10/12/14

ANALISIS TINDAK PIDANA PENCURIAN

Kasus 2 : PENCURIAN
Perampok Jarah Kantor Dinkes Gresik
Laporan wartawan Kompas Adi Sucipto
Sabtu, 4 Desember 2010 | 13:44 WIB 
GRESIK, KOMPAS.com — Kawanan perampok pada Sabtu (4/12/2010) pukul 04.00 beraksi di Kantor Dinas Kesehatan Kabupaten Gresik. Dua anggota Satuan Polisi Pamong Praja yang bertugas diplakban mata dan mulutnya serta diikat tali rafia. 
Pelaku berhasil membawa kabur uang tunai Rp 6,7 juta di laci. Kasus itu terungkap sekitar pukul 08.00 saat sebagian pegawai akan beraktivitas di kantor, lalu peristiwa itu dilaporkan ke polisi. 
Awalnya, petugas jaga Sunaryoto dan Rahmat didatangi empat orang yang membawa celurit dan parang. Keduanya sempat melawan, tetapi tidak bisa berkutik. Selain kalah banyak, keduanya juga khawatir karena pelaku juga mengancam dengan senjata tajam. 
Keduanya diringkus pelaku, mulut dan mata diplakban, serta tangan dan kaki diikat tali rafia. Petugas jaga lainnya, Nawawi, memilih sembunyi saat perampok beraksi membuka laci dan mengubrak-abrik isinya. 
Menurut Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Gresik Sugeng Widodo, pelaku hanya berhasil menemukan uang tunai Rp 6,7 juta. Kepala Kepolisian Resor Gresik Ajun Komisaris Besar Jakub Prajogo menyatakan, polisi masih melakukan pemeriksaan dan penyelidikan. Dari tempat kejadian perkara, polisi mendapatkan plakban dan tali rafia. 

