BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR
BELAKANG
Beberapa waktu
yang lalu telah muncul isu Jakarta sebagai kota Megapolitan yang merupakan
sebuah konsep manajemen tata ruang. Dalam konsep itu, Jakarta dan wilayah
penyangga di sekitarnya seperti Bogor, Tangerang, Bekasi, Depok, Puncak, dan
Cianjur berada dalam satu manajemen tata ruang. Sementara hak para eksekutif
dan legislatif di wilayah-wilayah itu tidak akan dikurangi. Walaupun isu
tersebut masih dalam batas wacana, Jakarta sebagai ibu kota negara dan menjadi
tempat tinggal 8.314.107 jiwa (sumber BPS DKI Jakarta, 2006) sudah selayaknya
menjadi tempat yang nyaman.
Dalam tataran
konsep, keterpaduan tata ruang dilaksanakan dalam upaya mensinergikan Jakarta
dengan daerah sekitar yang berhubungan langsung. Untuk mewujudkan konsep
megapolitan tersebut itu harus dicari suatu cara agar terjadi sinergi yang
efektif serta kenyamanan hidup relatif sama. Dengan konsep megapolitan
diharapkan pemerintah pusat juga harus berperan untuk merancang kelembagaan dan
regulasinya. Konsep Megapolitan ini mengemuka setelah melihat perkembangan
pembangunan kawasan di Jakarta dan sekitarnya yang tidak terkendali dan
menimbulkan berbagai masalah. Masalah tersebut antara lain adalah persoalan
lingkungan. Di kawasan Puncak yang merupakan daerah resapan air, misalnya, saat
ini banyak didirikan bangunan beton. Kondisi ini akan mengancam Jakarta
terutama dalam bentuk ancaman bahaya banjir.
Terlepas dari persoalan pro dan kontra sehubungan dengan
isu pencancangan DKI Jakarta akan menjadi megapolitan seperti diuraikan di
atas, jika diamati dan dikaji secara lebih jauh mengenai kesiapan wilayah DKI
Jakarta sebagai daerah pusat dan Kota Bogor, Depok, Bekasi, Tangerang, dan
Cianjur sebagai daerah periferi, maka hal tersebut dapat dinyatakan wajar dan memungkinkan.
Kadin Jaya sudah siap untuk mewujudkan Jakarta menjadi Kota Jasa dan
Perdagangan yang kompetitif, yaitu dengan telah disiapkan sedikitnya 16
program, untuk mewujudkan Jakarta sebagai kota Jasa dan Perdagangan yang
Efektif, Efisien dan Kompetitif.
Enam belas program itu antara
lain adalah untuk membentuk Pusat Informasi, Komunikasi Usaha dan Perdagangan
(Jakarta Marketplace-JMP), diantaranya dengan mengadakan Jakarta Great Sale
2006, melakukan studi besar Pusat Logistik dan Distribusi, atau Kawasan Pusat
Perdagangan, kemudian menggelar acara pameran dan seminar di dalam maupun luar
negeri, yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan profesionalisme SDM
dunia usaha. Kadin Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2006 juga akan melaksanakan
misi dagang serta temu bisnis nasional dan internasional, melaksanakan Pasar
Lelang Kebutuhan Pokok (Pasar Lelang Agro), menata Pedagang Kaki Lima,
membentuk Badan Koordinasi Sertifikasi Profesi (BKSP), studi dan pengembangan
tentang Penataan dan Pemetaan Kawasan Home Industri. Program lainnya, adalah
sosialisasi pemanfaatan informasi World Development Program, keselamatan dan
Kesehatan kerja digedung-gedung bertingkat, sosialisasi kebijakan pelakasanaan
APBD Provinsi DKI, yang saat ini dirasa sangat memerlukan pelayanan kesehatan
di perusahaannya, serta menyusun masukan dan rekomendasi pembangunan
perekonomian di provinsi DKI Jakarta, dan melakukan promosi potensi bisnis
anggota Kadin Provinsi DKI.
Dalam kaitannya dengan Jakarta sebagai tempat yang layak
dan nyaman untuk ditinggali, maka terdapat beberapa aspek utama yang harus
ditinjau untuk dikaji dan dianalisis lebih jauh. Aspek pertama adalah masalah transportasi. Hasil survei menunjukkan
bahwa rata-rata setiap penduduk Jakarta melakukan 1,68 perjalanan/orang/hari
setara dengan lebih dari 15 juta perjalanan/hari (Arterial Road System
Development Study-ARSDS, 1985). Total
panjang jalan di DKI Jakarta kurang lebih 10% dari total panjang jalan di Jawa.
