9/8/09

Krisis Media Dalam Perspektif Konvergensi Telematika: Wacana Media untuk Penyempurnaan UU Pers

A. Pendahuluan

Mungkin akan timbul suatu pertanyaan kenapa kita perlu memperhatikan penyempurnaan UU Pers dari sudut pandang hukum telematika, karena terkesan hukum telematika hanya akan lebih banyak mengkaji keberadaan segala aspek hukum yang terkait dengan perkembangan teknologi telekomunikasi dan informatika. Tambahan lagi telah banyak pihak yang sudah terlanjur berkonotasi bahwa lingkup pembicaraan hukum telematika adalah identik dengan istilah ”cyber law” hukum yang terkait dengan keberadaan dunia maya ataupun internet. Hal ini tidaklah sepenuhnya benar, karena jika kita cermati lebih dalam justru karena hasil dari perkembangan konvergensi telekomunikasi dan informatika itu sendiri maka belakangan semua orang baru menyadari bahwa telah terlahir suatu media baru yang bersifat multimedia (teks, suara, gambar/grafis, dan film) yang pada akhirnya menjadi pembelajaran bagi kita semua untuk merenungkan kembali konsepsi hukum tentang informasi dan komunikasi sebagai akar dasar semua perkembangan itu tanpa harus terkunci kepada pembedaan karaktersitik setiap media
baik cetak maupun elektronik. Keberadaan jaringan computer global sebagai Jalan Raya Informasi (information superhighway) telah memudarkan garis batas antara media tradisional dengan media komunikasi modern. Hal ini akan sangat baik baik
disiplin ilmu hukum itu sendiri agar sistematikanya menjadi lebih tertib dan konsisten dalam memetakan ketentuan-ketentuan hukum media. Ada benang merah yang saling terhubung dengan semua media itu, yakni hukum terhadap informasi dan
komunikasi itu sendiri. Bahkan, mungkin saja di belakang hari semua benang merah tersebut dapat dirajut menjadi satu kodifikasi hukum media yang mampu mengakomodir semua karakteristik media yang ada. Oleh karena itu, tulisan ini diharapkan dapat melengkapi perspektif hukum yang selama ini telah berkembang dibenak masyarakat.

B. Konsepsi Umum dan Analisa Kritis Media

Sebagai langkah pertama, kita perlu mengkaji kembali istilah Media itu sendiri dan melihat padanannya dengan Pers.
Tampaknya sudah menjadi istilah umum bahwa insan pers sering mengidentikan dirinya sebagai Media, sementara istilah Pers
itu sendiri sepertinya tidak sebangun atau sepadan dengan istilah Media. Pers mungkin salah satu bagian dari Media tapi Media
itu sendiri tidak identik dengan Pers, karena Pers akan berkonotasi kepada aktivitas jurnalistik sementara media adalah wujud
penyelenggaraannya sebagai alat sistem komunikasi untuk mendiseminasikan informasi kepada publik.

Dilihat dari asal usul katanya, Media adalah bentuk jamak dari Medium yang berasal dari bahasa latin yang artinya adalah
sesuatu yang berada ditengah-tengah dan/atau sesuatu yang bersifat netral [Webster Dictionary]. Media juga berarti suatu alat
penghantar berkomunikasi. Penekanan dari kata Media disini adalah keberadaan obyek, jadi pendekatannya haruslah obyektif
bukan subyektif. Sebagai suatu alat maka obyek tentunya tidak akan dapat bertanggung jawab atau dimintakan pertanggung
jawabannya sendiri sehingga yang dapat dimintakan pertanggung jawabannya adalah pihak-pihak yang menyelenggarakan
media itu sendiri. Penyelenggara harus menjaga sifat netralitasnya dan mempertanggung jawabkan efek dari komunikasi itu
kepada publik baik terhadap kepentingan personal maupun komunal atau bahkan kepada norma masyarakat itu sendiri.

Berbicara tentang Pers, umumnya para pakar komunikasi masa akan merujuk kepada prinsip dasar Hak Azasi Manusia untuk
memperoleh informasi dari semua saluran komunikasi yang tersedia dan kemerdekaan mengemukakan pendapat di depan
umum. Ada dua hal yang perlu dicatat disini yakni, kebebasan berekspresi itu sendiri dan tindakan mengumumkannya kepada
publik. Sebagai pembandingnya, banyak orang yang merujuk kepada First Amendment dalam konstitusi AS dimana Congress
tidak boleh membuat hukum untuk menghalangi pelaksanaan hak itu.

Amendment 1: Religious and political freedom:
Congress shall make no law respecting an establishment of religion, or prohibiting the free exercise thereof; or abridging the
freedom of speech, or of the press; or the right of the people peaceably to assemble, and to petition the Government for redress
of grievances.

Dari uraian kata-kata tersebut, banyak pihak yang mempersepsikannya sebagai suatu kebebasan yang absolut karena congress
yang berwenang membuat hukum itu sendiri saja bahkan tidak diperkenankan oleh konstitusi untuk membatasi kebebasan
pers. Sementara, hanya segelintir pakar yang mengemukakan bahwa dalam prakteknya di AS yang perkembangan hukumnya
didominasi oleh Jurisprudensi (Judge make law), kebebasan itu kini menjadi tidak absolute lagi sebagaimana dipersepsikan
oleh kalangan awam.

