9/23/12

Analisis Peran Pemerintah, Masyarakat dan Aparat Penegak Hukum dalam Penanganan Permasalahan Kota Besar

BAB I
PENDAHULUAN

1.1    LATAR BELAKANG
Beberapa waktu yang lalu telah muncul isu Jakarta sebagai kota Megapolitan yang merupakan sebuah konsep manajemen tata ruang. Dalam konsep itu, Jakarta dan wilayah penyangga di sekitarnya seperti Bogor, Tangerang, Bekasi, Depok, Puncak, dan Cianjur berada dalam satu manajemen tata ruang. Sementara hak para eksekutif dan legislatif di wilayah-wilayah itu tidak akan dikurangi. Walaupun isu tersebut masih dalam batas wacana, Jakarta sebagai ibu kota negara dan menjadi tempat tinggal 8.314.107 jiwa (sumber BPS DKI Jakarta, 2006)  sudah selayaknya menjadi tempat yang nyaman.

Dalam tataran konsep, keterpaduan tata ruang dilaksanakan dalam upaya mensinergikan Jakarta dengan daerah sekitar yang berhubungan langsung. Untuk mewujudkan konsep megapolitan tersebut itu harus dicari suatu cara agar terjadi sinergi yang efektif serta kenyamanan hidup relatif sama. Dengan konsep megapolitan diharapkan pemerintah pusat juga harus berperan untuk merancang kelembagaan dan regulasinya. Konsep Megapolitan ini mengemuka setelah melihat perkembangan pembangunan kawasan di Jakarta dan sekitarnya yang tidak terkendali dan menimbulkan berbagai masalah. Masalah tersebut antara lain adalah persoalan lingkungan. Di kawasan Puncak yang merupakan daerah resapan air, misalnya, saat ini banyak didirikan bangunan beton. Kondisi ini akan mengancam Jakarta terutama dalam bentuk ancaman bahaya banjir.
Terlepas dari persoalan pro dan kontra sehubungan dengan isu pencancangan DKI Jakarta akan menjadi megapolitan seperti diuraikan di atas, jika diamati dan dikaji secara lebih jauh mengenai kesiapan wilayah DKI Jakarta sebagai daerah pusat dan Kota Bogor, Depok, Bekasi, Tangerang, dan Cianjur sebagai daerah periferi, maka hal tersebut dapat dinyatakan wajar dan memungkinkan. Kadin Jaya sudah siap untuk mewujudkan Jakarta menjadi Kota Jasa dan Perdagangan yang kompetitif, yaitu dengan telah disiapkan sedikitnya 16 program, untuk mewujudkan Jakarta sebagai kota Jasa dan Perdagangan yang Efektif, Efisien dan Kompetitif.
Enam belas program itu antara lain adalah untuk membentuk Pusat Informasi, Komunikasi Usaha dan Perdagangan (Jakarta Marketplace-JMP), diantaranya dengan mengadakan Jakarta Great Sale 2006, melakukan studi besar Pusat Logistik dan Distribusi, atau Kawasan Pusat Perdagangan, kemudian menggelar acara pameran dan seminar di dalam maupun luar negeri, yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan profesionalisme SDM dunia usaha. Kadin Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2006 juga akan melaksanakan misi dagang serta temu bisnis nasional dan internasional, melaksanakan Pasar Lelang Kebutuhan Pokok (Pasar Lelang Agro), menata Pedagang Kaki Lima, membentuk Badan Koordinasi Sertifikasi Profesi (BKSP), studi dan pengembangan tentang Penataan dan Pemetaan Kawasan Home Industri. Program lainnya, adalah sosialisasi pemanfaatan informasi World Development Program, keselamatan dan Kesehatan kerja digedung-gedung bertingkat, sosialisasi kebijakan pelakasanaan APBD Provinsi DKI, yang saat ini dirasa sangat memerlukan pelayanan kesehatan di perusahaannya, serta menyusun masukan dan rekomendasi pembangunan perekonomian di provinsi DKI Jakarta, dan melakukan promosi potensi bisnis anggota Kadin Provinsi DKI.
