7/9/18

ANALISIS HUKUM PRESIDEN TRESHOLD

Miriam Budiardjo dalam bukunya yang berjudul “Dasar-dasar Ilmu Politik” menyatakan bahwa politik adalah usaha-usaha untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Politik dalam suatu negara berkaitan dengan masalah kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decision making), kebijakan publik (public policy), dan alokasi atau distribusi (allocation or distribution). Tidak dapat disangkal bahwa dalam pelaksanaannya, kegiatan politik juga mencakup segi-segi negatif. Hal ini disebabkan karena politik mencerminkan tabiat manusia, baik nalurinya yang baik maupun nalurinya yang buruk. Tidak heran jika dalam realitas sehari-hari acapkali berhadapan dengan banyak kegiatan yang tak terpuji, atau seperti yang dirumuskan oleh Peter Merkl bahwa Politik dalam bentuk yang paling buruk, adalah perebutan kekuasaan, kedudukan dan kekayaan untuk kepentingan diri sendiri.
Dalam politik, Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan bentuk pengejawantahan paling dasar dalam kehidupan demokrasi. Dimana demokrasi yang lahir dari reformasi saat ini telah menjadikan Indonesia sebagai negara dengan sistem multi partai yang menyebabkan suara rakyat menjadi terpecah belah. Padahal melalui pemilu, rakyat dapat menyalurkan suaranya dan terlibat dalam proses transisi kepemimpinan bangsa. Maka pemilu harus dilaksanakan secara akuntabel dan menempatkan rakyat secara tepat di atas kepentingan politik atau golongan.
Dalam perspektif ini penulis menyoroti relevansi pemberlakuan ambang batas dalam pencalonan pasangan presiden dan wakil presiden atau lazim disebut Presidential Treshold. Pasal 9 UU No 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden menetapkan aturan bahwa pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% suara sah nasional pada pemilu DPR sebelumnya. Aturan ini berlaku sejak Pemilu 2004 dan konsisten diberlakukan sampai sekarang, namun masih menjadi polemik di berbagai kalangan pemerhati hukum dan konstitusi di Indonesia. Penulis akan memaparkan analisis yuridis, filosofis, sosiologis serta keterkaitannya dengan relevansi Presidential Threshold dalam sistem pemilihan umum presiden dan wakil presiden di Indonesia.
Analisis Yuridis
Secara yuridis, pemberlakuan Presidential Threshold tidak sejalan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan: “Pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.” Tafsir gramatikal dan tekstual dari pasal ini menggambarkan bahwa setiap partai politik peserta pemilu berhak mengajukan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden serta tidak memberikan pengecualian, apalagi batasan terhadap partai politik peserta pemilu untuk mencalonkan pasangan presiden dan wapres. Dengan diberlakukannya ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden, artinya hukum membatasi hak seseorang untuk dipilih dan maju dalam pencalonan presiden dan wakil presiden karena tersendat untuk mencapai presentase angka paling sedikit 20% dari jumlah kursi di DPR. Padahal fakta menunjukkan untuk mencapai angka 20% bukanlah hal yang mudah, bahkan beberapa partai politik besar saja harus berkoalisi dahulu dengan sesamanya untuk mencapai angka 20% tersebut.

Analisis Filosofis
Pemberlakuan Presidential Threshold dapat mengkebiri hak politik (hak dipilih dan memilih) rakyat untuk mendapatkan presiden dan wakil presiden terbaik karena terkendala oleh ambang batas tersebut. Filosofi dari pemilihan umum adalah menyangkut hak dipilih dan memilih sesuai dengan esensi negara demokratis. Hemat penulis, hak memilih berbanding lurus dengan hak dipilih, artinya pemilih harus memilih calon yang memang disediakan oleh sistem yang konstitusional dan tidak mengikuti selera politik oligarkis. Hak pemilih adalah untuk mendapatkan akses terhadap banyak alternatif calon presiden dan wakil presiden sesuai konstitusi.
Tersiratnya, pembatasan calon berarti membatasi saluran politik pemilih dan dalam derajat tertentu mendorong voters turn out dalam bentuk golput, karena calon terbaik menurut mereka tidak dapat menjadi riil pasangan calon presiden dan wakil presiden akibat pembatasan tersebut. Sebaliknya, penghapusan Presidential Threshold berarti membuka saluran politik rakyat dan dalam derajat tertentu meningkatkan partisipasi pemilih karena daya tarik calon presiden-wapres yang lebih banyak pilihan alternatifnya.