Selain akibat multipersepsi atas kata “speech” dan “abridging” itu sendiri, perbedaan pendapat dikalangan para Jurist (judges
and scholars) sebenarnyaa juga dikarenakan secara historis kata-kata itu memang merupakan produk politik pada masa itu,
dimana ada pertentangan antara Federalist dengan State. Sehingga, semula kata-kata yang diusulkan adalah ”No state shall
violate…etc” menjadi ”Congress shall make no law…etc”. Para juris di AS, telah menyadari bahwa legal nature dari kata-kata itu
dengan sendirinya adalah menjadi tidak absolute, sehingga dengan sendirinya jurisprudensi lah yang menjadi pembimbing
atau pedoman dalam menerapkan ketentuan itu agar menjadi fair bagi semua pihak. Bahkan untuk menentukan tujuan dan
fungsinya saja, hal itu baru lebih jelas pada saat Justice Brandeis mengemukakan pendapatnya dalam putusannya pada kasus
Whitney vs. California 71 L.Ed.1095, 1105-06 (1927).

Dalam perkembangannya lebih lanjut ternyata freedom of speech dan of the press diturunkan menjadi “expression” dan “action”.
Amendement pertama jelas melindungi kebebasan berekspresi tetapi tidak selalu untuk “communicative conduct” sehingga
berkembanglah “a hierarchy of protected communicative conduct” dimana tidak semua hal termasuk dalam protected speech.
Karenanya berkembanglah apa yang dinamakan sebagai “unprotected class” atau dikenal sebagai “unfree speech” atau
komunikasi yang tidak dilindungi oleh amendemen pertama tersebut, antara lain meliputi; fighting words, obscenity, publication
of state secrets, incitement to crime, defamation, subliminal communications dan commercial speech. Demikian pula halnya
dengan konsep ‘abridgement’ dimana dalam perkembangannya “law” sebagai produk congress jelas tidak mengurangi
kewenangan pemerintah untuk memberikan pembatasan dan kejelasan dalam ”regulation” demi untuk melindungi kepentingan
publik itu sendiri.

Lebih lanjut, pemikiran tentang access to the channels of communication juga mengakibatkan berkembangnya teori pembedaan
atau pengkategorisasian ruang public (public forum) dan ruang private (private forum). Walhasil, para juris telah
mengembangkan kerangka berpikirnya untuk melakukan pendekatan prosedural (procedural approaches) dalam menentukan
hal-hal apa saja yang dapat dilindungi berdasarkan amandemen pertama itu.

Berdasarkan sejarah dan evolusi yang terjadi di AS tersebut, maka Indonesia sebagai negara yang lebih diwarnai oleh Eropa
Kontinental ketimbang Anglosaxon/Common Law, menjadi tidak haram jika mencoba memformulasikan pembatasannya dalam
produk legislatifnya (UU). Hal ini adalah karena di Indonesia, UU sebagai produk legislative itulah yang dapat memberikan
pedoman awal bagi perkembangan sistem hukum kita. Jurisprudensi nyatanya masih belum berfungsi dengan baik di negara
kita untuk memberikan benang merah keadilan dalam perkembangan sistem hukum nasional.

Jadi, hakikinya adalah sama saja baik di AS maupun di Indonesia bahwa kebebasan itu memang tidak pernah absolute.
Bahkan, secara hukum fisika saja telah dinyatakan bahwa terhadap suatu aksi tentunya akan terjadi friksi dan hasilnya
mengakibatkan suatu reaksi. Meskipun di angkasa, ternyata suatu benda juga tidak pernah lepas dari gaya-gaya yang ada di
semesta alam ini. Oleh karena itu, konsep kebebasan tanpa batas jelas akan sangat menyesatkan dan bertentangan dengan
hukum alam dan juga pemikiran manusia yang sehat.

Selain itu, sesuai dengan perkembangan wacana negara demokratis, banyak pihak juga akan merujuk kepada pemikiran yang
menyatakan bahwa Pers adalah pilar keempat (fourth estate) dalam negara demokrasi. Namun, dalam praktek dan
perkembangannya, publik Amerika juga melihat bahwa ini adalah jargon semata karena meskipun pers itu bebas dari
kepentingan pemerintahnya ternyata ia tidak bebas dari kepentingan komersialnya dan bahkan para pemilik dan/atau
penyelenggara media juga cenderung berselingkuh dengan para politikus dalam menyiarkan suatu informasi kepada publik.
Walhasil, wacana tentang eksistensi kebebasan media terlanjur disodorkan kepada publik untuk dilegitimasi kehadirannya tidak
lagi sebagai penyaji fakta melainkan juga sebagai pembentuk opini dan disahkan sebagai industri informasi dengan semangat
komersialismenya.

Idealnya, dalam suatu negara demokratis yang berdasarkan atas hukum, maka kepentingan hukum masyarakat untuk
memperoleh informasi publik (right to know) adalah menjadi prioritas tertinggi. Hal ini menjadi dasar legitimasi bagi semua
pihak ingin mencari dan menyampaikannya kepada publik, khususnya kalangan jurnalis yang begitu giat dan gagah berani
berupaya mencari fakta/data, mengolahnya menjadi informasi dan/atau berita, dan kemudian disampaikannya kepada
masyarakat. Lebih jauh lagi, bahkan hal itu dirasakan sebagai sesuatu yang diamanatkan oleh hukum kepada mereka.

Sebagai kompensasinya, dalam rangka memenuhi kepentingan hukum masyarakat tersebut maka diperlukan suatu
perlindungan hukum bagi para pihak yang jelas-jelas beriktikad baik melaksanakan fungsi itu, khususnya bagi pihak yang
secara professional mencarinya dan menyelenggarakan media komunikasinya kepada public. Namun pada sisi yang lain,
publik juga perlu mendapatkan perlindungan dari kekotoran ataupun sisi negatif informasi yang disampaikannya. Oleh karena
itu, diperlukanlah suatu ketentuan hukum dalam suatu produk legislatif (UU) sebagai kesepakatan public untuk melindungi
semua pihak yang terkait dengan itu secara adil. Pada prinsipnya, tanpa terkecuali setiap orang yang bertindak mengungkapkan
informasi untuk kepentingan publik tentunya jelas harus dilindungi oleh hukum, terlepas apakah ia jurnalis ataupun tidak. Dalam
prakteknya, penerapan hukum itu harus digantungkan kepada Hakim sebagai pejabat penerap keadilan bagi masyarakat agar
sesuai dengan lingkup kasus yang ada.