Dalam kaitannya dengan Jakarta sebagai tempat yang layak dan nyaman untuk ditinggali, maka terdapat beberapa aspek utama yang harus ditinjau untuk dikaji dan dianalisis lebih jauh. Aspek pertama adalah masalah transportasi. Hasil survei menunjukkan bahwa rata-rata setiap penduduk Jakarta melakukan 1,68 perjalanan/orang/hari setara dengan lebih dari 15 juta perjalanan/hari (Arterial Road System Development Study-ARSDS, 1985). Total panjang jalan di DKI Jakarta kurang lebih 10% dari total panjang jalan di Jawa. Perbandingan antara panjang jalan dan total area di wilayah DKI Jakarta hanya 4 %, dimana idealnya untuk kota sebesar Jakarta adalah 10-15 %. Pola jaringan jalan di wilayah DKI Jakarta secara umum terdiri dari sistem jaringan jalan lingkar yaitu inner dan outer ring road yang juga merupakan jaringan jalan arteri primer, jaringan radial yang melayani kawasan di luar inner ring road menuju kawasan di dalam inner ring road dan jaringan jalan berpola grid di wilayah pusat kota. DKI Jakarta memiliki infrastruktur jalan sepanjang 7.600 km, atau sekitar 7 % dari luas wilayah kota. Tingkat motorisasi yang terus meningkat juga mengidentifikasikan diperlukannya supply sistem transportasi untuk menampung pertumbuhan lalu-lintas.
Di Indonesia terdapat 10 kota metropolitan (BPS, 2000), 8 kota besar, 39 kota sedang dan sebagian besar kota kecil lainnya, dengan total penduduk perkotaan sebesar 90 juta jiwa (42% dari jumlah penduduk Indonesia). Karakteristik transportasi perkotaan merupakan pergerakan jarak pendek dan maksud perjalanan dapat lebih dari satu. Model yang digunakan yaitu: transportasi jalan, jalan rel, transportasi air, transportasi udara. Tipe dan Jenis Kendaraan di kota adalah sebagai berikut (Sumber: Dishub DKI) :
a.    Bajaj, bemo, toyoko (tricycle, pada umumnya memakai mesin 2 Tak)
b.    Sedan, jeep, taksi dan sejenisnya (Termasuk yang berbahan bakar Diesel)
c.    Mikrolet, APK, APB, KWK (juga terdapat small car -1000cc capacity machine)
d.   Metromini dan sejenisnya (berbahan bakar Diesel)
e.    Bus besar
f.     Pick up, box kecil (untuk angkutan barang dalam kota)
g.   Truk sedang, besar, gandeng, peti kemas
h.   Sepeda motor (status kepemilikan pribadi dan dinas)
Dari 10 kota metropolitan, hanya 6 Kota yang sudah menggunakan kendaraan dengan kapasitas besar (bus besar dan bus sedang) sebagai angkutan umum perkotaannya, sedangkan selebihnya masih menggunakan kendaraan berkapasitas kecil (MPU). Hal yang sama juga berlaku di kota-kota besar, sedang dan kecil dimana angkutan umum yang ada didominasi oleh kendaraan berkapasitas kecil.
Pada tahun 1995 rata-rata kecepatan di perkotaaan untuk semua jenis kendaraan adalah 22-24 km/jam pada jam puncak dan 32-38 km/jam diluar jam puncak, sementara kecepatan rata-rata angkutan umum hanya 16-18 km/jam pada jam puncak dan 24-28 km/jam diluar jam puncak. Untuk kota metropolitan (DKI Jakarta) terjadi penurunan kecepatan rata-rata dari 38,3 km/jam pada tahun 1995 menjadi 34,5 km/jam pada tahun 2002. (Sumber: Draft Kebijakan Nasional Transportasi Perkotaan, 2005), dengan kata lain telah terjadi peningkatan kemacetan di DKI Jakarta.
