7/23/18

SISTEM PEMBUKTIAN


A.  Hukum Pembuktian
Membuktikan ialah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu sengketa.[1] Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang dan boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan.[2] Hukum pembuktian merupakan sebagian dari hukum acara pidana yang mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum, sistem yang di anut dalam pembuktian,  syarat syarat dan tata cara mengajukan bukti  tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak dan menilai suatu pembuktian.[3]
Ditinjau dari segi hukum acara pidana sebagaimana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), telah diatur pula beberapa pedoman dan penggarisan:[4]
  1. Penuntut umum bertindak sebagai aparat yang diberi wewenang untuk mengajukan segala daya upaya membuktikan kesalahan yang didakwakannya kepada terdakwa.
  2. Sebaliknya terdakwa atau penasihat hukum mempunyai hak untuk melemahkan dan melumpuhkan pembuktian yang diajukan penuntut umum, sesuai dengan cara-cara yang dibenarkan undang-undang.
  3. Terutama bagi hakim, harus benar-benar sadar dan cermat menilai dan mempertimbangkan kekuatan pembuktian yang diketemukan selama pemeriksaan persidangan.
Pembuktian dalam hal ini bukanlah upaya untuk mencari-cari kesalahan pelaku saja namun yang menjadi tujuan utamanya adalah untuk mencari kebenaran yang materil. Didalam peradilan pidana di Indonesia kita mengenal dua hal yang sering kita dengar yaitu alat bukti dan barang bukti di samping adanya proses yang menimbulkan keyakinan hakim dalam pembuktiannya. Pembuktian merupakan bagian terpenting dari keseluruhan proses pemeriksaan perkara di sidang pengadilan, baik perkara pidana maupun perdata karena dari sinilah akan ditarik suatu kesimpulan yang dapat mempengaruhi keyakinan hakim dalam menilai perkara yang akan di ajukan. Hakim memberikan putusannya berdasarkan  penilaiannya dalam pemeriksaan persidangan.
Dalam proses perkara pidana di Indonesia, barang bukti memegang peranan yang sangat penting, dimana barang bukti dapat membuat terang tentang terjadinya suatu tindak pidana dan akhirnya akan digunakan sebagai bahan pembuktian, untuk menunjang keyakinan hakim atas kesalahan terdakwa sebagaimana yang di dakwakan oleh jaksa penuntut umum didalam surat dakwaan di pengadilan.
Dalam kamus Indonesia disebutkan bahwa pengertian pembuktian secara umum adalah perbuatan (hak dan sebagainya) membuktikan, sedangkan membuktikan berarti:[5]
  1. Memberi (memperlihatkan bukti);
  2. Melakukan sesuatu sebagai bukti kebenaran, melaksanakan (cita-cita dan sebagainya);
  3. Menandakan, menyatakan (bahwa sesuatu benar);
  4. Meyakinkan, menyaksikan.
Pembuktian menurut Yahya Harahap adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang untuk membuktikan keseluruhan yang didakwakan pada terdakwa, pembuktian dapat pula diartikan sebagai ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang dan yang boleh dipergunakan hakim untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan.[6]

Ditinjau dari segi hukum acara pidana, pembuktian merupakan ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usahanya mencari dan mempertahankan kebenaran. Hakim, penuntut umum, terdakwa, maupun penasehat hukum, masing-masing terikat pada ketentuan tata cara dan penilaian alat bukti yang ditentukan undang-undang, artinya, bahwa dalam mempergunakan dan menilai kekuatan pembuktian yang melekat pada setiap alat bukti hakim, jaksa, terdakwa, maupun penasehat hukum harus melaksanakanya dalam batas-batas yang dibenarkan undang-undang.