Perbandingan antara panjang jalan dan total area di wilayah DKI Jakarta hanya 4
%, dimana idealnya untuk kota sebesar Jakarta adalah 10-15 %. Pola jaringan
jalan di wilayah DKI Jakarta secara umum terdiri dari sistem jaringan jalan
lingkar yaitu inner dan outer ring road yang juga merupakan
jaringan jalan arteri primer, jaringan radial yang melayani kawasan di luar inner
ring road menuju kawasan di dalam inner ring road dan jaringan jalan
berpola grid di wilayah pusat kota. DKI Jakarta memiliki infrastruktur
jalan sepanjang 7.600 km, atau sekitar 7 % dari luas wilayah kota. Tingkat
motorisasi yang terus meningkat juga mengidentifikasikan diperlukannya supply
sistem transportasi untuk menampung pertumbuhan lalu-lintas.
Di Indonesia terdapat 10 kota metropolitan (BPS, 2000), 8
kota besar, 39 kota sedang dan sebagian besar kota kecil lainnya, dengan total
penduduk perkotaan sebesar 90 juta jiwa (42% dari jumlah penduduk Indonesia).
Karakteristik transportasi perkotaan merupakan pergerakan jarak pendek dan
maksud perjalanan dapat lebih dari satu. Model yang digunakan yaitu: transportasi
jalan, jalan rel, transportasi air, transportasi udara. Tipe dan Jenis Kendaraan di kota adalah sebagai berikut
(Sumber: Dishub DKI) :
a.
Bajaj,
bemo, toyoko (tricycle, pada umumnya memakai mesin 2 Tak)
b.
Sedan,
jeep, taksi dan sejenisnya (Termasuk yang berbahan bakar Diesel)
c. Mikrolet,
APK, APB, KWK (juga terdapat small car -1000cc capacity machine)
d.
Metromini
dan sejenisnya (berbahan bakar Diesel)
e.
Bus
besar
f.
Pick
up, box kecil (untuk angkutan barang dalam kota)
g.
Truk
sedang, besar, gandeng, peti kemas
h.
Sepeda
motor (status kepemilikan pribadi dan dinas)
Dari 10 kota metropolitan, hanya 6 Kota yang sudah
menggunakan kendaraan dengan kapasitas besar (bus besar dan bus sedang) sebagai
angkutan umum perkotaannya, sedangkan selebihnya masih menggunakan kendaraan
berkapasitas kecil (MPU). Hal yang sama juga berlaku di kota-kota besar, sedang
dan kecil dimana angkutan umum yang ada didominasi oleh kendaraan berkapasitas
kecil.
Pada tahun 1995 rata-rata
kecepatan di perkotaaan untuk semua jenis kendaraan adalah 22-24 km/jam pada
jam puncak dan 32-38 km/jam diluar jam puncak, sementara kecepatan rata-rata
angkutan umum hanya 16-18 km/jam pada jam puncak dan 24-28 km/jam diluar jam
puncak. Untuk kota metropolitan (DKI Jakarta) terjadi penurunan kecepatan
rata-rata dari 38,3 km/jam pada tahun 1995 menjadi 34,5 km/jam pada tahun 2002.
(Sumber: Draft Kebijakan Nasional Transportasi Perkotaan, 2005), dengan
kata lain telah terjadi peningkatan kemacetan di DKI Jakarta.
Aspek kedua adalah permasalahan urbanisasi. Persoalan
urbanisasi merupakan persoalan umum yang tak mungkin bisa dicegah. Namun
perkembangan pada tahun-tahun belakangan ini menunjukkan kecenderungan yang
lebih memprihatinkan. Kota-kota merasa tidak siap menerima arus masuknya
penduduk yang umumnya tidak memiliki ketrampilan yang memadai, sehingga mereka
bekerja secara tidak layak dan memperoleh penghasilan rendah serta tidak bisa
mencukupi kebutuhan hidup di kota yang relatif lebih mahal dibandingkan di
pedesaan.
