12/31/12

PERAN PENGADILAN DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA


Oleh: H. Elfi Marzuni, SH. MH 
Pendahuluan
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Proses penegakan hukum pidana dilakukan oleh suatu sistem yaitu yang disebut dengan Sistem Peradilan Pidana yaitu mekanisme kerja dalam usaha penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar pendekatan sistem. Sistem penanggulangan kejahatan itu dilakukan oleh komponen-komponen yang saling bekerjasama, yaitu instansi atau badan yang kita kenal dengan nama kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan.
Masing-masing komponen atau sub system mempunyai tugas dan output sendiri-sendiri sesuai dengan funsi dan wewenangnya masing-masing. Kepolisian bertugas melakukan penyidikan dan akan menghasilkan suatu out-put yang disebut dengan berita acara pemeriksaan (BAP). Kejaksaan berdasarkan BAP dari Kepolisian bertugas melakukan penuntutan dengan suatu surat dakwaan dan selanjutnya Pengadilan berdasarkan surat dakwaan dari Kejaksaan akan mengadili perkara kemudian menjatuhkan putusan. Lembaga Pemasyarakatan bertugas melakukan pembinaan terhadap nara pidana agar dapat kembali menjadi orang baik dalam masyarakat.

Pelaksanaan penegakan hukum pidana yang sangat menarik perhatian publik saat sekarang adalah mengadili perkara dan penjatuhan putusan   oleh Pengadilan. Putusan yang dijatuhkan Pengadilan kadang-kadang dianggap masyarakat jauh dari rasa keadilan. Bahkan tidak jarang setelah putusan diucapkan, masyarakat mencari-cari kesalahan materi putusan/pertimbangan putusan ataulegal reasoning dari putusan tersebut. Ada juga pihak-pihak yang berperkara yang tidak setuju dengan bunyi putusan minta supaya hakim yang memutus perkara dilaporkan ke Komisi Yudisial karena kesalahan dalam proses pelaksanaan persidangan dan dalam memutus perkara. Kesalahan tersebut sebenarnya menurut ketentuan hukum acara, bagi pihak yang tidak menerima putusan karena dirasa tidak adil, dapat mengajukan upaya hukum ke Pengadilan yang lebih tinggi seperti banding ke Pengadilan Tinggi atau kasasi ke Mahkamah Agung.
Sesungguhnya pengambilan putusan dalam perkara pidana di Pengadilan dilakukan oleh hakim yang independen melalui suatu proses persidangan. Proses tersebut ikut andil dalam menentukan bagaimana putusan yang akan dijatuhkan. Sebaliknya putusan yang dirasakan adil oleh masyarakat sangat tergantung juga dari proses persidangan yang adil, taransparan dan dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam makalah ini penulis akan membahas bagaimana peran kemandirian pengadilan dalam penegakan hukum dan keadilan serta bagaimana proses perkara pidana dilakukan, mulai disidangkannya suatu perkara sampai putusan diucapkan yang diharapkan putusan tersebut mengandung nilai-nilai keadilan yang didambakan masyarakat pencari keadilan (yustisiabelen).
Kemandirian Hakim Pengadilan
Di dalam suatu negara hukum, kekuasaan kehakiman (yudikatif) merupakan badan yang sangat menentukan terhadap substansi dan kekuatan kaidah-kaidah hukum positif termasuk hukum pidana. Karena melalui badan inilah konkritisasi hukum positif dilakukan oleh hakim pada putusan-putusannya di depan pengadilan. Dengan ungkapan lain dapat dikatakan, bahwa bagaimanapun baiknya segala peraturan hukum pidana yang diciptakan dalam suatu negara, dalam usaha penanggulangan kejahatan, akan tetapi peraturan-peraturan itu tidak ada artinya apabila tidak ada kekuasaan kehakiman yang dilakukan oleh hakim yang mempunyai kewenangan untuk memberi isi dan kekuatan kepada norma-norma hukum pidana tersebut.
Disini tampaklah bahwa pengadilan/hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman merupakan tumpuan dari segala lapisan masyarakat pencari keadilan (yustisiabelen) untuk mendapat keadilan serta menyelesaikan persoalan-persoalan tentang hak dan kewajibannya masing-masing menurut hukum. Oleh karenanya dapatlah dimaklumi akan adanya dan terselenggaranya peradilan yang baik, teratur serta memenuhi rasa keadilan masyarakat. Penyelenggaraan peradilan itu dilakukan oleh kekuasaan kehakiman yang merdeka dan pengadilan/hakim yang bebas, guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila.
