1/17/10

ANALISA KELAYAKAN INVESTASI USAHA MIKRO KECIL DAN MENENGAH (UMKM) (Studi Kasus Pada CV. Bersaudara Jaya)

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perekonomian merupakan sektor yang sangat penting dan menjadi salah satu
fokus pemerintah dalam membuat berbagai kebijakan untuk mencapai kesejahteraan.
Sedemikian pentingnya sektor perekonomian ini sehingga dalam setiap pembuatan
kebijakan harus mempertimbangkan segala aspek yang mungkin dapat
mempengaruhinya baik yang bersifat positif maupun yang bersifat negatif (Saleh,
1986:1).
Menurut Rustian Kamaluddin (1999:159), pembangunan pada hakekatnya adalah
proses perubahan yang terus menerus yang menuju kearah perbaikan cita-cita yang
ingin dicapai oleh suatu bangsa, atau pembangunan ekonomi suatu bangsa ditujukan
untuk meningkatkan kesejahteraan hidup rakyat. Dalam membangun bangsa dan
negara di berbagai bidang tersebut peranan pemerintah adalah sangat penting sekali,
yaitu diantaranya melalui perencanaan pembangunan. Bagi Indonesia melalui
pembangunan, ingin dicapai masyarakat adil dan makmur yang merata materill dan
spiritual. Dengan perkataan lain, yang ingin dicapai oleh bangsa Indonesia adalah
adanya keseimbangan pembangunan dalam arti fisik (materill) dan pembangunan
dalam arti rohaniah (mental/spiritual). Tujuan pembangunan ini tidaklah akan dicapai
dalam waktu satu atau dua tahun saja, melainkan memerlukan waktu yang cukup
panjang, yang akan ditempuh melalui serangkaian tahap-tahap.

Sejak awal dasawarsa tujuhpuluhan secara tajam mulai disadari, bahwa meskipun
mengalami tingkat pertumbuhan ekonomi yang pesat, namun kebanyakan negara
berkembang belumlah berhasil menyediakan lapangan pekerjaan yang layak bagi
angkatan kerja pada umumnya, baik ditinjau dari segi tingkat pendapatan, ataupun
dari kesesuaian pekerjaan terhadap keahlian. Harapan bahwa pertumbuhan yang pesat
dari sektor industri modern akan dapat menyelesaikan masalah kemiskinan dan
pengangguran secara tuntas ternyata masih berada pada rentang perjalanan yang
panjang. Bertolak dari kenyataan inilah maka eksistensi Usaha Mikro Kecil
Menengah (UMKM), telah mengambil tempat penting dalam masalah kesempatan
kerja dan ketenagakerjaan di negara-negara berkembang (Saleh, 1986:1).
Krisis ekonomi membuka cakrawala bangsa Indonesia tentang rapuhnya sistem
ekonomi yang dibangun hanya dengan segelintir konglomerasi. Sebelum terjadi krisis
di era Orde Baru, ekonomi Indonesia dikuasai oleh 0,1% perusahaan besar yang
hanya menyerap 2% dari angkatan kerja. Sedangkan Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah (UMKM) yang mampu menampung 95% angkatan kerja, yakni tak kurang
110 juta orang, ternyata hanya menguasai sedikit sumber daya (Sumodiningrat,
2005:33).
