11/26/14

MENYOAL TINDAKAN ALA BAR-BAR MAIN HAKIM SENDIRI


Oleh: Refki Saputra
“Kejahatan tidak hanya terjadi karena ada niat pelakunya, tapi juga karen ada kesempatan”.
Inilah sepenggal kalimat yang diampaikan oleh “bang Napi” dalam salah satu tayangan berita kriminal yang terkesan sederhana namun selalu mewanti-wanti kita (baca: penontonya) untuk selalu wasapada dari tindak kejahatan yang ada disekitar kita. Namun jangan lupakan juga, niat untuk berbuat jahat yang dilakukan oleh seseorang tidak hanya berasal dari dalam diri mereka, tapi juga karena didesak oleh suatu hal yang ada di luar diri mereka senadiri. Artinya, ia melakukan kejahatan karena suatu keterpaksaan bukan karen sikap batinnya yang memang jahat (mens rea).

Sebagaimana yang diungkapkan oleh para Utilitarianisme seperti Jheremy Bentham dan Van Jhering, dimana manusia pada prinsipnya akan melakukan tindakan untuk mendapatkan kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan mengurangi penederitaan (Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi 2001: 64). Jadi manusia dalam hidup bermasyarakat, selalu ingin selalu berada dalam kondisi tentram dan damai untuk mewujudkan kebahagian mereka masing-masing. Jika kondisi tersebut terusik oleh tidakan-tindkan manusia lain, maka akan timbul reaksi terhadap gangguan tersebut. Celakanya, reaksi yang diberiakan terkadang tidak manusiawi lagi, bahkan cenderung mengenyampingkan hak-hak asasi manusia.
Kondisi inilah yang marak terjadi dalam tidakanan main hakim sendiri (eihgent richting) yang dilakukan oleh sekelompok orang terhadap pelaku kejahatan yang tertangkap tangan. Tak memandang intensitas dan kerugian akibat dari kejahatan yang diperbuat, meskipun hanya sekedar maling jemuran. Perbuatan yang dianggap jahat dan meresahkan masyarakat, jika kedapatan oleh warga maka tiada ampun bagi pelakunya, seperti pukulan, terjangan bahkan tak jarang siksaan sampai matipun akan diterima oleh pelaku.
Seperti halnya pemberitaan seorang pencuri sepatu yang tertangkap tangan, dan kemudian dihakimi masa sampai babak belur disalah satu televisi swasta kemarin ini. Setelah pelaku mengalami luka di sekujur wajahnya baru kemudian diserahkan kekantor polisi setempat, kemudian setelah diamankan, dia mencoba kabur dengan naik keatas atap. Merasa dirinnya tak akan bisa lolos, sponta ia langsung menjatuhkan dirinya ke jalan dan langsung tak sadarkan diri, dengan tubuh bersimbah darah aparat kepolisian langsung membawanya kerumah sakit terdekat.

Sebab Musabab
Melihat peristiwa diatas, sekirannya dapat dikaji mengapa pelaku bisa nekat melakukan tindakan menjatuhkan diri tersebut. Pertama, dia kemungkinan baru pertama kali melakukan perbuatan pencurian dan tak siap harus menanggung malu karena ditanggkap oleh polisi. Biasanaya, jika penjahat yang sudah terbiasa berbuat kejahatan, ia tau tindakan apa yang hendak diberikan kepadanya jika mencuri benda-benda yang nilainya tak seberapa. Namun, jika kita bawakan kepada kasus diatas, pastilah pelaku mengira akan disiksa lebih berat jika sampai kekepolisian. Kedua, Kejahatan yang ia perbuat bisa jadi karena keterpaksaan karena himpitan ekonomi, jadi bunuh diri akan lebih baik daripada akan menambah beban jika ia dipenjara nantinya. Ketiga, kemungkinan kondisi physikis pelaku yang memang sedang tergoncang, karena merasa dirinya tak berguna lagi di masyarakat karena mencuri.
Mengapa hal demikian bisa terjadi? Sepasang sepatu bisa menimbulkan kematian terhadap seseorang. Sebuah pertannyaan yang harus dijawab oleh kita semua, masyarakat yang demi mengembalikan keseimbangan akibat kekacauan yang ditimbulkan dari pencurian sepatu. Mengapa dengan gampangnya nyawa orang melayang di bangsa ini, hanya karena masyarakatnya yang tak mau berfikir panjang dalam menyelesaikan masalah. Sungguhnya kita kembali kepada zaman jahilliyah, dimana orang bertindak dengan cara bar-bar tanpa memandang hak asasi seorang manusia yang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan memperbaiki kesalahan. Padahal kita mengaku sebagai bangsa yang hidup dalam bingkai negara hukum yang menjunjung tinggi hukum dan Hak Asasi Manusia sebagaimana dicantumkan dalam hukum dasar tertinggi kita yakni UUD 1945 (vide pasal 1 ayat 3 UUD 1945). Namun tidak semua orang menyadari hal itu, dan tindakan seperti halnya diatas, acap kali terjadi dalam proses penegakkan hukum pidana di negara kita.

Menilik Sedikit Kebelakang
Beberapa hal ini disinyalir menjadi faktor yang mendasari masyarakat cenderung berlaku bar-bar dalam menanggulangi kejahatan. Pertama, sumberdaya manusia yang rendah, karena banyak orang yang tidak mengenyam pendidikan yang sempurna, akibatnya mempengaruhi pola dalam berhubungan dengan masyarakat yang cenderung antipati terhadap kejelekan orang. Kedua, ketidaktahuan akan proses penegakan hukum yang harus mengacu pada Hak Asasi Manusia yang implementasinya sering juga kita dengan dengar dengan asas “praduga tidak bersalah” (presumtion of innocence). Ketiga, ketidakberfungsian dari lembaga struktural dalam masyarakat seperti RT, RW atau pemuka masyarakat setempat yang seharusnya bisa menjadi pencegah kebrutalan dalam masyarakat.
Negara sebagai organisasi kekuasaan juga sepantasnyalah bertanggung jawab dalam proses penegakan hukum. Dalam hal ini sebagai pengatur masyarakatnya agar dapat mencegah perbutan dari main hakim sendiri yang mendorong kepada dekadensi moral karena pelcehan terhadap Hak Asasi Manusia. Misalnya dalam hal pengaturan, perlu adanya politik hukum pidana yang dapat mengantisipasi tindakan-tindakan masyarakat dalam melakukan penegakan hukum seperti regulasi dalam hal penanganan pelaku kejahatan dengan mencantumkan sanksi yang tegas terhadap pelaku main hakim sendiri. Kemudian perlu ditingkatkan kegiatan-kegiatan yang bersifat sosialisasi terhadap Hak Asasi Manusia dalam konteks sebagai pelaku tindak pidana. Terakhir profesionlisme kinerja aparat yang kemudian harus ditingkatkan agar kejadian main hakim sendiri ini cepat diminimalisir jika pun terjadi. Harapan kepada perwujudan masyarakat yang adil dan beradap sebagaimana yang dicita-citakan dalam ideologi bangsa ini mudah-mudahan dapat terwujud dengan kerjasama semua pihak baik masyarakat secara umum dan lembaga-lembaga formil yang terkait.

*Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Hukum
Universitas Andalas Padang

No comments:

Post a Comment

PENERAPAN ILMU FORENSIK DALAM HUKUM PIDANA

Terbentuknya keyakinan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana didasarkan pada hasil pemeriksaan alat-alat bukti yang dikemukakan pada pros...