A. PENGERTIAN NARKOBA
Penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang (narkoba) menunjukkan tren yang semakin meningkat di Indonesia. Narkoba merupakan singkatan dari Narkotika, Psikotropika dan Bahan Adiktif lainnya. Terminologi narkoba familiar digunakan oleh aparat penegak hukum; seperti polisi (termasuk didalamnya Badan Narkotika Nasional), Jaksa, Hakim dan Petugas Pemasyarakatan. Menurut UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika disebutkan pengertian Narkotika adalah “zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan”. Psikotropika adalah “zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku”. Bahan Adiktif lainnya adalah “zat atau bahan lain bukan narkotika dan psikotropika yang berpengaruh pada kerja otak dan dapat menimbulkan ketergantungan”.
B. PENGERTIAN PENGGUNA, PECANDU, PEYALAHGUNAAN DAN KORBAN NARKOTIKA
Menurut kamus bahasa Indonesia istilah “Pengguna” adalah orang yang menggunakan, bila dikaitkan dengan pengertian narkotika sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Narkotika maka dapat dikaitkan bahwa Pengguna Narkotika adalah orang yang menggunakan zat atau obat yang berasal dari tanaman, baik sintetis maupun semi sentetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan yang dibedakan dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Pecandu Narkotika adalah orang yang menggunakan atau meyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik maupun psikis. Penyalahgunaan adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum.
Penyalahgunaan adalah penyalahgunaan NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif) yang sudah bersifat patologis, dipakai secara rutin (paling tidak sudah berlangsung selama satu bulan), terjadi penyimpangan perilaku dan gangguan fisik di lingkungan sosial.
Korban peyalahgunaan adalah seseorang yang tidak sengaja menggunakan narkotika, karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa, dan/ atau diancam untuk menggunakan narkotika. Mantan Pecandu Narkotika adalah orang yang telah sembuh dari ketergantungan terhadap narkotika secara fisik maupun psikis.
Pada tahun 2010 Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 4 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi, untuk selanjutnya disingkat sebagai SEMA 4/2010, yang menjadi panduan bagi para hakim untuk menjatuhkan putusan rehabilitasi. SEMA 4/2010 menyebutkan lima syarat untuk mendapatkan putusan rehabilitasi yaitu: 1) terdakwa ditangkap dalam kondisi tertangkap tangan; 2) pada saat tertangkap tangan ditemukan barang bukti pemakaian satu hari (terlampir dalam SEMA); 3) surat uji laboratorium positif menggunakan narkotika; 4) surat keterangan dari dokter jiwa/psikiater; dan 5) tidak terbukti terlibat dalam peredaran gelap narkotika.
C. ATURAN HUKUM TERKAIT PECANDU, PENGGUNA DAN PENYALAHGUNA NARKOBA
Merujuk pada Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika dan Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika, maka pecandu/pengguna serta korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Pasal 54 Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika mengatur bahwa Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Hal tersebut juga telah dipertegas dan diatur lebih rinci dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2011 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2011 Tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika. Selain itu pada Pasal 3 ayat (1) Peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional Nomor 11 Tahun 2014 tentang Tata Cara Penanganan Tersangka dan/atau Terdakwa Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi (“Peraturan BNN 11/2014”) mengatur bahwa Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika yang tanpa hak dan melawan hukum sebagai Tersangka dan/atau Terdakwa dalam penyalahgunaan Narkotika yang sedang menjalani proses penyidikan, penuntutan, dan persidangan di pengadilan diberikan pengobatan, perawatan dan pemulihan dalam lembaga rehabilitasi. Begitu pula Surat Edaran Mahkamah Agung No 4 Tahun 2010 berusaha untuk mendayagunakan kembali Pasal 103 UU Narkotika, yang menyatakan bahwa hakim dapat memutus pencandu narkotika untuk menjalani rehabilitasi.
Selama ini aparat penegak hukum masih memandang UU Narkotika berorientasi pada pemenjaraan bagi pengguna/pencandu narkoba, sehingga dianggap seperti penjahat. Padahal, tahun 2014 telah dicanangkan pemerintah sebagai tahun penyelamatan korban penyalahgunaan narkoba melalui rehabilitasi. Dalam upaya mengubah paradigm pemidanaan pengguna narkoba Kejaksaan Agung, Kepolisian, Kemenkumham, MA, Kemensos, Kemenkes menandatangani Peraturan Bersama Tahun 2014 tentang Rehabilitasi Pecandu Narkotika. Melalui peraturan itu, jika seseorang ditangkap penyidik Polri atau BNN menggunakan atau memiliki narkotika maka akan tetap diproses secara hukum dengan dakwaan Pasal 127 UU Narkotika yang putusannya menjatuhkan perintah rehabilitasi. Adapun karena Pasal 127 UU Narkotika ancaman hukumannya di bawah 5 tahun, sehingga tidak perlu ditahan.