Analisis Sosiologis
Kehadiran Presidential Threshold berpotensi mengganggu dan menghambat kinerja presiden terpilih serta mengacaukan jalannya roda pemerintahan. Pemberlakuan ambang batas ini “memaksa” partai politik untuk berkoalisi, karena diyakini tidak akan ada partai politik yang mampu meraih suara mayoritas untuk memenuhi perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% suara sah nasional pada pemilu DPR sebelumnya.
Dukungan partai politik kepada pasangan calon tentu tidak gratis, pasti ada hubungan timbal balik dibalik itu semua. Partai politik pendukung pasti meminta kompensasi sebesar-besarnya atas suaranya, akhirnya terjadi tarik menarik kepentingan politik-ekonomi dengan partai-partai yang menyokong nama calon presiden dan wakil presiden. Dengan terjadinya kompromi tersebut sesungguhnya presiden sudah mengebiri hak-hak prerogatifnya sendiri jauh hari sebelum ia mengikrarkan sumpah dan janji jabatannya. Dalam perekrutan menteri, misalnya, presiden tidak bisa lagi sepenuhnya menggunakan hak yang diberikan konstitusi, karena harus menimbang “pasal-pasal perjanjian pranikah” dengan parpol-parpol pendukungnya. Akibatnya, faktor profesionalisme tergeser oleh kepentingan politik pragmatis. Sehingga keindependensian presiden dan wakil presiden patut dipertanyakan.
Khawatirnya presiden terpilih pun terkesan tidak lagi memiliki kontrol penuh atas pembantu-pembantunya. sekalipun penyimpangan sudah ramai diberitakan, namun karena “perjanjian pra nikah” yang sudah ditandatangani, presiden tidak bisa menindak menterinya yang “disersi” itu. Sehingga Presidential Threshold ini, secara tidak langsung dapat menjadi bumerang bagi presiden terpilih.
Selain itu, dengan sistem pemilihan umum yang seperti ini, tidak akan lahir seorang pemimpin negara dari kalangan negarawan. Sebaliknya, yang ada hanyalah pemimpin negara dari kalangan politisi. Padahal seorang negarawan sangatlah dibtuhkan, namun sulit dicari di era reformasi dan di tengah dengung demokrasi yang semakin menguat. Calon presiden dari kalangan independen bisa saja menjadi sebuah oase, namun sistem perpolitikan di negara ini belumlah menghendaki dan siap menghadapi oase tersebut.
Dikhawatirkan penerapan Presidential Threshold adalah permainan politik partai-partai besar dalam membuat konspirasi jahat untuk menghalangi peluang bagi munculnya calon presiden dan wakil presiden lain di luar partainya. Sehingga menurut hemat penulis, pemberlakuan Tresidential Threshold ini sudah tidak relevan lagi jika masih di terapkan dalam sistem pemilihan umum presiden dan wakil presiden di Indonesia yang terkesan inkonstitusional. Jika benar inkonstitusional, maka kacaulah sistem pemerintahan bangsa ini, sebab pemimpin negaranya saja tidak mempunyai legitimasi dalam menjalankan roda pemerintahan.
Penghapusan ambang batas pencapresan menjadi salah satu solusi konkret yang dapat menghadirkan putra-putri terbaik dari setiap partai politik, dengan tidak mengesampingkan proses berbangsa dan bernegara yang sudah seharusnya kita junjung tinggi. Penulis percaya bahwa setiap partai politik pasti memiliki cita-cita yang sangat tulus untuk bersama membangun bangsa, namun oknum yang mengotori partai politik haruslah dibersihkan. Penghapusan ambang batas pencapresan adalah salah satu itikad baik apabila kita memang ingin memperbaiki bangsa secara bersama-sama. Marilah kita sama-sama mencari calon pemimpin bangsa yang mampu menyentuh hati dan merangkul nurani tiap-tiap masyarakat Indonesia dan dapat bertindak arif bijaksana menuju Indonesia aman sejahtera.

A M A N D A  D E A  L E S T A R I

No comments:

Post a Comment

PENERAPAN ILMU FORENSIK DALAM HUKUM PIDANA

Terbentuknya keyakinan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana didasarkan pada hasil pemeriksaan alat-alat bukti yang dikemukakan pada pros...