9/10/09

CYBER CRIME DAN UPAYA ANTISIPASINYA SECARA YURIDIS

Pesatnya perkembangan di bidang teknologi informasi saat ini merupakan dampak dari semakin kompleksnya kebutuhan manusia akan informasi itu sendiri. Dekatnya hubungan antara informasi dan teknologi jaringan komunikasi telah menghasilkan dunia maya yang amat luas yang biasa disebut dengan teknologi cyberspace. Teknologi ini berisikan kumpulan informasi yang dapat diakses oleh semua orang dalam bentuk jaringan-jaringan komputer yang disebut jaringan internet. Sebagai media penyedia informasi internet juga merupakan sarana kegiatan komunitas komersial terbesar dan terpesat pertumbuhannya. Sistem jaringan memungkinkan setiap orang dapat mengetahui dan mengirimkan informasi secara cepat dan menghilangkan batas-batas teritorial suatu wilayah negara. Kepentingan yang ada bukan lagi sebatas kepentingan suatu bangsa semata, melainkan juga kepentingan regional bahkan internasional.

Perkembangan teknologi informasi yang terjadi pada hampir setiap negara sudah merupakan ciri global yang mengakibatkan hilangnya batas-batas negara (borderless). Negara yang sudah mempunyai infrastruktur jaringan informasi yang lebih memadai tentu telah menikmati hasil pengembangan teknologi informasinya, negara yang sedang berkembang dalam pengembangannya akan merasakan kecenderungan timbulnya neo-kolonialisme1. Hal tersebut menunjukan adanya pergeseran paradigma dimana jaringan informasi merupakan infrastruktur bagi perkembangan suatu negara.
Setiap negara harus menghadapi kenyataan bahwa informasi dunia saat ini dibangun berdasarkan suatu jaringan yang ditawarkaan oleh kemajuan bidang teknologi. Salah satu cara berpikir yang produktif adalah mendirikan usaha untuk menyediakan suatu infra struktur informasi yang baik di dalam negeri, yang kemudian dihubungkan dengan jaringan informasi global.
Kecenderungan mengglobalnya karakteristik teknologi informasi yang semakin "user friendly", akhirnya menjadikan Indonesia harus mengikuti pola tersebut. Karena teknologi informasi (khususnya dalam dimensi cyber) tidak akan mengkotak-kotak dan membentuk signifikasi karakter. Namun selalu ada gejala negatif dari setiap fenomena teknologi, salah satunya adalah aktifitas kejahatan. Bentuk kejahatan (crime) secara otomatis akan mengikuti untuk kemudian beradaptasi pada tingkat perkembangan teknologi. Salah satu contoh terbesar saat ini adalah kejahatan maya atau biasa disebut cyber crime. “Cyber crime” (tindak pidana mayantara ) merupakan bentuk fenomena baru dalam tindak kejahatan sebagai dampak langsung dari perkembangan teknologi informasi. Beberapa sebutan diberikan pada jenis kejahatan baru ini di dalam berbagai tulisan, antara lain: sebagai “ kejahatan dunia maya” (cyber-space/virtual-space offence), dimensi baru dari “hi-tech crime”, dimensi baru dari “transnational crime”, dan dimensi baru dari “white collar crime”2.
Kekhawatiran akan tindak kejahatan ini dirasakan di seluruh aspek bidang kehidupan. ITAC (Information Technology Assosiation of Canada) pada “International Information Industry Congress (IIIC) 2000 Millenium Congress” di Quebec tanggal 19 September 2000 menyatakan bahwa “ Cyber crime is a real and growing threat to economic and social development around the world. Information technology touches every aspect of human life and so can electronically enable crime”3.
