9/12/09

ANALISA PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARIAH

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pengadilan Agama sebagai salah satu dari empat lembaga peradilan yang ada di Indonesia. semenjak diundangkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, mempunyai wewenang baru sebagai bagian dari yurisdiksi absolutnya, yaitu kewenangan untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan sengketa dibidang ekonomi syari’ah.
Wewenang baru tersebut bisa dikatakan sebagai tantangan dan sekaligus peluang bagi lembaga peradilan agama. Dikatakan sebagai tantangan karena selama ini bagi Pengadilan Agama belum ada pengalaman apa pun dalam menyelesaikan sengketa di bidang ekonomi syari’ah, sehingga kalau pun sekiranya datang suatu perkara tentang sengketa ekonomi syari’ah , maka bagi lembaga peradilan agama ini mesti mencari dan mempersiapkan diri dengan seperangkat peraturan perundangan maupun norma hukum yang terkait dengan persoalan ekonomi syari’ah.
Hukum Islam sebagai sebuah hukum yang hidup di Indonesia menghalami perkembangan yang cukup berarti dalam masa kemerdekaan ini. Perkembangan tersebut antara lain dapat dilihat dari kewenangan yang dimiliki oleh Peradilan Agama (PA) sebagai peradilan Islam di Indonesia. Dulunya, putusan PA murni berdasarkan fiqh para fuqaha', eksekusinya harus dikuatkan oleh Peradilan Umum, Para hakimnya hanya berpendidikan Syari'ah tradisional dan tidak berpendidikan hukum, organisasinya tidak berpuncak ke Mahkamah Agung, dan lain-lain. Sekarang keadaan sudah berubah. Salah satu perubahan mendasar akhir-akhir ini adalah penambahan kewenangan PA dalam Undang-Undang Peradilan Agama yang baru, antara lain bidang ekonomi syari'ah.
Persoalannya sampai saat ini belum ada aturan hukum positive yang secara terperinci mengatur tentang acara penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah, namun demikian bukan berarti tidak ada aturan hukumnya atau dengan kata lain telah terjadi “kekosongan hukum” dalam persoalan ini. Karena pada asasnya pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan kepadanya dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadili Oleh karena itu walau pun aturan formal yang berkenaan dengan penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah belum ada, pengadilan agama sebagai lembaga yang diberi wewenang oleh negara untuk memeriksa, mengadili dan menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah sudah seharusnya mengerahkan segenap potensinya untuk menjawab tantangan tersebut.
Untuk menjawab persoalan-persoalan yang berkaitan dengan proses penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah ini kiranya pengadilan agama harus berani dan mampu menggali nilai-nilai maupun norma-norma hukum Islam, baik yang terdapat dalam kitab Al-Qur’an, al-Sunnah maupun kitab-kitab fiqh /ushul fiqh serta fatwa-fatwa Majelis Ulama’ yang dalam hal ini melalui Dewan Syari’ah Nasional yang berkaitan dengan persoalan-persoalan diseputar ekonomi syari’ah.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan kepada latar belakang masalah di atas dapat dirumuskan pokok-pokok masalah sebagai berikut :
1. Mengapa sengketa ekonomi syari’ah mesti diselesaikan melalui Badan Peradilan Agama ?
2. Bagaimana cara-cara dan proses penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah di Pengadilan Agama ?
3. Pengadilan Agama mana yang paling berwenang menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah (kompetnsi relative) ?

C. Tujuan Penelitian
Penelitian tentang sengketa ekonomi syari’ah dan penyelesaiannya di Pengadilan Agama mengandung maksud dan tujuan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui lebih mendalam mengapa Pengadilan Agama lebih berwenang dalam meyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah ?
2. Untuk menganalis lebih jelas bagaimana cara-cara dan proses penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah di Pengadilan Agama.
3. Untuk memperoleh informasi yang pasti tentang Pengadilan Agama mana yang paling berwenang (kompetensi relatif) memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara sengketa ekonomi syari’ah.

