4/17/12

Anak dan Narkoba

Pada masa kolonial, narkoba telah menjadi alat politik penjajah yang lebih dikenal dengan “politik candu”. Politik semacam ini dilakukan dengan cara mendatangkan candu dari negara penjajah kemudian didistribusikan ke masyarakat pribumi sehingga tanpa sadar mereka telah menggadaikan, bahkan memberikan harta miliknya. Selain untuk meninabobokan masyarakat pribumi, politik candu juga digunakan untuk meredam perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat pribumi. Kesemuanya itu bertujuan untyuk mempermudah menguasai tanah jajahan.

Kita juga punya sejarah pahit tentang politik candu ini. Pada masa penjajahan Belanda, penjajah mempergunakan politik candu untuk melunakan rakyat sekaligus untuk meredam perlawanan yang dilakukan oleh petinggi (bangsawan) masyarakat pribumi waktu itu. Politik candu ini baru dihentikan setelah pihak penjajah melihat bahwa masyarakat pribumi sudah tidak produktif lagi padahal mereka memanfaatkan keproduktifan masyarakat pribumi untuk kemakmuran negaranya. Kisa lebih lengkap tentang politik candu di negara kita dapat dibaca dalam buku Opium of Jawa.
Politik candu yang banyak diketahui oleh masyarakat internasional adalah politik candu Inggris di daratan Cina. Politik candu di Cina mengemuka karena masyarakat pribumi melakukan perlawanan sehingga menimbulkan perang yang biasa disebut “perang candu”.
Demikianlah pengaruh narkoba dalam penguasaan/penjajahan kehidupan suatu bangsa dan kita telah merasakan keterkungkungan selama lebih dari tiga setengah abad akibat penguasaan/penjajahan tersebut.
Saat ini, permasalahan narkoba kembali menggejala. Generasi muda telah banyak yang mengkonsumsi. Memang kita tak perlu takut akan terjajah lagi karena pengaruh narkoba ini. Walau demikian, narkoba tetap merupakan ancama karena “obat” ini dapat menurunkan mentalitas si pemakai. Penurunan mentalitas akan berdampak ke menurunnya produktifitas yang akhirnya berdampak pada manusia hanya sekadar bernama manusia lagi tanpa mampu melakukan funfasi kemanusiaasnnya lagi. Selain itu, masih banyak lagi perilaku yang menimbulkan kekacauan akibar nerkoba. Bisa kita bayangkan kondisi negara kita jika separuh penduduk mengkonsumsi narkoba. Apalagi jika generasi sekarang sudah dibawah pengaruh narkoba, apa yang akan terjadi dengan negara kita di masa depan. Bagaimanapun, generasi sekarang merupakan pemilik negara di masa yang akan datang dan perilaku mereka sekarang merupakan cerminan kondisi negara di masa depan.
Memang bukan penjajahan yang kita takutkan saat ini. Lebih dari itu, yang kita cemaskan adalah hancurnya bangsa karena rusaknya generasi. Dan kecemasan ini nampaknya sudah mulai terbukti. Di Jakarta, sekitat 15% dari 1.029 SMU yang ada ternyata menjadi ajang penyalahgunaan narkoba, sementara dari 217.130 siswa, 1.115 diantaranya menjadi pengguna (Kompas 4/2/2000). Dan penggunaan narkoba tersebut telah menelan korban. Belum lama ini, kita juga dihebohkan dengan meninggalnya seorang pelajar karena over dosis putau dalam pesta sabu-sabu (SS) yang akhirnya menyeret sekelompok anak-anak yang ikut dalam pesta tersebut (Jawa Pos, 8 Juni 2001). Bahkan ada anak yang menjadi pengedar narkoba. Baru-baru ini, seorang anak berinisial AS (15 tahun) yang baru duduk di kelas IIII SMP tertangkap saat akan melakukan transaksi sabu-sabu. Dari tangannya didapatkan barang bukti sebanyak 3 gram sabu-sabu (Jawa Pos 6-6).
Hal ini sungguh memprihatinkan kita. Karena itu diperlukan jari-jari hukum untuk mencegah agar kecemasan berupa hancurnya bangsa karena rusaknya generasi muda tidak terjadi.