Membanjirnya penduduk ke kota
yang tidak dibekali dengan ketrampilan yang memadai, menimbulkan jumlah
penduduk miskin di kota membengkak dengan cepat. Pelayanan di kota merosot
tajam, tumbuhnya pemukiman kumuh dan banyak penduduk kota yang mencari
penghasilan dengan kegiatan yang tidak manusiawi. Merosotlah mutu kehidupan
kota. Lalu timbul pertanyaan “apakah kota-kota masih merupakan magnit atau daya
tarik yang memberikan harapan?”. Selain persoalan pemukiman kumuh, kekurangan
pelayanan perkotaan, tingginya angka kemiskinan dan buruknya mutu lingkungan,
masyarakat kota juga mendapatkan ancaman baru yang tidak diperkirakan
sebelumnya. Sebuah kehancuran pemukiman dan seluruh sendi kehidupan masyarakat
terutama masyarakat yang tak berdaya baik secara ekonomi maupun politik.
Ancaman ini disebabkan oleh kelakuan alam dan kekeliruan fatal yang dilakukan
sekelompok manusia dalam pengelolaan sumber daya alam.
Aspek ketiga adalah aspek lingkungan. Sekitar 22% penduduk
Indonesia belum mempunyai jamban. Penggunaan sarana pengolah limbah tinja
dengan tangki septik juga rendah, hanya 40% di perkotaan dan 20% di perdesaan.
Selain itu Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT) di berbagai kota banyak
yang tidak berfungsi. Ada beberapa hal penyebabnya yaitu akses dan kualitas
pengelolaan yang rendah, kelembagaan yang belum efektif termasuk belum
lengkapnya perangkat perundang-undangan yang ada, terbatasnya kapasitas
pendanaan pembangunan di daerah, serta rendahnya peran serta masyarakat dan
swasta.
Saat ini diprediksi, Indonesia
memproduksi 5,6 juta ton tinja per hari yang sebagian besar pembuangan masih
dilakukan ke sungai atau mempergunakan sumur galian yang tidak memenuhi
persyaratan sehingga mencemari air tanah yang mengakibatkan 13 ribu balita
terkena diare setiap harinya. Berdasar penelitian, cara pembuangan yang salah
mengakibatkan pencemaran air tanah telah berada di atas ambang kritis khususnya
di kota-kota besar seperti DKI Jakarta, Di Yogyakarta, dan Jawa Timur.
Indonesia yang telah terikat kesepakatan global untuk mencapai Millenium
Development Goals (MDG’s) pada 2015 berkewajiban dapat mengakses
ketersedian air dan sanitasi 50% dari total jumlah penduduk. Tantangan lainnya
ialah belum adanya perangkat hukum. Peraturan hingga tahapan Norma Standar
Panduan dan Manual (NSPM) dibutuhkan agar dapat digunakan masyarakat dan
pemerintah daerah untuk dilaksanakan sesuai standar kesehatan lingkungan.
Permasalahan lingkungan lainnya adalah mengenai Sumber Daya Air (ketersediaan air
baku). Memasuki Hari Air Sedunia 2006, Indonesia menghadapi krisis air bersih.
Swastanisasi dan perubahan cara pandang masyarakat terhadap air, dianggap
sebuah upaya untuk melestarikan air dan memperpanjang daya gunanya. Sejumlah
kota besar di Indonesia menghadapi krisis air baku atau air bersih dalam
beberapa tahun mendatang. Kota-kota besar itu diantaranya Jakarta, Bandung,
Semarang, Surabaya, Denpasar, Medan, Makassar, dan Balikpapan. Krisis air
bersih di perkotaan umumnya berbentuk tercemarnya sungai-sungai oleh limbah
rumah tangga dan industri. Padahal air sungai itu dijadikan bahan baku pengolahan
air kotor oleh Perusahaan Air Minum (PAM) menjadi air bersih. Semakin tercemar
air baku yang ada, semakin mahal biaya pengolahannya. Situasi ini memaksa
masyarakat membayar lebih mahal air bersih yang mereka gunakan. Padahal air
bersih merupakan salah satu kebutuhan dasar warga dalam kehidupan
sehari-sehari, bahkan diakui sebagai hak asasi manusia yang harus dipenuhi oleh
negara. Kendala utama dalam pemenuhan kebutuhan air di daerah rawan kekeringan
atau sulit air adalah langkanya sumber-sumber air bersih yang bisa diakses dan
terbatasnya dana masyarakat untuk membangun dan memelihara sumber air yang ada.