Kegiatan pembuktian diharapkan dapat memperoleh kebenaran secara hukum karena pembuktian dalam hukum acara pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materiil. Hal ini berbeda dengan pembuktian dalam hukum acara perdata yang menitikberatkan pada kebenaran formal. Kebenaran dalam perkara pidana merupakan kebenaran kebenaran yang disusun dan didapatkan dari jejak, kesan dan refleksi dari keadaan dan atau benda yang dapat berkaitan dengan kejadian masa lampau yang diduga menjadi perbuatan pidana. Suatu pembuktian menurut hukum pada dasarnya merupakan proses menentukan subtansi atau hakekat mengenai adanya fakta-fakta yang diperoleh melalui ukuran yang layak dengan pikiran yang logis terhadap fakta-fakta pada masa lalu yang tidak terang menjadi fakta-fakta yang terang dalam hubunganya dengan perkara pidana. Membuktikan suatu perkara pidana pada hakekatnya merupakan penelitian dan koreksi dalam menghadapi masalah dari berbagai fakta untuk mendapatkan suatu kesimpulan dengan metode ilmu logika.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kebenaran biasanya hanya mengenai keadaan-keadaan  tertentu yang sudah lampau, semakin lama waktu lampau semakin sukar bagi hakim untuk menyatakan kebenaran atas keadaan itu. Dengan demikian kepastian seratus persen bahwa apa yang diyakini hakim tentang suatu keadaan supaya betul-betul sesuai dengan kebenaranya tampaknya tidak mungkin dicapai. Hukum acara pidana sebenarnya hanya dapat menunjukan jalan untuk berusaha guna mendekati sebanyak mungkin persesuaian antara keyakinan hakim dengan kebenaran hakim.

Berdasarkan hal tersebut,  sistem hukum pembuktian dapat diartikan sebagai suatu keseluruhan dari unsur-unsur hukum. Hukum pembuktian yang berkaitan dan berhubungan satu dengan yang lain serta saling mempengaruhi dalam suatu keseluruhan atau kebulatan.

B. Teori-Teori Pembuktian

Ada beberapa sistem atau teori pembuktian, yaitu antara lain:
1.  Sistem Atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Semata (Conviction In Time)
Sistem ini menganut ajaran bahwa bersalah tidaknya terdakwa terhadap perbuatan yang didakwakan, sepenuhnya tergantung pada penilaian “keyakinan” hakim semata-mata. Jadi bersalah tidaknya terdakwa atau dipidana tidaknya terdakwa sepenuhnya tergantung pada keyakinan hakim. Keyakinan hakim tidak harus timbul atau didasarkan pada alat bukti yang ada. Sekalipun alat bukti sudah cukup kalau hakim tidak yakin, hakim tidak boleh menjatuhkan pidana, sebaliknya meskipun alat bukti tidak ada tapi kalau hakim sudah yakin, maka terdakwa dapat dinyatakan bersalah. Akibatnya dalam memutuskan perkara hakim Kelemahan pada sistem ini terletak pada terlalu banyak memberikan kepercayaan kepada hakim, kepada kesan-kesan perseorangan sehingga sulit untuk melakukan pengawasan. Hal ini terjadi di praktik Peradilan Prancis yang membuat pertimbangan berdasarkan metode ini, dan banyak mengakibatkan putusan bebas yang aneh.[7]

2. Sistem Atau Teori Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim Atas Alasan Yang Logis (Conviction In Raisone)
Sistem pembuktian Conviction In Raisone masih juga mengutamakan penilaian keyakinan hakim sebagai dasar satu-satunya alasan untuk menghukum terdakwa, akan tetapi keyakinan hakim disini harus disertai pertimbangan hakim yang nyata dan logis, diterima oleh akal pikiran yang sehat. Keyakinan hakim tidak perlu didukung alat bukti sah karena memang tidak diisyaratkan, meskipun alat-alat bukti telah ditetapkan oleh undang-undang tetapi hakim bisa menggunakan alat-alat bukti di luar ketentuan undang-undang. Yang perlu mendapat penjelasan adalah bahwa keyakinan hakim tersebut harus dapat dijelaskan dengan alasan yang logis.
Keyakinan hakim dalam sistem pembuktian convition in raisone harus dilandasi oleh “reasoning” atau alasan-alasan dan alasan itu sendiri harus “reasonable” yakni berdasarkan alasan-alasan yang dapat diterima oleh akal dan nalar, tidak semata-mata berdasarkan keyakinan yang tanpa batas. Sistem pembuktian ini sering disebut dengan sistem pembuktian bebas.