Sesuai dengan sejarahnya, Pers yang lahir dari aktivitas jurnalistik kepentingan hukumnya adalah menginginkan kebebasan
untuk memperoleh data dan mengolahnya menjadi suatu informasi serta berhak menyampaikannya kembali (freedom of
speech) kepada publik sesuai pendapatnya. Pada satu sisi, sistem hukum Hak Kekayaan Intelektual (Hak Cipta) telah
melindungi keberadaan informasi itu sebagai suatu karya cipta yang harus dilindungi (protected works) demi kepentingan hak
moral dan hak ekonomis individu si penciptanya dan melindungi kemerdekaan/kebebasan untuk berekspresi itu sendiri. Namun
pada sisi lain, sesuai dengan perspektif hukum komunikasi, si intelektual tersebut seharusnya juga memperhatikan efek atau
dampak komunikasi tersebut kepada publik. Oleh karena itu, suatu penyampai informasi selayaknya harus dapat dimintakan
pertanggung jawabnya manakala efek komunikasi itu ternyata merugikan atau berpengaruh buruk kepada kepentingan hukum
individual manusia (HAM) dan juga kepada norma dan ketertiban masyarakat (protected communication dan protected
community). Jadi selain adanya apresiasi yang diberikan oleh hukum ia juga harus mampu mengemban tanggung jawab dari
setiap apa yang telah ditimbulkannya.

Singkatnya, penyajian informasi kepada publik diharuskan seobyektif mungkin meskipun secara naturalianya ia tetap bersifat
subyektif karena sebenarnya terlahir dari ekspresi ide dari seseorang. Perspektifnya terhadap sesuatu peristiwa tentu akan tetap
melekat dalam penyajian informasi yang disampaikannya. Oleh karena itu, suatu berita tidak dapat dikatakan obyektif dari
awalnya sehingga dengan sendirinya ia tidak bebas nilai atau tidak bebas dari kepentingan subyektif orang yang menuliskannya.
Disinilah netralitas media menjadi sangat relevan untuk menjadi suatu persyaratan hukum (requirement of neutrality). Untuk itu
diperlukan suatu standar obyektifitas untuk menentukan apakah ia layak dikatakan sebagai suatu karya jurnalistik. Perlindungan
hukum yang diberikan kepada si pencari dan penyampai informasi hanyalah ditujukan bagi setiap pihak yang memang
menghargai dan tunduk dengan etika jurnalistik, bukan kepada pihak-pihak yang ”sembarangan” dalam menguntai kata-kata.

Dalam rangka memenuhi nilai-nilai obyektifitas itu, sebagai upaya preventif maka secara prosedural suatu informasi sebelum
disampaikan kepada publik, selayaknya secara internal ia perlu diinteraksikan dengan pihak lain dan/atau paling tidak yang
bersangkutan dapat menjelaskan dan menjamin bahwa informasi yang diberikannya adalah berdasarkan atas data atau fakta
yang diperolehnya secara halal dan benar serta disajikannya secara fair. Disinilah suatu penyelenggara media harus dianggap
ikut bertanggung jawab untuk menanggung akibat/dampak penyampaian suatu informasi kepada publik, karena atas kuasanya
informasi itu dikomunikasikan kepada publik.

Dari pemaparan tersebut di atas, terlihat jelas perbedaan makna antara Pers dengan Media. Istilah media adalah keberadaan
obyek atau alat untuk berkomunikasi yang harus bersifat netral, sementara Pers adalah kegiatan jurnalistik yang kaya akan
perspektif-perspektif jurnalisme. Tentunya, yang akan membuat media itu menjadi tidak netral adalah orang yang
menyelenggarakannya. Oleh karena itu, wajarlah jika seorang pakar komunikasi Prof Abdul Muis mengingatkan kita bahwa ada
dua pendekatan hukum dalam konteks ini yaitu aspek Hukum Media dan aspek Hukum Komunikasi. Namun, menurut hemat
saya akan lebih tepat jika kita melihatnya dalam satu kesatuan yakni Hukum Komunikasi. Keberadaan Media sepatutnya adalah
bagian yang tidak dipisahkan dari proses komunikasi itu sendiri karena tidak mungkin terjadi suatu komunikasi antara si
penyampai informasi (originator) dengan si penerima informasi (recipient) tanpa kehadiran suatu Media. Ringkasnya, kita harus
memandang Media itu sendiri sebagai suatu sistem komunikasi yang terpadu dimana obyektifitasnya dan netralitasnya akan
ditentukan kepada sejauh mana sistem penyelenggaraannya diselenggarakan dengan baik.

Melengkapi pandangan tersebut, walau bagaimanapun harus diletakkan pemahaman kepada publik bahwa suatu informasi
yang merupakan obyek komunikasi tersebut jelas tidak akan lepas dari aliran pandangan si pembuatnya, sehingga pandangan
suatu aliran tentunya akan terlihat jelas dari karakteristik informasi yang disajikannya tersebut. Jika si intelektual tersebut
beraliran kapitalis maka tentunya ia tidak akan menulis tentang kebaikan aliran sosialis yang berlawanan dengannya, demikian
juga sebaliknya. Demikian juga jika si intelektual tersebut ternyata non religius maka ia akan menuliskan bahwa ketentuan
keagamaan adalah suatu kemunafikan dan demikian pula sebaliknya. Walhasil, jelas dirasakan adanya suatu perang informasi
terhadap suatu kepentingan, dan demi obyektifitas maka semestinya masyarakat tidak boleh langsung percaya terhadap suatu
informasi yang disampaikan oleh satu sumber saja, melainkan juga perlu melihatnya dari banyak sumber. Kebenaran akan
dapat terlihat dari apa yang lahir ditengah-tengah pertentangan wacana itu sendiri. Akhirnya, yang menjadi permasalahan disini
adalah konflik ideologi antara informasi yang disajikan dengan ideologis bangsanya. Tidak heran jika ada sebagian masyarakat
yang ternyata malah menjadi bingung atau bahkan akan marah dengan keberadaan aliran-aliran media itu sendiri.

