7/9/18

PERANAN BARANG BUKTI DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA MENURUT PASAL 183 KUHAP (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Kelas 1B Bukittinggi).



A. Latar Belakang Masalah
Penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk menciptakan tata tertib, keamanan dan ketentraman di dalam masyarakat, baik itu dalam usaha pencegahan maupun pemberantasan ataupun penindakan setelah terjadinya pelangaran hukum atau dengan kata lain dapat dilakukan secara preventif maupun represif. Dan apabila Undang-undang yang menjadi dasar hukum bagi gerak langkah serta tindakan dari para penegak hukum itu haruslah sesuai dengan tujuan dari falsafah Negara dan pandangan hidup bangsa, maka dalam upaya penegakan hukum akan lebih mencapai sasaran yang dituju. Tujuan dari tindak acara pidana adalah untuk mencapai dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran-kebenaran materil, yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu peristiwa pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat.
Dalam perkembangannya hukum acara pidana di indonesia dari dahulu sampai sekarang ini tidak terlepas dari apa yang di sebut sebagai pembuktian, apa saja jenis tindak pidananya pastilah melewati proses pembuktian. Hal ini tidak terlepas dari sistem pembuktian pidana Indonesia yang ada pada KUHAP yang masih menganut Sistem Negatif  Wettelijk dalam pembuktian pidana. Pembuktian dalam hal ini bukanlah upaya untuk mencari-cari kesalahan pelaku saja namun yang menjadi tujuan utamanya adalah untuk mencari kebenaran dan keadilan materil. hal ini didalam pembuktian pidana di Indonesia kita mengenal dua hal yang sering kita dengar yaitu alat bukti dan barang bukti di samping adanya proses yang menimbulkan keyakinan hakim dalam pembuktian.
Sehingga dalam hal pembuktian adanya peranan barang bukti khususnya kasus-kasus pidana yang pada dewasa ini semakin beragam saja, sehingga perlunya peninjauan khusus dalam hal barang bukti ini. Dalam proses perkara pidana di Indonesia, barang bukti memegang peranan yang sangat penting, dimana barang bukti dapat membuat terang tentang terjadinya suatu tindak pidana dan akhirnya akan digunakan sebagai bahan pembuktian, untuk menunjang keyakinan hakim atas kesalahan terdakwa sebagaimana yang di dakwakan oleh jaksa penuntut umum didalam surat dakwaan di pengadilan.
Barang bukti tersebut antara lain meliputi benda yang merupakan objek-objek dari tindak pidana, hasil dari tindak pidana dan benda-benda lain yang mempunyai hubungan dengan tindak pidana. Untuk menjaga kemanan dan keutuhan benda tersebut undang-undang memberikan kewenangan kepada penyidik untuk melakukan penyitaan. Penyitaan mana harus berdasarkan syarat-syarat dan tata cara yang telah ditentukan oleh undang-undang[1].
Pasal-pasal KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) tentang pembuktian dalam acara pemeriksaan biasa diatur didalam Pasal 183 sampai 202 KUHAP. Pasal 183 KUHAP yang berbunyi :
“Hakim tidak boleh menjatuhkan Pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya ada dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana telah terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
Ketentuan di atas adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan, kepastian hukum dan hak asasi manusia  bagi seorang dan setiap warga negara yang didakwakan telah melakukan suatu tindak pidana. Sedangkan pasal 183 KUHAP di atas mengisyaratkan bahwa untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa menurut sistem pembuktian undang-undang secara negatif, terdapat dua komponen :
1. pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang,
2. Dan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara yang sah menurut undang-undang.
Yang disebut pertama dan kedua satu sama lainnya berhubungan sedemikian rupa, dapat dikatakan bahwa yang disebut kedua dilahirkan dari yang pertama, sesuai dengan hal ini maka kita juga mengatakan bahwa adanya keyakinan hakim yang sah adalah keyakinan hakim yang di peroleh dari alat-alat bukti yang sah jadi dapat dikatakan bahwa suatu keyakinan hakim dengan alat-alat bukti yang sah merupakan satu kesatuan.[2]
Dengan suatu alat bukti saja umpamanya dengan keterangan dari seorang saksi, tidaklah diperoleh bukti yang sah, akan tetapi haruslah dengan keterangan beberapa alat bukti. Dengan demikian maka kata-kata “alat-alat bukti yang sah” mempunyai kekuatan dan arti yang sama dengan “bukti yang sah”. Selain dengan bukti yang demikian diperlukan juga keyakinan hakim yang harus di peroleh atau ditimbulkan dari dari alat-alat bukti yang sah.
Sedangkan yang dimaksud dengan alat-alat bukti yang sah adalah sebagaimana yang diterangkan di dalam Pasal 184 KUHAP sebagai berikut :
  1. Keterangan saksi;
  2. Keterangan ahli;
  3. Surat;
  4. Petunjuk;
  5. Keterangan terdakwa.
Mengenai alat-alat bukti ini sebelum KUHAP diatur didalam Pasal 295 R.I.D dan seterusnya yaitu :  kesaksian-kesaksian, surat-surat, pengakuan, petunjuk-petunjuk.
Seperti diketahui bahwa didalam pembuktian tidaklah mungkin dan dapat tercapai kebenaran mutlak (absolut). Bahwa semua pengetahuan kita hanya bersifat relatif, yang didasarkan pada pengalaman, penglihatan, dan pemikiran tentang sesuatu yang selalu tidak pasti benar. Jika diharuskan adanya syarat kebenaran mutlak untuk dapat menghukum seseorang, maka sebagian besar dari pelaku tindak pidana tidaklah dapat di hukum, pastilah dapat mengharapkan bebas dari penjatuhan pidana. Satu-satunya yang dapat diisyaratkan dan yang sekarang dilakukan adalah adanya suatu kemungkinan besar bahwa terdakwa telah bersalah melakukan perbuatan-perbuatan yang telah di dakwakan sedangkan ketidaksalahannya walaupun selalu ada kemungkinan merupakan suatu hal yang tidak dapat diterima.
Jika hakim atas dasar alat-alat bukti yang selalu yakin bahwa menurut pengalaman dan keadaan telah dapat diterima, bahwa suatu tindak pidana benar-benar telah terjadi dan terdakwalah dalam hal tersebut yang bersalah (guilty), maka terdapatlah bukti yang sempurna, yaitu bukti yang sah dan meyakinkan[3]. Dan dalam hal pembuktian pidana kita mengenal istilah yang berbunyi : “Tidak dipidana tanpa kesalahan”. Dalam bahasa Belanda :“Geen straf zonder schuld” disinilah letak pelunya pembuktian tersebut apakah seseorang benar-benar bersalah menurut apa yang diatur dalam Undang-undang yang ditujukan kepadanya.
Dalam hal tersebut dapatlah disimpulkan bahwa suatu pembuktian haruslah dianggap tidak lengkap, jika keyakinan hakim didasarkan atas alat-alat bukti yang tidak mencukupi. Umpamanya dengan keterangan dari seorang saksi saja ataupun karena keyakinan tentang tindak pidana itu sendiri tidak ada. Maka haruslah ketentuan yang menjadi keharusan didalam Pasal 183 KUHAP tersebut terpenuhi keduanya.
Hakim tidak boleh memperoleh keyakinan tersebut dari macam-macam keadaan yang diketahui dari luar persidangan. Tetapi haruslah memperoleh dari bukti yaitu dari alat-alat bukti yang sah dan adanya tambahan dari keterangan barang bukti yang terdapat di dalam persidangan, sesuai dengan syarat-syarat yang di tentukan Undang-undang, umpama dalam hal terdakwa tidak mengakui dari atau dengan kesaksian sekurang-kurangnya dua orang saksi yang telah di sumpah dengan sah dimuka pengadilan.