3. Sistem Atau Teori Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif (Positief Wettelijk Bewijstheori)
Sistem ini ditempatkan berhadap-hadapan dengan sistem pembuktian conviction in time, karena sistem ini menganut ajaran bahwa bersalah tidaknya terdakwa didasarkan kepada ada tiadanya alat-alat bukti sah menurut undang-undang yang dapat dipakai membuktikan kesalahan terdakwa. Teori positif wetteljik sangat mengabaikan dan sama sekali tidak mempertimbangkan keyakinan hakim. Jadi sekalipun hakim yakin akan kesalahan yang dilakukan terdakwa, akan tetapi dalam pemeriksaan di persidangan pengadilan perbuatan terdakwa tidak didukung alat bukti yang sah menurut undang-undang maka terdakwa harus dibebaskan.
Umumnya bila seorang terdakwa sudah memenuhi cara-cara pembuktian dan alat bukti yang sah menurut undang-undang maka terdakwa tersebut bisa dinyatakan bersalah dan harus dipidana. Kebaikan sistem pembuktian ini, yakni hakim akan berusaha membuktikan kesalahan terdakwa tanpa dipengaruhi oleh nuraninya sehingga benar-benar obyektif karena menurut cara-cara dan alat bukti yang di tentukan oleh undang-undang kelemahannya terletak bahwa dalam sistem ini tidak memberikan kepercayaan kepada ketetapan kesan-kesan perseorangan hakim yang bertentangan dengan prinsip hukum acara pidana. Sistem pembuktian positif yang dicari adalah kebenaran formal, oleh karena itu sistem pembuktian ini digunakan dalam hukum acara perdata. Positief wettelijk bewijstheori systeem di benua Eropa dipakai pada waktu berlakunya Hukum Acara Pidana yang bersifat Inquisitor. Peraturan itu menganggap terdakwa sebagai objek pemeriksaan belaka; dalam hal ini hakim hanya merupakan alat perlengkapan saja.[8]

4. Sistem Atau Teori Pembuktian Menurut Undang-undang Secara Negatif (Negatief Wettelijk Stelsel)
Sistem pembuktian negatief wettelijk terletak antara dua sistem yang berhadap-hadapan, yaitu antara sistem pembuktian positif wettelijk dan sistem pembuktian conviction intime. Artinya hakim hanya boleh menyatakan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan apabila ia yakin dan keyakinannya tersebut didasarkan kepada alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Dalam sistem negatif wetteljik ada dua hal yang merupakan syarat untuk membuktikan kesalahan terdakwa, yakni: pertama, Wettelijk yaitu adanya alat-alat bukti yang sah dan ditetapkan oleh undang-undang dan kedua, Negatif, yaitu adanya keyakinan (nurani) dari hakim, sehingga berdasarkan bukti-bukti tersebut hakim meyakini kesalahan terdakwa. Antara alat-alat bukti dengan keyakinan diharuskan adanya hubungan causal (sebab akibat). Meskipun terdakwa telah terbukti menurut cara dan dengan alat-alat bukti sah menurut undang-undang, akan tetapi bila hakim tidak yakin akan kesalahan terdakwa, maka ia dapat saja membebaskan terdakwa. Sebaliknya bila hakim yakin akan kesalahan terdakwa, tetapi keyakinannya tidak didasarkan atas alat-alat bukti sah menurut undang-undang, maka hakim harus menyatakan kesalahan terdakwa tidak terbukti. Sistem inilah yang dipakai dalam sistem pembuktian peradilan pidana di Indonesia.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) maupun Herziene Indonesisch Reglement (HIR) menganut teori yang sama, yaitu teori negatif menurut undang-undang (negatief wettelijk). Hal tersebut dapat disimpulkan dari Pasal 183 KUHAP dan Pasal 294 HIR.