Untuk memenuhi kebutuhan air bersih masyarakat umumnya mengandalkan sumber air
alam seperti sungai, danau, atau tandon air hujan. Masalahnya warga yang
tinggal jauh dari sumber air, kesulitan memperoleh air untuk kebutuhan minum,
mandi, mencuci, dan untuk irigasi pertanian, terutama pada musim kemarau. Di
perkotaan, warga mengandalkan suplai air dari Perusahaan Daerah Air Minum
(PDAM). Di sejumlah wilayah yang secara “tradisional” kering, kesulitan air
acapkali disertai bencana kekeringan yang parah. Dalam situasi itu biasanya
orang baru sadar pentingnya membangun dan memelihara sumber air yang berjangka
panjang.
Ada tiga isu utama berkaitan dengan jasa penyediaan air
bersih oleh Perusahaan Air Minum Seluruh Indonesia (Perpamsi) yaitu kualitas
air, konflik kepentingan (misalnya antara unsur pemda dengan pengelola swasta),
dan masalah kebijakan. Sejak keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005,
masyarakat boleh ikut mengelola air. PDAM tidak lagi memonopoli pengelolaan
air. Tetapi sangat jarang masyarakat memperhatikan peraturan seperti itu,
selain pada umumnya lebih senang dilayani. Lebih lanjut, masalah penyediaan air
di tiap daerah memang berbeda.
Mengkaji tentang mahalnya air minum bagi masyarakat, hal
ini disebabkan Pembangunan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) perpipaan selama
sepuluh tahun, ternyata tidak mampu mengimbangi pesatnya pertumbuhan penduduk,
juga belum bisa memenuhi standar kualitas air minum. Ini disebabkan kontaminasi
pada instalasi pipa air, sehingga kualitas air minum yang diterima konsumen
sudah menurun. Kesulitan lain yang dihadapi saat ini adalah tingginya angka
kehilangan air akibat pencurian dan kebocoran yaitu mencapai 37 persen.
Berkaitan dengan mahalnya air minum tersebut, PDAM
sebagai operator penyedia air minum juga belum menetapkan tarif secara penuh
kepada pelanggan. Tarif rata-rata yang ditetapkan bahkan tidak mampu menutupi
biaya dasar untuk memproduksi air minum. Selain itu banyak PDAM menghadapi
utang jangka panjang sehingga tidak mampu memberikan pelayanan optimal kepada
pelanggan.
Aspek lingkungan lainnya adalah masalah banjir. Pembangunan rumah-rumah di pinggiran sungai sedikit
demi sedikit menyebabkan lebar sungai makin mengecil dari lebar 75 meter
menjadi 35 meter. Padahal menurut Peraturan Pemerintah mengenai sungai, pada
bantaran sungai harus dibangun tanggul yang berfungsi menahan dan ada garis
sepadan sehingga pembangunan rumah di bantaran sungai dilarang. Mengenai banjir
besar yang melanda Jakarta beberapa waktu yang lalu, Siswoko, Dirjen Sumber
Daya Air, menjelaskan bahwa banjir yang terjadi di Jakarta bukan disebabkan
oleh banjir kiriman akibat pembukaan pintu air Katulampa Bogor seperti berita
yang beredar di masyarakat. Pintu Air Katulampa tidak memiliki sistem buka
tutup, pintu air tersebut hanya berupa bendungan yang digunakan untuk memantau
dan mengukur debit air yang mengalir. Siswoko mengharapkan adanya pemahaman
yang sama tentang banjir ini. Salah satu penyebab banjir adalah 40% dari 65
ribu hektare wilayah di Jakarta berada di dataran rendah dan sifat alami air
adalah mengalir ke daratan yang lebih rendah. Disamping itu banyaknya bangunan
yang berada di bantaran sungai yang memang merupakan daerah dataran banjir.
(Kutipan Pemimpin Induk Pelaksana Kegiatan Pengembangan Wilayah Sungai
Ciliwung-Cisadane (IPK-PWSCC), Pitoyo Subandrio).
Masalah lingkungan lainnya adalah masalah pengelolaan sampah. Dirasakan hingga
saat ini penanganan sampah di hampir seluruh wilayah Indonesia tergolong masih
primitif. Yakni dikelola dengan cara open dumping (pembuangan terbuka). Dimana
sampah diangkut dari sumbernya, lalu dibuang dan ditimbun begitu saja. Walaupun
pada awalnya banyak tempat pembuangan akhir (TPA) yang didesain dengan baik.