Lebih lanjut, sesuai dengan perkembangannya maka terbangunlah suatu mekanisme hukum antara publik dengan medianya,
dengan cara memberikan kewajiban kepada penyelenggara untuk melayani Hak jawab dan Hak Koreksi dari masyarakat.
Namun, hal ini masih dirasakan seperti terlalu mensimplifikasi efek komunikasi yang ditimbulkan kepada kepentingan hukum
lain. Sekiranya suatu berita yang menghancurkan nama baik seseorang (character assasination) ternyata berakibat serangan
jantung sehingga meninggalnya seseorang, apakah masih relevan Hak Jawab dan Hak Koreksi sebagai upaya pemulihan
haknya. Tambahan lagi, dalam kehidupan sehari-hari dapat dikatakan bahwa kata-kata bisa lebih tajam dari pedang, sehingga
naturalianya efek dari kata-kata akan selalu berbekas dalam hati si penerimanya. Dimaafkan atau tidak itu kembali kepada hak
si orang tersebut, yang jelas Hukum tidak dapat memaksakan seseorang harus menerima maaf dari orang lain. Seorang hakim
juga sepatutnya juga tidak boleh membatasi hak orang lain untuk harus menjelmakan hak jawab dan hak koreksinya terlebih
dahulu, karena hal ini berarti hakim telah berpihak hanya kepada kepentingan si penyelenggara media.

Selain itu, dalam hal penerimaan informasi, umumnya informasi pertama seringkali lebih berbekas ketimbang informasi yang
berikutnya. Sehingga terlepas apakah ia langsung percaya atau tidak percaya, yang jelas secara informasi telah berdampak
kepada sesorang ”the damage has been done”. Ada suatu ”ruang kerugian” disini yang tidak cukup terjawab hanya dengan hak
jawab dan hak koreksi. Sepatutnya, semakin intelektual seseorang jelas akan semakin tinggi pula amanat yang harus
diembannya untuk memperhitungkan segala sesuatu yang dapat terjadi dari karya intelektualnya tersebut. Oleh karena itu,
pertanggung jawaban bagi seseorang ahli komunikasi masa yang berdasarkan keilmuannya sepatutnya tahu sejauhmana efek
dari kata-katanya, jelas juga harus diimbangi dengan beban sanksi yang relatif lebih berat ketimbang orang awam. Jika hal ini
tidak ada, maka jelaslah bahwa segelintir orang akan senang mempelintir kata-kata dan mungkin pula akan berakibat timbulnya
mafia dalam media.


C. Internet sebagai Media Komunikasi Baru

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, konvergensi TELEMATIKA (Telekomunikasi, Media dan Informatika) mau tidak mau
telah mengabsorbsi keberadaan kata Media yang terwujud dalam penyelenggaraan sistem informasi global. Suatu jaringan
sistem informasi dan komunikasi yang lahir akibat keterpaduan perkembangan teknologi informasi dan telekomunikasi telah
berfungsi sebagaimana sebagaimana layaknya suatu Media komunikasi masa. Hal mana sebelumnya kurang begitu disadari
karena semula penerapan teknologi informasi adalah untuk kepentingan personal atau untuk kepentingan internal
organisasinya saja. Demikian juga halnya dengan telekomunikasi yang memang semula digunakan hanya untuk kepentingan
komunikasi antara para pihak, bukan untuk komunikasi masa. Akhirnya, sekarang kita ternyata tidak dapat mengatakan bahwa
penyelenggaraan telekomunikasi akan terlepas dalam lingkup kajian hukum media modern dewasa ini.

Dengan melihat kepada platform sistem informasi dan komunikasi elektronik global yang berbasiskan teknologi komputer
(computer based information system), maka ada beberapa hal yang perlu dilihat sehubungan dengan komputer sebagai alat
pengolah informasi dan alat untuk menyebarkan informasi tersebut. Sistem Komputer pada hakekatnya mempunyai fungsi-
fungsi Input, Proses, Output, Strorage dan Communication. Ia juga paling tidak terdiri atas 5 komponen penting, yakni; hardware,
software, procedure, brainware dan content dari informasi itu sendiri. Semua komponen itu harus berkerja dengan baik itu dan
saling terintegrasi agar dapat melakukan fungsi-fungsi sebagaimana yang diharapkan. Data sebagai input untuk menghasilkan
suatu informasi yang berdayaguna ditentukan oleh kehandalan brainware dalam menciptakan procedures yang selanjutnya
akan dikonkritkan dengan kehadiran software yang sesuai agar hardware dapat bekerja untuk mengolah dan menampilkan
informasi sebagaimana yang ditentukan atau diharapkan.
Selanjutnya agar ia dapat berkomunikasi dengan komputer yang lain, maka ia harus satu bahasa dimana pembangunan
jaringan kerjanya adalah harus sesuai dengan protokol komunikasi yang dipakai oleh para pihak, seperti antara lain Electronic
Data Interchange/EDI (proprietary system) dan Internet protocol (open system). Dan oleh karena sistem tersebut saling
terintegrasi dan terhubung secara online, maka hubungan komunikasinya menjadi bersifat real-time kesemua anggota dan
seakan hadir dimana-mana secara ”ubiquotus”.

