Pada masa
kolonial, narkoba telah menjadi alat politik penjajah yang lebih dikenal dengan
“politik candu”. Politik semacam ini dilakukan dengan cara mendatangkan candu
dari negara penjajah kemudian didistribusikan ke masyarakat pribumi sehingga
tanpa sadar mereka telah menggadaikan, bahkan memberikan harta miliknya. Selain
untuk meninabobokan masyarakat pribumi, politik candu juga digunakan untuk
meredam perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat pribumi. Kesemuanya itu
bertujuan untyuk mempermudah menguasai tanah jajahan.
Kita juga
punya sejarah pahit tentang politik candu ini. Pada masa penjajahan Belanda,
penjajah mempergunakan politik candu untuk melunakan rakyat sekaligus untuk
meredam perlawanan yang dilakukan oleh petinggi (bangsawan) masyarakat pribumi
waktu itu. Politik candu ini baru dihentikan setelah pihak penjajah melihat
bahwa masyarakat pribumi sudah tidak produktif lagi padahal mereka memanfaatkan
keproduktifan masyarakat pribumi untuk kemakmuran negaranya. Kisa lebih lengkap
tentang politik candu di negara kita dapat dibaca dalam buku Opium of Jawa.
Politik
candu yang banyak diketahui oleh masyarakat internasional adalah politik candu
Inggris di daratan Cina. Politik candu di Cina mengemuka karena masyarakat
pribumi melakukan perlawanan sehingga menimbulkan perang yang biasa disebut
“perang candu”.
Demikianlah
pengaruh narkoba dalam penguasaan/penjajahan kehidupan suatu bangsa dan kita
telah merasakan keterkungkungan selama lebih dari tiga setengah abad akibat
penguasaan/penjajahan tersebut.
Saat ini,
permasalahan narkoba kembali menggejala. Generasi muda telah banyak yang mengkonsumsi.
Memang kita tak perlu takut akan terjajah lagi karena pengaruh narkoba ini.
Walau demikian, narkoba tetap merupakan ancama karena “obat” ini dapat
menurunkan mentalitas si pemakai. Penurunan mentalitas akan berdampak ke
menurunnya produktifitas yang akhirnya berdampak pada manusia hanya sekadar
bernama manusia lagi tanpa mampu melakukan funfasi kemanusiaasnnya lagi. Selain
itu, masih banyak lagi perilaku yang menimbulkan kekacauan akibar nerkoba. Bisa
kita bayangkan kondisi negara kita jika separuh penduduk mengkonsumsi narkoba.
Apalagi jika generasi sekarang sudah dibawah pengaruh narkoba, apa yang akan
terjadi dengan negara kita di masa depan. Bagaimanapun, generasi sekarang
merupakan pemilik negara di masa yang akan datang dan perilaku mereka sekarang
merupakan cerminan kondisi negara di masa depan.
Memang bukan
penjajahan yang kita takutkan saat ini. Lebih dari itu, yang kita cemaskan
adalah hancurnya bangsa karena rusaknya generasi. Dan kecemasan ini nampaknya
sudah mulai terbukti. Di Jakarta, sekitat 15% dari 1.029 SMU yang ada ternyata
menjadi ajang penyalahgunaan narkoba, sementara dari 217.130 siswa, 1.115
diantaranya menjadi pengguna (Kompas 4/2/2000). Dan penggunaan narkoba tersebut
telah menelan korban. Belum lama ini, kita juga dihebohkan dengan meninggalnya
seorang pelajar karena over dosis putau dalam pesta sabu-sabu (SS) yang
akhirnya menyeret sekelompok anak-anak yang ikut dalam pesta tersebut (Jawa
Pos, 8 Juni 2001). Bahkan ada anak yang menjadi pengedar narkoba. Baru-baru
ini, seorang anak berinisial AS (15 tahun) yang baru duduk di kelas IIII SMP
tertangkap saat akan melakukan transaksi sabu-sabu. Dari tangannya didapatkan
barang bukti sebanyak 3 gram sabu-sabu (Jawa Pos 6-6).