Analisis Kasus 2
Pada kasus di atas, pelaku berjumlah empat orang telah melakukan tindak pidana pencurian dengan cara mengambil uang tunai Rp 6,7 juta di dalam Kantor Dinas Kesehatan Kabupaten Gresik. 
Karena yang melakukan tindak pidana adalah orang Indonesia dan terjadi di wilayah Indonesia, maka yang berlaku adalah hukum pidana Indonesia, yang berarti KUHPidana (asas teritorialitas). 
Perbuatan pelaku tergolong kepada delik berkualifikasi, karena perbuatan tersebut memiliki unsur – unsur yang sama dengan delik dasar atau delik pokok, tetapi ditambah dengan unsur – unsur lain sehingga ancaman pidananya lebih berat daripada delik dasar. Dalam kasus ini, delik dasar adalah pasal 362 KUHP yaitu mengenai pencurian. Tetapi karena pencurian tersebut disertai dengan ancaman kekerasan pada penjaga malam, maka pelaku akan diancam dengan pasal 365 KUHP ayat (1) dan (2), 
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun, pencurian yang didahului, disertai, atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, terhadap orang, dengan maksud untuk mempersiap atau mempermudah pencurian, atau dalam hal tertangkap tangan, atau memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya, dan atau untuk tetap menguasai barang yang dicurinya. 
(2) Diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun: 
1. jika perbuatan dilakukan pada waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, di jalan umum, atau dalam kereta api atau trem yang sedang berjalan; 
2. jika perbuatan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu; 
3. jika masuknya ke tempat melakukan kejahatan, dengan merusak atau memanjat atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu, atau pakaian jabatan palsu; 
4. jika perbuatan mengakibatkan luka – luka berat. 
Dalam Pasal 362 KUHP dikatakan “pengambilan suatu barang, yang seluruh atau sebagiannya kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum diancam karena pencurian”.  Berikut unsur – unsur pencurian, 
> Unsur – Unsur Objektif berupa : 
  1. Unsur perbuatan mengambil (wegnemen). Dari adanya unsur perbuatan yang dilarang mengambil ini menunjukkan bahwa pencurian adalah berupa tindak pidana formil. Unsur pokok dari perbuatan mengambil adalah harus ada perbuatan aktif, ditujukan pada benda dan berpindahnya kekuasaan benda itu ke dalam kekuasaannya. Berdasarkan hal tersebut, maka mengambil dapat dirumuskan sebagai melakukan perbuatan terhadap suatu benda dengan membawa benda tersebut ke dalam kekuasaannya secara nyata dan mutlak (Kartanegara, 1:52 atau Lamintang, 1979:79-80). Unsur berpindahnya kekuasaan benda secara mutlak dan nyata adalah merupakan syarat untuk selesainya perbuatan mengambil, yang artinya juga merupakan syarat untuk menjadi selesainya suatu pencurian secara sempurna. Sebagai ternyata dari Arrest Hoge Raad (HR) tanggal 12 Nopember 1894 yang menyatakan bahwa “perbuatan mengambil telah selesai, jika benda berada pada pelaku, sekalipun ia kemudian melepaskannya karena diketahui”.
  2. Unsur benda. Pada mulanya benda – benda yang menjadi objek pencurian ini sesuai dengan keterangan dalam Memorie van Toelichting (MvT) mengenai pembentukan pasal 362 KUHP adalah terbatas pada benda – benda bergerak (roerend goed). Benda bergerak adalah setiap benda yang berwujud dan bergerak ini sesuai dengan unsur perbuatan mengambil. Benda yang kekuasaannya dapat dipindahkan secara mutlak dan nyata adalah terhadap benda yang bergerak dan berwujud saja. Benda bergerak adalah setiap benda yang menurut sifatnya dapat berpindah sendiri atau dapat dipindahkan (pasal 509 KUHPerdata).
  3. Unsur sebagian maupun seluruhnya milik orang lain. Benda tersebut tidak perlu seluruhnya milik orang lain , cukup sebagian saja, sedangkan yang sebagian milik petindak itu sendiri.
> Unsur – Unsur Subjektif berupa : 