Adapun penentuan apakah ia direhabilitasi atau tidak tetap melalui putusan pengadilan. Hal ini diatur dalam Pasal 127 ayat (3) yang menyatakan bahwa dalam hal Penyalahguna dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan Narkotika, Penyalahguna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Adapun faktor-faktor yang secara signifikan mempengaruhi hakim dalam memberikan putusan rehabilitasi adalah surat keterangan medis, surat keterangan kejiwaan dari dokter jiwa/psikiater dan keberadaan ahli.
Namun, meski masih dalam proses peradilan pidana, baik itu penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan sidang di pengadilan; tanpa menunggu putusan hakim terlebih dahulu; penyidik, jaksa penuntut umum, atau hakim bisa saja meminta asesmen terhadap tersangka atau terdakwa sebelum ditempatkan di lembaga rehabilitasi.
Syarat Permohonan Rehabilitasi
Pengguna narkoba yang berstatus tersangka dapat mengajukan permohonan secara sendiri atau melalui kuasa hukumnya dengan memenuhi persyaratan sebagai berikut:
Surat Permohonan Bermaterai ke BNN berisi antara lain:
Identitas pemohon/tersangka
Hubungan Pemohon dan tersangka
Uraian Kronologis dan Pokok Permasalahan Penangkapan Tersangka
Pas Foto tersangka 4 x 6 (1 lembar)
Foto Copy Surat Nikah bila pemohon suami/istri tersangka
Foto Copy Surat Izin Beracara bila pemohon adalah Kuasa Hukum/Pengacara Tersangka dan surat kuasa dari keluarga
Surat Keterangan dari Sekolah/Perguruan Tinggi/Lembaga Pendidikan, bila tersangka adalah pelajar/Mahasiswa
Surat keterangan dari tempat kerja, bila tersangka sebagai pekerja/pegawai
Fotocopi surat penangkapan dan surat penahanan
Surat Keterangan dari tempat rehgabilitasi, bila yang bersangkutan pernah atau sedang proses Rehabilitasi
Surat Rekomendasi dari penyidik, Jaksa Penuntut umum atau hakim untuk direhabilitasi/asesmen
Fotocopi Surat Permohonan Rehabilitasi kepada Penyidik, Jaksa Penuntut Umum atau Hakim
Surat Pernyataan bermaterai
Menunjukkan Surat Penangkapan dan Penahanan Asli
Foto copy KTP Orang Tua/Wali, Tersangka dan Pengacara/ Kuasa Hukum
Foto copy kartu keluarga
Foto copy izin dari pengacara
Namun demikian, kondisi dan fakta dilapangan menunjukkan hal berbeda. Dalam hal ini, masih banyak ditemukan berbagai kasus narkotika yang melibatkan oknum aparat penegak hukum yang justru mematok “tarif” bagi pengguna narkotika. Misalnya, di Jakarta saja untuk “membebaskan” dan/atau mengatur pasal yang disangkakan agar tidak dipenjara tetapi direhabilitasi, maka harus mengeluarkan kocek sebesar Rp 75 juta hingga ratusan juta. Dengan kondisi demikian, maka sangat banyak para pengguna narkoba yang akhirnya terpaksa memilih untuk dipenjara karena tidak memiliki uang untuk menuruti permintaan oknum para penegak hukum tersebut.
KESIMPULAN
Rehabilitasi bagi pengguna narkoba merupakan suatu keharusan berdasarkan ketentutan dalam Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika dan Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika. Dalam hal ini berdasarkan Undang-Undang maka negara bertanggung jawab untuk memulihkan para pengguna narkoba melalui rehabilitasi. Oleh karena itu sudah sepatutnya tak boleh ada kendala untuk program rehabilitasi, termasuk mengenai infrastruktur atau fasilitas pemulihan para pecandu narkoba. Dengan demikian seharusnya penerapan rehabilitasi pengguna narkoba adalah suatu keharusan kepada setiap pengguna, sehingga rehabilitasi tidak boleh digantungkan kepada kemampuan bayar dari masing-masing pengguna narkoba. Masyarakat juga harus berani untuk bersikap tegas apabila mendapati ada oknum aparat yang meminta uang jutaan rupiah agar pengguna dapat direhabilitasi. Masyarakat dapat melaporkan oknum tersebut ke lembaga pengawas kepolisian seperti Divisi Propam atau Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). Apabila yang meminta adalah hakim, maka dilaporkan ke Komisi Yudisial.
Penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang (narkoba) menunjukkan tren yang semakin meningkat di Indonesia. Narkoba merupakan singkatan dari Narkotika, Psikotropika dan Bahan Adiktif lainnya. Terminologi narkoba familiar digunakan oleh aparat penegak hukum; seperti polisi (termasuk didalamnya Badan Narkotika Nasional), Jaksa, Hakim dan Petugas Pemasyarakatan. Menurut UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika disebutkan pengertian Narkotika adalah “zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan”. Psikotropika adalah “zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku”. Bahan Adiktif lainnya adalah “zat atau bahan lain bukan narkotika dan psikotropika yang berpengaruh pada kerja otak dan dapat menimbulkan ketergantungan”.
B. PENGERTIAN PENGGUNA, PECANDU, PEYALAHGUNAAN DAN KORBAN NARKOTIKA
Menurut kamus bahasa Indonesia istilah “Pengguna” adalah orang yang menggunakan, bila dikaitkan dengan pengertian narkotika sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Narkotika maka dapat dikaitkan bahwa Pengguna Narkotika adalah orang yang menggunakan zat atau obat yang berasal dari tanaman, baik sintetis maupun semi sentetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan yang dibedakan dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Pecandu Narkotika adalah orang yang menggunakan atau meyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik maupun psikis. Penyalahgunaan adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum.
Penyalahgunaan adalah penyalahgunaan NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif) yang sudah bersifat patologis, dipakai secara rutin (paling tidak sudah berlangsung selama satu bulan), terjadi penyimpangan perilaku dan gangguan fisik di lingkungan sosial.
Korban peyalahgunaan adalah seseorang yang tidak sengaja menggunakan narkotika, karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa, dan/ atau diancam untuk menggunakan narkotika. Mantan Pecandu Narkotika adalah orang yang telah sembuh dari ketergantungan terhadap narkotika secara fisik maupun psikis.
Pada tahun 2010 Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 4 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi, untuk selanjutnya disingkat sebagai SEMA 4/2010, yang menjadi panduan bagi para hakim untuk menjatuhkan putusan rehabilitasi. SEMA 4/2010 menyebutkan lima syarat untuk mendapatkan putusan rehabilitasi yaitu: 1) terdakwa ditangkap dalam kondisi tertangkap tangan; 2) pada saat tertangkap tangan ditemukan barang bukti pemakaian satu hari (terlampir dalam SEMA); 3) surat uji laboratorium positif menggunakan narkotika; 4) surat keterangan dari dokter jiwa/psikiater; dan 5) tidak terbukti terlibat dalam peredaran gelap narkotika.
C. ATURAN HUKUM TERKAIT PECANDU, PENGGUNA DAN PENYALAHGUNA NARKOBA
Merujuk pada Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika dan Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika, maka pecandu/pengguna serta korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Pasal 54 Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika mengatur bahwa Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Hal tersebut juga telah dipertegas dan diatur lebih rinci dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2011 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2011 Tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika. Selain itu pada Pasal 3 ayat (1) Peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional Nomor 11 Tahun 2014 tentang Tata Cara Penanganan Tersangka dan/atau Terdakwa Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi (“Peraturan BNN 11/2014”) mengatur bahwa Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika yang tanpa hak dan melawan hukum sebagai Tersangka dan/atau Terdakwa dalam penyalahgunaan Narkotika yang sedang menjalani proses penyidikan, penuntutan, dan persidangan di pengadilan diberikan pengobatan, perawatan dan pemulihan dalam lembaga rehabilitasi. Begitu pula Surat Edaran Mahkamah Agung No 4 Tahun 2010 berusaha untuk mendayagunakan kembali Pasal 103 UU Narkotika, yang menyatakan bahwa hakim dapat memutus pencandu narkotika untuk menjalani rehabilitasi.
Selama ini aparat penegak hukum masih memandang UU Narkotika berorientasi pada pemenjaraan bagi pengguna/pencandu narkoba, sehingga dianggap seperti penjahat. Padahal, tahun 2014 telah dicanangkan pemerintah sebagai tahun penyelamatan korban penyalahgunaan narkoba melalui rehabilitasi. Dalam upaya mengubah paradigm pemidanaan pengguna narkoba Kejaksaan Agung, Kepolisian, Kemenkumham, MA, Kemensos, Kemenkes menandatangani Peraturan Bersama Tahun 2014 tentang Rehabilitasi Pecandu Narkotika. Melalui peraturan itu, jika seseorang ditangkap penyidik Polri atau BNN menggunakan atau memiliki narkotika maka akan tetap diproses secara hukum dengan dakwaan Pasal 127 UU Narkotika yang putusannya menjatuhkan perintah rehabilitasi. Adapun karena Pasal 127 UU Narkotika ancaman hukumannya di bawah 5 tahun, sehingga tidak perlu ditahan.