Dan yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah bahwa belum ada kerangka yang cukup signifikan dalam peraturan perundang-undangan untuk menjerat sang pelaku di dunia cyber karena sulitnya pembuktian. Belum ada pilar hukum yang mampu menangani tindak kejahatan mayantara ini (paling tidak untuk saat ini). Terlebih sosialisasi mengenai hukum cyber dimasyarakat masih sangat minim. Bandingkan dengan negara seperti Malaysia, Singapura atau Amerika yang telah mempunyai Undang-undang yang menetapkan ketentuan dunia cyber. Atau bahkan negara seperti India yang sudah mempunyai “polisi Cyber”. Kendati beberapa rancangan Undang-undang telah diusulkan ke DPR, namun hasil yang signifikan belum terwujud, terlebih belum tentu ada kesesuaian antara undang-undang yang akan dibuat dengan kondisi sosial yang terjadi dimasyarakat. Referensi dari beberapa negara yang sudah menetapkan undang-undang semacam ini dirasa masih belum menjamin keberhasilan penerapan di lapangan, karena pola pemetaan yang mengatur kejahatan cyber bukan sekedar kejahatan disuatu negara, melainkan juga menyangkut kejahatan antar kawasan dan antar negara.
Kejahatan cyber secara hukum bukanlah kejahatan sederhana karena tidak menggunakan sarana konvensional, tetapi menggunakan komputer dan internet. Sebuah data informal mensinyalir bahwa Indonesia adalah negara “hacker” terbesar ketiga di dunia. Sedangkan untuk Indonesia, kota “hacker” pertama diduduki oleh kota Semarang, kemudian kota Yogyakarta4
Pada kenyataannya “Cyber law” tidak terlalu diperdulikan oleh mayoritas bangsa di negara ini, karena yang terlibat dan berkepentingan terhadap konteks tersebut tidaklah terlalu besar. Pertanyaan menarik, berapa populasi masyarakat yg terlibat aktif dalam teknologi informasi, dijamin tidak lebih dari 10% dari populasi penduduk5. Mungkin hanya beberapa persen saja yang melakukan penyalahgunaan teknologi informasi khususnya dalam hal kejahatan maya. Dan itu berarti secara kuantitas aktifitas kejahatan maya masih relatif kecil.
Ada pertentangan yang sangat mendasar untuk menindak kejahatan seperti ini. Seperti dalam hukum, diperlukan adanya kepastian termasuk mengenai alat bukti kejahatan, tempat kejahatan dan korban dari tindak kejahatan tersebut, sedangkan dalam crime by computer ini semuanya serba maya tanpa ada batasan waktu dan tempat. Dan yang menjadi pertanyaan adalah sejauh mana perkembangan teknologi informasi dan relevansinya terhadap internet sebagai sarana utama kejahatan mayantara (cyber crime)? Dan bagaimana antisipasi pengaturan kejahatan maya (cyber crime) dibidang hukum?
Definisi Teknologi Informasi dan Dampaknya di Era Globalisasi

Istilah teknologi informasi sendiri pada dasarnya merupakan gabungan dua istilah dasar yaitu teknologi dan informasi. Teknologi dapat diartikan sebagai pelaksanaan ilmu, sinonim dengan ilmu terapan. Sedangkan pengertian informasi menurut Oxfoord English Dictionary, adalah “that of which one is apprised or told: intelligence, news”. Kamus lain menyatakan bahwa informasi adalah sesuatu yang dapat diketahui. Namun ada pula yang menekankan informasi sebagai transfer pengetahuan. Selain itu istilah tekmologi informasi juga memiliki arti yang lain sebagaimana diartikan oleh RUU teknologi informasi yang mengartikannya sebagai suatu teknik untuk mengumpulkan, menyiapkan, menyimpan, memanipulasi, mengumumkan, menganalisa, dan menyebarkan informasi deengan tujuan tertentu (Pasal 1 angka 1). Sedangkan informasi sendiri mencakup data, teks, image, suara, kode, program komputer, databases (Pasal 1 angka 2)6.
