1/5/10

PENGAKUAN SISTEM PENGUASAAN TANAH MASYARAKAT ADAT: SUATU AGENDA NGO INDONESIA*)

RESPONS TERHADAP
STUDI TANAH ADAT- PROYEK ADMINISTRASI PERTANAHAN

Oleh: Noer Fauzi
Ketua Badan Pelaksana Konsorsium Pembaruan Agraria (BP-KPA)
Kompleks Pratista II - Blok F - 135 - Bandung 40291 Indonesia

PENGANTAR

Sepanjang umur pemerintahan Orde Baru, isi dari kebijakan pertanahan yang dominan adalah pengadaan tanah untuk proyek pemerintah maupun usaha bisnis skala raksasa melalui intervensi negara baik berupa pemberian hak atas tanah, hak usaha, dan berbagai ijin lainnya maupun intervensi langsung dalam berbagai praktek pengadaan tanah tersebut. Model pengadaan tanah ini saya istilahkan sebagai “land acquisition through state intervention”. Intervensi negara dalam pengadaan tanah tersebut dijalankan melalui mekanisme ektra-ekonomi, dimana otoritas pengadaan tanah tersebut berada pada instansi-instansi sektoral, seperti Badan Pertanahan Nasional dan lain-lain.

Salah satu objek utama dari pengadaan tanah melalui intervensi negara ini adalah tanah-tanah yang dikuasai oleh masyarakat adat. Pada dasarnya, posisi penguasaan tanah oleh masyarakat adat pada dasarnya sangat lemah, ketika harus berhadapan dengan lembaga pemerintah pengadaan tanah seperti Badan Pertanahan Nasional. Masyarakat adat tidak memiliki “bargaining power” atas tanah yang dialokasikannya untuk kepentingan lainnya.

Konsekuensi langsung dari praktek “land acquisition through state intervention” ini bagi masyarakat adat adalah hancurnya land and tree tenurial system dari banyak komunitas masyarakat adat. Pada gilirannya, hal ini memicu terjadinya sengketa atau konflik penguasaan tanah baik dari segi juridis maupun konflik penguasaan de facto terhadap tanah. Banyak laporan yang telah dibuat kalangan ornop mengenai konflik atas tanah masyarakat adat, yang disebabkan oleh pengambilan tanah untuk kepentingan bisnis maupun proyek-proyek pemerintah.

Di tengah arus pengambilalihan tanah-tanah masyarakat adat, berkembang suatu model lain yang menantang “land acquisition through state intervention”, yakni “land acquisition through market”. Model baru ini terutama diperkenalkan oleh Bank Dunia, yang bersama-sama dengan AusAID dan Pemerintah Indonesia membiayai suatu proyek besar yang dinamakan Land Administration Project (LAP), yang dimulai semenjak tahun 1994.

Secara umum, tujuan dari proyek besar senilai US $ 140,1 juta atau Rp. 295 milyard (kurs tahun 1994) adalah

The main objective of the project is to foster efficient and equitable land markets and alleviate social conflicts over land, through acceleration of land registration in support of the initial phase of GOI’s long term land registration program to register all non-forest parcels, and through improvement of the institutional framework for land administration needed to sustain the program. The second main objective is to support GOI’s effort to develop long-term land management policies. The main component of the project are:
a) systematic registration of 1.2 million parcels in ten districts in Java, relying on special systematic adjudication team capitalizing on economies of scale, cadastral surveying by private firms, utilization of new technology such as GPS, and dissemination of information to the public;
b) development of a database of land laws and regulations, and assistance to GOI’s program for reviewing and drafting land laws and regulations.
c) long-term development of BPN’s institutional capacity for land adminitration, mostly through support to BPN’s training and education uits, training, scholarships and studies on way to improve tenure security form customay (adat) land.
d) an integrated program of studies, seminar and workshop on selected topic areas in land management while improving inter-agency coordination and drawing on international experience.