Sesuai dengan karakteristiknya yang elektronik itu, tampaknya keberadaan suatu sistem informasi sebagai Media
berkomunikasi relatif akan lebih mudah diatur ketimbang Pers. Lihat saja pada kenyataan teknisnya bahwa semua anggota
jaringannya sepakat untuk menggunakan protokol komunikasi TCP/IP. Semua komputer yang terhubung hanya bisa terhubung
dengan aturan komunikasi yang sama dalam lapisan 4 layers. Sebagai suatu sistem informasi jelas ia telah ditetapkan sebagai
suatu Media yang netral, sehingga ia dapat ditulisi apa saja oleh pihak pihak yang berkenan untuk itu. Ia dapat ditentukan akan
hidup ataukah akan mati tergantung kepada arus listriknya. Keberadaan akses informasinya pun dapat dibatasi atau restriktif
berdasarkan otorisasi yang diberikannya dalam network tersebut. Dalam konteks ini, sepanjang memang ada ”political will”
untuk itu sepatutnya penyelenggara media akan menjadi relatif lebih mudah untuk diatur.

Ada satu hal yang sangat menarik untuk dilihat dari keberadaan suatu sistem informasi elektronik sebagai suatu Media yakni
keberadaan informasi sebagai keluarannya adalah ditentukan kepada sejauhmana sistem security-nya dikembangkan baik
secara tehnik, manajemen maupun hukum. Keterpercayaan terhadap isi akan sangat ditentukan oleh sejauhmana kehandalan
dan validitas pemrosesannya yang tercermin dalam keberadaan setiap procedures dan juga softwarenya, serta kejelasan
subyek hukum yang bertanggung jawab atasnya. Setelah dapat diyakini bahwa sistem informasi itu layak dipercaya, barulah kita
dapat menyatakan bahwa jika memang sistem telah berjalan sebagaimana mestinya maka selayaknya informasinya menjadi
layak untuk dipercaya. Dengan sendirinya, jika data yang dimasukkan adalah salah, maka hasil keluarannya juga akan menjadi
salah ”Garbage In Garbage Out,” bukan sistemnya lagi yang dipersalahkan (malfunction) melainkan ”human error” manusianya
yang mengerjakan sistem itu. Implikasi hukumnya adalah, sepanjang sistem telah dibangun dan diselenggarakan dengan baik
(best practices), maka pihak si pengembang dan si penyelenggara berhak mendapatkan perlindungan hukum berupa
pembatasan dalam pertanggung jawabannya.

Patut juga dicermati bahwa persyaratan security tersebut adalah berbanding lurus dengan nilai kekuatan pembuktian secara
hukum, bahkan dapat dikatakan bahwa ”no security, no deals”. Hal ini harus menjadi perhatian utama para pihak, karena
teoritisnya Internet memang tidak didesain sebagai infrastruktur informasi publik yang secured. Justru kepentingan negara
industri itu sendiri lah yang ingin menawarkan dan menumbuhkan jasa security-nya, baik dalam hal penjualan perangkat keras
maupun software untuk berjalannya computer security maupun communication security itu sendiri.

Beranalogi dengan hal tersebut, maka jika kita ingin mengatakan Pers adalah suatu Media harus ada suatu standar kelayakan
bagi si penyelenggara jasa yang mengkelola Media itu. Ia baru layak dikatakan sebagai suatu Media jika ia telah memenuhi
standar tertentu dalam penyelenggaraannya agar lebih jernih dalam merefleksikan kepentingan masyarakat bukan kepentingan
si penyelenggaranya. Ia juga dapat membatasi tanggung jawabnya terhadap akibat substansi informasi yang disampaikannya
sepanjang ia telah berupaya sebaik mungkin (best practices). Bahkan sekiranya ia telah mengemukakan standar prosedur
pengoperasiannya bahwa ia tidak melakukan sensor apapun, tanggung jawab sepenuhnya justru akan kembali kepada si
penulis. Dan pihak yang merasa berkeberatan dapat langsung seketika itu juga memasukkan koreksi dan hak jawabnya pada
tempat yang sama dengan informasi itu. Disini, para pembaca akan langsung dapat mencerna bahwa informasi itu tengah
dipersengketakan validitasnya. Dalam konteks ini, tidak sedetikpun ia akan dirugikan, kecuali atas kelambanannya sendiri
dalam merespon suatu informasi.

Sehubungan dengan itu pula, ada juga satu pelajaran hukum yang selayaknya dapat kita ambil dari kasus Napster di Amerika.
Meskipun keberadaan situs tersebut sebenarnya hanya sebagai suatu media komunikasi bagi para anggotanya (peer to peer
communication) untuk saling bertukar koleksi lagu-lagu yang diperolehnya, namun sekiranya ia bertentangan dengan sistem
hukum yang ada khususnya Hak Cipta maka keberadaannya dapat dihentikan (shut-down). Kesalahannya adalah memfasilitasi
tukar menukar lagu dimana ia mempunyai model bisnis didalamnya, padahal tanpa harus ia fasilitasi masing-masing orang
dapat berkomunikasi secara langsung. Hal ini berakibat bahwa model bisnis napster menjadi sebagaimana layaknya tukang
tadah di pasar-pasar gelap. Demi hukum, pengadilan terpaksa harus menghentikannya.

Jika memang Amerika adalah menjadi tolok ukur dalam penegakan freedom of speech di dunia, saya melihat bahwa demi ”
kepentingan hukum”, harus tetap ada satu kemungkinan bahwa suatu Media dapat dimungkinkan untuk dihentikan atau ditutup
oleh putusan pengadilan jika si penyelenggara media membuat keberadaan Medianya menjadi bertentangan dengan hukum
yang ada. Dalam negara demokratis, ini tidaklah salah, karena supremasi hukum adalah hal yang tertinggi, bukan kepentingan
bisnis media itu, dan juga bukan didasarkan atas diskresi lembaga eksekutif (pemerintah).