Adanya perbedaan definisi informasi dikarenakan pada hakekatnya informasi tidak dapat diuraikan (intangible), sedangkan informasi itu dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, yang diperoleh dari data dan observasi terhadap dunia sekitar kita serta diteruskan melalui komunikasi. Secara umum, teknologi Informasi dapat diartikan sebagai teknologi yang digunakan untuk menyimpan, menghasilkan, mengolah, serta menyebarkan informasi7. Definisi ini menganggap bahwa TI tergantung pada kombinasi komputasi dan teknologi telekomunikasi berbasis mikroeletronik.
Di era globalisasi ini hampir semua wacana yang ditiupkan tidak dapat terlepas dari pengaruh informatika global, hampir semua aspek kehidupan kita selalu berhubungan dengan perkembangan teknologi informatika. Sebagai bukti pendukung coba cermati teknologi internet yang mampu menyatukan dunia hanya ke dalam sebuah desa global. Di dunia belajar, TI sudah menjungkirbalikkan sejarah.. Selain itu teknologi informasi juga memiliki fungsi penting lainnya, yaitu fungsi automating, dimana ia membuat sejumlah cara kerja dan cara hidup menjadi lebih otomatis, ATM, telephone banking hanyalah merupakan salah satu kemudahan yang diberikan teknologi informasi sebagai automating. Tidak hanya itu, TI juga mempunyai fungsi informating. Membuat informasi berjalan cepat dan akurat. Bahkan bisa menyatukan dunia ke dalam sebuah sistem informasi life. Lebih dari sekedar menbantu penyebaran informasi, belakangan teknologi ini juga ikut memformat ulang cara kita hidup dan bekerja (reformating)8.
Dari beberapa bahasan di atas mengenai teknologi informasi maka dapat kita ketahui bahwa jika kita dapat memanfaatkan teknologi tersebut maka kita akan memperoleh kemudahan dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Namun satu hal yang harus kita ingat bahwa perkembanan teknologi tersebut bukannya tanpa ada efek sampingnya, karena justru “crime is product of society it self” yang berarti bahwa semakin tinggi tingkat intelektualitas suatu masyarakat maka akan semakin canggih dan beraneka-ragam pulalah tingkat kejahatan yang dapat terjadi. Sebagi bukti nyata sekarang banyak negara yang dipusingkan oleh kejahatan melalui internet yang dikenal dengan istilah “cyber crime”, belum lagi dampak negatif teknologi informasi yang menyebabkan adanya penurunan moral dengan dijadikannya internet sebagai bisnis maya, dan banyak lagi dampak negatif dari teknologi informasi.
Oleh karena itulah maka kita sebagai bangsa yang masih baru dalam mengikuti perkembangan teknologi informasi haruslah pintar-pintar memilah dan memilih dalam penggunannya, karena alih-alih kita ingin memajukan bangsa dengan menjadikan teknologi informasi sebagai enlightening technology. Teknologi yang mencerahkan orang banyak. Justru yang terjadi malah sebaliknya, yaitu destructive technology. Teknologi yang mengakibatkan kehancuran bagi makhluk hidup.
Jika diperhatikan kondisi karakteristik pemakai internet Indonesia secara keselruhan dapat dikatakan baru dalam tahapan pengembangan industri internet ‘pemula’. Kondisi ini dapat berarti bisnis internet di Indonesia masih relatif fragile dan unpredictable.
Karena kurangnya pengetahuan sebagian besar masyarkat kita akan manfaat internet, yang terjadi justru bukan pemanfaatan internet sebagai sarana informating ataupun reformating melainkan hanya sebatas menggunakannya sebagai sarana hiburan . Sehingga internet bukan lagi menjadi sebuah enlightening technology tetapi justru dianggap sebagai penyebab turunnya moral bangsa, sebagai bukti dapat kita lihat dengan maraknya bisnis ‘gelap’ melalui internet. Sedangkan bagi sebagian computer intelectual internet justru disalahgunakan sebagai sarana untuk memperoleh keuntungan yang menyebabkan kerugian bagi orang lain yang terkenal dengan istilah cyber crime. Untuk itu memang masih diperlukan berbagai upaya untuk dapat mencapai tahapan industri internet yang matang (the Mature Market). Paling tidak ada dua macam upaya mendasar yang perlu dilakukan yaitu yang pertama melakukan edukasi pasar yang cenderung dillakukan masyarakat internet itu sendiri. Pendidikan ini mencakup pemahaman terhadap teknologi dan macam pelayanan yang diberikan sampai dengan dengan pengetahuan menjadi trouble shooter. Yang kedua adalah mengupayakan biaya rendah dan kemudahan serta keragaman mendapatkan pelayanan bagi setiap pemakai internet, mulai dari pengadaan infrastruktur sampai dengan yang berkaitan dengan software dan hardware. Sehingga apabila hal ini bisa dicapai maka diharapkan bangsa Indonesia akan lebih siap lagi dalam menghadapi era persaingan bebas dan globalisasi.
