12/8/09

Penyesuaian Diri Pada Remaja

Sebagai makhluk sosial yang membutuhkan kehadiran orang lain, dibutuhkan adanya keselarasan diantara manusia itu sendiri. Agar hubungan interaksi berjalan baik diharapkan manusia mampu untuk beradaptasi atau menyesuaikan diri terhadap lingkungan fisik maupun lingkungan sosialnya, sehingga dapat menjadi bagian dari lingkungan tanpa menimbulkan masalah pada dirinya. Dengan kata lain berhasil atau tidaknya manusia dalam menyelaraskan diri dengan lingkungannya sangat tergantung dari kemampuan penyesuaian diri nya.

Penyesuaian dapat didefinisikan sebagai interaksi yang kontinyu antara diri individu sendiri, dengan orang lain dan dengan dunia luar. Ketiga faktor ini secara konstan mempengaruhi individu dan hubungan tersebut bersifat timbal balik (Calhoun dan Acocella,1976). Dari diri sendiri yaitu jumlah keseluruhan dari apa yang telah ada pada diri individu, tubuh, perilaku dan pemikiran serta perasaan. Orang lain yaitu orang-orang disekitar individu yang mempunyai pengaruh besar dalam kehidupan individu. Dunia luar yaitu penglihatan dan penciuman serta suara yang mengelilingi individu.
Proses penyesuaian diri pada manusia tidaklah mudah. Hal ini karena didalam kehidupannya manusia terus dihadapkan pada pola-pola kehidupan baru dan harapan-harapan sosial baru. Periode penyesuaian diri ini merupakan suatu periode khusus dan sulit dari rentang hidup manusia. Manusia diharapkan mampu memainkan peran-peran sosial baru, mengembangkan sikap-sikap sosial baru dan nilai-nilai baru sesuai dengan tugas-tugas baru yang dihadapi (Hurlock,1980).
Disebutkan juga oleh Hurlock (1980) bahwa seperti halnya proses penyesuaian diri yang sulit yang dihadapi manusia secara umum, para remaja juga mengalami proses penyesuaian diri dimana proses penyesuaian diri pada remaja ini merupakan suatu peralihan dari satu tahap perkembangan ketahap berikutnya. Dalam periode peralihan ini terdapat keraguan akan peran yang akan dilakukan, namun pada periode ini juga memberikan waktu kepada remaja untuk mencoba gaya baru yang berbeda, menentukan pola perilaku, nilai dan sifat yang paling sesuai dengan dirinya. Dengan kata lain hal ini merupakan proses pencarian identitas diri yang dilakukan oleh para remaja.
Untuk menjadikan remaja mampu berperan serta dan melaksanakan tugasnya, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat tidaklah mudah, karena masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Pada masa ini dalam diri remaja terjadi pertumbuhan dan perkembangan yang pesat pada fisik, psikis, maupun sosial. Salah satu tugas perkembangan masa remaja yang tersulit adalah yang berhubungan dengan penyesuaian sosial. Remaja harus menyesuaikan diri dengan lawan jenis dalam berhubungan yang belum pernah ada dan harus menyesuaikan dengan orang dewasa diluar lingkungan keluarga. Untuk mencapai tujuan dari pola sosialisasi dewasa, remaja harus banyak penyesuaian baru.
Agar penyesuaian diri yang dilakukan terhadap lingkungan sosial berhasil (well adjusted), maka remaja harus menyelaraskan antara tuntutan yang berasal dari dalam dirinya dengan tuntutan-tuntutan yang diharapkan oleh lingkungannya, sehingga remaja mendapatkan kepuasan dan memiliki kepribadian yang sehat. Misalnya sebagian besar remaja mengetahui bahwa para remaja tersebut memakai model pakaian yang sama denga pakaian anggota kelompok yang populer, maka kesempatan untuk diterima oleh kelompok menjadi lebih besar. Untuk itu remaja harus mengetahui lebih banyak informasi yang tepat tentang diri dan lingkungannya.
Seksualitas
Drever (dalam Jersild, 1978), menyatakan seks suatu perbedaan yang mendasar berhubungan dengan reproduksi, dalam satu jenis yang mambagi jenis ini menjadi dua bagian yaitu jantan dan betina yang mana sesuai dengan sperma (jantan) dan sel telur (betina) yang diproduksi. Schuster dan Ashburn (1980) menyatakan bahwa pengertian yang mendekati adalah berkaitan dengan konsep seksualitas yang melibatkan karakteristik dan perilaku merupakan perilaku seksual dengan kecenderungan pada interaksi heteroseksual. Seksualitas melibatkan secara total dari sikap-sikap, nilai-nilai, tujuan-tujuan dan perilaku individu yang didasari atau ditentukan persepsi jenis kelaminnya. Hal ini menunjukkan bahwa konsep seksualitas seseorang atau individu dipengaruhi oleh banyak aspek dalam kehidupan, termasuk didalamnya prioritas, aspirasi, pilihan kontak sosial, hubungan interpersonal, self evaluation, ekspresi emosi, perasaan, karir dan persahabatan.
Perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat, baik dengan lawan jenis maupun dengan sesama jenis. Menurut Johan (1993), ada beberapa tipe hubungan seksual yang dapat terjadi antara dua orang yang bersahabat yaitu :
(a). Tipe hubungan seks yang dapat terjadi antara seorang pria dengan pria lain (homoseksual); (b). Tipe hubungan seks yang dapat terjadi antara seorang wanita dengan wanita lain (lesbian); (c). Tipe hubungan seks seorang pria dengan seorang wanita.
Menurut Reuben (Wirawan, 1981) seks mempunyai fungsi :
(a). Seks untuk tujuan reproduksi, yaitu untuk memperoleh keturunan, oleh kerena itu sebagian orang beranggapan bahwa seks adalah sesuatu yang suci, sesuatu yang tabu dan tidak patut dibicarakan secara terbuka; (b). Seks untuk pernyataan cinta, yaitu seks yang dilakukan berlandaskan cinta dan didukung oleh ikatan cinta; (c). Seks untuk kesenangan yaitu hubungan seks dengan menghayati hubungan yang lama dan mampu mengalami kenikmatan tanpa merugikan salah satu pihak.
Hubungan seksual adalah suatu keadaan fisiologik yang menimbulkan kepuasan fisik, dimana keadaan ini merupakan respon dari bentuk perilaku seksual yang berupa ciuman, pelukan, dan percumbuan (Jersild, 1978). Miller (1990) berpendapat bahwa terdapat empat tingkatan hubungan fisik dalam bercumbuan, dimana hal ini merupakan rencana alamiah untuk meningkatkan gairah seksual bagi persiapan hubungan seksual yaitu : berpegangan tangan, saling memeluk (tangan di luar baju), berciuman, saling membelai atau meraba (dengan tangan di dalam baju yang lain).
Perilaku seksual merupakan segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat baik dengan lawan jenis maupun sesama jenis, bentuk tingkah laku ini bermacam-macam mulai dari perasaan tertarik sampai tingkah laku kencan, bercumbu dan bersenggama. Objek seksualnya bisa berupa orang lain, orang dalam khayalan, atau diri sendiri (Wirawan, 1997).

No comments:

Post a Comment

PENERAPAN ILMU FORENSIK DALAM HUKUM PIDANA

Terbentuknya keyakinan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana didasarkan pada hasil pemeriksaan alat-alat bukti yang dikemukakan pada pros...