Demi menjaga kepentingan semua pihak maka harus dipahami bahwa sepatutnya asas strict liability juga melekat terhadap
informasi itu dan juga pihak manajemen dari organisasi yang melakukan sistem penyelenggaraan Media tersebut. Sepertinya
bukan lah suatu hal yang berlebihan sekiranya azas “good governance” juga perlu diterapkan dalam penyelenggaraan Media,
paling tidak si penyelenggara harus mengeluarkan “best effort” nya untuk menjaga obyektifitas dan netralitas tersebut.

Oleh karena itu, jika Pers ingin dikatakan berfungsi sebagai media, saya pikir tentunya ia harus berfungsi sebagaimana layaknya
sistem informasi elektronik yang didasarkan atas trustworthy suatu proses. Jika memang sistem penyelenggaraan media nya
yang sudah tidak mau taat hukum, maka hasil output informasinya tentunya juga akan berhadapan dengan hukum.

Ringkasnya sesuai dengan paradigma sistem informasi, maka paling tidak Pers akan terdiri dari komponen (i) content
informasi, (ii) Wartawan dan (iii) prosedur-prosedur dalam Organisasi dan Manajemen Penyelenggara Media itu sendiri. Dalam
hal ini, paling tidak dapat dilihat adanya tiga lingkup standar agar membuat sistem pers menjadi sehat, yakni (i) standarisasi
brainware/wartawan, (ii) standarisasi karya jurnalistik atau pemberitaan, dan (iii) standarisasi penyelenggaraan media itu
sendiri. Boleh jadi sebagai lingkup yang paling luas, standarisasi penyelenggaraan media itu sendiri akan mencakup kedua
lingkup sebelumnya karena ia akan menentukan standar minimum wartawan yang akan digunakannya dan bagaimana sistem
operasi dan prosedur yang dianutnya dalam mengemukakan suatu pemberitaan kepada publik. Semakin tinggi standar yang
dianutnya maka semakin tinggi pula validitas pemberitaannya dan relatif semakin aman pula ia dalam melakukan pertanggung
jawaban hukumnya.


D. Krisis Media Akibat Perilaku Bermasalah dan Kepentingan Bisnis Media

Ditinjau lebih luas lagi sesuai dengan perspektif ilmu perundang-undangan, mungkin penyebab kenapa kondisi Pers sekarang
ini seperti ini adalah juga didasari sejauhmana keefektifan aturan main yang ditetapkan dalam UU Pers. Jika memang
mekanismenya adalah sebebas-bebasnya maka insan pers jadi bertindak sebebasnya. Dan sedikit janggal rasanya bahwa
pemerintah dinihilkan sama sekali dalam proses penerapannya sementara lembaga pelaksananya Dewan Pers juga tidak
mempunyai kekuatan yang dapat memaksa pihak pers untuk bertindak sebagaimana mestinya. Ia hanya merupakan wadah
untuk penetapan Kode Etik, alternatif penyelesaian sengketa, serta pengkajian hukum dan kebijakan saja. Sementara pada sisi
yang lain, peranan masyarakat juga belum dapat dikatakan cerdas menyikapi segala sesuatu dan mampu berpartisipasi aktif
sebagaimana yang diharapkan. Tambahan lagi setiap orang tentunya akan berpikir ulang untuk berhadapan dengan media.
Walhasil, akhirnya dijumpai terjadinya premanisme dalam pers, terkadang pers menjadi obyek premanisme namun sering juga
ia menjadi subyeknya. Contohnya adalah penyajian informasi entertainment, dimana pers terkesan memaksa untuk
memperoleh informasi yang berkenaan dengan privasi seseorang. Pers memang telah begitu galak, bahkan berani masuk ke
wilayah-wilayah yang sebenarnya sudah menyentuh batasan harkat dan privacy seseorang. Menghambat jalan seseorang untuk
berjalan kemobilnya sendiri demi mendapatkan suatu pemberitaan sudah menjadi pandangan kita sehari-hari yang kita lihat
dalam peliputan pemberitaan di TV.

Sebagaimana layaknya para wakil rakyat dalam fungsi legislative, para insan pers juga sangat meyakini dirinya adalah bertindak
atas aspiratif rakyat. Namun ada sedikit perbedaan, dimana para wakil rakyat harus berinventasi untuk meraih simpati dan suara
rakyat dalam proses pemilihan umum sehingga dapat dikatakan legitimate menyampaikan suara rakyat. Sementara kalangan
pers dengan inisiatif sendiri dan dengan dibawah naungan UU Pers dilegitimasikan sebagai aspiratif rakyat tanpa harus ada
kejelasan standarisasi profesi kewartawanan yang ketat.

Jika kita membaca informasi yang disampaikan dalam beberapa surat khabar harian yang ternyata berbahasa terlalu berani
dalam mengekspose sex dan kekerasan, dan juga berani memberikan tempat untuk iklan yang bernada-nada serupa, mungkin
masyarakat juga akan menjadi semakin kebingungan apakah memang hal ini sebenarnya informasi yang dibutuhkannya
ataukah memang hal tersebut yang sebenarnya aspiratif rakyat. Sex dan kekerasan memang merupakan fakta hidup, dan juga
merupakan informasi yang menarik untuk dibaca, tapi apakah ini aspiratif rakyat atau memang sengaja dicekoki kepada rakyat.