Perspektif dan Konsep Mengenai Kejahatan Mayantara (Cyber crime). Dalam perkembangannya ternyata penggunaan internet tersebut membawa sisi negatif, dengan membuka peluang munculnya tindakan-tindakan anti sosial dan perilaku kejahatan sebagai aplikasi dari perkembangan internet, yang sering disebut cyber crime. Dalam dokumen A/CONF.187/1013, “Cyber Crime dalam arti sempit” (“ ini a narrow sense”) disebut “computer crime” dan “Cyber Crime dalam arti luas” (“in a Broader sense”) disebut computer related crime (CRC).
Walaupun jenis kejahatan ini belum terlalu banyak diketahui secara umum, namun The Federal Bureau of Investigation (FBI) dalam laporannya mengatakan bahwa tindak kejahatan yang dapat dikategorikan cyber crime telah meningkat empat kali lipat sejak tiga tahun belakangan ini14, dimana pada tahun 1998 saja telah tercatat lebih dari 480 kasus cyber crime di Amerika Serikat. Hal ini telah menimbulkan kecemasan lebih dari 2/3 warga Amerika Serikat.
Cyber crime sendiri memiliki berbagai macam interpretasi. Sering diidentikkan dengan computercrime. The U.S. Department of Justice memberikan pengertian computer crime sebagai: “…any illegal act requiring knowledge of computer technology for its perpetration, investigation, or prosecution”. Computer crimepun dapat diartikan sebagai kejahatan di bidang komputer secara umum dapat diartikan sebagai penggunaan komputer secara ilegal15. Dari beberapa pengertian di atas, computer crime dirumuskan sebagai perbuatan melawan hukum yang dilakukan dengan memakai komputer sebagai sarana/alat atau komputer sebagai obyek, baik untuk memperoleh keuntungan ataupun tidak, dengan merugikan pihak lain. Secara ringkas computer crime didefinisikan sebagai perbuatan melawan hukum yang dilakukan dengan menggunakan teknologi yang canggih16 .Ada kontradiksi yang sangat mencolok untuk menindak kejahatan seperti ini. Dalam hukum diperlukan adanya kepastian termasuk mengenai alat bukti kejahatan, tempat kejahatan dan korban dari tindak kejahatan tersebut, sedangkan dalam computer crime ini semuanya serba maya, lintas negara dan lintas waktu.
Meskipun begitu ada upaya untuk memperluas pengertian komputer agar dapat melingkupi segala kejahatan di internet dengan peralatan apapun, seperti pengertian computer dalam The Proposed West Virginia Computer Crime Act, yaitu: “an electronic, magnetic, optical, electrochemical, or; Cyber Sabotage and Extortion.
