainya tujuan nasional.

Setiap individu harus dipastikan menikmati otonomi pribadi yang tinggi di dalam keputusan perseorangan dan bersama, dan berkaitan erat dengan pengembangan diri agar individu dan masyarakat secara sekaligus berkembang ke arah kehidupan bersama. Otonomi pribadi merupakan konsep dimasukkannya orang sebagai warga negara penuh dalam suatu tatanan yang demokratis untuk menentukan nasib sendiri (Dahl, 1989). Tanpa otonomi pribadi dipastikan warga negara tidak bisa hidup di bawah pemerintahan yang dipilihnya sendiri dan berdampak pada ketidakmampuan warga negara untuk dapat menentukan nasib sendiri. Oleh sebab itu otonomi pribadi harus dikembangkan dengan melibatkan setiap individu untuk menafsirkan kepentingan pribadi dan terlibat di dalam proses pembentukan kebijakan. Otonomi pribadi tidak dapat dipisahkan dari keberadaan otonomi norma selaku pengontrol dalam pelaksanaan otonomi pribadi. Hal tersebut dimaksudkan agar pelaksanaan otonomi pribadi seorang individu tidak merugikan individu lain. Otonomi moral menekankan tanggung jawab, kesadaran kepentingan orang lain, dan toleransi di dalam kehidupan.

Melalui otonomi pribadi yang diiringi dengan otonomi moral, maka setiap warga negara dapat melakukan setiap usaha untuk mewujudkan setiap kepentingan baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama melalui sebuah kelompok. Negara yang paling demokratis, menurut Alexis Tocqueville (2005) adalah negara yang di dalamnya terdapat orang-orang yang secara berkelompok mengejar tujuan yang diharapkan bersama dan hal tersebut diterapkan untuk tujuan yang sangat banyak. Melalui kelompok yang didirikan bersama tersebut, rakyat yang secara individu tidak mampu atau sulit meraih hal-hal besar sendirian akan lebih mudah mengusahakannya secara berserikat. Kelompok tersebut didirikan secara swadaya. Pentingnya prinsip keswadayaan adalah menjaga independensi dari kelompok yang telah didirikan oleh masyarakat tersebut.

Kebebasan berserikat dan berkumpul dalam UUD 1945 merupakan hak salah satu bentuk natural rights yang bersifat fundamental dan melekat dalam kehidupan bersama umat manusia. Penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan yang kemudian di sahkan menjadi undang-undang di nilai tidak sesuai dengan Pancasila. Rezim saat ini cenderung menilai penyebaran agama dalam organisasi masyarakat berpotensi menimbulkan disintegrasi. Logika tersebut sangatlah tidak tepat. Tidak mungkin jika ajaran yang berasal dari Tuhan bisa dikatakan anti-Pancasila. Pancasila seharusnya dipahami sesuai fungsi dan peranannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, dan tidak berlebihan. Pancasila harus ditempatkan as a Precept, yakni suatu ajaran moral bagi bangsa Indonesa bukan dipahami sebagai sosok yang dipertuhankan yang digunakan secara membabi buta sebagai alat untuk melegitimasi kekuasaan.

Pemerintah yang semestinya melakukan perlindungan terhadap nilai-nilai yang terkandung pada Pancasila justru berbalik mengebirinya. Jaminan undang-undang tentang “kebebasan berkumpul, berserikat  dan  berpendapat” sinkron dengan sila ke-4 Pancasila “kerakyatan yang di pimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan” sehingga selayaknya ormas dilindungi oleh undang-undang, dimana ormas merupakan tempat berkumpul dan wadah aspirasi masyarakat dalam melaksanakan aktifitas kemasyarakatan dan melaksanakan musyawarah mufakat. Konten dalam UU ormas khususnya Pada pasal 82A, “secara langsung dan tidak langsung” atas pemberlakuan hukuman, sangat bertentangan dengan Sila ke-2 “kemanusiaan yang adil dan beradap” dan sila ke-5 “keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Analisis Pasal Dalam UU Ormas

Pasal 59

(3) Ormas dilarang:

    Melakukan penyalahgunaan, penistaan, atau penodaan terhadap agama yang dianut di Indonesia.