Fokus perekonomian Indonesia pra krisis yang lebih menitikberatkan
“konglomerasi usaha” terbukti telah menyeret perekonomian kita ke jurang krisis
yang semakin dalam. Demikian pula pada saat Indonesia mengalami puncak krisis
moneter pada tahun 1997, yang menyelamatkan perekonomian adalah kontribusi dari
Small Medium Enterpries (Usaha Mikro Kecil Menengah, selanjutnya disingkat
UMKM). UMKM terbukti kebal terhadap krisis ekonomi dan menjadi katup
pengaman bagi dampak krisis, seperti pengangguran dan pemutusan hubungan kerja
(Sumodiningrat, 2005:33). UMKM merupakan salah satu sektor informal yang cukup banyak mengatasi
masalah pengangguran. Bahkan lewat sektor ini diharapkan 10 juta pengangguran
akan terkurangi. Badan Pusat Statistik (2003) menyebutkan bahwa jumlah UKM
tercatat 42,3 juta atau 99,90 % dari total jumlah unit usaha.UKM menyerap tenaga
kerja sebanyak 79 juta atau 99,40 % dari total angkatan kerja.Kontribusi UKM dalam
pembentukan PDB sebesar 56,70 %. Kemudian sumbangan UKM terhadap
penerimaan devisa negara melalui kegiatan ekspor sebesar Rp 75,80 triliun atau 19,90
% dari total nilai ekspor. Sampai saat ini perekonomian Indonesia mayoritas ditopang
oleh sektor ini. Setidaknya, sektor usaha mikro, kecil, dan menengah tersebut mampu
menyerap sekitar 70 % tenaga kerja informal. Sisanya, 30 % bergerak di bidang
formal. UMKM juga telah menyumbang produk ekspor sampai 16 %. Sehingga,
sektor usaha ini perlu dibina dan diberdayakan, karena merupakan penggerak
perekonomian dan pengembang ekonomi kerakyatan. Potensi itu terlihat tahun 2003,
UMKM telah menyerap sebanyak 42,4 juta unit usaha dan 79 juta tenaga kerja
dengan 56,7 % dari PDB nasional. Sampai awal tahun 2005, jumlah angkatan kerja
adalah sebanyak 105,8 juta orang atau naik sekitar 1,8 juta dibandingkan dengan
tahun 2004. Namun, lapangan kerja baru yang tercipta hanya sebesar 1,2 juta. Dari
jumlah tersebut, hanya sekitar 200 ribu tenaga kerja baru yang diserap oleh kegiatan
ekonomi formal, sementara sisanya yang sebesar 1 juta tenaga kerja diserap oleh
kegiatan ekonomi informal. Pekerja pada kegiatan ekonomi informal mengalami
kenaikan dari sebesar 65,3 juta orang atau 62,8% dari seluruh angkatan kerja pada
tahun 2004 menjadi 62,7% atau 66,3 juta orang pada tahun 2005. Sebagian besar
pekerja Indonesia bekerja di kegiatan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM)
yang menyerap sebanyak lebih dari 99,5% dari jumlah tenaga kerja, dengan tingkat
produktivitas tenaga kerja yang jauh lebih rendah dibanding produktivitas usaha
besar. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sebanyak 77,68 juta orang
tenaga kerja terserap oleh UMKM atau 96,77 persen dari total tenaga kerja nasional.
Selama periode 2004 hingga 2006, koperasi mengalami peningkatan sebesar 5,88
persen dari 130.730 unit pada 2004 menjadi 138.411 unit pada 2006. Pertumbuhan ini
dilihat dari beberapa indikator seperti jumlah koperasi, jumlah anggota, penyerapan
tenaga kerja, permodalan, volume usaha, dan nilai sisa hasil usaha (SHU). Sementara
usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) tercatat hampir 45 juta unit atau 99,9
persen dari pelaku usaha nasional. Sebanyak 45 juta unit UMKM tersebut, 44,3 juta
unit merupakan usaha mikro dan kecil serta sebanyak 700.000 unit dari usaha
menengah Untuk mencapai sasaran di tahun 2007, kebijakan umum pemberdayaan
koperasi dan UMKM diarahkan terutama untuk mendukung pelaksanaan prioritas
pembangunan yaitu: (1) peningkatan kesempatan kerja, investasi, dan ekspor; dan (2)
upaya penanggulangan kemiskinan. Dalam rangka upaya peningkatan kesempatan
kerja dan peningkatan ekspor. Kebijakan pemberdayaan koperasi dan UMKM
difokuskan kepada peningkatan produktivitas dan akses UKM kepada sumberdaya
produktif (Anonim, 2006).