Dalam prakteknya sekarang ini, ada pers yang telah secara elegan menyajikan informasi dan ada juga pers yang justru
membuat galau dan resah hati masyarakat. Bagaimana tidak, karena sepertinya memang tidak ada satu tindakan apapun yang
dapat dikenakan kepada sebagian insan pers tersebut. Siapa yang dapat menyadarkan kalangan pers untuk secara jernih
memandang apa yang sesungguhnya terjadi dalam kehidupan ini. Apakah memang ”kemerdekaan pers” diartikan sebagai
kebebasan yang sebebas-bebasnya tanpa batasan normatif. Bahkan akibat pendapat yang mengatakan bahwa semestinya UU
Pers adalah lex specialis dengan berbagai macam alasan, KUHP dinyatakan tidak berlaku lagi. Sementara, dalam UU Pers
ketentuan pidana dirasakan tidak begitu berimbang. Barang siapa yang menghalangi pers harus dipidana penjara dan denda,
sementara pers hanya dipidana denda saja. Lantas bagaimana halnya dengan insan pers yang ternyata mengganggu hak
orang lain, apakah memang sudah ada dalam UU Pers ataukah memang hal seperti itu sepatutnya tidak masuk dalam lingkup
UU Pers. Jadi, apakah UU Pers telah cukup mengatur semua tindak pidana yang mungkin terkait dengan Pers.

Selain itu, dalam hubungan kerja antara Wartawan sebagai profesi, apakah ia telah cukup dilindungi karena kenyataannya ia
adalah buruh dari suatu perusahaan pers, dimana status kewartawanannya sangat tergantung oleh perusahaan itu. Apakah ada
sanksi bagi perusahaan pers yang tidak memberikan bagian sahamnya kepada karyawan dan apakah wartawan telah
mendapatkan bagian yang layak terhadap keuntungan perusahaan.

Seiring dengan era reformasi untuk mengarah kepada perbaikan di segala bidang, kalangan pers telah memperoleh
kelonggaran yang dicita-citakannya untuk memperoleh informasi namun ternyata bukan kemerdekaannya dalam arti yang hakiki.
Dulu Pers begitu dikekang oleh pemerintah dan sekarang begitu merdekanya tanpa ada kebutuhan untuk mendapatkan
pembinaan atau pengawasan dari pemerintah lagi. Semua seakan sepakat bahwa pengawasan pers adalah langsung dari
rakyat, sementara masyrakatnya saja tidak semuanya dapat bernasib baik mengenyam pendidikan sehingga belum dapat
secara kritis mengkontrol pers. Apalagi dalam kenyataan hidup ini, tak ada orang yang hidup tanpa salah dan dosa, sementara
pers jelas dapat mengkemukakan semua salah dan dosa seseorang sesuai agenda dan kepentingannya. Sehingga akankah
ada anggota masyarakat biasa yang akan berani berhadapan dengan pers? Semua tentunya akan berpikir dua kali.

Walhasil sepertinya kita memang harus duduk kembali untuk membicarakan hal ini, apakah UU Pers memang sudah efektif
menyelesaikan perilaku bermasalah. Dulu pemerintah yang membuat masalah, sekarang justru Pers sendiri yang sekarang
menjadi sumber dari perilaku bermasalah terhadap kemerdekaan pers itu sendiri. Sudah layakkah pers dikatakan sebagai
media jika ia tidak menjelmakan upaya terbaiknya untuk bersifat netral dan obyektif.

Dari berbagai pemaparan di atas, paling tidak kita dapat melihat adanya krisis dalam dunia media yang mungkin akan
mencakup seluruh komponennya, antara lain;
o Krisis perilaku insan media dalam mencari berita, membuat sumber ataupun obyek informasi menjadi tidak berharkat atau
terganggu privasinya;
o Krisis substansi media, mengungkapkan informasi tanpa etika dan standar jurnalistik;
o Krisis komitmen untuk menjalankan seluruh fungsi media yang diamanatkan oleh UU;
o Krisis komitmen untuk cita-cita reformasi, khususnya untuk ikut memajukan pendidikan, karena tidak ada jamina bahwa
semua media telah menjalankan fungsi pendidikannya dengan baik;
o Krisis standar penyelenggaraan manajemen suatu Media;
o Krisis masyarakatnya yang terkesan kurang begitu kritis dan agresif dalam menyikapi suatu pemberitaan.

Dipandang dari sisi bisnis, karena informasi adalah suatu komoditi yang merupakan kebutuhan hidup masyarakat informasi,
maka bisnis untuk menjadi penyedia informasi adalah peluang bisnis yang cukup menggiurkan. Hal ini tentunya menjadi suatu
ancaman tersendiri bagi pengharagaan akan nilai-nilai “kemerdekaan pers” terutama nilai-nilai netralitas dan obyektifitas itu
sendiri. Sejauhmana kepentingan pemodal tidak akan mengendalikan kepentingan media itu sendiri. Padahal sudah pasti
bahwa si Pengurus adalah bertugas untuk menjaga kepentingan si pemodal yang ingin memperoleh keuntungan dari bisnis itu.

Adalah suatu hal yang sangat lumrah dalam hukum investasi, bahwa konsekwensi dari adanya suatu investasi adalah adanya
kendali dalam perusahaan itu. Dari sisi pemodal tentunya akan menjadi sangat begitu indah jika informasi yang disampaikan
adalah sesuai dengan kepentingannya dan dapat menaikkan tiras atau oplahnya di masyarakat dan memberikan tempat yang
cukup ditakuti oleh penyelenggara negara. Dari sisi si pemilik media mungkin jelas ia merasa berhak untuk bisa menampilkan
dirinya dalam satu halaman penuh dari sekian banyak halaman yang dikelolanya, tapi demi obyektifitas dan netralitas media,
apakah hal itu dapat dikatakan etis ataukah tidak? Karena walau bagaimanapun, si penyelenggara media sepatutnya
memperlihat upaya yang semaksimal mungkin untuk tidak memperlihatkan kepentingannya pribadi dalam media yang
dikelolanya itu. Dan jika kita berbicara tentang etis, apakah pelanggaran terhadap hal itu ada sanksinya dari kalangan
masyarakatnya. Demikian pula jika ada hukumnya apakah ada sanksi hukumnya? Jika ternyata tidak, saya pikir ini merupakan
indikasi ketidak netralan itu, dan berarti Pers tidak layak untuk disebut Media.
E. Penutup