Lemahnya Penegakan Hukum
Produk hukum kita sebenarnya telah mengakomodir permasalahan narkoba ini sejak masa pemerintahan Soeharto. Undang-undang tentang narkoba pertama kali diatur dalam UU No.9 tahun 1976 dan kemudian diganti dengan UU No.22 tahun 1997. Di dalam UU No.22 tahun 1997, terdapat nuansa yang lebih memperhatikan keadilan untuk anak di mana perbuatan anak yang mengkonsumsi atau memperdagangkan narkoba tidak dipandang semata-mata berdiri sendiri, artinya karena kesalahan anak sendiri melainkan lebih karena berbagai faktor di luar diri anak. Pengikutsertaan pihak lain dalam suatu kesalahan yang dilakukan anak merupakan keharusan karena secara hukum anak digolongkan belum cakap (pasal 1330 KUHPerdata) sehingga tidak mungkin bisa melakukan transaksi yang membuat dia terseret dalam pengonsumsian maupun perdagangan narkoba. Selain itu, secara psikologi anak masih rawan sehingga mudah dihasut, termasuk dalam mengonsumsi dan memperdagangkan narkoba.
Di UU No.22 tahun 1977 juga ditekankan keharusan bagi orangtua/wali untuk mengawasi anak secara intensif. Di dalam pasal 46 ayat 1 disebutkan bahwa orang tua atau wali dari pecandu narkotika yang belum cukup umur wajib melaporkan kepada pejbat yang ditunjuk oleh pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan.atau perawatan. Bahkan, orang tua atau wali dapat dikenai pidana paling lama 6 tahun dan denda paling banyak satu juta rupiah jika dia tidak melakukan pengawasan atau tidak melaporkan anak yang kecanduan narkoba (pasal 86 ayat 2). Sedangkan bagi mereka yang menyuruh, memberi atau menjanjikan sesuatu, memberikan kesempatan, menganjurkan, memberikan kemudahan, memaksa, memaksa dengan ancaman, memaksa dengan kekerasan, melakukan tipu muslihat atau membujuk anak yang belum cukup umur untuk melakukan tindak p[idana mengonsumsi atau menyebarkan narkoba di pidana penjara seumur hidup atau pidana paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit dua puluh juta rupiah dan paling banyak enam ratus juta rupiah.
UU No.22 tahun 1997 sebenarnya jika dijalankan dengan efektif sudah mampu memberi rasa keadilan pada anak serta dapat mengeliminir tindak pidana narkoba yang dilakukan anak. Namun sampai sekarang pelaksanaan UU ini belum efektif. Tindakan hukum terhadap pelaku tindak pidana narkoba baru menyentu pada mereka yang berstatus pemakai maupun pengedar tingkat keempat dan selanjutnya. Sementara mereka yang menjadi produsem maupun pengedar tingkat ketiga keatas belum tersentuh.
Penanganan kasus narkoba yang tidak menyeluruh ini membuat masalah tersendiri. Terkait dengan penanganan anak yang terlibat narkoba, entah pemakai atau pengedar, penanganan yang tidak menyeluruh ini tidak akan membawa perbaikan. Biasanya anak yang sudah memutuskan keterkaitan dengan narkoba akan kembali karena mengalami intimidasi dari jaringan pengedar narkoba yang sudah seperti mafia. Karena itu, penanganan yang menyeluruh sangat mendesak diterapkan.
Penutup
Al-Ghazali mengatakan, “corak pemuda sekarang adalah gambaran masyarakat yang akan datang”, karena itu penanganan terhadap berbagai permasalahan yang merusak generasi muda yang cikal bakalnya adalah anak harus menjadi program yang mendesak bagi bangsa kita. Salah satunya dengan menegakan hukum secara menyeluruh.
Akhirnya, semoga tulisan ini dapat menjadi bahan renungan hari anti narkoba.

No comments:

Post a Comment

PENERAPAN ILMU FORENSIK DALAM HUKUM PIDANA

Terbentuknya keyakinan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana didasarkan pada hasil pemeriksaan alat-alat bukti yang dikemukakan pada pros...