Masalah klasik dalam pembahasan sektor UMKM selama ini yaitu tertuju pada
persoalan Permodalan dan Pasar. Kedua faktor tersebut selama ini menjadi keluhan
bagi UMKM dalam berinvestasi. Saat ini Perhatian pemerintah terhadap UMKM
sangat gencar dilakukan. Demikian besar perhatian pemerintah pada faktor
permodalan dan pasar, kemudian mendorong pemerintah melalui Kementrian
Koperasi dan Usaha Kecil Menengah berupaya semaksimal mungkin untuk
meningkatkan sumber-sumber pendanaan bagi pengusaha skala mikro, kecil, menengah, dan koperasi dan membuat kebijakan untuk mempermudah pengusaha
UMKM dalam mengakses pasar. Permodalan bagi UMKM erat kaitannya dengan
perputaran uang untuk berkembang dengan baik pada hari-hari berikutnya. Modal dan
pasar merupakan dua faktor yang memiliki hubungan sangat erat (Anonim, 2006).
Dalam perkembangannya hadirnya pasar swalayan dan supermarket, merupakan
dampak positif bagi UMKM, yaitu kemudahan dalam mengakses pasar. Dalam
wadah tersebut tidak perlu di cemaskan lagi mengenai hubungannya dengan
konsumen, karena pasar sudah tersedia. Namun dilain sisi dengan adanya kepastian
adanya pasar tersebut, terdapat kelemahan yaitu perputaran modal. Pihak penyedia
pasar mengambil kebijakan untuk tidak mencairkan secara langsung kepada UMKM
atas barang yang terjual. Investor jasa ini juga ingin mengambil keuntungan dalam
kegiatan ini. Dengan dana tunai yang tertampung, maka bisa digunakan untuk
memutar uang untuk berinvestasi, selain itu juga mendapat profit dari sistem bagi
hasil antar kedua elemen. Dalam hal ini bisa dikatakan bahwa UMKM menjual secara
kredit kepada konsumen. Uang tunai bisa dicairkan kepada UMKM setelah beberapa
hari sesuai dengan kebijakan setempat. Adanya waktu luang ini yang menjadi
permasalahan bagi UMKM yaitu perputaran uang untuk berproduksi kembali.
Di beberapa negara maju seperti Jepang, Korea, Italia, dan Negara-negara
anggota Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE), perhatian pemerintah terhadap
perkembangan UMKM sangat besar dan kemitraan terjalin karena adanya suatu
kebutuhan. Kemitraan itu timbul karena adanya tuntutan pasar, tanggung jawab
bersama, mengurangi pengangguran, tumbuhnya usaha mikro kecil dan menengah,
serta dalam rangka meningkatkan daya saing usaha nasionalnya. Dukungan terhadap
UMKM terbukti memperkokoh sistem perekonomian mereka. Hal itu dapat dilihat
dari sedikitnya pengaruh krisis ekonomi global terhadap pertumbuhan ekonomi kedua
negara. Besarnya manfaat dan efek berganda yang dihasilkan dari pemberdayaan
UMKM sesungguhnya dapat dilihat dari tertopangnya 68% sektor ekonomi nasional
semasa Orde baru. Sumbangan sektor UMKM juga dapat dilihat dari Produk
Domestik Bruto (PDB) yang dihasilkan antara tahun 1997 – 2001 berkisar 54,74% -
57,68%. Jadi lebih separuh dari Pendapatan negara disumbang oleh pengusaha kecil
dan menengah. Tidak diragukan lagi, keberpihakan pada pengembangan sektor
UMKM harus dijadikan acuan dalam memulihkan dan membangkitkan kembali
perekonomian nasional. Untuk itu perlu diperhatikan lima sumberdaya pokok yang
saling terkait dan harus dikelola secara integral, yaitu: sumberdaya material, manusia,
finansial, teknologi, dan informasi. Kelima faktor inilah yang menentukan
berkembang tidaknya sebuah usaha (Sumodiningrat, 2005:37).