Analisis: Pasal ini merupakan “pasal karet” dimana tidak secara eksplisit dijelaskan penistaan atau penodaan terhadap agama sehingga dapat digunakan sewenang-wenang oleh pemerintah atau suatu kelompok masyarakat untuk memidanakan kelompok masyarakat lainnya karena alasan penodaan agama atau anti-Pancasila.

(4) Ormas dilarang:

    Menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila.

Analisis: Pasal ini memperlihatkan tindakan pemerintah yang melarang untuk “menganut” suatu ajaran/paham sehingga telah menodai kebebesan berfikir.

Pasal 61

(3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (2) berupa:

    Pencabutan surat keterangan terdaftar oleh Menteri; atau
    Pencabutan status badan hukum oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia.

(4) Dalam melakukan pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Menteri dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia dapat meminta pertimbangan dari instansi terkait.

Analisis: Pasal ini perlu ditambahkan muatan “meminta pertimbangan Mahkamah Agung dan lembaga legislatif” sehingga pemerintah tidak menjadikan pasal ini sebagai alat pemusnahan ormas dengan tujuan tertuntu yang menguntungkan penguasa melalui penafsiran tunggal terhadap pelanggaran ormas.

Pasal 62

(1) Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (l) huruf a diberikan hanya 1 (satu) kali dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal diterbitkan peringatan.

(2) Dalam hal Ormas tidak mematuhi peringatan tertulis dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia sesuai dengan kewenangannya menjatuhkan sanksi penghentian kegiatan.

(3) Dalam hal Ormas tidak memenuhi sanksi penghentian kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat 2, Menteri dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia sesuai dengan kewenangannya melakukan pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum.

Analisis: Pasal 62 ayat (1), (2) dan (3) menggambarkan pemerintah menggunakan penuh kekuasaanya guna kepentingan penguasa. Pasal ini menjadi peluang pemerintah untuk berbuat sewenang-wenang guna membubarkan ormas yang secara subyektif dianggap pemerintah bertentangan dengan Pancasila tanpa melalui proses peradilan sehingga bertentangan dengan prinsip negara hukum. UUD 1945 sendiri menjamin kebebasan berserikat sebagai hak warga negara.  Sebelum melakukan pembubaran ormas seharunya pemerintah mengajukan permohonan pembubaran ormas berbadan hukum ke pengadilan negeri sehingga ormas diberi hak untuk membela diri di persidangan. Sanksi pencabutan status badan hukum seharusnya baru dapat dijatuhkan setelah adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sehingga pemerintah tidak bertidak sewenang-wenang melainkan bertindak berdasarkan hukum. Dalam hal ini pemerintah telah mengabaikan due process of law.

Dengan diberikannya kewenangan pada Mendagri dan Menkumham mencabut status badan hukum ormas, maka pemerintah telah menerapkan asas hukum administrasi contrario actus. Asas contrarius actus sebenarnya tidak dapat  diterapkan kepada ormas. Asas ini hanya dapat diterapkan pada kasus administrasi pemerintahan dalam kaitan pemberhentian kepegawaian. Ormas bukanlah diangkat dalam jabatan. Ormas dipisahkan sebagai badan hukum atau didaftarkan sebagai organisasi. Pasal ini dapat dijadikan senjata oleh pemerintah guna menghabisi lawannya terkait ageda besar pilpres 2019 dimana pihak yang menafsirkan Pancasila serta menentukan ormas-ormas yang bertentangan dengan Pancasila dalam UU ini adalah Menteri Dalam Negeri dan Menteri Hukum dan HAM yang keduanya merupakan kader partai politik yang diangkat oleh presiden serta juga seorang politisi sehingga sarat akan kepentingan pemimpin.

