Pasal 263 (1)
Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat, yang dapat menerbitkan
sesuatu hak, sesuatu perjanjian (kewajiban) atau sesuatu pembebasan utang, atau
yang boleh dipergunakan sebagai keterangan bagi sesuatu perbuatan, dengan
maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan surat-surat itu
seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, maka kalau mempergunakannya
dapat mendatangkan sesuatu kerugian dihukum karena pemalsuan surat, dengan hukuman
penjara selama-lamanya enam tahun. (2) Dengan hukuman serupa itu juga dihukum,
barangsiapa dengan sengaja menggunakan surat palsu atau yang dipalsukan itu
seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, kalau hal mempergunakan dapat
mendatangkan sesuatu kerugian. Berbagai jenis tindak pidana telah terangkum
cukup banyak dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang merupakan
warisan dari jajahan Belanda, dimana dulunya dikenal dengan istilah Wetbook Van
Straftrecht (WvS). Setelah Indonesia merdeka, maka berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku di negara ini, WvS kemudian dijadikan sebagai
peraturan pidana yang berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia dan diubah dengan
nama KUHP. Keberadaan KUHP sebagai pedoman umum dalam pemeriksaan perkara
pidana, hingga saat ini masih berlaku secara hukum dan mengikat setiap warga
Negara meskipun telah diadakan RUU KUHP baru yang dirancang sesuai dengan
nilai-nilai budaya dan filosofis Bangsa Indonesia. Tapi, hingga saat ini, RUU
KUHP belum pernah disahkan menjadi suatu aturan hukum yang memiliki kekuatan
hukum yang mengikat bagi seluruh lapisan rakyat Indonesia. Di luar KUHP
sendiri, telah ada beberapa peraturan pidana lainnya yang mengkhususkan pada
tindak pidana tertentu, seperti tindak pidana korupsi, tindak pidana perikanan,
tindak pidana terhadap anak, dan lain sebagainya dala suatu undang-undang yang
telah terpisah dari KUHP.
Salah satu jenis ke jahatan yang dikenal dalam KUHP adalah
kejahatan pemalsuan surat, dimana pada awalnya pembentukan peraturan pidana ini
bertujuan tujuan untuk melindungi kepentingan hukum publik perihal kepercayaan
terhadap kebenaran suatu surat atau akte otentik. Kebenaran pada suatu surat
atau akte otentik sendiri sendiri terdiri atas 4 macam , yaitu : 1. Surat atau
akte yang menimbulkan suatu hak; 2. Surat atau akte yang menerbitkan suatu
perikatan; 3. Surat atau akte yang menimbulkan pembebasan utang; dan 4. Surat
atau akte yang dibuat untuk membuktikan suatu hal/keadaan tertentu. Dan, dalam
hal surat atau akte ini perbuatan yang dilarang terhadap 4 macam surat tersebut
adalah pebuatan membuat surat palsu (valschelijk opmaaken) atau tindakan
perbuatan memalsu (vervalsen).
Perbuatan membuat surat palsu adalah suatu perbuatan atau
tindakan membuat sebuah surat yang sebelumnya tidak ada/belum ada, yang
sebagian atau seluruh isinya palsu. Surat yang dihasilkan dari perbuatan ini
disebut dengan surat palsu. Sementara perbuatan memalsu adalah segala wujud
perbuatan apapun yang ditujukan pada sebuah surat yang sudah ada, dengan cara
menghapus, mengubah atau mengganti salah satu isinya surat sehingga berbeda
dengan surat semula. Surat ini disebut dengan surat yang dipalsu. Dua unsur
perbuatan dan 4 unsur objek surat atau akte tersebut merupakan sesuatu yang
bersifat alternative, dimana dalam mendalilkannya sesuai dengan ketentuan yang
terdapat pada Pasal 263 KUHP harus dibuktikan salah satu wujud perbuatannya dan
salah satu objek suratnya. Dimana, dalam proses pembuktiannya melalui dan
dengan dengan menggunakan hukum pembuktian sebagaimana telah diatur pada Pasal
183 jo 184 KUHAP.
Perbuatan membuat surat, adalah melakukan suatu perbuatan
dengan cara apapun mengenai suatu surat atau akte misalnya Akte Kelahiran,
sehingga menghasilkan sebuah Akte Kelahiran. Hal-hal yang harus dibuktikan
mengenai perbuatan membuat ini antara lain, adalah wujud apa termasuk bagaimana
caranya dari perbuatan membuat (misalnya menggunakan mesin cetak/ketik dsb),
dan siapa yang melakukan wujud tersebut, berikut kapan waktunya (tempusnya) dan
dimana lokasi atau terjadinya peristiwa tersebut(lokusnya). Dalam hal ini,
semuanya harus jelas, artinya dapat dibuktikan tanpa keraguan sama sekali.