Mengamati TPA Bantar Gebang, TPA tersebut bukanlah sebagai sistem pengelolaan
sampah terpadu, melainkan tempat pembuangan sampah gabungan yang terdiri dari
beberapa daerah. Dan sekali lagi dapat dinyatakan bahwa sistem pengelolaannya
masih primitif. Hal ini disebabkan dana untuk pengoperasian sampah sangat
minim. Padahal sistem pembiayaan atau investasi untuk pengelolaan persampahan
tidak harus selalu bergantung kepada sumber dana pemerintah yang sangat
terbatas, tetapi banyak sumber dana dari masyarakat dan swasta yang bisa
dimobilisasi. Peraturan yang mendukung kerjasama pemda dengan badan usaha dalam
penyediaan infrastruktur telah diatur dalam peraturan pemerintah nomor 67 tahun
2005 serta peraturan pemerintah nomor 23 tahun 2005 tentang pengelolaan
keuangan badan layanan umum. Sekarang yang dibutuhkan political will
pemerintah, khususnya pemerintah daerah yang menjadi tanggungjawabnya.
Peningkatan jumlah penduduk dan gaya hidup masyarakat
berpengaruh besar pada volume sampah. Jakarta misalnya, pada 1985 menghasilkan
sampah sejumlah 18.500 m3 per hari dan pada 2000 meningkat menjadi 25.700 m3
per hari dan pada 2005 diperkirakan mencapai 40.000 m2 per hari. Jika dihitung
dalam setahun, volume sampah tahun 2000 mencapai 170 kali besar Candi Borobudur
(volume Candi Borobudur = 55.000 m3). Hingga kini warga ibukota ini per harinya
menghasilkan sekitar 8.000 ton sampah, dan 65% di antaranya merupakan sampah
organik seperti daun, sisa dapur, sisa makanan yang menimbulkan bau tidak sedap.
Masalah sampah di perkotaan seperti Jakarta ini sangat pelik. Sebagai contoh
produksi sampah rumah tangga. Mengutip data Indonesia Solid Waste
Association (InSWA), sampah rumah tangga mencapai 25.687m3 sampah atau
sekitar 6.000 ton sampah. Sampah ini sebagian besar berupa sampah organik 80%
dan sampah non-organik 20%. InSWA mencatat, sedikitnya 3,94% atau 1.012 m3 per
hari sampah di Jakarta belum terangkut.
Persoalan makin kompleks karena sampah juga ternyata ada
di dalam sungai. Di Jakarta, misalnya, setiap hari dikeruk 900 meter3 sampah
dari 13 sungai. Bila pemerintah daerah lalai terhadap pengerukan sungai—akibat
pembuangan sampah-—akibatnya akan dirasakan. Sampah akan mengendap di dasar
sungai hingga menutup permukaan air. Debit air sungai terganggu, banjir pun tak
terelakkan saat menjelang musim hujan dengan curah yang semakin meningkat. Ada
aneka faktor yang menjadi penyebabnya. Antara lain karena penanganan sampah
tidak pernah menjadi prioritas Pemprov DKI Jakarta, kurangnya prasarana dan
sarana, minimnya anggaran, keterbatasan lahan, pembuangan masih bersifat open
dumping, dan kurangnya kesadaran masyarakat terhadap produksi sampah,
termasuk paradigma membuang sampah menjadi mengelola sampah.
Selanjutnya aspek
keempat adalah permasalahan ketersediaan pemukiman (sarana perumahan) yang
layak. Pemukiman di perkotaan harus memenuhi kebutuhan dasar seperti air minum,
sanitasi, drainase dan infrastruktur dasar lainnya. Pembangunan infrastruktur
itu bisa dimulai dari skala lingkungan kecil seperti keluarga dan lingkungan.
Faktor manusia merupakan hal penting dalam menata kualitas pemukiman kumuh di
perkotaan. Selain sebagai pencipta kekumuhan, mereka juga bisa mengatasi
kekumuhan tersebut. Konsep People Center Development (PCD) perlu
diterapkan dalam menata pemukiman kumuh. Konsep PCD dimaksud adalah menjadikan
rakyat sebagai subyek, sebagai obyek dan juga sumber daya.