Setelah hampir empat tahun berjalan, model “pasar tanah” telah menunjukkan pengaruhnya, dengan membangun fundamen-fundamennya melalui LAP. Sejumlah NGO terkemuka di Indonesia, yang dimotori oleh Badan Pelaksana Konsorsium Pembaruan Agraria (BP-KPA) telah memberi perhatian yang serius terhadap proyek ini, dengan dasar kritik terhadap bias-bias yang dikandung oleh paradima, desain maupun implementasi LAP ini.

Secara teoritis, bias-bias tersebut disadari keberadaannya, sehubungan dengan apa yang dikemukakan oleh Walden Bello, et al, bahwa

What ussually occurs is a much more complex social process in which ideology mediates between interests and policy. An ideology is a belief-system -- a set theories, beliefs, and myths with some internal coherence -- that seeks to universalize the interests of one social sector to whole community. In market ideology, for instance, freeing market forces from state restraints is said to work to the good not only of business, but also to that of the whole community.

Dalam konteks terjadinya arus besar-besaran pengambilan hak atas tanah masyarakat adat secara besar-besaran untuk kepentingan investasi bisnis maupun lainnya, visi sejumlah NGO, seperti KPA, adalah mewujudkan pengakuan dan penguatan terhadap adanya sistem-sistem penguasaan tanah masyarakat adat (customary land tenure systems) yang berbeda dengan sistem pertanahan nasional yang berdasar pada asas kesatuan dan kesederhanaan hukum. Penulis berpendapat bahwa secara paksa melepaskan tanah yang dikuasai secara bersama (‘tanah komunal’), seperti juga tanah yang dikuasai oleh perorangan (‘tanah privat’) dari sistem penguasaan tanah masyarakat adat-nya, hanya akan melanggar hak-hak dasar suatu komuntas dan menghancurkan fundamen keberlanjutan kehidupan masyarakat adat tersebut.

Makalah ini berniat untuk membuat asesmen terhadap arus pikiran utama yang mempengaruhi Studi Tanah Adat -- yang merupakan salah satu kegiatan dalam LAP --, dan belum merupakan suatu analisis final mengenai proses dan hasil-hasil STA, mengingat bahwa STA sedang berlangsung dan belum selesai. Pertanyaan pokoknya adalah apakah STA menyatakan pengakuan dan memberi ruang bagi penguatan sistem penguasaan tanah masyarakat adat, atau sebaliknya menyatakan penolakan dan membuka ruang bagi penghancuran pada sistem-sistem penguasaan tanah masyarakat adat yang ada di Indonesia?

Untuk menjawab pertanyaan pokok tersebut, dalam makalah ini, selain mengemukakan pendapat dan pikirannya sendiri, penulis merangkai pelbagai pendapat, pikiran dan informasi yang terseleksi dari pihak-pihak yang relevan, dengan maksud agar makalah ini bisa merepresentasikan dinamika dari ide-ide mereka -- sesuai dengan konteks pembahasannya.

Adapun susunan penyajiannya, selain bagian Pengantar, makalah ini selanjutnya akan terdiri dari 4 (empat) bagian. Bagian I akan menguraikan problem pokok pengakuan sistem penguasaan tanah masyarakat adat, dengan terlebih dahulu menjelaskan konsep-konsep pokok yang dipakai dalam makalah ini. Adapun problem tersebut adalah konflik antara pengakuan dan penghancuran hak-hak masyarakat adat atas tanah memiliki akar yang kukuh pada dasar-dasar hukum agraria. Konflik ini merupakan warisan yang diturunkan lewat generasi hingga sampai pada kita. Bagian II akan menguraikan informasi dasar mengenai STA sebagai bagian dari Land Administration Project (LAP). Bagian III menyajikan analisis kompleksitas STA, baik dalam konteks politik agraria maupun keproyekannya, dengan memusatkan pada bias-bias yang dikandungnya. Bagian IV, menyajikan simpul-simpul dari keseluruhan bangunan argumentasi yang telah dibangun sebelumnya dan suatu agenda alternatif menuju pengakuan sistem penguasaan tanah masyarakat adat, sebagai bagian dari agenda- agenda NGO Indonesia untuk reformasi yang agraria lebih luas. Makalah ini juga menyertakan lampiran, yakni berupa Rancangan Penelitian STA, yang merupakan dokumen resmi bagi para pelaksana STA itu sendiri.