Aspek kedua adalah permasalahan urbanisasi. Persoalan urbanisasi merupakan persoalan umum yang tak mungkin bisa dicegah. Namun perkembangan pada tahun-tahun belakangan ini menunjukkan kecenderungan yang lebih memprihatinkan. Kota-kota merasa tidak siap menerima arus masuknya penduduk yang umumnya tidak memiliki ketrampilan yang memadai, sehingga mereka bekerja secara tidak layak dan memperoleh penghasilan rendah serta tidak bisa mencukupi kebutuhan hidup di kota yang relatif lebih mahal dibandingkan di pedesaan.
Membanjirnya penduduk ke kota yang tidak dibekali dengan ketrampilan yang memadai, menimbulkan jumlah penduduk miskin di kota membengkak dengan cepat. Pelayanan di kota merosot tajam, tumbuhnya pemukiman kumuh dan banyak penduduk kota yang mencari penghasilan dengan kegiatan yang tidak manusiawi. Merosotlah mutu kehidupan kota. Lalu timbul pertanyaan “apakah kota-kota masih merupakan magnit atau daya tarik yang memberikan harapan?”. Selain persoalan pemukiman kumuh, kekurangan pelayanan perkotaan, tingginya angka kemiskinan dan buruknya mutu lingkungan, masyarakat kota juga mendapatkan ancaman baru yang tidak diperkirakan sebelumnya. Sebuah kehancuran pemukiman dan seluruh sendi kehidupan masyarakat terutama masyarakat yang tak berdaya baik secara ekonomi maupun politik.  Ancaman ini disebabkan oleh kelakuan alam dan kekeliruan fatal yang dilakukan sekelompok manusia dalam pengelolaan sumber daya alam.
Aspek ketiga adalah aspek lingkungan. Sekitar 22% penduduk Indonesia belum mempunyai jamban. Penggunaan sarana pengolah limbah tinja dengan tangki septik juga rendah, hanya 40% di perkotaan dan 20% di perdesaan. Selain itu Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT) di berbagai kota banyak yang tidak berfungsi. Ada beberapa hal penyebabnya yaitu akses dan kualitas pengelolaan yang rendah, kelembagaan yang belum efektif termasuk belum lengkapnya perangkat perundang-undangan yang ada, terbatasnya kapasitas pendanaan pembangunan di daerah, serta rendahnya peran serta masyarakat dan swasta.
Saat ini diprediksi, Indonesia memproduksi 5,6 juta ton tinja per hari yang sebagian besar pembuangan masih dilakukan ke sungai atau mempergunakan sumur galian yang tidak memenuhi persyaratan sehingga mencemari air tanah yang mengakibatkan 13 ribu balita terkena diare setiap harinya. Berdasar penelitian, cara pembuangan yang salah mengakibatkan pencemaran air tanah telah berada di atas ambang kritis khususnya di kota-kota besar seperti DKI Jakarta, Di Yogyakarta, dan Jawa Timur. Indonesia yang telah terikat kesepakatan global  untuk mencapai Millenium Development Goals (MDG’s) pada 2015 berkewajiban dapat mengakses ketersedian air dan sanitasi 50% dari total jumlah penduduk. Tantangan lainnya ialah belum adanya perangkat hukum. Peraturan hingga tahapan Norma Standar Panduan dan Manual (NSPM) dibutuhkan agar dapat digunakan masyarakat dan pemerintah daerah untuk dilaksanakan sesuai standar kesehatan lingkungan.