D. Manfaat Penelitian
Penelitian tentang penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah di lingkungan Pengadilan agama diharapkan memiliki manfaat tertentu.. Manfaat tersebut sekurang-kurangnya meliputi dua aspek, yaitu:
1. Manfaat sosial (social value), yang diharapkan berguna untuk :
a. Memberi gambaran atau pedoman awal bagi lembaga Peradilan Agama tentang bagaimana cara-cara dan proses penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah.
b. Memberi informasi kepada masyarakat muslim Indonesia pada umumnya, khususnya para pelaku bisnis syari’ah tentang cara-cara menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah melalui pengadilan agama.
c. Memberi pedoman praktis kepada para praktisi hukum khususnya dalam hal-hal yang berkaitan dengan proses penyelesaian sengketa ekonomi syariah.
2. Manfaat akademik (academic value)
a. Diharapkan penulisan tesis tentang proses penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah di pengadilan agama ini dapat dijadikan sebagai pemenuhan salah satu syarat guna memperoleh gelar Magister Studi Islam pada Program Pascasarjana Universitas Islam Indonesia.
b. Manfaat lain dari penulisan tesis ini diharapkan bisa menambah khazanah keilmuan dalam bidang penyelesaian sengkerta ekonomi syari’ah.

E. Telaah Pustaka
Dari penelusuran referensi yang ada tidak banyak dijumpai karya-karya ilmiyah yang membahas persoalan penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah di lingkungan Pengadilan Agama . Hal ini bisa dimaklumi karena persoalan ini relatif masih baru. Namun demikian hal-hal yang masih ada relevansinya dengan penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah dapat dijumpai pada beberapa karya ilmiyah, diantaranya adalah tulisan Dr. Dadan Muttaqien tentang “Penyelesaian Sengketa Perbankan Syari’ah Di Luar Lembaga Peradilan”. Dalam tulisan ini dijelaskan bahwa pada prinsipnya penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah di luar lembaga peradilan (non litigasi) ada dua cara yang bisa ditempuh, yaitu melalui lembaga perdamaian (al-Shulh) dan melalui lembaga arbitrase (al-Tahkim).
Di Indonesia, lembaga perdamaian telah diakui keberadaannya melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaaian Sengketa. Dalam Undang-Undang tersebut dinyatakan bahwa negara memberi kebebasan kepada masyarakat untuk menyelesaikan masalah sengketa bisnisnya di luar lembaga peradilan, baik melalui konsultasi, mediasi, negosiasi, konsiliasi, atau penilaian para ahli.
Sedangkan lembaga tahkim disini yang dimaksud adalah penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah melalui Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS ). Sebagai gambaran tentang peraturan dan prosedur Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS) adalah sebagai berikut:
1. Penagajuan Permohonan
Proses arbitrase dimulai dengan didaftarkannya surat permohonan untuk mengadakan arbitrase oleh Sekretaris dalam Register Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS). Dalam surat permohonannya tersebut harus memuat sekurang-kurangnya nama lengkap dan tempat tinggal atau tempat kedudukan kedua belah pihak, suatu uraian singkat tentang salinan naskah perjanjian Arbitrasenya dan suatu surat kuasa khusus jika diajukan oleh kuasa hukum.
2. Selanjutnya, surat permohonan itu akan diperiksa oleh Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS) , untuk menentukan apakah Badan Arbitrase Nasional (BASYARNAS) berwenang memeriksa dan memutuskan sengketa arbitrase yang dimohonkan tadi. Dalam hal perjanjian atau klausula arbitrase dianggap tidak cukup kuat dijadikan dasar kewenangan Badan Arbitrase Nasional (BASYARNAS) untuk memeriksa sengketa yang diajukan, maka Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS) akan meyatakan permohonan itu tidak dapat diterima (niet outvankelijk verklaard) yang dituangkan dalam sebuah penetapan yang dikeluarkan oleh Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS) sebelum pemeriksaan dimulai atau dapat pula dilakukan oleh arbiter tunggal atau arbiter majelis yang ditunjuk dalam hal pemeriksaan telah dimulai. Sebaliknya, jika perjanjian atau klausula arbitrase dianggap telah mencukupi, maka Ketua Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS) segera menetapkan dan menunjuk arbiter tunggal atau majelis yang akan memeriksa dan memutus sengketa berdasarkan berat ringannya sengketa. Arbiter yang ditunjuk tersebut dapat dipilih dari arbiter atau menunjuk seorang ahli dalam bidang khusus yang diperlukan untuk menjadi arbiter, karena pemeriksaanya memerlukan suatu keahlian khusus. Dengan demikian susunan arbiter dapat pula dalam bentuk tunggal atau majelis.