  1. Maksud untuk memiliki. Maksud untuk memiliki terdiri dari dua unsur, yakni pertama unsur maksud (kesengajaan sebagai maksud atau opzet als oogmerk), berupa unsur kesalahan dalam pencurian, dan kedua unsur memiliki. Dua unsur itu dapat dibedakan dan tidak terpisahkan. Maksud dari perbuatan mengambil barang milik orang lain itu harus ditujukan untuk memilikinya. Apabila dihubung kan dengan unsur maksud, berarti sebelum melakukan perbuatan mengambil dalam diri petindak sudah terkandung suatu kehendak (sikap batin) terhadap barang itu untuk dijadikan sebagai miliknya.
  2. Melawan hukum. Maksud memiliki dengan melawan hukum atau maksud memiliki itu ditujukan pada melawan hukum, artinya ialah sebelum bertindak melakukan perbuatan mengambil benda, ia sudah mengetahui, sudah sadar memiliki benda orang lain (dengan cara yang demikian) itu adalah bertentangan dengan hukum. Unsur maksud adalah merupakan bagian dari kesengajaan. Sedangkan apa yang dimaksud dengan melawan hukum (wederrechtelijk) undang-undang tidak memberikan penjelasan lebih lanjut. Pada dasarnya melawan hukum adalah sifat tercelanya atau terlarangnya dari suatu perbuatan tertentu. dalam doktrin dikenal ada dua macam melawan hukum, yaitu pertama melawan hukum formil, dan kedua melawan hukum materiil. Melawan hukum formil adalah bertentangan dengan hukum tertulis, artinya sifat tercelanya atau terlarangnya suatu perbuatan itu terletak atau oleh sebab dari hukum tertulis. Sedangkan melawan hukum materiil, ialah bertentangan dengan azas-azas hukum masyarakat.
Kaitan dengan kasus: 
Sesuai dengan asas legalitas kasus ini jelas melanggar aturan-aturan yang telah ditetapkan dalam KUHP, tepatnya tentang pencurian pasal 362: “Barangsiapa mengambil sesuatu, yang seluruh atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak Sembilan ratus rupiah” Dari sisi sifat melawan hukumnya tercantum secara eksplisit dalam bunyi pasal yang bersangkutan. 
Atas kasus diatas pengadilan yang berwenang mengadili adalah Pengadilan Negeri Gresik karena kasus perampokan tersebut dilakukan di Gresik. 
Dari sifat melawan hukumnya perbuatan yang dilakukan pelaku, terlihat bahwa para pelaku perampokan pada saat melakukan aksinya telah mampu bertanggung jawab, karena dengan sadar mengancam penjaga kantor menggunakan senjata tajam lalu mengikat mereka, kemudian mengambil uang yang ada di dalam kantor. Ini memenuhi unsur pada pasal 365 ayat 1, yaitu pencurian yang disertai dengan ancaman kekerasan. 
Dilihat dari sisi umur, para pelaku disimpulkan telah berumur lebih dari 16 tahun, karena telah memiliki kematangan dalam tindakan mereka. yang artinya KUHP berlaku atas para pelaku secara utuh dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku didalamnya, karena para pelaku telah dewasa dan cakap hukum. 
Jarak antara perbuatan yang dilakukan dengan para pelaku tertangkap bila seandainya belum mencapai 30 tahun maka perbuatan yang dilakukan belum dianggap sebagai perbuatan yang daluarsa, sehingga masih bisa diadili. 
Perbuatan yang dilakukan para pelaku dari kasus diatas terbukti bahwa perbuatan tersebut tertangkap tangan. Artinya perbuatan tersebut jelas diketahui oleh orang lain, mengingat aksi yang dilakukan diketahui oleh kedua petugas jaga yang merupakan anggota Satuan Polisi Pamong Praja. Dalam keadaan seperti itu mereka masih saja mengambil dan membawa uang Rp 6,7 juta yang ada di kantor dengan maksud untuk dimiliki. Perbuatan ini jelas melanggar ketentuan yang terdapat dalam KUHP. 
Kesalahan yang diperbuat merupakan kesalahan yang disengaja, yaitu kesalahan yang dengan sengaja (doleus delicti), dalam keadaan sadar, diketahui bahwa perbuatan yang dilakukan tersebut dilarang hukum. Para pelaku dengan sadar mencuri disertai ancaman kekerasan pada kedua petugas jaga. 
Pertanggungjawaban atas perbuatan yang telah dilakukan pelaku dilihat dari kemampuannya terlebih dahulu. Sesuai dengan fakta diatas maka kedua pelaku dianggap sudah mampu bertanggungjawab atas perbuatannya. Para pelaku jelas mengetahui dan menyadari bahwa perbuatan yang mereka lakukan telah melanggar hukum. Hal ini terlihat setelah mereka berhasil mengambil uang dari kantor, mereka lalu melarikan diri. Hal ini mereka lakukan karena mereka takut dan sadar jika tertangkap akan diadili massa atau oleh pihak yang berwajib (polisi). Selain itu mereka mengetahui bahwa perbuatan mereka telah melanggar nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. 