Iskandar Kamil memberikan pendapat mengenai tugas hakim itu sebagai berikut:
Tugas hakim adalah sebagai pelaksana Kekuaasaan Kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, yang pada dasarnya adalah mengadili. Kata mengadili merupakan rumusan yang sederhana, namun di dalamnya terkandung pengertian yang sangat mendasar, luas dan mulia, yaitu meninjau dan menetapkan sesuatu hal secara adil atau meberikan keadilan. Pemberian keadilan tersebut harus dilakukan secara bebas dan mandiri. Untuk dapat mewujudkan fungsi dan tugas hakim tersebut, penyelenggaraan peradilan harus bersifat teknis profesional dan non politis serta non partisan. Peradilan dilakukan sesuai standar profesi berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, tanpa pertimbangan-pertimbangan politis dan pengaruh kepentingan pihak-pihak.[1]
Dari uraian dan pandangan diatas maka penegakan hukum dan keadilan inilah yang menjadi dasar filosofi dari kemandirian hakim ini. Mengingat dasar filosofi untuk menegakkan hukum dan keadilan inilah, maka kepada hakim perlu diberi kebebasan dari pengaruh kekuasaan ektra judisial dalam melaksanakan fungsi dan kewenangan kekuaaan kehakiman. Akan tetapi kebebasan itu harus disadari hanya merupakan kebebasan yang diberikan undang-undang atau hukum(legal right) bukan kebebasan yang bersifat alami (natural right). Oleh karena itu Ketua Mahkamah Agung dalam keynote speech mengatakan, bahwa kebebasan hakim itu hanya terbatas pada:
  1. 1.Bebas dari campur tangan kekuasaan negara lainnya.
  2. 2.Bebas dari paksaan siapapun,
  3. 3.Bebas dari direktiva atau rekomendasi yang datang dari pihak ektra yudisial.[2]
Sebagai landasan filosofi dari kebebasan hakim, keadilan itu sendiri mempunyai makna yang begitu kaya, sehingga selalu menimbulkan perbedaan dan petentangan dalam menafsirkannya. Walaupun demikian kiranya diusahakan suatu pemahaman yang pokok dan mendasar sehingga dapat disepakati oleh banyak pihak bahwa keadilan itu menjadi tujuan yang hendak dicapai dari kemandirian hakim dalam melaksanakan persidangan.
Plato menegaskan bahwa makna pokok dari keadilan adalah kemampuan memperlakukan setiap orang sesuai dengan haknya masing-masing.[3] Pemahaman ini diteruskan sepanjang sejarah kebudayaan Barat melalui Aristoteles, Cicero, Agustinus dan terutama oleh sistem hukum Romawi yang masih punya pengaruh kuat sampai dewasa ini. Meskipun pemahaman keadilan cukup singkat dan jelas tetapi dalam pelaksanaannya sering timbul kesukaran praktis, karena masih dipertanyakan sejauh mana hak orang itu. Manakah hak orang itu dan dari mana datangnya hak itu. Tanpa memberikan kejelasan seperti itu tindakan yang dimaksudkan sebagai pemberian keadilan, ternyata malah merupakan ketidak adilan.
Oleh karenanya kemudian dikatakan keutamaan keadilan terwujud pada tindakan-tindakan kepada orang lain, yakni orang yang memiliki hak atas perlakuan itu. Hal itu antara lain ditegaskan oleh Thomas Aquinas dengan rumusan “keadilan adalah untuk orang lain”.[4] Perlakuan yang adil dilaksanakan bukan karena kasih sayang, hubungan perasaudaraan atau perasahabatan dan sebagainya, melainkan kerena pengakuan atas hak orang lain.
Pengertian keadilan ini pada perode akhir-akhir ini banyak ditinjau dari berbagai sudut pandang. Ada yang melihat dari segi keadilan legal (legal justice)yaitu keadilan yang sesuai dengan hukum. Pandangan ini dapat dilihat dari peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dari putusan hakim pengadilan yang mencerminkan keadilan hukum negara dalam bentuk formal. Akan tetapi adil tidaknya suatu peraturan perundang-undangan atau putusan hakim sangat pula ditentukan oleh representasi keadilan moral (moral justice) dan keadilan sosial(social justice), sebagai dua sudut pandang yang lain melihat keadilan itu sendiri.