Apabila hakim dari alat-alat bukti yang sah tidak memperoleh keyakinan maka ia berwenang untuk menjatuhkan putusan bebas dari segala tuntutan. Dengan demikian walaupun lebih dari dua orang saksi menerangkan di atas sumpah bahwa mereka telah melihat seseorang telah melakukan tindak pidana, maka hakim tidaklah wajib menjatuhkan hukuman terhadap terdakwa, jika hakim tidak yakin bahwa ia dengan kesaksian oleh lebih dari dua orang saksi tersebut benar-benar dapat dipercaya dan oleh karena tujuan dari proses pidana adalah untuk mencari kebenaran materil, maka hakim akan membebaskan terdakwa dalam hal ini.
Maka haruslah diingat bahwa keyakinan hakim tersebut bukanlah timbul dengan sendirinya saja, tetapi haruslah timbul dari alat-alat bukti yang sah yang telah disebutkan didalam Undang-undang, dan tidak dari keadaan-keadaan lain. Tidaklah dapat di pertanggung jawabkan suatu keputusan walaupun sudah cukup  alat-alat bukti yang sah hakim begitu saja mengatakan bahwa ia tidak yakin dan karena itu ia membebaskan terdakwa, tampa menjelaskan lebih lanjut apa sebab-sebab ia tidak yakin. Keyakinan Hakim disini tidak saja terhadap alat-alat bukti yang di tentukan didalam Pasal 184 KUHAP saja tetapi adanya peranan dari barang-barang bukti yang di temukan di tempat kejadian perkara seperti pisau atau peluru yang dipakai untuk membunuh dan mencelakai orang lain, sebagaimana yang dijelaskan didalam Pasal 39 KUHAP ayat (1) yang berhubungan dengan barang bukti sebagai hasil dari penyitaan dan barang-barang yang dapat disita yang dilakukan penyidik dalam menjalankan fungsinya.
Jadi walaupun barang bukti tidak diatur didalam Pasal 183 KUHAP atau didalam pasal tersendiri didalam KUHAP sebagai salah satu syarat dalam pembuktian namun barang bukti menurut saya mempunyai nilai/fungsi dan bermanfaat dalam upaya pembuktian, walaupun barang bukti yang disita oleh petugas penyidik tersebut secara yuridis formal juga bukan sebagai alat bukti yang sah menurut KUHAP. Akan tetapi, dalam praktik peradilan, barang bukti tersebut ternyata dapat memberikan keterangan yang berfungsi sebagai tambahan dalam pembuktian.
Dari uraian dan konsep-konsep yang dikemukakan di atas akan timbul pertanyaan, kenapa hakim sampai membebaskan terdakwa dari segala dakwaan jaksa penuntut umum, sementara segala bukti yaitu yang berasal dari alat-alat bukti yang sah telah mencukupi bukti minimum. Atau sebaliknya hakim dapat menghukum seseorang yang kalau dilihat dari sudut yuridis, kenyataannya tidak bersalah. Jadi secara fungsional kegunaan barang-barang bukti dalam suatu pembuktian pidana adalah ada hubunannya dengan alat-alat bukti dan keyakinan hakim dalam suatu pembuktian pidana di Indonesia sehingga timbulnya suatu putusan hakim (sentencing)  yang setidak-tidaknya mendekati kebenaran Materil.
Maka akhirnya timbulah keinginan penulis untuk mengetahui lebih jauh tentang hal-hal tersebut diatas dalam sebuah tulisan atau skripsi dengan judul : “PERANAN BARANG BUKTI DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA MENURUT PASAL 183 KUHAP (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Kelas 1B Bukittinggi).”

No comments:

Post a Comment

PENERAPAN ILMU FORENSIK DALAM HUKUM PIDANA

Terbentuknya keyakinan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana didasarkan pada hasil pemeriksaan alat-alat bukti yang dikemukakan pada pros...