Hukum pidana Indonesia dalam hal pertanggungan jawab menganut sistem fiktif, artinya menurut hukum Indonesia, setiap pelaku perbuatan pidana pada dasarnya selalu dianggap sebagai orang yang mampu bertanggungjawab atas perbuatannya. Pengecualian dari system fiktif tersebut terdapat pada pasal 44 KUHP, dengan kata lain dianggap tidak mampu bertanggung jawab, yaitu apabila : 1) Jiwa pelaku mengalami cacat mental sejak pertumbuhannya, 2) Jiwa pelaku mengalami gangguan kenormalan yang disebabkan oleh penyakit, sehingga akalnya kurang berfungsi membedakan yang baik dan yang buruk, seperti orang gila atau epilepsy. 
Jika melihat kasus diatas lagi, para pelaku tidak termasuk dalam pengecualian yang dimaksud dalam pasal 44 KUHP diatas. Para pelaku tidak mengalami gangguan psikis, tidak mengalami cacat mental sejak pertubuhannya dan juga tidak mengalami gangguan jiwa seperti gila, epilepsy dan lain sebagainya. 
Unsur kesalahan yang ada dalam perbuatan pelaku dalam kasus diatas jelas mencakup tiga unsur yang ada dalam landasan teori, yaitu pertanggungjawaban, adanya hubungan batin perbuatan dengan pelaku perbuatan dan tidak adanya alasan penghapusan pidana. Perbuatan yang dilakukan telah dianggap merugikan orang lain, sehingga patut untuk dipidana karena perbuatan merugikan orang lain tersebut. Salah satu teori pemidanaan yang dikenal adalah teori pembalasan yaitu kejahatan itu menimbulkan ketidakadilan, maka harus dibalas dengan ketidakadilan pula (Immanuel Kant). 
Seperti yang telah disebutkan di atas, keempat pelaku dapat dijerat dengan pasal 365 KUHP. Semua unsur, mulai dari pencurian, ancaman kekerasan, jumlah pelaku lebih dari seorang, dilakukan di malam hari ke pekarangan tertutup yang ada rumahnya, memasukinya menggunakan kejahatan dengan merusak, maka ancaman pidana yang dapat dikenakan kepada mereka adalah dipenjara paling lama dua belas tahun. 
Pencurian tergolong kepada delik – delik yang sama seperti pemerasan, yang membedakan hanyalah pencurian bukan termasuk golongan delik aduan, melainkan merupakan golongan delik biasa (gewone delict), yaitu delik yang tidak membutuhkan adanya pengaduan untuk menuntutnya. Dalam kasus ini ketika terjadi perampokan memang diperlukan adanya laporan dari masyarakat, tapi bukan pengaduan. Seandainya tanpa ada laporan tapi polisi mengetahui ada pencurian, maka tetap bisa dilakukan penuntutan. 
Kesimpulan
Kesimpulannya, baik kasus pemerasan maupun kasus pencurian sama – sama tergolong delik formil, karena kedua delik ini terjadi karena adanya pelanggaran pada larangan yang dimuat dalam undang – undang (KUHP pasal 368 dan 365). Pada kasus pemerasan, pelaku dapat dituntut maksimal hukuman penjara sembilan tahun, sementara pada kasus pencurian dengan ancaman kekerasan, keempat pelaku dapat dijerat pasal 368 KUHP dengan hukuman penjara maksimal dua belas tahun. Para pelaku di kedua kasus di atas dianggap cakap hukum, sadar akan perbuatannya yang melawan hukum dan bertanggungjawab penuh terhadap perbuatannya, sehingga tidak ada alasan penghapusan pidana. Hukuman yang tepat diberikan pada mereka, selain merujuk kepada pasal – pasal dalam KUHP, akan disesuaikan juga dengan keyakinan hakim dan jurisprudensi pada kasus – kasus yang sama. 
DAFTAR PUSTAKA 
  • Kitab Undang – Undang Hukum Pidana
  • Sofjan Sastrawidjaja, S.H., Hukum Pidana : Asas Hukum Pidana Sampai Dengan Alasan Peniadaan Pidana. 1995. Bandung : Armico.
  • Situs Resmi Liputan 6 SCTV
  • Situs Resmi Kompas
  • hukumislam-uii.blogspot.com
  • excellentlawyer.blogspot.com

No comments:

Post a Comment

PENERAPAN ILMU FORENSIK DALAM HUKUM PIDANA

Terbentuknya keyakinan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana didasarkan pada hasil pemeriksaan alat-alat bukti yang dikemukakan pada pros...