Kejahatan ini dilakukan dengan membuat gangguan, pengrusakan atau penghancuran terhadap suatu data, program komputer atau sistem jaringan komputer yang terhubung dengan internet. Biasanya kejahatan ini dilakukan dengan menyusupkan suatu logic bomb, virus komputer ataupun suatu program tertentu, sehingga data, program komputer atau sistem jaringan komputer tidak dapat digunakan sebagaimana mestinya, atau berjalan sebagaimana yang diperintahkan oleh pelaku. Offense against Intellectual Property
Kejahatan ini ditujukan terhadap Hak Atas Kekayaan Intelektual yang dimiliki pihak lain di internet. Infringements of Privacy Kejahatan ini ditujukan terhadap informasi seseorang yang merupakan hal yang sangat pribadi dan rahasia. Kejahatan ini biasanya ditujukan terhadap keterangan pribadi seseorang yang tersimpan pada formulir data pribadi yang tersimpan secara computerized, yang apabila diketahui orang lain maka dapat merugikan korban baik secara materiil maupun immateriil. Pada perkembangannya dalam cyber crime sendiri kemudian menimbulkan istilah-istilah baru bagi para pelakunya. Mereka yang suka “memainkan” internet, menjelajah ke situs internet orang lain disebut “Hecker” dan perbuatannya disebut “Hacking”. Apabila si hecker yang penyusup dan penyeludup ke situs orang lain itu dan merusak disebut sebagai “Cracker”. “Hecker” yang menjelajah berbagai situs dan “mengintip” data, tetapi tidak merusak sistem komputer, situs-situs orang atau lembaga lain disebut “Hektivism”. Akhir-akhir ini dapat dikatakan motivasi uang yang paling menonjol, yaitu dengan menggunakan data kartu kredit orang lain untuk belanja lewat internet. Cara mereka disebut “carder” beroleh data kartu kredit adalah dengan menadah data dari transaksi konvensional, misalnya pembayaran di hotel, biro wisata, restoran, toko dan lain-lain.
Kendati kejahatan ini kerap terjadi namun hingga sekarang belum ada pilar hukum paling ampuh untuk menangani kasus-kasusnya, bahkan perkembangan kejahatan di dunia cyber semakin dahsyat. Selain menggunakan piranti canggih, modus kejahatan cyber juga tergolong rapi. Begitu hebatnya kejahatan ini bahkan dapat meresahkan dunia internasional. Dinamika cybercrime memang cukup rumit. Sebab, tidak mengenal batas negara dan wilayah. Selain itu, waktu kejahatannya pun sulit ditentukan. Lengkap sudah fenomena Cyber Crime untuk menduduki peringkat calon kejahatan terbesar di masa mendatang. Lalu bagaimana upaya antisipasinya di Indonesia?
Pada dasarnya setiap kegiatan atau aktifitas manusia dapat diatur oleh hukum. Hukum disini direduksi pengertiannya menjadi peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh negara, begitu pula aktifitas kejahatan mayantara yang menjadikan internet sebagai sarana utamanya ini. Dalam kaitan dengan teknologi informasi khususnya dunia maya, peran hukum adalah melindungi pihak-pihak yang lemah terhadap eksploitasi dari pihak yang kuat atau berniat jahat, disamping itu hukum dapat pula mencegah dampak negatif dari ditemukannya suatu teknologi baru
Akan tetapi pada kenyataannya hukum sendiri belum dapat mengatasi secara riil terhadap permasalahan-permasalahan yang ditimbulkan oleh teknologi khususnya teknolgi nformasi. Salah satu bukti kongkretnya adalah timbulnya berbagai kejahatan di dunia cyber yang ternyata belum bisa diatasi sepenuhnya oleh hukum.