Pasal 184 KUHAP menyatakan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan hukuman kepada seseorang, kecuali apabila sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Berdasarkan rumusan Pasal 183 KUHAP tersebut dapat diketahuin bahwa pembuktian harus didasarkan kepada undang-undang, yaitu alat bukti yang sah yang disebut pada Pasal 184 KUHAP disertai dengan keyakinan hakim yang diperoleh dari alat-alat bukti tersebut.

Esensi yang terkandung dalam Pasal 183 KUHAP adalah sekurang-kurangnya ada dua alat bukti yang sah dan terdakwa telah bersalah melakukanya. Kata sekurang-kurangnya dua alat bukti memberikan pembatasan atau limitatif pada alat bukti yang minimum yang harus disampaikan pada acara pembuktian, sedangkan kata-kata alat bukti yang sah menunjukan suatu pengertian bahwa hanyalah alat-alat bukti yang diatur dan diakui oleh undang-undang yang dapat diterapkan sebagai alat bukti yang sah dalam proses pembuktian pada perkara pidana.

Dalam hal system positief wettelijk, D. Simon sebagaimana dikutip oleh Andi Hamzah mengatakan bahwa system positief wettelijk dibenua Eropa dipakai pada waktu berlakunya hukum acara pidana yang bersifat inquisitoir. Peraturan tersebut menganggap terdakwa sebagai objek pemeriksaan belaka, dalam hal ini hakim hanya merupakan alat perlengkapan saja.[9]Kelemahan pada sistem ini adalah  tidak memberikan kepercayaan kepada ketetapan kesan-kesan perseorangan hakim. Hal tersebut bertentangan dengan prinsip hukum acara pidana bahwa putusan harus diadasarkan atas kebenaran.

Menurut Wirjono Prodjodikoro, sistem pembuktian onviction intime pernah dianut di Indonesia , yaitu pada pengadilan distrik dan pengadilan kabupaten namun sistem ini hanya memungkinkan menyebut apa saja yang menjadi dasar keyakinannya, misalnya keterangan medium atau dukun.[10]


C.  Macam- macam Alat Bukti
Alat-alat bukti yang boleh diajukan dalam persidangan telah ditetapkan oleh KUHAP dalam Pasal 184, yaitu :
  1. Keterangan saksi;
  2. Keterangan ahli;
  3. Surat;
  4. Petunjuk;
  5. Keterangan terdakwa.
a) Keterangan Saksi
Syarat-syarat untuk menjadi seorang saksi, yaitu sebagai berikut:
  1. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus keatas atau kebawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa;
  2. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga;
  3. Suami atau suami terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.
Ditinjau dari segi nilai dan kekuatan pembuktian atau “the degree of evidence” keterangan saksi, agar keterangan saksi atau kesaksian mempunyai nilai serta kekuatan pembuktian, perlu diperhatikan beberapa pokok ketentuan yang harus dipenuhi oleh seorang saksi, yaitu sebagai berikut;[11]
  1. Harus mengucapkan sumpah atau janji;
  2. Keterangan saksi yang bernilai sebagi alat bukti.
Keterangan saksi yang mempunyai nilai ialah keterangan yang sesuai dengan apa yang dijelaskan Pasal 1 angka 27 KUHAP:
  1. Yang saksi lihat sendiri;
  2. Saksi dengan sendiri;
  3. Saksi alami sendiri;
  4. Serta menyebut alasan dari pengetahuan itu;
  5. Keterangan saksi harus diberikan disidang pengadilan
Keterangan saksi dapat dinilai sebagai alat bukti, keterangan itu harus dinyatakan disidang pengadilan, hal ini sesuai dengan penjelasan Pasal 185 ayat 1, keterangan saksi yang berisi penjelasan tentang apa yang didengar sendiri, dilihatnya sendiri atau dialaminya sendiri mengenai suatu peristiwa pidana, baru dapat bernilai sebagai alat bukti apabila keterangan itu saksi nyatakan disidang pengadilan.