Keadilan moral (moral justice) tidak lain dari keadilan yang berdasarkan moralitas yang berbicara tentang baik dan buruk. Moralitas berasal dari berbagai sumber, yang terpenting disini adalah agama. Agamalah yang menetapkan tentang norma-norma baik dan buruk, benar dan salah, adil dan tidak adil. Perundang-undangan Indonesia sangat mendukung keadilan hukum yang berdasarkan keadilan moral agama. Ini terlihat secara umum dari pasal 2 ayat (1) UU No. 48 tahun 2009 yang menyatakan: Peradilan dilakukan “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Setiap putusan hakim harus memuat kata-kata tersebut sebagai kepala putusannya. Putusan hakim yang tidak memuat kata-kata tersebut diatas diancam batal demi hukum.
Keadilan sosial (social justice) adalah menjadi salah satu dasar negara, sebagai sila kelima dari Pancasila yang berbunyi: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam pembukaan UUD 1945 disebutkan bahwa selain melindungi segenap bangsa dan tanah air Indonesia, Pemerintah Indonesia juga ingin berpartisipasi melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Ada pula pendapat yang mengelompokkan keadilan legal (legal justice)kedalam dua kategori yaitu aspek substanstif dan prosedural. Pendapat ini dikemukakan oleh Majid Khadduri sebagai berikut:
Syariat tidak memberikan ukuran khusus untuk membedakan antara perbuatan-perbuatan yang adil dan zalim. Oleh karena itu ia berpindah kepada pakar-pakar (mujtahid) untuk mengindikasikan prinsip-prinsip pokok dari keadilan yang berfungsi sebagai garis-garis pedoman untuk membedakan antara perbuatan-perbuatan yang adil dan zalim. Walaupun prinsip-prinsip ini tidak dibawa bersama dan dikorelasikan kedalam suatu teori koheren tentang keadilan legal, tetapi mereka boleh dikelompokkan kedalam dua kategori, masing-masing meliputi suatu aspek dari keadilan yang berbeda. Aspek-aspek ini boleh kita namakan aspek substantif dan prosedural, dan makna keadilan dalam setiap aspek bervariasi dari satu hingga lainnya.[5]
Selanjutnya Majid Khadduri mengatakan, bahwa keadilan substantif merupakan suatu aspek internal dari suatu hukum dan elemen-elemen keadilan yang terkandung dalam suatu hukum merupakan deklarasi tentang kebenaran-kebenaran dan kesalahan-kesalahan. Dalam kosa kata Islam, ini kita namakan halal dan haram (al-halal wa al-haram) dan membentuk beberapa kaidah umum dan khusus dalam Syariat Islam (Islamic corpus juris).[6] Sedangkan keadilan prosedural adalah aspek eksternal dari syariat yang berdasar atasnya, keadilan substantif dicapai. Aspek keadilan ini yang sering disebut keadilan formal, dimanifestasikan pada tingkatan regularitas, ketelitian dan netral dalam penerapan (aplikasi) Syariat.[7]
Berkaitan dengan pengelompokan keadilan legal di atas, maka putusan Pengadilan yang diambil hakim secara normatif mengandung dua aspek yaituprosedural justice dan substantive justice. Dalam kaitan ini Mudzakkir mengatakan bahwa prosedural justice hubungannya dengan hukum acara dan hukum pembuktian, sedangkan subtantive justice berkaitan dengan diktum putusan atau pemidanaan (dalam perkara pidana).[8] Hukum acara dan hukum pembuktian bersifat obyektif dengan parameter aturan hukum acara dan hukum pembuktian yang konkrit dengan standar yang tegas. Proses pembuktian ini biasanya memerlukan ilmu pengetahuan yang obyektif dan oleh karenanya, hasil proses pembuktian dapat diuji secara ilmiyah (obyektif) oleh siapa saja. Sedangkan untuk substantive justicetidak memiliki ukuran yang seobyektif procedural justice, karena suatu diktum atau amar putusan adalah suatu kesimpulan dari kegiatan penafsiran terhadap kaedah hukum (in abstrakto) yang dilakukan oleh hakim terhadap fakta-fakta hukum yang telah diuji di Pengadilan (in concretto).
Penafsiran terhadap kaedah hukum ditujukan untuk mencapai tujuan hukum yaitu terciptanya keadilan dalam masyarakat. Tuntutan keadilan yang diajukan masyarakat agar penerapan hukum sesuai dengan apa yang dianggap adil oleh masyarakat dalam setiap kasus pidana di depan hakim. Ini biasanya terkait dengan situasi konkrit dan kondisi sosial setempat. Masyarakat tidak akan menilai menurut prinsip-prinsip abstrak sebagai dirumuskan hukum, melainkan menurut apa yang dalam situasi konkrit terasa adil. Jadi tuntutan keadilan disini agar hakim mempunyai kebebasan penuh untuk memperhatikan semua unsur konkrit dalam kasus yang dihadapi.