Pemerintah semestinya mengedepankan upaya persuasif terkait kewenangannya  dalam membubarkan ormas yang dianggap melanggar ketentuan hukum guna menyadarkan ormas dan anggotanya. Hal ini dinilai lebih efektif dibanding tindakan pembubaran yang dilakukan pemerintah yang belum tentu akan memunculkan kesadaran anggota ormas yang memungkinkan ormas-ormas semacam ini akan tetap timbul kembali sehingga hanya akan menghabsikan energy pemerintah yang seharusnya dapat difokuskan pada pembangunan bangsa. Selain itu tindakan peringatan hingga pembubaran ormas oleh pemerintah dinilai tidak rasional karena hanya diberikan waktu tujuh hari. Dalam pasal ini juga tidak dinyatakan secara tegas bagaimana “nasib” ormas yang apabila telah mematuhi peringatan tertulis yang diberikan pemerintah sehigga pasal ini menggambarkan bahwa tidak ada “ampun” bagi ormas yang telah diberi perinagatan tertulis/pemerintah telah “memaksa” ormas yang tersebut bersalah dan akan dibubarkan. Peringatan tertulis yang diberikan pemerintah dinilai sebatas formalitas belaka. Pasal ini tentu saja merupakan tafsir yang salah dari pemerintah dalam memandang ormas. Semestinya pemerintah memperlakukan ormas sebagai komponen bangsa dengan diposisikan sebagai komponen pembangunan yang diberi ruang untuk berpartisipasi serta berkontribusi bagi pembangunan bangsa bukan malah melihat ormas sebagai ancaman terhadap negara dan konstitusi atau barangkali ancaman terhadap kekuasaan.

Pasal 82A

(1) Setiap orang yang menjadi anggota dan/atau pengurus Ormas yang dengan sengaja dan secara langsung atau tidak langsung melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 ayat (3) huruf c dan huruf d dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan dan paling lama 1 (satu) tahun.

(2) Setiap orang yang menjadi anggota dan/atau pengurus Ormas yang dengan sengaja dan secara langsung atau tidak langsung melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 ayat (3) huruf a dan huruf b, dan ayat (4) dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.

(3) Selain pidana penjara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bersangkutan diancam dengan pidana tambahan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan pidana.

Analisis: Ketentuan pidana pada pasal ini semestinya dibuta secara rasional. Sanksi pidana yang termuat dalam pasal ini bertentangan dengan ketentuan dalam KUHP. Dalam pasal ini sanksi pidana diberikan kepada pengurus hingga anggota ormas yang dinilai bertentangan dengan Pancasila dengan hukuman pidana hingga 20 tahun atau seumur hidup. Sanksi pidana ini akan diperberat oleh pidana tambahan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan pidana. Dengan demikian sanksi pidana dalam pasal ini lebih berat dari hukuman era kolonial. Ketentutan dalam pasal ini memungkinkan negara untuk menghukum orang bukan karena tindakan pidana yang dilakukan, melainkan karena status keanggotaan di dalam sebuah ormas sehingga melanggar kebebasan berserikat warga negara yang telah dijamin oleh konstitusi. Pasal ini telah menempatkan posisi negara berhadapan dengan organisasi masyarakat sipil.

Penjelasan Pasal 59 Ayat (4) huruf c

Yang dimaksud dengan “ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila” antara lain ajaran ateisme, komunisme/manrisme-leninisme, atau paham lain yang bertujuan mengganti/mengubah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.

Analisis: Penjelasan Pasal 59 ayat (4) huruf c mengandung makna “karet”. Apa makna dari “paham lain”? Pemerintah tidak dibenarkan untuk menafsirkan secara tunggal mengenai makna paham lain tersebut. Meski demikian juga pasal ini sesungguhnya telah memiliki kelebihan dibanding UU sebelumnya, namun perlu diperjelas sehingga tidak disalah gunakan.

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan telah disahkan DPR menjadi undang-undang melalui rapat paripurna. Penerbitan Perppu Ormas sendiri pada dasarnya tidak memenuhi persayaratan dimana tidak terjadi kekosongan hukum maupun kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah. Sementara pemerintah menilai Undang-Undang Nomor 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan belum mengatur secara komprehensif mengenai keormasan yang bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Jika dinilai dari aspek yuridis, filosofis, dan empiris serta analisa setiap pasal maka  undang-undang ormas baru ini merupakan bentuk pelanggaran pemerintah terhadap demokrasi, Hak Asasi Manusia (HAM), Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta  Pancasila. Pemerintah sangat dimungkinkan untuk menyalah gunakan kewenangan dengan menjadikan undang-undang ini sebagai alat legitimasi kekuasaan dengan menghantam habis ormas-ormas kritis terhadap jalannya pemerintahan.

No comments:

Post a Comment

PENERAPAN ILMU FORENSIK DALAM HUKUM PIDANA

Terbentuknya keyakinan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana didasarkan pada hasil pemeriksaan alat-alat bukti yang dikemukakan pada pros...