I. SISTEM PENGUASAAN TANAH MASYARAKAT ADAT

Praktik Pelanggaran Hak-hak Indigenous Peoples atas sumber-sumber agraria oleh perusahaan-perusahaan Penanam Modal Besar ternyata memperoleh dukungan resmi dari Pemerintah, terbukti dari adanya dokumen-dokumen hukum yang menjadi dasar bagi adanya Hak-hak baru (seperti: Hak Guna Usaha, Hak Pakai, Hak Kuasa Pertambangan, Hak Pengusahaan Hutan, Hak Pengusahaan Tanaman Industri) di atas sumber-sumber agraria maupun di dalam perut bumi.
(Maria R. Ruwiastuti, 1997)


I.1. KONSEP-KONSEP POKOK

I.1.1. Land Tenure

Sebagaimana diuraikan oleh Gunawan Wiradi , kata land memang sudah jelas yaitu tanah. Sedangkan kata tenure berasal dari kata dalam bahasa Latin tenere yang mencakup arti: memelihara, memegang, memiliki. Karena itu, land tenure biasanya dipakai dalam uraian-uraian yang membahas masalah yang pokok-pokok umumnya adalah mengenai status hukum dari penguasaan tanah seperti: hak milik, erfpacht, gadai, bagi hasil, sewa-menyewa, dan juga kedudukan buruh tani. Uraian mengenai status hukum itu menunjuk kepada pendekatan juridis, sehingga penelaahannya biasanya bertolak dari sistem yang berlaku, yang mengatur kemungkinan penggunaan, mengatur syarat-syarat untuk dapat menggarap tanah bagi penggarapnya, dan berapa lama penggarapan itu dapat berlangsung.

James C. Ridell dari Land Tenure Center merumuskan land tenure sebagai “a bundle of rights” , dimana masing-masing hak dapat dilekatkan pada individu, kelompok atau entitas ekonomi, politik, bahkan agama. Dengan pengertian sebundel atau serangkai berarti, masing-masing hak dapat dipisahkan dari ikatannya lalu diletakkan tidak lagi dalam ikatan asalnya atau diletakkan dalam konteks yang berbeda. Ikatan nya itu sendiri menunjukkannya sebagai suatu sistem.

Pada setiap land tenure system, masing-masing hak termaksud setidaknya mengandung tiga komponen, yakni:

(i) subjek hak, yang berarti pemangku hak atau pada siapa hak tertentu dilekatkan. Subjek hak bervariasi bisa dari individu, rumah tangga, kelompok, suatu komunitas, kelembagaan sosial-ekonomi bahkan lembaga politik setingkat negara.

(ii) objek hak, yang berupa persil tanah atau juga benda-benda yang tumbuh di atas tanah. Objek hak termaksud harus bisa dibedakan dengan alat tertentu, dengan objek lainnya. Untuk objek hak berupa suatu persil tanah, batas-batasnya biasanya diberi suatu simbol. Objek hak bisa bersifat total bisa juga parsial. Misalnya, seseorang yang mempunyai hak atas pohon sagu tertentu, tidak dengan sendirinya mempunyai hak atas tanah dimana pohon sagu itu berdiri.

(iii) Jenis haknya, setiap hak selalu dapat dijelaskan batasan dari hak tersebut, yang membedakannya dengan hak lainnya. Untuk jenis-jenis hak merentang dari hak milik, hak pakai, hak sewa, dll. Setiap jenis hak ini memiliki hubungan khusus dengan kewajiban tertentu yang dilekatkan oleh pihak lain (mulai dari individu lain hingga negara) dan keberlakuannya dalam suatu kurun waktu tertentu.

Dengan cara penyebutan yang berbeda, James C. Ridell menyebutkan bahwa setiap hak senantiasa setidaknya mengandung 3 (tiga) dimensi, yakni dimensi manusia, ruang dan waktu.