Dilain pihak kepastian hukum selalu menuntut agar hukum dirumuskan secara sempit dan ketat agar tidak terjadi kekaburan sedikitpun. Akan tetapi semakin sempit dan terperinci perumusan hukum, maka hakim itu makin kaku dan makin sempit pula ruang kebebasannya. Sehingga mungkin saja suatu putusan hakim sesuai dengan norma-norma hukum, tapi tidak sesuai dengan keadilan menurut pandangan masyarakat. Dalam kondisi dan situasi demikian hakim hendaklah membebaskan diri pengaruh tekanan baik yang datang dari pemerintah, maupun pejabat pembuat undang – undang serta pada rasa keadilan yang dirumuskan waktu itu, yaitu apa yang dirasakan adil menurut perasaan keadilan hakim itu sendiri.
Tahapan dan Proses Persidangan
Sebelum Pengadilan/Hakim sampai kepada pengambilan putusan dalam setiap perkara pidana yang ditanganinya, terlebih dahulu melalui proses pemeriksaan persidangan yang merupakan tahap-tahap dalam pemeriksaan itu. Tanpa melalalui proses pemeriksaan persidangan ini hakim tidak akan dapat mengambil putusan dalam perkara pidana yang ditanganinya, karena hanya dengan melalui proses inilah akan didapatkan peristiwa konkrit yang dilakukan terdakwa. Melalui proses persidangan ini pula semua pihak, baik jaksa penuntut umum maupun terdakwa / penasehat hukum diberi kesempatan yang sama untuk mengemukakan pendapatnya serta menilai hasil pemeriksaan persidangan menurut perspektifnya masing-masing. Pada akhir dari proses pemeriksaan persidangan hakim akan mengambil putusan. Proses persidangan ini merupakan salah satu aspek yuridis formil yang harus dilakukan hakim untuk dapat mengambil putusan dalam perkara pidana.
Proses pemeriksaan persidangan perkara pidana di Pengadilan yang dilakukan oleh hakim secara umum diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana disingkat dengan sebutan KUHAP ( Undang-undang No. 8 tahun 1981 ) dan beberapa peraturan pelaksanaan lainnya, seperti PP No. 27 tahun 1983 tentang pelaksanaan KUHAP dan Peraturan Menteri Kehakiman RI No. M.06.UM.01.06 tahun 1983 tentang Tata Tertip dan Tata Ruang Sidang. Disamping itu dalam praktek seringkali pelaksanaan tahap-tahap dan tata cara persidangan disesuaikan dengan keadaan berdasarkan kebijakan hakim / ketua majelis hakim atau atas kesepakatan antara pihak-pihak yang terkait dalam pemeriksaan perkara pidana, sejauh tidak menyimpang dari asas dan tujuan pemeriksaan perkara pidana.
Pada garis besarnya proses persidangan pidana pada peradilan tingkat pertama di Pengadilan Negeri untuk memeriksa perkara biasa terdiri dari 4 (empat) tahap sebagai berikut :
1. Sidang Pembacaan Surat Dakwaan, Eksepsi dan Putusan Sela.
Pada hari sidang yang telah ditetapkan oleh hakim/majelis hakim, sidang pemeriksaan perkara pidana oleh ketua majelis hakim dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kasulilaan atau terdakwanya anak-anak.[9] Pemeriksaan itu dilakukan secara lisan dalam bahasa Indonesia yang dimengerti oleh terdakwa dan saksi-saksi.[10] Kalau kedua ketentuan tersebut tidak tidak dipenuhi, maka mengakibatkan batalnya putusan demi hukum.[11]
Pada tahap ini penuntut umum sebagai pihak yang diberi wewenang melakukan penuntutan, diberi kesempatan oleh hakim ketua sidang untuk membacakan surat dakwaan. Apabila pihak terdakwa tidak mengerti tentang isi surat dakwaan yang diajukan kepadanya, penuntut umum atas permintaan hakim ketua sidang wajib memberi penjelasan yang diperlukan.
Terdakwa atau penasehat hukumnya dapat mengajukan keberatan (eksepsi) terhadap surat dakwaan penuntut umum. Keberatan (eksepsi) terdakwa dan penasehat hukum itu meliputi:[12]
a). Pengadilan tidak berwenang mengadili ( berkaitan dengan kompetensi absolut / relatif).
b).  Dakwaan tidak dapat diterima (karena dakwaaan dinilai kabur / obscuur libel).
c).  Dakwaan harus dibatalkan (karena keliru, kadaluarsa atau nebis in idem).