b) Keterangan Ahli
Keterangan seorang ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan. Berdasarkan pasal 184 ayat 1 KUHAP menetapkan, keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah, dari ketentuan Pasal 133 dihubungkan dengan penjelasan Pasal 186, jenis dan tata cara pemberian keterangan ahli sebagai alat bukti atau jenis sebagai alat bukti yang sah pada sebagai berikut:
  1. Diminta penyidik pada taraf pemeriksaan penyidikan;
  2. Keterangan ahli yang diminta dan diberikan disidang
Permintaan keterangan ahli dalam pemeriksaan disidang pengadilan diperlukan apabila pada waktu pemeriksaan penyidikan belum ada  diminta keterangan ahli, maupun perlunya keterangan ahli didengar didepan persidangan.

c) Surat
J.M. Van Bemmelen sebagaimana dikutip oleh Andi Hamzah memberikan pengertian tentang surat adalah segala sesuatu yang mengandung tanda-tanda baca yang dapat dibaca, dimengerti, dimaksud untuk mengeluarkan isi pikiran.[12]

Didalam KUHAP pasal 187 mengatur tentang alat bukti yang terdiri dari 4 ayat, yaitu :
  1. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapanya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaaan yang didengar, dilihat atau yang dialami sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu;
  2. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;
  3. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahlianya mengenai sesuatu hal atau mengenai keadaan yang diminta secara resmi dari padanya;
  4. Surat lain yang hanya berlaku jika ada hubunganya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.
Nilai kekuatan pembuktian surat sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sama sekali tidak mengatur mengenai ketentuan khusus tentang kekuatan pembuktian surat, kekuatan pembuktian surat hanya dapat ditinjau dari segi teori serta menghubungkanya dengan beberapa prinsip pembuktian yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu:[13]

1. Ditinjau dari segi formal

Ditinjau dari segi formal, alat bukti surat  yang disebut pada Pasal 187 huruf a, b, dan c adalah alat bukti yang sempurna sebab bentuk surat-surat yang disebut didalamnya dibuat secara resmi menurut formalitas yang ditentukan peraturan  perundang-undangan, oleh karena itu alat-alat bukti surat resmi mempunyai nilai pembuktian formal yang sempurna , dengan sendirinya bentuk dan isi surat tersebut:
  1. Sudah benar, kecuali dapat dilumpuhkan dengan alat bukti yang lain;
  2. Semua pihak tak dapat lagi menilai kesempurnaan bentuk dan pembuatanya;
  3. Tak dapat lagi menilai kebenaran keterangan yang dituangkan pejabat berwenang didalamnya sepanjang isi keterangan tersebut tidak dapat dilumpuhkan dengan alat bukti yang lain;
  4. Ditinjau dari segi formal, isi keterangan yang tertuang didalamnya, hanya dapat dilumpuhkan dengan alat bukti lain, baik berupa alat bukti keterangan saksi maupun keterangan terdakwa.
2. Ditinjau dari segi materiil 
Ditinjau dari segi materiil, alat bukti surat dalam Pasal 187, bukan alat bukti yang mempunyai kekuatan mengikat nilai kekuatan alat  bukti  surat sama halnya dengan nilai pembuktian keterangan saksi dan keterangan ahli, dasar alasan ketidakterikatan hakim atas alat bukti surat tersebut, didasarkan pada beberapa asas ; antara lain :
  1. Asas proses pemeriksaan perkara pidana ialah untuk mencari kebenaran materiil atau “kebenaran sejati” (materiel waarheid), bukan mencari kebenaran formal;
  2. Asas keyakinan hakim, seperti yang terdapat dalam ketentuan Pasal 183, berhubungan erat dengan ajaran sistem pembuktian yang dianut dalam KUHAP yaitu sistem pembuktian menurut undang-undang negatif.
  3. Asas batas minimum pembuktian, yaitu sekurang-kurang dua alat bukti yang sah.
  4. Petunjuk
Pasal 188 KUHAP memberi definisi petunjuk sebagai berikut:
“Petunjuk ialah perbuatan, kejadian atau keadaan. yang karena persesuaianya, baik yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya".