Tidak cukup adanya fakta kedapatan pada seseorang, atau digunakan sebagai bukti
oleh seseorang mengenai akte tersebut. Dalam Hukum pembuktian tidak mengenal
dan tidak tunduk pada anggapan, melainkan harus dibuktikan setidak-tidaknya
memenuhi syarat minimal pembuktian. Hukum pembuktian dibuat untuk menjamin
kepastian hukum dan keadilan bagi setiap orang di negara ini, dan untuk
menghindari kesewenang-wenangan hakim dalam menjatuhkan suatu putusan atau
vonis pada suatu perkara yang ditanganinya.
Pada pasal 183 KUHAP tentang syarat minimal pembuktian,
menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menjatuhkan pidana, ialah
syarat subjektif yang juga harus dilandasi syarat objektif. Harus ada suatu
keyakinan hakim yang dibentuk berdasarkan minimal dua alat bukti yang syah.
Dasar keyakinan hakim yang dibentuk atas dasar (objektif) minimal 2 alat bukti
yang syah tersebut adalah hakim yakin tindak pidana telah terjadi, hakim yakin
terdakwa tersebut yang telah melakukannya dan hakim yakin terdakwa telah
bersalah dalam melakukan tindak pidana tanpa adanya hal-hal yang bisa memaafkan
atau menghapuskan pidana.
Oleh karena itu tidak cukup untuk membentuk keyakinan dari
sekedar fakta bahwa, misalnya sebuah Akte Kelahiran yang diduga palsu kedapatan
pada seseorang, atau fakta ada orang lain yang menyerahkannya kepada orang lain
untuk melakukan suatu perbuatan hukum. Fakta yang seperti ini hanya sekedar
dapat dipakai sebagai bahan untuk membentuk alat bukti petunjuk saja dan tidak
membuktikan sebagai pelaku tindak pidana sebagaimana diatur pada Pasal 263
KUHP. Terlebih lagi, untuk terbitnya sebuah Akte Kelahiran selalu melalui
prosedur baku yang tidak mungkin dibuat oleh satu orang saja. Di dalam sebuah
Akte Kelahiran harus dibuktikan dan jelas, tulisan apanya yang palsu? Bisa
terjadi tanda tangan Kepala Kantor Catatan Sipil asli, tapi namanya yang
fiktif. Dalam kasus seperti ini tidak mudah menentukan siapa sesungguhnya si
pembuat? Apakah Kepala Kantor Catatan Sipil atau orang-orang lain? Menggunakan
sebuah surat atau akte adalah melakukan perbuatan bagaimanapun wujudnya atas
sebuah surat dengan menyerahkan, menunjukkan, mengirimkannya pada orang lain
yang orang lain itu kemudian dengan surat itu mengetahui isinya.
Ada 2 syarat adanya “seolah-olah surat asli dan tidak
dipalsu” dalam Pasal 263 (1) atau (2), ialah: (pertama) perkiraan adanya orang
yang terpedaya terhadap surat itu, dan (kedua) surat itu dibuat memang untuk
memperdaya orang lain. Arti dapat merugikan menurut Ayat (1) maupun ayat (2)
Pasal 263. Istilah “dapat” adalah perkiraan yang dapat dipikirkan oleh orang
yang normal. Namun perkiraan itu harus didasarkan pada keadaan yang pasti,
jelas dan tertentu. Jika keadaan atau hal-hal tersebut benar-benar ada, maka
kerugian itu bisa terjadi. Contoh, sebuah SIM palsu atau dipalsu atas nama A.
Bila A mengemudi dengan menggunakan SIM palsu dapat merugikan pengguna jalan
dengan alasan keadaan yang harus dibuktikan ialah yang bersangkutan tidak mampu
mengemudi dengan baik. Jelas dan tertentu, ialah bagi pengguna jalan, bukan
semua orang. Namun jika keadaan itu tidak ada, misalnya pekerjaan A yang
digelutinya bertahun-tahun adalah mengemudi, maka perbuatan mengemudikan
kendaraan itu tidak dapat merugikan pengguna jalan lainnya, karena kemahiran
mengemudi sudah dikuasainya. Maka alasan merugikan pengguna jalan tidak bisa
digunakan. Ada perbedaan perihal “dapat merugikan” menurut ayat (1) dan menurut
ayat (2). Perbedaannya, ialah surat palsu atau dipalsu menurut ayat (1) belum
digunakan, sementara ayat (2) surat sudah digunakan. Oleh karena menurut ayat
(2) surat sudah digunakan, maka hal kerugian menurut Ayat (2) harus jelas dan
pasti perihal pihak mana yang dirugikan dan kerugian berupa apa yang akan
didertia oleh orang/pihak tertentu tersebut. Ada 2 pihak yang dapat menderita
kerugian, ialah: (1) Pihak/orang yang namanya disebutkan di dalam surat palsu
tersebut, atau (2) Pihak/orang – siapa surat itu pada kenyataaannya digunakan.
Namun harus jelas bahwa perkiraan kerugian ini adalah akibat langsung dari
penggunaannnya. Artinya tanpa menggunakan surat palsu/dipalsu, kerugian itu
tidak mungkin terjadi.
No comments:
Post a Comment