Selain ada land tenure, ada juga tree tenure yang terdiri dari sebundel hak terhadap “hasil hutan yang berkait dengan tumbuh-tumbuhan di atas tanah” yang dapat melekat pada berbagai subjek pada berbagai waktu yang berbeda. Dalam konteks ini, Louise Fortman membagi setidaknya 4 kategori utama , yakni

(i) Hak untuk memiliki atau mewarisi (right to own or inherit)
Umumnya jenis hak ini dipegang oleh komunitas, namun Fortmann (dalam Raintree, 1987) mencatat bahwa sejumlah temuan menunjukkan bahwa pada sejumlah komunitas hak ini dipegang oleh rumah tangga, meskipun tanahnya tetap dipegang oleh komunitas.
(ii) Hak untuk menanam (right to plant),
Suatu klaim (anggota) komunitas atas suatu persil tanah, pertama-tama akan menanam pohon sebagai petanda klaim simbolik, maupun batas-batas. Walaupun pada umumnya, hukum negara (ekternal) tidak mengakui hal ini, namun hal ini sangat efektif bagi hubungan internal antar maupun di dalam komunitas.
(iii) Hak untuk memanfaatkan (right to use) pepohonan dan hasil dari pepohonan.
Hak ini mencakup hak-hak untuk (a) mengumpulkan buah-batang-bunga, jamur atau benalu yang tumbuh, maupun binatang-binatang serangga, maupun burung; (b) memanfaatkan hasil dari pohon-pohon besar seperti madu; (c) memotong batang kayu untuk kayu bakar; (d) memanen hasil hutan seperti buah, biji-bijian, dll; (e) mengambil segala yang dihasilkan pepohonan yang sudah berada di tanah seperti ranting maupun buah-buahan.
(iv) Hak untuk melepaskan haknya atas pohon (right of dispose).
Hak ini mencakup (i) menebang dan atau mencabut pohon yang dimiliki haknya; (ii) menjual-menyewakannya pada pihak lain, baik bersatu atau terpisah dengan tanah tempat pohon itu tumbuh.

I.1.2. Customary Tenure Systems

Bagi kalangan terpelajar di perkotaan, hak-hak masyarakat adat atau komunitas lokal atas sumber-sumber agraria adalah seluk beluk yang tidak populer. Di samping, hanya kalangan yang sangat terbatas yang mempelajarinya secara serius, lagi pula tenurial systems dari masyarakat adat ini sangat beragam di seantero nusantara. Ebenezer Acquaye, mengingatkan bahwa

Customary tenure does not lend itself easily to precise definition and it can never be of universal application because it varies between communities. Moreover, it is canstantly undergoing natural evolution, and being modified or even completely changed by the grafting on of foreign legal concepts.

Mesikipun demikian, secara konseptual teoritik, beberapa atribut yang biasanya dijumpai dalam customary tenurial systems berikut ini bisa dijadikan panduan untuk mulai memahaminya.

1. the rights under customary tenure rest neither on the exercise of brute force, nor on evidence of rights guaranteed by government statutes but on the fact that they are recognised as legitimate by community, the rules governing the acqusition and transmission of these rights being ussually explicit and generally known though not normally recorded in writing.
2. some social, mystic and religious attributes are ussually attached to land held under customary tenure. The communities’ attachment to land is not a mere whim or prejudice; it reflects solid judgements of the requirements for survival which have matured through centuries of precarious and rugged living.
3. Under customary tenure, the ultimate or allodial rights to land are ussually held collectively by a social group such as a tribe, village, clan, lineage or family.
4. Group owned land is ussually held in a fiduciary capacity by the head of group on behalf of the whole group. In the actual management and exercise of his functions in respect of the land, however, the head is to articulate the consensus of the whole group -- in practical terms, this means he has to act on the advice and with the concurrence of a ‘management committee’ normally consisting of elders of the group selected by some laid down criteria.
5. The right to the land held under customary tenure involves a distinctive concept in costumary land law. Although there is collective’s access and control over land rights, hunting rights of way, right of grazing etc, there are distinct rights of the individual members of the group -- such as the right to buil a house or grow crops and the right to exclude others from the land. Heads of groups may also have personal rights which derive from the fact that they are heads. All these arrangement account for the percept of customary law as the concurrent rights of the groups of various span, of heads of groups and of individual members of the group.
6. Individual rights may derive from two sources, viz (a) the owner being a member of the land owning group and, therefore, entitled to use the land as of right; (b) an acquisition from a group (or person) which obtained the right from another group.
7. The individual rights to use land may revert to the larger group if the land is abandoned, upon exintinction of the sub-group ‘owning’ the land, upon the expiry of a temporary right, or on renouncing allegiance to the group.
8. Finally, the assertion that absolute right in land held under customary law cannot be tranferres needs some clarification as it does appear to be fully supported by historical evidence, or by case or codified law.