Hal ini
sungguh memprihatinkan kita. Karena itu diperlukan jari-jari hukum untuk
mencegah agar kecemasan berupa hancurnya bangsa karena rusaknya generasi muda
tidak terjadi.
Lemahnya
Penegakan Hukum
Produk hukum
kita sebenarnya telah mengakomodir permasalahan narkoba ini sejak masa
pemerintahan Soeharto. Undang-undang tentang narkoba pertama kali diatur dalam
UU No.9 tahun 1976 dan kemudian diganti dengan UU No.22 tahun 1997. Di dalam UU
No.22 tahun 1997, terdapat nuansa yang lebih memperhatikan keadilan untuk anak
di mana perbuatan anak yang mengkonsumsi atau memperdagangkan narkoba tidak
dipandang semata-mata berdiri sendiri, artinya karena kesalahan anak sendiri
melainkan lebih karena berbagai faktor di luar diri anak. Pengikutsertaan pihak
lain dalam suatu kesalahan yang dilakukan anak merupakan keharusan karena
secara hukum anak digolongkan belum cakap (pasal 1330 KUHPerdata) sehingga
tidak mungkin bisa melakukan transaksi yang membuat dia terseret dalam
pengonsumsian maupun perdagangan narkoba. Selain itu, secara psikologi anak
masih rawan sehingga mudah dihasut, termasuk dalam mengonsumsi dan
memperdagangkan narkoba.
Di UU No.22
tahun 1977 juga ditekankan keharusan bagi orangtua/wali untuk mengawasi anak
secara intensif. Di dalam pasal 46 ayat 1 disebutkan bahwa orang tua atau
wali dari pecandu narkotika yang belum cukup umur wajib melaporkan kepada
pejbat yang ditunjuk oleh pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan.atau
perawatan. Bahkan, orang tua atau wali dapat dikenai pidana paling lama 6
tahun dan denda paling banyak satu juta rupiah jika dia tidak melakukan
pengawasan atau tidak melaporkan anak yang kecanduan narkoba (pasal 86 ayat 2).
Sedangkan bagi mereka yang menyuruh, memberi atau menjanjikan sesuatu,
memberikan kesempatan, menganjurkan, memberikan kemudahan, memaksa, memaksa
dengan ancaman, memaksa dengan kekerasan, melakukan tipu muslihat atau membujuk
anak yang belum cukup umur untuk melakukan tindak p[idana mengonsumsi atau
menyebarkan narkoba di pidana penjara seumur hidup atau pidana paling singkat 5
(lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit dua
puluh juta rupiah dan paling banyak enam ratus juta rupiah.
UU No.22
tahun 1997 sebenarnya jika dijalankan dengan efektif sudah mampu memberi rasa
keadilan pada anak serta dapat mengeliminir tindak pidana narkoba yang dilakukan
anak. Namun sampai sekarang pelaksanaan UU ini belum efektif. Tindakan hukum
terhadap pelaku tindak pidana narkoba baru menyentu pada mereka yang berstatus
pemakai maupun pengedar tingkat keempat dan selanjutnya. Sementara mereka yang
menjadi produsem maupun pengedar tingkat ketiga keatas belum tersentuh.
Penanganan
kasus narkoba yang tidak menyeluruh ini membuat masalah tersendiri. Terkait
dengan penanganan anak yang terlibat narkoba, entah pemakai atau pengedar,
penanganan yang tidak menyeluruh ini tidak akan membawa perbaikan. Biasanya
anak yang sudah memutuskan keterkaitan dengan narkoba akan kembali karena
mengalami intimidasi dari jaringan pengedar narkoba yang sudah seperti mafia.
Karena itu, penanganan yang menyeluruh sangat mendesak diterapkan.
Penutup
Al-Ghazali
mengatakan, “corak pemuda sekarang adalah gambaran masyarakat yang akan
datang”, karena itu penanganan terhadap berbagai permasalahan yang merusak
generasi muda yang cikal bakalnya adalah anak harus menjadi program yang
mendesak bagi bangsa kita. Salah satunya dengan menegakan hukum secara
menyeluruh.
Akhirnya,
semoga tulisan ini dapat menjadi bahan renungan hari anti narkoba.
No comments:
Post a Comment