Sesuai dengan kepentingan publik dalam Negara Demokrasi, maka dalam lingkup media komunikasi paling tidak terlihat
beberapa kepentingan hukum yang dapat diidentifikasi antara lain sebagai berikut;

Intelektual
(Jurnalis professional) Penyelenggara Media
(Investor/
Pengusaha) Masyarakat
(kolektif) Individual (anggota masyarakat) Penyelenggara Negara
• Karya intelektual
• Obyektifitas Karya jurnalistik
• Kemerdekaan Berekspresi
• Obyektifitas dan Netralitas
• Tanggung jawab penyelenggaraan Media yang baik (good information governance)
• Tidak menjadi suatu alat yang bertentangan dengan hukum dan perasaan keadilan serta norma masyarakat
• Mencari profit untuk usaha • Hak mengetahui masyarakat atas sistem penyelenggaraan negara yang baik
• Hak masyarakat atas ketertiban umum dan perasaan aman
• Hak masyarakat atas peradaban yang sesuai etika dan dinamika kebudayaan
• Hak atas kebebasan berinformasi dan berkomunikasi
• Hak atas privasi
• Hak untuk tidak menjadi obyek penelitian dan pemberitaan • Kegiatan yang baik dan bertanggung jawab untuk memberikan
kontrol ataupun feedback kepada pemerintah
• Kewajiban memberikan informasi publik dan kerahasiaan informasi untuk kepentingan publik.

Setelah mencermati, apakah itu Media, apakah itu Pers dan bagaimana kelayakannya. Jika memang Pers memang tidak
mempunyai suatu prosedur untuk memperlihatkan kelayakannya, rasanya sulit mengatakan bahwa Pers adalah suatu media.
Patut diacungkan jempol bagi insan Pers yang sadar akan apa konsekwensi dari penggunaan kata Media itu, dimana sebagai
penyelenggara Media mereka berupaya untuk mengembangkan sistem operasi dan prosedur didalam manajemen
penyelenggaraannya agar informasi yang disampaikannya terjamin obyetifitasnya dan validitasnya. Tetapi sangat disayangkan
akibat ada sebagian Pers yang berperilaku buruk dan tak ada mekanisme yang dapat menghentikannya secara self-regulation-
regime atau komunitas pers sekan lepas tanggung jawab dan tidak dapat memberhentikannya lewat mekanisme komunalnya,
maka Pers sepertinya kurang mendapat simpati rakyat. Akibatnya seorang idealis pers boleh jadi malah terjerat hukum
sementara seorang komersialis pers malah terlindungi dengan baik. Cukup ironis sekali.

Berkenaan dengan UU Pers yang menjelaskan ada fungsi-fungsi dalam media, sepatutnya ada mekanisme kontrol yang harus
memaksakan perusahaan pers untuk menjalankan ke semua fungsi media itu. Selain itu, perlu juga dipikirkan apakah suatu
media yang orang-orangnya tidak perduli dengan hukum dan tidak mau terikat kepada suatu etika jurnalistik akan dibiarkan terus
sehingga membuat kebingungan bagi masyarakat tentang etika pers dan medianya.

Semua orang tentunya akan sepakat bahwa media masa adalah backbone dari penyelenggaraan negara yang baik. Sesuai
dengan perpesktif fourth estate yang meletakkan Media setara dengan Pemerintah, maka logikanya jika memang ada hukum
untuk menyelenggarakan sistem pemerintahan yang baik, sepatutnya juga ada standar dalam menyelenggarakan sistem media
yang baik. Sehingga akan sangat adil bagi semua pihak, dan refleksi yang dihasilkan oleh pers untuk demokrasi tentunya juga
akan menjadi semakin jernih dan netral untuk kepentingan kita semua, serta Pers dapat lebih mencitrakan diri dalam harkat dan
martabatnya sebagai honorable profession ditengah masyarakat.

Jika kita semua memang ingin ada ”trust” oleh masyarakat kepada pelaku media, jangan biarkan mekanisme itu terjadi tanpa
prosedur yang kuat. Security untuk mendapatkan trust memang harus dibangun dengan cara best effort, dengan kata lain harus
ada standar untuk good information governance dalam media, hal itulah yang akan dapat membatasi tanggung jawab bagi
segenap insan media. Semuanya ini dikembalikan kepada kesadaran dan semangat kita semua untuk menyelamatkan
karakteristik bangsa ini di masa depan.

Akhirnya, diharapkan bahwa UU sebagai pedoman sikap tindak Pers dan Masyarakatnya dapat melindungi kepentingan pada
idealis media masa yang berupaya sekuat mungkin untuk menyajikan informasi yang baik kepada masyarakat dan juga bisa
menghentikan orang-orang dan media yang tidak bertanggung jawab kepada masyarakat. Mudah-mudahan harkat dan martabat
serta budaya masyarakat tidak terpuruk hanya karena kepentingan segelintir kapitalis media. Jika memang benar-benar kita
ingin menyelamatkan para idealis media, maka tidak ada kata lain kita harus mau membuka diri bahwa demi kepentingan
hukum harus diperkenankan bahwa suatu media yang bertentangan dengan hukum harus dapat dihentikan ataupun ditutup
agar tidak mengkontaminasi publik.

No comments:

Post a Comment

PENERAPAN ILMU FORENSIK DALAM HUKUM PIDANA

Terbentuknya keyakinan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana didasarkan pada hasil pemeriksaan alat-alat bukti yang dikemukakan pada pros...