Sesudah pembacaan keberatan (eksepsi) dari terdakwa atau penasehat hukum, hakim ketua sidang memberi kesempatan pada penuntut umum untuk mengajukan tanggapan atas keberatan (eksepsi) yang biasanya disebut replik.[13]Didalam praktek sering juga sebelum menjatuhkan putusan sela hakim ketua masih memberikan kesempatan pada terdakwa / penasehat hukum untuk mengajukan tanggapan sekali lagi yang disebut duplik. Kesempatan yang terakhir ini tidak diatur dalam KUHAP, akan tetapi merupakan kebijaksanaan hakim berdasarkan asas keseimbangan pada pemeriksaan.
Atas eksepsi beserta tanggapan-tanggapan tersebut selanjutnya hakim ketua sidang menjatuhkan putusan sela.[14]
Model putusan sela dalam praktek ada dua macam :
a).  Tidak dibuat secara khusus. Biasanya untuk putusan sela yang pertimbangannya sederhana, majelis hakim cukup menjatuhkan putusan sela secara lisan, selanjutnya putusan tersebut dicatat dalam berita acara persidangan dan nantinya akan dimuat dalam putusan akhir.
b).  Dibuat secara khusus dalam suatu naskah putusan untuk putusan sela yang memerlukan pertimbangan yang rumit / komplek, majelis hakim biasanya menyusun putusan sela secara sistematis dalam suatu naskah putusan yang dibacakan dalan sidang.
Secara garis besar ada tiga macam kemungkinan isi putusan sela :[15]
a).  Eksepsi tedakwa/penasehat hukum diterima, sehingga pemeriksaan terhadap perkara tersebut tidak dapat dilanjutkan.
b).  Eksepsi terdakwa / penasehat hukum ditolak, sehingga terhadap perkara tersebut harus dilanjutkan.
c).  Eksepsi terdakwa / penasehat hukum baru dapat diputus setelah selesai pemeriksaan, sehingga sidang harus dilanjutkan.
Setelah putusan sela diucapkan atau dibacakan hakim ketua menjelaskan seperlunya mengenai garis besar isi putusan sela sekaligus menyampaikan hak penuntut umum, terdakwa dan penasehat hukum untuk mengambil sikap menerima atau akan mengajukan perlawanan.[16]
2. Sidang pembuktian.
Apabila hakim/majelis hakim menetapkan dalam putusan sela sidang pemeriksaan perkara harus dilanjutkan, maka acara persidangan memasuki tahap pembuktian,yaitu pemeriksaan terhadap alat-alat[17] dan barang bukti[18] yang diajukan. Dari keseluruhanan proses peradilan pidana tahap pembuktian ini sangat penting, karena dari hasil pembuktian ini nantinya akan dijadikan dasar pertimbangan bagi hakim untuk menentukan bersalah atau tidaknya terdakwa dalam putusan.
Bagaimana pentingnya tahap sidang pembuktian ini, digariskan dalam pasal 183 KUHAP yang berbunyi, hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Pengertian dari pasal 183 KUHAP tersebut dapat disimpulkan, bahwa untuk menentukan salah tidaknya seseorang dan selanjutnya hakim menjatuhkan pidana, maka harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
- kesalahan dipandang telah terbukti jika telah dipenuhi, sekurang- kurangnya dua alat bukti yang sah.
- dan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah itu hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana telah terjadi dan yang melakukan adalah terdakwa.
Mengenai pasal 183 KUHAP ini H. Pontang Moerad, BM berpendapat:[19]
…….. Hal ini menunjukkan adanya kebebasan hakimdalam menjatuhkan putusan. Ia bebas untuk menentukan timbulnya keyakinan dalam dirinya berdasarkan alat-alat bukti yang dihadapkan kemuka sidang. Diluar kerangka itu, tidak boleh ada hal yang dapat mempengaruhi dirinya dalam menjatuhkan putusan.
Dengan memperhatikan bunyi pasal 183 KUHAP, maka jelaslah bahwa KUHAP menganut sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif. Sistem ini merupakan perpaduan antara sistem pembuktian menurut keyakinan hakim (conviction intime) dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif (positief wettelijke). Dalam sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif ini, tidak cukup keterbuktian itu hanya didasarkan pada alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang saja, akan tetapi juga bersamaan dengan itu harus ada keyakinan hakim.
Dengan uraian tersebut dapat disimpulkan, untuk menentukan salah atau tidaknya terdakwa menurut sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif, harus dipenuhi dua komponen:
- Pembuktian harus dilakukan atas ketentuan, cara-cara dan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.
- Keyakinan hakim juga harus didasarkan atas atas ketentuan, cara dan       alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.