Nilai kekuatan pembuktian surat sifat dan kekuatanya dengan alat bukti yang lain hanya mempunyai sifat kekuatan pembuktian yang bebas, artinya :[14]
  1. Hakim tidak terikat atas kebenaran persesuaian yang diwujudkan oleh petunjuk, oleh karena itu, hakim bebas menilainya dan mempergunakan sebagai upaya pembuktian;
  2. Petunjuk sebagai alat bukti, tidak bisa berdiri sendiri membuktikan kesalahan terdakwa, dia tetap terikat kepada prinsip batas minimum pembuktian. 
Dapat dilihat dengan jelas bahwa keterangan terdakwa sebagai alat bukti tidak perlu sama atau berbentuk pengakuan. Semua keterangan terdakwa hendaknya didengar, apakah itu berupa penyangkalan, pengakuan, ataupun pengakuan sebagian dari perbuatan atau keadaan, tidak perlu hakim mempergunakan seluruh keterangan seorang terdakwa atau saksi.

e) Keterangan Terdakwa
Keterangan terdakwa tidak perlu sama dengan pengakuan, karena pengakuan sebagai alat bukti mempunyai syarat-syarat:
  1. Mengaku ia yang melakukan delik yang didakwakan;
  2. Mengaku ia bersalah.
Pengakuan terdakwa adalah bahwa keterangan terdakwa yang menyangkal dakwaan, tetapi membenarkan beberapa keadaan atau perbuatan sesuai alat bukti lain merupakan alat bukti.

D. Macam-Macam Barang Bukti
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana barang bukti dapat disebut juga sebagai benda sitaan atau barang bukti tersebut diuraikan dalam pasal 39 ayat (1) KUHAP.

Dalam pasal 39 ayat (1) KUHAP dinyatakan “Yang dapat dikenakan penyitaan adalah:[15]
  1. Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;
  2. Benda yang telah dipergunakan secara langsung  untuk melakukan tindak pidana  untuk mempersiapkannya;
  3. Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana;
  4. Benda yang khusus dibuat atau dipergunakan untuk melakukan tindak pidana;
  5. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan.
Adam Chazawi membagi macam-macam barang bukti sebagai berikut:
1.      Benda berwujud yang berupa:[16]
  1. Benda yang digunakan dalam melakukan tindak pidana (instrument delichti) atau untuk mempersiapkan;
  2. Benda yang dipakai menghalang-halangi penyidikan;
  3. Benda yang dibuat khusus atau diperuntukkan melakukan tindak pidana (instrument delichti);
  4. Benda-benda lainnya yang mempunyai hubungan langsung/tidak langsung  dengan dilakukannya tindak pidana . Masuk dalam bagian ini adalah benda yang dihasilkan suatu tindak pidana (corpus delichti), misalnya uang palsu hasil kejahatan pemalsuan uang.
2.      Benda tidak berwujud, berupa tagihan yang diduga berasal dari tindak pidana

Dalam hal tertangkap tangan, penyidik juga berwenang untuk melakukan penyitaan atas benda-benda tersebut sebagai berikut:
  • Benda dan alat yang ternyata atau yang patut diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana atau benda lain yang dapat dipakai sebagai barang bukti (Pasal 40 KUHAP).
  • Paket atau surat atau benda yang pengangkutannya atau pengirimannya dilakukan oleh kantor pos dan telekomunikasi, sepanjang benda tersebut diperuntukkan bagi tersangka atau berasal darinya (Pasal 41 KUHAP).