Pengembangan sektor UMKM bertumpu pada mekanisme pasar yang sehat dan
adil. Langkah strategis yang perlu ditempuh demi keunggulan UMKM adalah sebagai
berikut : Pertama, sumberdaya lokal (local resources) harus dijadikan basis utama,
karena salah satu karakter UMKM adalah melakukan proses efisiensi dengan
mendekatkan sumber bahan baku. Kedua, pembentukan infrastruktur pendamping
yang dapat membantu pelaku UMKM menghadapi lembaga pembiayaan, mengadopsi
teknologi, dan mengakses pasar luas. Pusat inkubasi bisnis dapat dimulai masyarakat,
tapi harus didukung penuh pemerintah. Ketiga, hadirnya lembaga penjamin kredit
merupakan pilihan tepat, karena rendahnya aksesibilitas UMKM terhadap lembaga
pembiayaan berpangkal dari ketiadaan agunan. Keempat, penggunaan teknologi yang
berbasis pengetahuan lokal (indigenous knowledge) dilakukan pemerintah
bekerjasama dengan perguruan tinggi. Ketergantungan terhadap teknologi asing yang
berbiaya tinggi harus segera diakhiri. Terakhir, penyediaan informasi bagi pelaku
UMKM terkait dengan peluang pasar dan pemanfaatan teknologi. Kelima,
meningkatkan promosi produk dalam negeri di arena perdagangan lintas negara.
Pelaku UMKM yang terdiri dari kelompok pengrajin, pengusaha tekstil, pengolah
bahan pangan, pedagang eceran sampai asongan telah membuktikan diri sanggup
bertahan di masa krisis. Pemerintah patut berterima kasih, karena selama ini UMKM
tidak memberatkan beban anggaran negara. Jika ada UMKM yang terlibat kredit
macet, maka nilainya tak sebesar utang konglomerat yang telah merusak fundamental
ekonomi nasional. Karena itu, Indonesia harus bangkit dengan basis ekonomi yang
lebih mandiri (Sumodiningrat, 2005:37).
Suatu kegiatan usaha yang akan dilaksanakan tentunya akan memerlukan modal
sebagai faktor produksi dengan harapan mendapatkan manfaat berupa keuntungan
dikemudian hari yaitu setelah jangka waktu tertentu dimana usaha tersebut
dilaksanakan. Harapan tersebut tidak selalu menjadi kenyataan atau tidak selalu
berjalan lancar meskipun dilakukan dengan sungguh-sungguh dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Telah disadari pula bahwa modal dan faktor
produksi lainnya seperi sumber daya alam dalam bentuk tanah dan bahan baku
lainnya tidak selalu tersedia, namun sering dalam keadaan terbatas sehingga
penggunaannya harus secara hati-hati. Sehubungan dengan hal itu, maka sebelum
keputusan diambil untuk melaksanakan kegiatan usaha tersebut, terlebih dahulu harus
direncanakan dengan matang, kemudian diadakan perhitungan-perhitungan
pendahuluan yang didasarkan pada perbandingan (ratio) antara manfaat yang akan
diperoleh (benefit) dengan biaya yang akan atau harus dikeluarkan (costs) selama
usaha tersebut berlangsung (Anonim, 2003).
Pada umumnya usaha mikro, kecil dan sebagian besar sangat lemah dalam
bidang administrasi. Sementara usaha menengah lebih baik, mereka jarang
mendasarkan diri pada rencana yang sistematis karena mereka kurang mampu dalam
menuangkan pikiran-pikiran mereka dan juga belum sadar akan arti pentingnya
rencana. Dan juga para pengusaha pribumi jarang berpengalaman dalam tata cara
pengajuan dan mendapatkan kredit. Mengingat hal-hal tersebut di atas, beberapa
lembaga keuangan lainnya mempersyaratkan agar pemohon bantuan keuangan
melengkapi permohonannya dengan proposal rencana dan atau studi kelayakan oleh
konsultan yang tentunya memerlukan biaya dan belum tentu proposal yang diajukan
disetujui (Anonim, 2003).