3. Arbiter yang ditunjuk memerintahkan untuk menyampaikan salinan surat permohonan kepada Termohon disertai perintah untuk menanggapi permohonan tersebut dan memberikan jawabannya secara tertulis selambat-lambatnya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak diterimanya salinan surat permohonan dan surat panggilan. Segera setelah diterimanya jawaban dari Termohon, atas perintah Arbiter tunggal atau Ketua ArbiterMajelis, salinan dari jawaban tersebut diserahkan kepada Pemohon dan bersamaan dengan itu memerintahkan kepada para pihak untuk menghadap di muka sidang Arbitrase pada tanggal yang ditetapkan, selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal dikeluarkannya perintah itu, dengan pemberitahuan bahwa mereka boleh mewakilkan kepada kuasa hukumnya masing-masing dengan surat kuasa khusus.
4. Pemeriksaan persidangan Arbitrase dialakukan di tempat kedudukan Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS), kecuali ada persetujuan dari kedua belah pihak, pemeriksaan dapat dilakukan di tempat lain. Arbiter Tunggal atau Majelis dapat melakukan sidang ditempat untuk memeriksa saksi, barang, atau benda dokumen yang mempunyai hubungan dengan para pihak yang bersengketa. Putusan harus diambil dan dijatuhkan di tempat kedudukan Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS).
5. Selama proses dan pada setiap tahap pemeriksaan berlangsung Arbiter tunggaal atau majelis harus memberi perlakuan dan kesempatan yang sama sepenuhnya terhadap para pihak (equality before the law) untuk membela dan mempertahankan kepentingan yang disengketekannya. Arbiter tunggal atau Majelis , baik atas pendapat sendiri atau para pihak dapat melakukan pemeriksaan dengan mendengar keterangan saksi, termasuk saksi ahli dan pemeriksaan secara lisan di antara para pihak, setiap bukti atau dokumen yang disampaikan salah satu pihak kepada Arbiter Tunggal atau Majelis salinannya harus disampaikan kepada pihak lawan. Namun, pemeriksaan dibolehkan secara lisan (oral hearing). Tahap pemeriksaan dimulai dari jawab-menjawab (replik-duplik), pembuktian dan putusan dilakukan berdasarkan kebijakan Arbiter Tunggaal atau Majelis.
6. Dalam jawabannya, atau paling lambat pada sidang pertama pemeriksaan, Termohon dapat mengajukan suatu tuntutan balasan (reconventie). Terhadap bantahan yang diajukan Termohon, Pemohon dapat mengajukan jawaban (replik) yang dibarengi dengan tambahan tuntutan (Additional Claim) asal hal itu mempunyai hubungan yang sangat erat langsung dengan pokok yang disengketekan serta termasuk dalam Yurisdiksi Badaan Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS), baik tuntutan konvensi, rekonvensi maupun addional Claim akan diperiksa dan diputus oleh Arbiter atau maajelis terlebih dulu akan mengusahakan tercapainya perdamaian. Apabila usaha tersebut berhasil, maka Arbiter Tunggal akan membuat akta perdamaian dan mewajibkan kedua belah pihak untuk memenuhi dan mentaati perdamaian tersebut masing-masing. Sebaliknya, apabila perdamaian tidak berhasil, maka Arbiter Tunggal atau Majelis akan meneruskan pemeriksaan sengketa yang dimohon. Dalam hal yang diteruskan para pihak dipersilakan untuk memberikan argumentasi dan pendirian masing-masing serta mengajukan bukti-bukti yang dianggap perlu untuk mengatakannya. Seluruh pemeriksaan dilakukan secara tertutup sesuai dengan saran arbitrase yang tertutup.
7. Arbiter tunggal atau Majelis akan menutup pemeriksaan sengketa arbitrase dan menetapkan suatu hari sidang untuk mengucapkan putusan yang diambil, bila menganggap pemeriksaan telah cukup, dengan tidak menutup kemungkinan dapat membuka sekali lagi pemeriksaan (to open) sebelum putusan dijatuhkan bila dianggap perlu.