Dengan demikian ternyatalah bahwa pembuktian harus didasarkan kepada undang-undang (KUHAP), yaitu alat bukti yang sah sebagaimana tersebut dalam pasal 184 KUHAP, disertai dengan keyakinan hakim yang diperoleh dari alat-alat bukti tersebut.
Alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang yaitu:
- keterangan saksi
- keterangan ahli
- surat
- petunjuk
- keterangan terdakwa
Pada persidangan tahap pembuktian ini penuntut umum dibebani untuk mengajukan alat-alat bukti sebagaimana tersebut dalam pasal 184 KUHAP. Pengajuan alat bukti oleh penuntut umum ini dimaksudkan untuk meneguhkan dan membuktikan dakwaannya. Sebaliknya terdakwa/penasehat hukum diberi kesempatan pula untuk mengajukan alat-alat bukti yang sama untuk melemahkan dakwaan penuntut umum terhadap dirinya.
3. Sidang Pembacaan Tuntutan Pidana, Pembelaan dan Tanggapan Tanggapan.
a)   Pembacaan Tuntutan Pidana (requisitoir)
Apabila sidang tahap pembuktian dinyatakan selesai, maka hakim ketua memberi kesempatan kepada penuntut umum untuk membacakan tuntutan pidana.[20] Tuntutan pidana yang dibuat penuntut umum pada hakikatnya adalah kesimpulan yang diambil dari fakta yang terungkap dipersidangan menurut versi penuntut umum, disertai dengan tuntutan sanksi pidana / atau tindakan yang akan dijatuhkan pada terdakwa.[21] Tuntutan pidana ini diajukan secara tertulis dan setelah dibacakan segera diserahkan kepada hakim ketua sidang dan turunannya kepada pihak yang berkepentingan.
Oleh karena surat tuntutan pidana dilakukan secara tertulis dan merupakan kesimpulan berdasarkan keseluruhan hasil pemeriksaan di persidangan, maka dengan sendirinya tuntutan pidana tersebut harus disusun kedalam suatu surat tuntutan pidana secara sistematis. KUHAP tidak menentukan syarat-syarat penyusunan surat tuntutan pidana, akan tetapi berdasarkan pengamatan penulis dalam persidangan pidana, secara umum surat tuntutan pidana harus lengkap menggambarkan / memuat :
1.   Indentitas terdakwa.
2.   Dakwaan.
3.   Fakta – fakta yang terungkap di persidangan dengan diawali dengan uraian tentang :
-          Keterangan saksi-saksi.
-          Keterangan ahli, surat dan petunjuk (kalau ada).
-          Keterangan terdakwa.
-          Barang bukti yang diajukan dipersidangan.
4. Analisis yuridis (pembuktian mengenai unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan).
5.   Aspek pertimbangan pemidanaan ( hal-hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa ).
6.   Amar tuntuan yang berisi pernyataan kesalahan terdakwa terbukti atau tidak terbukti, lamanya pidana yang akan dijatuhkan atau pembebasan terdakwa. Selain itu juga hal-hal yang berkaitan dengan barang bukti, penahanan dan lain-lain.
Isi dari tuntutan pidana tidak selalu berupa penjatuhan pidana, hal ini tergantung dari hasil pembuktian penuntut umum. Apabila menurut penuntut umum fakta yang terungkap di persidangan memenuhi unsur tindak pidana yang di dakwakan, maka penuntut umum menyatakan terdakwa terdakwa terbukti bersalah dan mengajukan permohonan agar terdakwa dijatuhi pidana. Namun, apabila ternyata fakta di persidangan menunjukkan ada unsur dakwaan yang tidak terpenuhi maka secara objektif penuntut umum harus menyatakan bahwa terdakwa tidak terbukti bersalah dalam tuntutannya harus mengajukan permohonan agar majelis hakim membebaskan terdakwa.
     b). Pengajuan / Pembacaan Nota Pembelaan (pledoi)
Pengajuan pembelaan ini merupakan salah satu hak yang diberikan kepada terdakwa dalam kaitannya dengan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence), disamping hak terdakwa untuk menanggapi setiap keterangan yang diajukan saksi-saksi.
Dalam kaitannya dengan prosedur pemeriksaan perkara pidana, maka pembelaan menurut KUHAP adalah merupakan jawaban terdakwa / penasehat hukum atas tuntutan pidana yang diajukan penuntut umum kepadanya.