E.  Hubungan Antara Barang Bukti Dengan Alat Bukti
Jika dilihat dari Pasal 184 ayat (1) KUHAP, dapat diketahui bahwa barang bukti tidak termasuk dalam klasifikasi alat bukti. Namun keberadaannya telah melebihi batas minimum pembuktian, tidak bisa memaksa hakim untuk yakin bahwa terdakwa tyelah bersalah atau tidak bersalah atas suatu tindak pidana . Disinilah peran barang bukti dibutuhkan. Keberadaan barang bukti di depan sidasng pengadilan dapat mendukung atau memperkuat keyakinan hakim dalam memutus kesalahan dan menjatuhkan pidana terhadap terdakwa.

Barang bukti secara materiil dapat berfungsi sebagai alat bukti yang sah didalam proses persidangan. Pasal 181 Jo. Pasal 45 KUHAP menerangkan tentang bagaimana cara pemeriksaan barang bukti dipersidangan, yang secara sebagai berikut:[17]
  1. Jaksa Penuntut Umum memperlihatkan kepada terdakwa dan atau saksi-saksi (yang dianggap relevan) di depan persidangan dan ditanya kepada mereka, apakah mengenal barang bukti tersebut atau bisa juga mengetahui asal muasal benda itu.
  2. Jika barang bukti berupa tulisan (surat atau berita acara) maka disamping diperlihatkan pada terdakwa dan saksi-saksi, hakim juga membacakan isi tulisan itu untuk dimintai tanggapannya.
  3. Jika semua barang bukti sudah dilelang oleh karena berupa benda-benda yang segera rusak, maka uang hasil pelelangan diperlihatkan kepada terdakwa atau saksi-saksi di depan sidang.
  4. Jika barang bukti itu begitu banyak atau benda-benda berbahaya, maka diperlihatkan sebagian kecil saja dari benda-benda tersebut.
  5. Jika barang bukti dibungkus dan disegel, maka dibuka di depan sidang dan diperlihatkan kepada terdakwa dan ditanyakan mengenai barang bukti tersebut diatas.
Barang bukti tersebut menurut Pasal 184 ayat(1) KUHAP tidak termasuk sebagai alat bukti yang sah, namun dalam praktek hukum barang bukti tersebut dapat berfungsi menghasilkan alat bukti yang sah dalam bentuk keterangan terdakwa dan keterangan saksi serta berfungsi juga untuk mendukung atau memperkuat keyakinan hakim. Selain itu keberadaan barang bukti tersebut juga berguna untuk ditentukan statusnya sesuai dengan penetapan pengadilan, yaitu apakah barang bukti dikembalikan kepada pihak yang paling berhak ataukah dirampas untuk kepentingan negara atau untuk dimusnahkan atau dirusak  sehingga tidak dapat dipergunakan lagi (Pasal 194 ayat (1) KUHAP).

F.    Penyidikan dalam Hukum Acara Pidana
Penyidikan dalam Pasal 1 angka 2  KUHAP  adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Tindakan penyidikan merupakan cara untuk mengumpulkan bukti-bukti awal untuk mencari tersangka yang diduga melakukan tindak pidana dan saksi-saksi yang mengetahui tentang tindak pidana tersebut.