I.1.3. Signifikansi Tenurial Security bagi Masyarakat Adat

Tenurial Security bisa diartikan sebagai kepastian penguasaan dan pemanfaatan tanah dan segala hasil olahan di atas tanah. Dalam hubungan komunitas-komunitas adat dengan negara-bangsa, issue ini memiliki dimensi hukum yang sangat komplek, namun pada intinya adalah tiadanya pengakuan sistem penguasaan dan pemanfaatan tanah beserta hukum adatnya. Ketika suatu hak baru diberikan oleh pemerintah pada kelembagaan ekonomi dan politik modern untuk menguasai tanah, mengekploitasi hasilnya dan/atau membangun segala sesuatu yang baru di atas teritori tenurial komunitas adat, maka issue seccurity of tenure menjadi sangat relevan. Pemberian hak baru ini, misalnya Hak Guna Usaha (HGU), akan dengan sendirinya mengubah susunan dari tata guna tanah (land use) dari kawasan tersebut.

Dalam penataan guna tanah (land use), dapat dibedakan dari dua pelaku yang berbeda, yaitu: (i) penataan guna tanah yang berasal dari dan dimiliki oleh masyarakat secara langsung yang dibuat berdasarkan pengetahuan-pengetahuan setempat (local knowledge) dan digunakan oleh mereka dalam kehidupan sehari-hari, dan (ii) penataan guna tanah yang berasal dari pemerintah atau Negara yang dibuat berdasarkan kepentingan-kepentingan ekonomi, politik, dan sosial yang bersifat makro dan dibuat lebih banyak berdasarkan pada perhitungan-perhitungan teknis ekonomi, geo- dan demo-grafi, serta ilmu perencanaan wilayah. Penatagunaan tanah oleh perusahaan bisnis, merupakan turunan dari penatagunaan oleh pemerintahn. Dalam penataan Penataan guna tanah oleh pihak kedua ini (pemerintah dan bisnis), umumnya datang belakangan setelah penataan guna tanah oleh masyarakat.. Tetapi penataan guna tanah oleh pihak yang kedua lah yang lebih memiliki kekuatan politik maupun hukum. Sehingga kedua penataan ini dalam kenyataannya seringkali berbenturan secara negatif di lapangan, seperti dalam banyak kasus kawasan perkebunan, konsesi Hak Pengusahaan Hutan, Kawasan Transmigrasi, Konsesi Pertambangan, dll yang bertumbukan dengan kawasan kawasan tenurial masyarakat adat, dimana kedua belah pihak sama-sama memiliki kepentingan atas kawasan tersebut.

Penulis berpendapat seharusnya penataan guna tanah (dan termasuk hutan) yang datang dari pemerintah dan bisnis, tidak boleh bertumbukan dengan tenurial masyarakat adat dan/atau mengganggu sistem tenurial adat (customary tenure system) tersebut, karena sistem ini sudah ada (existed) terlebih dahulu dan memiliki akar dalam sejarah, budaya lokal dan hukum adat. Pengabaian terhadap sistem tenurial adat (customary tenure system) hanya akan menimbukan konflik yang berkepanjangan, yang pada gilirannya akan menghasilkan disintegrasi sosial bagi masyarakat adat yang bersangkutan maupun antara masyarakat adat dengan pihak luar yang datang.

1 comment:

PENERAPAN ILMU FORENSIK DALAM HUKUM PIDANA

Terbentuknya keyakinan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana didasarkan pada hasil pemeriksaan alat-alat bukti yang dikemukakan pada pros...