KUHAP tidak mengatur secara terperinci apa hakikat pembelaan dan apa syarat sahnya suatu nota pmbelaan. Akan tetapi dalam praktek peradilan di Indonesia pembelaan yang diajukan oleh terdakwa secara langsung adalah merupakan pembelaan bebas, artinya pembelaan tersebut, mengemukakan sangkalan-sangkalan, tanggapan-tanggapan atas tuntutan penuntut umum yang disertai dengan ungkapan situasi kondisi mengenai dirinya, keluarganya, dan rasa penyesalannya. Sebenarnya itu diajukan dengan tujuan agar tidak dihukum atau sekedar untuk memohon keringanan hukuman.
Lain halnya dengan pembelaan yang diajukan melalui penasehat hukum, pada umumnya disusun secara sistematis, kritis dan logis. Biasanya sangkalan-sangkalan atas tntutan penuntut umum disertai dengan dasar bukti / fakta yang terungkap selama persidangan yang relevan dan disertai analisis yuridis yang akurat. Pembelaan yang seperti ini akan sangat menolong majelis hakim dalam menyusun putusan, sehingga tidak mudah terbawa arus menuruti kemauan penuntut umum sebagaimana tertera dalam tuntutan pidanaya.
c). Pengajuan Tanggapan-Tanggapan ( replik dan duplik ).
Setelah terdakwa dan atau penasehat hukum mengajukan pembelaan hakim ketua sidang akan memberi kesempatan kepada pihak jaksa penuntut umum untuk menanggapi pembelaan tersebut. Tanggapan jaksa penuntut umum atas pembelaan terdakwa / penasehat hukum tersebut dinamakan replik. Selanjutnya atas replik penuntut umum, terdakwa / penasehat hukum diberi kesempatan untuk menanggapi. Tanggapan terdakwa / penasehat hukum atas replik penuntut umum dalam perkara pidana disebut duplik.
Dalam praktek persidangan penulis sering mendapati replik dan duplik ini disampaikan secara singkat (dapat secara lisan maupun tertulis) yakni langsung menanggapi poin-poin yang dipandang perlu, karena ada perbedaan pendapat disertai dengan argumentasinya. Berbeda dengan perkara perdata, dalam perkara pidana hal-hal yang tidak ditanggapi tidak secara otomatis dianggap sebagai suatu pengakuan atau suatu kebenaran, karena tujuan pemeriksaan perkara pidana adalah untuk menemukan kebenaran materiil, sehingga pada akhirnya semuanya diserahkan pada penilaian hakim yang tertuang dalam pertimbangan putusannya terhadap semua hal yang diajukan selama proses persidangan.
4. Sidang Pembacaan Putusan.
Sebagai tahap akhir dari seluruh rangkaian proses persidangan perkara pidana, adalah sidang pengambilan putusan. Sebelum menjatuhkan putusan ini, majelis hakim akan mempertimbangkan segala sesuatunya berdasarkan atas surat dakwaan, segala sesuatu yang terbukti di persidangan, tuntutan pidana, pembelaan dan tanggapan-tanggapan. Dasar-dasar pertimbangan dalam putusan hakim harus dimusyawarahkan oleh majelis hakim.[22]
Ada tiga kemungkinan putusan hakim ini yaitu ;
1). Terdakwa dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana, disini terdakwa dinyatakan dalam putusan bahwa perbuatan yang didakwakan jaksa penuntut umum terbukti secara sah dan menyakinkan.
2).  Terdakwa dinyatakan bebas dari dakwaan, disini terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana yang didakwakan.
3).  Terdakwa dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum, disini perbuatan terdakwa terbukti, namun bukan merupakan tindak pidana atau terdapat alasan pemaaf pada diri terdakwa.[23]
Setelah majelis hakim menjatuhkan putusan kepada terdakwa dijelaskan hak-hak para pihak terhadap putusan itu. Hakim ketua sidang menawarkan pada terdakwa untuk menentukan sikapnya, apakah akan menyatakan menerima putusan tersebut, menyatakan menerima dan akan mengajukan grasi, menyatakan naik banding atau berpikir-pikir. Hal yang sama juga diberikan kepada jaksa penuntut umum.
Penutup
Sebagai penutup dari makalah ini penulis dapat menyimpulkan, bahwa untuk mencapai suatu putusan yang adil (substansial justice), Hakim yang memimpin jalannya persidangan haruslah melalui suatu proses yaitu berupa tahap-tahap persidangan secara adil pula (prosedural justice). Yaitu dengan memberikan hak-hak dan perlakuan yang seimbang antara pihak-phak yang berperkara, dalam perkara pidana: Jaksa Penuntut Umum dan terdakwa atau penasihat hukum terdakwa.