Menteri Negara Perumahan Rakyat, M Yusuf Ashari
mengatakan, untuk menata kesemrawutan pemukiman di perkotaan yang disebabkan
oleh semakin banyaknya populasi, pemerintah secara bertahap akan membangun social
housing antara lain dengan membangun rumah susun sewa (rusunawa) 20 lantai
di beberapa kota besar dan metro. Sudah saatnya pola pembangunan pemukiman di
perkotaan berubah dari landing house ke bangunan vertikal. Selain dapat
menampung banyak orang dengan lahan sedikit mungkin, rusunawa juga bisa
menghemat jalur transportasi, dan infrastruktur lainnya. Selain itu, sejak 2005
hingga sekarang, pemerintah telah memberi subsidi kepada masyarakat berpenghasilan
rendah dalam kepemilikan rumah. Untuk masyarakat berpenghasilan di bawah Rp 800
ribu akan disubsidi sebesar Rp 9 juta, berpenghasilan antara Rp 800 ribu sampai
Rp 1,4 juta disubsidi Rp 7 juta dan yang berpenghasilan di atas Rp 1, 4
juta hingga Rp 2 juta akan disubsidi Rp 5 juta. Subsidi diberikan kepada mereka
yang akan membeli rumah pertama.
Dari uraian mengenai masalah perumahan tersebut,
masyarakat harus menjadi subyek dalam pembangunan penataan pemukiman di
perkotaan. Masyarakat juga merupakan sumber daya yang memiliki potensi
kemandirian, pendidikan dan ekonomi. Selama ini masih sulit mencegah gerakan
penduduk dari desa ke kota karena alasan untuk mencari penghidupan yang lebih
baik di kota. Harus ada penyebaran penduduk yang merata, tidak hanya di
Jakarta, melainkan juga di 400 kota di Indonesia lainnya. Reformasi pembangunan
perkotaan ditentukan oleh dua hal, yaitu reformasi desentralisasi dan reformasi
demokratisasi. Di era desentralisasi saat ini, pembangunan perkotaan menjadi
tanggung jawab penuh pemerintah daerah. Sementara reformasi demokratisasi menekankan partisipasi masyarakat,
perubahan bukan lagi monopoli pemerintah.
Aspek kelima adalah mengenai kriminalitas di Jakarta. Upaya untuk meningkatkan
keamanan, ketertiban, dan penanggulangan kriminalitas hendaknya ditandai dengan meningkatnya
kemampuan aparat keamanan dalam menindak, mencegah dan menanggulangi gangguan
keamanan, ketertiban, dan kriminalitas. Keberhasilan yang ingin dicapai dalam
membongkar tindak kejahatan menunjukkan bahwa adanya peningkatan
profesionalitas aparat keamanan. Namun demikian tidak dapat dipungkiri bahwa
dalam pelaksanaannya masih menghadapi berbagai kendala seperti terjadinya
penyimpangan profesi aparat keamanan, sikap kritis masyarakat yang kurang
dilandasi oleh pemahaman dan kepatuhan terhadap hukum, serta perilaku
primordial masyarakat yang belum sepenuhnya dapat menerima perbedaan baik
etnis, agama maupun keyakinan menyebabkan
tingkat kriminalitas di Jakarta cukup tinggi
Hal lain
yang menyebabkan tingginya angka kriminalitas adalah mengenai pertumbuhan
ekonomi yang semakin membaik relatif belum mampu mendukung peningkatan
kesejahteraan rakyat. Kesejahteraan yang tidak merata tersebut menjadi salah
satu penyebab masih tingginya tingkat gangguan keamanan, ketertiban dan
kriminalitas. Kondisi yang ditandai dengan tingginya tingkat pengangguran berpotensi menciptakan masalah-masalah
sosial, termasuk kriminalitas serta gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat, sulitnya lapangan kerja, serta daya beli masyarakat
yang rendah menjadikan sebagian masyarakat seakan terjebak dalam dua pilihan
yaitu bertahan untuk hidup secara lurus atau secara menyimpang (bertindak
kriminal).
Aksi-aksi
kriminalitas saat ini sudah menjadi kekhawatiran umum. Masyarakat bahkan merasa
kondisi kota tempat tinggalnya sekarang semakin tidak aman. Kriminalitas (crime) adalah suatu perbuatan melanggar
hukum, merupakan isu yang meresahkan masyarakat. Hal yang mengkhawatirkan
adalah mengenai kejahatan jalanan (crime
street) dimana memperlihatkan kecenderungan meningkat dan perlakuan para
penjahat terhadap korbannya semakin sadis.