Permasalahan lingkungan lainnya adalah mengenai Sumber Daya Air (ketersediaan air baku). Memasuki Hari Air Sedunia 2006, Indonesia menghadapi krisis air bersih. Swastanisasi dan perubahan cara pandang masyarakat terhadap air, dianggap sebuah upaya untuk melestarikan air dan memperpanjang daya gunanya. Sejumlah kota besar di Indonesia menghadapi krisis air baku atau air bersih dalam beberapa tahun mendatang. Kota-kota besar itu diantaranya Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Denpasar, Medan, Makassar, dan Balikpapan. Krisis air bersih di perkotaan umumnya berbentuk tercemarnya sungai-sungai oleh limbah rumah tangga dan industri. Padahal air sungai itu dijadikan bahan baku pengolahan air kotor oleh Perusahaan Air Minum (PAM) menjadi air bersih. Semakin tercemar air baku yang ada, semakin mahal biaya pengolahannya. Situasi ini memaksa masyarakat membayar lebih mahal air bersih yang mereka gunakan. Padahal air bersih merupakan salah satu kebutuhan dasar warga dalam kehidupan sehari-sehari, bahkan diakui sebagai hak asasi manusia yang harus dipenuhi oleh negara. Kendala utama dalam pemenuhan kebutuhan air di daerah rawan kekeringan atau sulit air adalah langkanya sumber-sumber air bersih yang bisa diakses dan terbatasnya dana masyarakat untuk membangun dan memelihara sumber air yang ada. Untuk memenuhi kebutuhan air bersih masyarakat umumnya mengandalkan sumber air alam seperti sungai, danau, atau tandon air hujan. Masalahnya warga yang tinggal jauh dari sumber air, kesulitan memperoleh air untuk kebutuhan minum, mandi, mencuci, dan untuk irigasi pertanian, terutama pada musim kemarau. Di perkotaan, warga mengandalkan suplai air dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Di sejumlah wilayah yang secara “tradisional” kering, kesulitan air acapkali disertai bencana kekeringan yang parah. Dalam situasi itu biasanya orang baru sadar pentingnya membangun dan memelihara sumber air yang berjangka panjang.
Ada tiga isu utama berkaitan dengan jasa penyediaan air bersih oleh Perusahaan Air Minum Seluruh Indonesia (Perpamsi) yaitu kualitas air, konflik kepentingan (misalnya antara unsur pemda dengan pengelola swasta), dan masalah kebijakan. Sejak keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005, masyarakat boleh ikut mengelola air. PDAM tidak lagi memonopoli pengelolaan air. Tetapi sangat jarang masyarakat memperhatikan peraturan seperti itu, selain pada umumnya lebih senang dilayani. Lebih lanjut, masalah penyediaan air di tiap daerah memang berbeda.
Mengkaji tentang mahalnya air minum bagi masyarakat, hal ini disebabkan Pembangunan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) perpipaan selama sepuluh tahun, ternyata tidak mampu mengimbangi pesatnya pertumbuhan penduduk, juga belum bisa memenuhi standar kualitas air minum. Ini disebabkan kontaminasi pada instalasi pipa air, sehingga kualitas air minum yang diterima konsumen sudah menurun. Kesulitan lain yang dihadapi saat ini adalah tingginya angka kehilangan air akibat pencurian dan kebocoran yaitu mencapai 37 persen.
Berkaitan dengan mahalnya air minum tersebut, PDAM sebagai operator penyedia air minum juga belum menetapkan tarif secara penuh kepada pelanggan. Tarif rata-rata yang ditetapkan bahkan tidak mampu menutupi biaya dasar untuk memproduksi air minum. Selain itu banyak PDAM menghadapi utang jangka panjang sehingga tidak mampu memberikan pelayanan optimal kepada pelanggan.
Aspek lingkungan lainnya adalah masalah banjir. Pembangunan rumah-rumah di pinggiran sungai sedikit demi sedikit menyebabkan lebar sungai makin mengecil dari lebar 75 meter menjadi 35 meter. Padahal menurut Peraturan Pemerintah mengenai sungai, pada bantaran sungai harus dibangun tanggul yang berfungsi menahan dan ada garis sepadan sehingga pembangunan rumah di bantaran sungai dilarang. Mengenai banjir besar yang melanda Jakarta beberapa waktu yang lalu, Siswoko, Dirjen Sumber Daya Air, menjelaskan bahwa banjir yang terjadi di Jakarta bukan disebabkan oleh banjir kiriman akibat pembukaan pintu air Katulampa Bogor seperti berita yang beredar di masyarakat. Pintu Air Katulampa tidak memiliki sistem buka tutup, pintu air tersebut hanya berupa bendungan yang digunakan untuk memantau dan mengukur debit air yang mengalir. Siswoko mengharapkan adanya pemahaman yang sama tentang banjir ini. Salah satu penyebab banjir adalah 40% dari 65 ribu hektare wilayah di Jakarta berada di dataran rendah dan sifat alami air adalah mengalir ke daratan yang lebih rendah. Disamping itu banyaknya bangunan yang berada di bantaran sungai yang memang merupakan daerah dataran banjir. (Kutipan Pemimpin Induk Pelaksana Kegiatan Pengembangan Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane (IPK-PWSCC), Pitoyo Subandrio).