Untuk itu perlu kiranya direkomendasikan kepada masyarakat pencari keadilan, hendaknya selalu berusaha mencari tahu akan hak-haknya ketika berhadapan dengan hukum. Penyelenggaraan seminar ini adalah salah satu contoh bagaimana kita perlu mengetahui hak-hak kita dimuka hukum serta mendiskusikan bagaiamana penegakan hukum yang dilakukan pengadilan selama ini.




* Makalah ini disampaikan dalam Seminar Peran dan funfgsi penegakan hokum dalam menciptakan keadilan dan kepastian hokum,   Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, hari Selasa tanggal 10 April 2012.
** Penulis adalah Hakim pada Pengadilan Negeri Yogyakarta.
                [1] Iskandar Kamil, Kode Etik Profesi Hakim, dalam Pedoman Perilaku Hakim (Code of Conduct) Code Etik Hakim dan Makalah Berkaitan, Mahkamah Agung RI, Jakarta, 3003, hal. 9.
                [2] Ketua Mahakamah Agung RI, Hakim Sebagai Pemegang Mandat Yang Sah Menerapkan, Menafsirkan dan Melaksanakan Tegaknya Hukum, keynote speech pada diskusi panel Kebebasan Hakim dalan Negara Indonesia Yang Berdasarkan Atas Hukum, Ditjen Badan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara Depkeh, 1995, hal. 26.
              [3] Arbijoto, Kebebasan Hakim Refleksi Terhadap Manusia sebagai Homo Religiosus, Mahkamah Agung RI, 2000, hal. 43.
              [4] Ibid, hal. 44.
              [5] Majid Khadduri, terjemahan Mochtar Zoermi dan Joko S. Kahhar, Teologi Keadilan Perspektif Islam, Risalah Gusti, Surabaya, 1999, hal.199- 200.
                [6] Ibid, hal. 201.
                [7] Ibid, hal. 213.
                [8] Mudzakkir, Eksaminasi Publik Terhadap Putusan Pengadilan: Beberapa Pokok Pikiran dan Prospeknya ke Depan, dalam Wasingatu Zakiyah dkk,Eksaminasi Publik Patrisipasi Masyarakat Mengawasi Peradilan, Indonesia Corruption Watch, Jakarta, 2003, hal. 72.
[9] Periksa pasal 153 ayat (3) KUHAP. Pasal ini berkaitan dengan asas hukum acara pidana yang pada prinsipnya persidangan terbuka untuk umum kecuali sidang untuk perkara-perkara tertentu, misalnya perkara kesulsilaan atau terdakwanya anak-anak, dimana harus dilakukan pada sidang yang tertutup untuk umum, maka kata-kata “ terbuka untuk umum “ diganti dengan kata-kata “tertutup untuk umum”. Setelah itu memerintahkan petugas untuk menutup pintu dan jendela, supaya jalannya persidangan tidak dapat dilihat atau didengar oleh umum.
[10] Periksa pasal 153 ayat (2) KUHAP.
[11] Periksa pasal 153 ayat (4) KUHAP.
[12] Periksa pasal 156 ayat (1) KUHAP.
[13] Ibid.
[14] Dalam pasal 156 ayat (1) KUHAP istilahnya bukan putusan sela akan tetapi keputusan.
[15] Periksa : ketentuan pasal 156 ayat (2) KUHAP.
[16] Baca : prosedur pengajuan perlawanan terhadap putusan sela dalam pasal 156 ayat (3) sampai ayat (7) KUHAP.
[17] Dalam pasal 184 KUHAP ditentukan alat bukti yang sah : keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.
[18] Barang bukti adalah sesuatu barang atau benda yang dapat dijadikan sebagai sarana untuk mendukung alat bukti , atau barang yang berhubungan langsung dengan tindak pidana, misalnya : barang yang merupakan obyek delik, hasil delik maupun alat / sarana,untuk melakukan delik.
[19] H. Pontang Moerad, BM, op cit, hal. 24
[20] Baca pasal 182 ayat (1) a KUHAP.
[21] Al.Wisnubroto, Praktek Paradilan Pidana. Proses Persidangan Perkara Pidana, penerbit PT Galaxy Pustaka Nusa, Bekasi, hal . 78.
[22] Prosedur musyawarah hakim untuk mengambil putusan dapat dibaca pada pasal 182 ayat (4) sampai dengan ayat (8) KUHAP.
[23]Baca pasal 191 dan pasal 193 KUHAP.


No comments:

Post a Comment

PENERAPAN ILMU FORENSIK DALAM HUKUM PIDANA

Terbentuknya keyakinan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana didasarkan pada hasil pemeriksaan alat-alat bukti yang dikemukakan pada pros...