8. Putusan diambil dan diputuskan dalam suatu sidang yang dihadiri kedua belah pihak. Bila para pihak telah dipanggil secara patut, tetapi jika tidak ada yang hadir, maka putusan tetap diucapkan. Seluruh proses pemeriksaan sampai diucapkannya putusan oleh Arbiter Tunggal atau Majelis akan diselesaikan selambat-lambatnya sebelum jangka waktu 6 (enam) bulan habis, terhitung sejak dipanggilnya pertama kali para pihak untuk menghadiri sidang pertama pemeriksaan.
9. Putusan Arbitrase tersebut harus memuat alasan-alasan, kecuali para pihak menyetujui putusan tidak perlu membuat alasan. Arbiter Tunggal atau Majelis harus memutus berdasar kepatutan dan keahlian sesuai dengan ketentuaan hukum yang berlaku bagi perjanjiaan yang menimbulkan sengketa dan disepakati para pihak. Putusannya bersifat final dan mengikat para pihak yang bersengketa dan para pihak wajib mentaati seta memenuhi secara suka rela seperti yang disebut di atas. Apabila putusan tidak dipenuhi secara suka rela, maka putusan dijalankan menurut ketentuan yang diatur dalam Pasal 637 RV dan Pasal 639 RV.
Walaupun putusan arbiter itu bersifat final , namun Peraturan Prosedur Badan Arbitrase Syari’ah Nasional memberikan kemungkinan kepada salah satu pihak untuk mengajukan secara tertulis, permintaan pembatalan putusan (annulment of the award) arbitrase tersebut yang disampaikan kepada sekretaris BASYARNAS dan tembusan kepada pihak lawan sebagai pemberitahuan. Pengajuan pembatalan putusan paling lambat dalam waktu 60 (enam puluh) hari dari tanggal putusan diterima, kecuali mengenai alasan penyelewengan dan hal itu berlaku paling lama dalam waktu 3 (tiga) tahun sejak putusan dijatuhkan. Permintaan pembatalan putusan hanya dapat dilakukan berdasarkan salah satu alasan sebagai berikut:
a. Penunjukan Arbiter Tunggal atau Majelis tidak sesuai dengan ketentuan,
b. Putusan melampaui batas kewenangan BASYARNAS,
c. Putusan melebihi yang diminta para pihak,
d. Terdapat penyelewengan diantara saalah salah seorang arbiter,
e. Putusan jauh menyimpang dari ketentuan pokok dan putusan tidak memuat alasan-alasan yang menjadi landasan pengambilan putusan.
Sementara itu dalam tulisan Dr. Rifyal Ka’bah yang berjudul” Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syari’ah Sebagai Sebuah Kewenangan Baru Peradilan Agama” yang termuat dalam Majalah Hukum Varia Peradilan tahun Ke XXI Nomor 245 April 2006, lebih banyak mambahas tentang pengalaman BASYARNAS dalam menyelesaian sengketa ekonomi syari’ah yang diajukan kepadanya, dimana didalam menyelesaiakan sengketa ekonomi syari’ah BASYARNAS menggunakan dua hukum yang berbeda, yakni hukum Islam seperti yang diformulasikan oleh DSN (Dewan Syari’ah Nasional) dan pasal-pasal dalam KUHPerdata. Hal ini dilakukan karena ketiadaan peraturan perUndang-Undangan tentang perbankan syari’ah secara khusus dan ekonomi syari’ah secara umum.
Selain kedua referensi di atas terdapat satu tesis MSI-UII Yogyakarta yang disusun oleh Yususf Buchori dengan judul “Litigasi Sengketa Perbankan Syari’ah Dalam Persektif Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 Tentang Peradilan Agama (Study Kasus Putusan Pada Pengadilan Agama Purbalingga)” , dalam pembahasannya lebih terfokus kepada studi kasus pada sengketa perbankan syari’ah yang diadili dan diselesaikan oleh pengadilan Agama Purbalinga, bukan kepada penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah pada umumnya. Sebaagaimana dalam salah satu kesimpulannya Yusuf Buchori menyatakan, bahwa dalam menyelesaikan sengketa perbankan syari’ah terdapat dua lapangan hukum (two level playing fields) , yaitu syari’ah level dan legal level. Hal ini dikarenakan dalam praktek Bank Syari’ah dalam mengadakan akad secara formal berpedoman kepada KHUPerdata (BW) dan secara materiil atau substansinya berdasarkan prinsip syari’ah.
Dari ketiga referensi di atas secara jelas belum ada yang membahas proses penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah dilingkungan Peradilan Agama. Oleh karena itu cukup alasan bagi diri Penyusun untuk menyusun tesis ini dalam rangka untuk menambah khazanah keilmuan dalam hal penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah, khususnya bagi lembaga Pengadilan Agama.



No comments:

Post a Comment

PENERAPAN ILMU FORENSIK DALAM HUKUM PIDANA

Terbentuknya keyakinan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana didasarkan pada hasil pemeriksaan alat-alat bukti yang dikemukakan pada pros...