Kegiatan perusahaan pada umumnya dimulai dan bermuara pada masalah
keuangan. Dengan kata lain kinerja bisnis tersebut akan tergambar pada kinerja
keuangan perusahaan. Manajemen keuangan bertujuan mengelola keuangan
perusahaan, agar tercapai “profit maksimum dan resiko minimum”. Agar dapat
mencapai profit maksimum dan resiko minimum tersebut, maka pengelolaan
keuangan perusahaan harus sudah dimulai pertama dari saat memilih usaha atau
memilih investasi yang paling menguntungkan dengan resiko minimum (memilih
investasi yang paling layak). Kegiatan berikutnya (kedua) adalah memilih sumber
dana yang akan digunakan untuk membiayai kegiatan investasi. Untuk ini perlu
dipilih sumber dana (equity, pinjaman, ventura, pasar modal, dan sebagainya) yang
paling mudah didapat, dengan biaya yang paling rendah. Kegiatan manajemen
keuangan yang ketiga adalah memilih struktur pendanaan (financial structure) yang
paling baik bagi usaha (investasi) perusahaan. Indikator yang digunakan adalah
struktur pendanaan yang paling rendah biaya modalnya. Kegiatan manajemen yang
keempat adalah menjaga kinerja keuangan perusahaan (Anonim, 2001).
Di negara-negara yang sedang membangun umumnya terdapat dua sumber dana
dalam rangka penanaman modal atau investasi, yaitu penanaman modal dalam negeri
(Capital inflow) dan penanaman modal luar negeri (Capital Outflow). Di Indonesia,
penanaman dalam negeri (Capital Inflow) bersumber dari tabungan dari tabungan
pemerintah dan tabungan masyarakat. Usaha-usaha yang biaya penanaman modalnya
bersumber dari dana pemerintah (tabungan pemerintah), dinamakan usaha pemerintah
atau usaha nasional, yang menitik beratkan pada manfaat (benefit) yang akan
diperoleh dari penanaman modal usaha tersebut untuk meningkatkan kesejahteraan
hidup rakyat banyak, dengan perkataan lain, menitik beratkan pada manfaat
ekonomisnya. Sedangkan usaha-usaha yang biaya penanaman modalnya bersumber
dari dana swasta (tabungan masyarakat) tujuannya adalah untuk memperoleh manfaat
semaksimal mungkin dalam arti keuntungan yang sebesar-besarnya atau usaha
tersebut menitik beratkan pada manfaat finansialnya. Demi terciptanya apa yang
diharapkan dari usaha itulah, sebelum diambil keputusan untuk melakukan
penanaman modal, terlebih dahulu harus dianalisa/dievaluasi dari segala aspek
melalui suatu studi kelayakan, yang pada umumnya meliputi analisa pasar, analisis
teknis, analisis finansial, dan analisis profitabilitas sosial. Dari uraian yang singkat
ini kiranya dapat dipahami betapa pentingnya peranan perencanaan dan
analisis/evaluasi terhadap suatu rencana investasi proyek serta sistem monitoring
terhadap pelaksanaannya, baik ditinjau dari segi rencana investasi proyek secara
mikro (dilihat dari rencana perorangan) maupun secara makro, dalam kaitannya
dengan keseluruhan kerangka pembangunan nasional (Anonim, 2003).
Berdasarkan dari latar belakang, maka perlu diadakan Penelitian mengenai :
“Analisa Kelayakan Investasi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM)” dengan
mengambil studi kasus di CV.Bersaudara Jaya.


No comments:

Post a Comment

PENERAPAN ILMU FORENSIK DALAM HUKUM PIDANA

Terbentuknya keyakinan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana didasarkan pada hasil pemeriksaan alat-alat bukti yang dikemukakan pada pros...