Menurut Lilik Mulyadi, dari batasan pengertian (begrips bepaling) sesuai tersebut dengan konteks Pasal 1 angka 2 KUHAP, dengan kongkret dan factual dimensi penyidikan tersebut dimulai ketika terjadinya tindak pidana sehingga melalui proses penyidikan hendaknya diperoleh keterangan tentang aspek-aspek sebagai berikut:[18]
  1. Tindak pidana yang telah dilakukan.
  2. Tempat tindak pidana dilakukan (locus delicti).
  3. Cara tindak pidana dilakukan.
  4. Dengan alat apa tindak pidana dilakukan.
  5. Latar belakang sampai tindak pidana tersebut dilakukan.
  6. Siapa pelakunya
Tata Cara Penyidikan dilakukan segera setelah laporan atau pengaduan adanya tindak pidana. Penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyidikan yang diperlukan (Pasal 106 KUHAP). Penyidikan oleh penyidik pegawai negeri sipil diberi petunjuk oleh penyidik Polri. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik Polri memberikan petunjuk kepada penyidik pegawai negeri sipil tertentu dan memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan. Dalam hal suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana, sedang dalam penyidikan oleh penyidik pegawai negeri sipil tertentu dan kemudian ditemukan bukti yang kuat untuk diajukan kepada penuntut umum, penyidik pegawai negeri sipil tertentu tersebut melaporkan hal itu kepada penyidik Polri. Dalam hal tindak pidana telah selesai disidik oleh penyidik pegawai negeri sipil tertentu tersebut is segera menyerahkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik Polri (Pasal 107 ayat (1) s.d. (3) KUHAP).[19]

Dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum. Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau kelurganya. Dalam hal penghentian tersebut dilakukan oleh penyidik pegawai negeri sipil tertentu tersebut segera menyerahkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik Polri (Pasal 107 ayat (1) s.d. (3) KUHAP).[20]

Pada penyidikan, titik berat tekanannya diletakkan pada tindakan “mencari serta mengumpulkan bukti” supaya tindak pidana yang ditemukan dapat menjadi terang, serta menemukan dan menentukan pelakunya.[21]

[1]  Subekti. Hukum Pembuktian, Jakarta: Pradnya Paramitha,2001, hlm. 1
[2] M.Yahya Harahap.Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan  Sidang   Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: Edisi Kedua, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hlm. 273
 [3] Hari Sasangka dan Lily Rosita.Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Bandung Mandar Maju ,2003, hlm. 10
[4]  M.Yahya Harahap, op.cit., hal. 274
[5] W.J.S Poerwodarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2003, hlm.76 dan 91
[6] M.Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP edisi 2,Jakarta: Sinar Grafika, 2000, hlm. 38
[7] A. Minkenhof, hal. 219, dikutip Andi Hamzah. (1985). Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, hal. 241
[8] D. Simons. Beknopte handleiding tot het wetboek van strafvordering, Haarlem, de Erven F. Bohn, 1952. hlm.114
[9] Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 1996, hal. 247.
[10] Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana Indonesia,Bandung: Sumur Bandung,1974, hlm 72
[11]   Op cit, M.Yahya Harapan, edisi ke 2, hal. 265
[12] Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum Acara Pidana, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1984, hal. 271
[13] Ibid, hal. 288
[14] Ibid, hal. 296
[15] Andi Hamzah, Op.cit., hlm. 250
[16] Adam Chazawi, Kemahiran dan Ketrampilan Praktik Hukum Pidana Cet. Ke-2, Malang: Bayu Media Publishing, 2007,. Hlm. 208-209.
[17] Ibid., hlm. 212
[18] Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana: Normatif, Teoretis, Praktik dan Permasalahnya, Bandung: Alumni, 2007, hlm. 55.
[19] Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril, Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek, Bogor: Ghalia Indonesia, 2010, hlm. 24.
[20]  Ibid., hlm.26
[21]  Yahya Harahap, Op. Cit., hlm. 143-144.

No comments:

Post a Comment

PENERAPAN ILMU FORENSIK DALAM HUKUM PIDANA

Terbentuknya keyakinan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana didasarkan pada hasil pemeriksaan alat-alat bukti yang dikemukakan pada pros...