Masalah lingkungan lainnya adalah masalah pengelolaan sampah. Dirasakan hingga saat ini penanganan sampah di hampir seluruh wilayah Indonesia tergolong masih primitif. Yakni dikelola dengan cara open dumping (pembuangan terbuka). Dimana sampah diangkut dari sumbernya, lalu dibuang dan ditimbun begitu saja. Walaupun pada awalnya banyak tempat pembuangan akhir (TPA) yang didesain dengan baik. Mengamati TPA Bantar Gebang, TPA tersebut bukanlah sebagai sistem pengelolaan sampah terpadu, melainkan tempat pembuangan sampah gabungan yang terdiri dari beberapa daerah. Dan sekali lagi dapat dinyatakan bahwa sistem pengelolaannya masih primitif.  Hal ini disebabkan dana untuk pengoperasian sampah sangat minim. Padahal sistem pembiayaan atau investasi untuk pengelolaan persampahan tidak harus selalu bergantung kepada sumber dana pemerintah yang sangat terbatas, tetapi banyak sumber dana dari masyarakat dan swasta yang bisa dimobilisasi. Peraturan yang mendukung kerjasama pemda dengan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur telah diatur dalam peraturan pemerintah nomor 67 tahun 2005 serta peraturan pemerintah nomor 23 tahun 2005 tentang pengelolaan keuangan badan layanan umum. Sekarang yang dibutuhkan political will pemerintah, khususnya pemerintah daerah yang menjadi tanggungjawabnya.
Peningkatan jumlah penduduk dan gaya hidup masyarakat berpengaruh besar pada volume sampah. Jakarta misalnya, pada 1985 menghasilkan sampah sejumlah 18.500 m3 per hari dan pada 2000 meningkat menjadi 25.700 m3 per hari dan pada 2005 diperkirakan mencapai 40.000 m2 per hari. Jika dihitung dalam setahun, volume sampah tahun 2000 mencapai 170 kali besar Candi Borobudur (volume Candi Borobudur = 55.000 m3). Hingga kini warga ibukota ini per harinya menghasilkan sekitar 8.000 ton sampah, dan 65% di antaranya merupakan sampah organik seperti daun, sisa dapur, sisa makanan yang menimbulkan bau tidak sedap. Masalah sampah di perkotaan seperti Jakarta ini sangat pelik. Sebagai contoh produksi sampah rumah tangga. Mengutip data Indonesia Solid Waste Association (InSWA), sampah rumah tangga mencapai 25.687m3 sampah atau sekitar 6.000 ton sampah. Sampah ini sebagian besar berupa sampah organik 80% dan sampah non-organik 20%. InSWA mencatat, sedikitnya 3,94% atau 1.012 m3 per hari sampah di Jakarta belum terangkut.
Persoalan makin kompleks karena sampah juga ternyata ada di dalam sungai. Di Jakarta, misalnya, setiap hari dikeruk 900 meter3 sampah dari 13 sungai. Bila pemerintah daerah lalai terhadap pengerukan sungai—akibat pembuangan sampah-—akibatnya akan dirasakan. Sampah akan mengendap di dasar sungai hingga menutup permukaan air. Debit air sungai terganggu, banjir pun tak terelakkan saat menjelang musim hujan dengan curah yang semakin meningkat. Ada aneka faktor yang menjadi penyebabnya. Antara lain karena penanganan sampah tidak pernah menjadi prioritas Pemprov DKI Jakarta, kurangnya prasarana dan sarana, minimnya anggaran, keterbatasan lahan, pembuangan masih bersifat open dumping, dan kurangnya kesadaran masyarakat terhadap produksi sampah, termasuk paradigma membuang sampah menjadi mengelola sampah.