Data dari Kepolisian Daerah Metro Jaya pada
tahun 2006, menyebutkan bahwa angka kriminalitas di DKI jakarta meningkat 5,5
persen dari tahun 2005 angkanya 58.027, menjadi 61.080 kasus. Kebanyakan adalah
kasus penyalagunaan narkotika dan obat-obatan terlarang. Peningkatan tersebut juga berarti resiko
masyarakat untuk terkena kejahatan juga meningkat. Setiap 100 ribu penduduk, ada 307
masyarakat yang mengalami tindak kejahatan. "Meningkat 6,8 persen, tahun
2005 lalu rasionya 292 per 100 ribu penduduk (Kapolda Metro Jaya: Adang Firman http://www.tempointeraktif.com/hg/jakarta/2006/12/28/brk,20061228-90178,id.html,
dikutip tanggal 10 Juli 2007)
Dari uraian di atas dapat
dinilai bahwa jakarta diusianya yang ke 480 tahun masih meninggalkan berbagai
permasalahan. Berkaitan dengan permasalahan tersebut perlu dilakukan penelitian
seberapa jauh masyarakat menilai permasalahan yang sebenarnya terjadi. Berdasarkan
hal tersebut maka dilakukanlah penelitian dengan Judul : ”Analisis Peran Pemerintah,
Masyarakat dan Aparat Penegak Hukum dalam Penanganan Permasalahan Kota Besar”.
1.2 PERMASALAHAN
1. Bagaimana
persepsi masyarakat terhadap permasalahan transportasi di DKI Jakarta?
2. Bagaimana
persepsi masyarakat terhadap permasalahan urbanisasi di DKI Jakarta?
3. Bagaimana
persepsi masyarakat terhadap permasalahan lingkungan di DKI Jakarta?
4. Bagaimana
persepsi masyarakat terhadap permasalahan fasilitas perumahan di DKI Jakarta?
5. Bagaimana
persepsi masyarakat terhadap permasalahan kriminalitas di DKI Jakarta?
6. Bagaimana
upaya penanggulangan pada permasalahan-permasalahan transportasi, urbanisasi,
lingkungan, perumahan, kriminalitas, dan di DKI Jakarta ?
1.3. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk
mengetahui persepsi masyarakat terhadap permasalahan transportasi di DKI
Jakarta..
2. Untuk
mengetahui persepsi masyarakat terhadap permasalahan urbanisasi di DKI Jakarta.
3. Untuk
mengetahui persepsi masyarakat terhadap permasalahan lingkungan di DKI Jakarta.
4. Untuk
mengetahui persepsi masyarakat terhadap permasalahan fasilitas perumahan di DKI
Jakarta..
5. Untuk mengetahui
persepsi masyarakat terhadap masalah kriminalitas di DKI Jakarta.
6. Untuk
mengetahui upaya penanggulangan permasalahan-permasalahan transportasi,
kriminal, urbanisasi, perumahan, dan lingkungan di DKI Jakarta.
1.4. MANFAAT PENELITIAN
1. Bagi Pemerintah
Penelitian dengan topik Peran Pemerintah, Masyarakat dan
Penegak Hukum dalam pengelolaan permasalahan di kota besar tersebut diharapkan
dapat digunakan sebagai salah satu pendekatan bagi pemerintah dalam menyusun
kebijakan dan pembuatan keputusan, terutama menyangkut masalah-masalah krusial
yang dihadapi pemerintah yang dampaknya langsung dirasakan oleh masyarakat.
2. Bagi Masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat membangun optimisme
masyarakat, khususnya di daerah perkotaan, dalam menyikapi
permasalahan-permasalahan publik yang akan dan sedang terjadi dalam
perkembangan dinamika kehidupan.
3. Bagi Institusi Ubhara Jaya
Kegiatan penelitian ini merupakan salah satu tugas yang
diemban dalam melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi sebagai wujud peran dan
partisipasi aktif lembaga dalam menyikapi fenomena yang berkembang di dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Hasil penelitian ini diharapkan dapat
digunakan sebagai proses transfer of knoledge untuk peningkatan
pengetahuan dan wawasan bagi seluruh sivitas akademika, khususnya di lingkungan
kampus Ubhara Jaya dan masyarakat pada umumnya.
No comments:
Post a Comment