Saat ini berbagai upaya telah dipersiapkan untuk memerangi cyber crime. The Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) telah membuat guidelines bagi para pembuat kebijakan yang berhubungan dengan computer related crime , dimana pada tahun 1986 OECD telah mempublikasikan laporannya yang berjudul “computer related crime: analysis of legal policy”. Laporan ini berisi hasil survei terhadap peraturan perundang-undangan negara-negara anggota beserta rekomendasi perubahannya dalam menanggulangi computer related crime tersebut, yang mana diakui bahwa sistem telekomunikasi juga memiliki peran penting didalam kejahatan tersebut. Melengkapi laporan OECD, The Council of Europe (CE) berinisiatif melakukan studi mengenai kejahatan tersebut. Studi ini memeberikan guidelines lanjutan bagi para pengambil kebijakan untuk menentukan tindakan-tindakan apa yang seharusnya dilarang berdasakan hukum pidana negara-negara anggota dengan tetap mempehatikan keseimbangan antara hak-hak sipil warga negara dan kebutuhan untu melakukan proteksi terhadap computer related crime tersebut. Pada perkembangannya, CE membentuk Committee of Experts on Crime ini Cyber space of The Committee on Crime problem, yang pada tanggal 25 April 2000 telah mempublikasikan draft Convension on Cyber Crime sebagai hasil kerjanya, yang menurut Prof. Susan Brenner dari University of Daytona School of Law, merupakan perjanjian internsional pertama yang mengatur hukum pidana dan aspek proseduralnya untuk berbagai tipe tindak pidana yang berkaitan erat dengan penggunaan komputer, jaringan atau data, serta berbagai penyalahgunaan sejenis18.
Di Indonesia sendiri, setidaknya sudah terdapat Rancangan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang di gawangi oleh Direktorat Aplikasi Telematika Departemen Komunikasi dan Informatika. Subyek-subyek muatannya ialah menyangkut masalah yurisdiksi, perlindungan hak pribadi, azas perdagangan secara e-comerce, azas persaingan usaha usaha tidak sehat dan perlindungan konsumen, azas-azas hak atas kekayaan intelektual (HaKI) dan hukum Internasional serta azas Cyber Crime. RUU tersebut mengkaji cyber case dalam beberapa sudaut pandang secara komprehensif dan spesifik, fokusnya adalah semua aktivitas yang dilakukan dalam cyberspace untuk kemudian ditentukan pendekatan mana yang paling cocok untuk regulasi Hukum Cyber di Indonesia.
Jaringan komputer global pada awalnya digunakan hanya unuk saling tukar-menukar informasi, tetapi kemudian meningkat dari sekedar media komunikasi kemudian menjadi sarana untuk melakukan kegiatan komersilseperti informasi, penjualan dan pembelian produk. Keberadaannya menjadi sebuah intangible asset sebagaimana layaknya intelectual property. Adanya pergeseran paradigma dimana jaringan informasi merupakan infrastruktur bagi perkembangan ekonomi suatu negara, mengharuskan kita secara sistematis membangun pertumbuhan pemanfaatan TI di Indonesia. Kompetisi yang terjadi pun harus senantiasa disiasati dengan melihat secara positif kompetisi yang sedang berlangsung. Negara manapun tidak mungkin menghindari ini, selain harus mengikuti irama kemajuan dengan menjadikan kemajuan yang telah dicapai oleh negara lain sebagai pemacu dalam mengembangkan TI di negara kita.
Hal itu sesuai dengan eksistensi kecenderungan Teknologi Informasi pada masyarakat indonesia, adalah sebagai "follower". Indonesia tidak tertinggal jauh dalam "kualitas", tapi memang tertinggal jauh dalam "kuantitas". kuantitas pun masih bisa di bilang cukup memadai jika diukur dari total penduduk Indonesia yang sudah mengenal teknologi inforamtika, dan bukan dari prosesntase pengguna teknologi informatika. Dalam konteks kualitatif, dengan akselerasi macam apapun yg masih logis (katakan dengan optimalisasi daya dan upaya), Indonesia akan tetap tertinggal. Maka ketertinggalan adalah bukan isu yang "essensial". Dan secara realistis, bahwa kita memang tidak tinggal diam. Hal tersebut harus sudah diciptakan sejak dini, karena telah diakui oleh banyak pihak, teknologi informasi akan menjadi bagian aktifitas terpenting untuk menentukan keberhasilan individu dalam era mendatang yang serba digital.

No comments:

Post a Comment

PENERAPAN ILMU FORENSIK DALAM HUKUM PIDANA

Terbentuknya keyakinan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana didasarkan pada hasil pemeriksaan alat-alat bukti yang dikemukakan pada pros...