Adapun penentuan apakah ia direhabilitasi atau tidak tetap melalui putusan pengadilan. Hal ini diatur dalam Pasal 127 ayat (3) yang menyatakan bahwa dalam hal Penyalahguna dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan Narkotika, Penyalahguna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Adapun faktor-faktor yang secara signifikan mempengaruhi hakim dalam memberikan putusan rehabilitasi adalah surat keterangan medis, surat keterangan kejiwaan dari dokter jiwa/psikiater dan keberadaan ahli.
Namun, meski masih dalam proses peradilan pidana, baik itu penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan sidang di pengadilan; tanpa menunggu putusan hakim terlebih dahulu; penyidik, jaksa penuntut umum, atau hakim bisa saja meminta asesmen terhadap tersangka atau terdakwa sebelum ditempatkan di lembaga rehabilitasi.
Syarat Permohonan Rehabilitasi
Pengguna narkoba yang berstatus tersangka dapat mengajukan permohonan secara sendiri atau melalui kuasa hukumnya dengan memenuhi persyaratan sebagai berikut:
Surat Permohonan Bermaterai ke BNN berisi antara lain:
Identitas pemohon/tersangka
Hubungan Pemohon dan tersangka
Uraian Kronologis dan Pokok Permasalahan Penangkapan Tersangka
Pas Foto tersangka 4 x 6 (1 lembar)
Foto Copy Surat Nikah bila pemohon suami/istri tersangka
Foto Copy Surat Izin Beracara bila pemohon adalah Kuasa Hukum/Pengacara Tersangka dan surat kuasa dari keluarga
Surat Keterangan dari Sekolah/Perguruan Tinggi/Lembaga Pendidikan, bila tersangka adalah pelajar/Mahasiswa
Surat keterangan dari tempat kerja, bila tersangka sebagai pekerja/pegawai
Fotocopi surat penangkapan dan surat penahanan
Surat Keterangan dari tempat rehgabilitasi, bila yang bersangkutan pernah atau sedang proses Rehabilitasi
Surat Rekomendasi dari penyidik, Jaksa Penuntut umum atau hakim untuk direhabilitasi/asesmen
Fotocopi Surat Permohonan Rehabilitasi kepada Penyidik, Jaksa Penuntut Umum atau Hakim
Surat Pernyataan bermaterai
Menunjukkan Surat Penangkapan dan Penahanan Asli
Foto copy KTP Orang Tua/Wali, Tersangka dan Pengacara/ Kuasa Hukum
Foto copy kartu keluarga
Foto copy izin dari pengacara
Namun demikian, kondisi dan fakta dilapangan menunjukkan hal berbeda. Dalam hal ini, masih banyak ditemukan berbagai kasus narkotika yang melibatkan oknum aparat penegak hukum yang justru mematok “tarif” bagi pengguna narkotika. Misalnya, di Jakarta saja untuk “membebaskan” dan/atau mengatur pasal yang disangkakan agar tidak dipenjara tetapi direhabilitasi, maka harus mengeluarkan kocek sebesar Rp 75 juta hingga ratusan juta. Dengan kondisi demikian, maka sangat banyak para pengguna narkoba yang akhirnya terpaksa memilih untuk dipenjara karena tidak memiliki uang untuk menuruti permintaan oknum para penegak hukum tersebut.
KESIMPULAN
Rehabilitasi bagi pengguna narkoba merupakan suatu keharusan berdasarkan ketentutan dalam Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika dan Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika. Dalam hal ini berdasarkan Undang-Undang maka negara bertanggung jawab untuk memulihkan para pengguna narkoba melalui rehabilitasi. Oleh karena itu sudah sepatutnya tak boleh ada kendala untuk program rehabilitasi, termasuk mengenai infrastruktur atau fasilitas pemulihan para pecandu narkoba. Dengan demikian seharusnya penerapan rehabilitasi pengguna narkoba adalah suatu keharusan kepada setiap pengguna, sehingga rehabilitasi tidak boleh digantungkan kepada kemampuan bayar dari masing-masing pengguna narkoba. Masyarakat juga harus berani untuk bersikap tegas apabila mendapati ada oknum aparat yang meminta uang jutaan rupiah agar pengguna dapat direhabilitasi. Masyarakat dapat melaporkan oknum tersebut ke lembaga pengawas kepolisian seperti Divisi Propam atau Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). Apabila yang meminta adalah hakim, maka dilaporkan ke Komisi Yudisial.
No comments:
Post a Comment