Selanjutnya aspek keempat adalah permasalahan ketersediaan pemukiman (sarana perumahan) yang layak. Pemukiman di perkotaan harus memenuhi kebutuhan dasar seperti air minum, sanitasi, drainase dan infrastruktur dasar lainnya. Pembangunan infrastruktur itu bisa dimulai dari skala lingkungan kecil seperti keluarga dan lingkungan. Faktor manusia merupakan hal penting dalam menata kualitas pemukiman kumuh di perkotaan. Selain sebagai pencipta kekumuhan, mereka juga bisa mengatasi kekumuhan tersebut. Konsep People Center Development (PCD) perlu diterapkan dalam menata pemukiman kumuh. Konsep PCD dimaksud adalah menjadikan rakyat sebagai subyek, sebagai obyek dan juga sumber daya.
Menteri Negara Perumahan Rakyat, M Yusuf Ashari mengatakan, untuk menata kesemrawutan pemukiman di perkotaan yang disebabkan oleh semakin banyaknya populasi, pemerintah secara bertahap akan membangun social housing antara lain dengan membangun rumah susun sewa (rusunawa) 20 lantai di beberapa kota besar dan metro. Sudah saatnya pola pembangunan pemukiman di perkotaan berubah dari landing house ke bangunan vertikal. Selain dapat menampung banyak orang dengan lahan sedikit mungkin, rusunawa juga bisa menghemat jalur transportasi, dan infrastruktur lainnya. Selain itu, sejak 2005 hingga sekarang, pemerintah telah memberi subsidi kepada masyarakat berpenghasilan rendah dalam kepemilikan rumah. Untuk masyarakat berpenghasilan di bawah Rp 800 ribu akan disubsidi sebesar Rp 9 juta, berpenghasilan antara Rp 800 ribu sampai Rp 1,4 juta  disubsidi Rp 7 juta dan yang berpenghasilan di atas Rp 1, 4 juta hingga Rp 2 juta akan disubsidi Rp 5 juta. Subsidi diberikan kepada mereka yang akan membeli rumah pertama.
Dari uraian mengenai masalah perumahan tersebut, masyarakat harus menjadi subyek dalam pembangunan penataan pemukiman di perkotaan. Masyarakat juga merupakan sumber daya yang memiliki potensi kemandirian, pendidikan dan ekonomi. Selama ini masih sulit mencegah gerakan penduduk dari desa ke kota karena alasan untuk mencari penghidupan yang lebih baik di kota. Harus ada penyebaran penduduk yang merata, tidak hanya di Jakarta, melainkan juga di 400 kota di Indonesia lainnya. Reformasi pembangunan perkotaan ditentukan oleh dua hal, yaitu reformasi desentralisasi dan reformasi demokratisasi. Di era desentralisasi saat ini, pembangunan perkotaan menjadi tanggung jawab penuh pemerintah daerah. Sementara reformasi demokratisasi menekankan partisipasi masyarakat, perubahan bukan lagi monopoli pemerintah.
Aspek kelima adalah mengenai kriminalitas di Jakarta. Upaya untuk meningkatkan keamanan, ketertiban, dan penanggulangan kriminalitas  hendaknya ditandai dengan meningkatnya kemampuan aparat keamanan dalam menindak, mencegah dan menanggulangi gangguan keamanan, ketertiban, dan kriminalitas. Keberhasilan yang ingin dicapai dalam membongkar tindak kejahatan menunjukkan bahwa adanya peningkatan profesionalitas aparat keamanan. Namun demikian tidak dapat dipungkiri bahwa dalam pelaksanaannya masih menghadapi berbagai kendala seperti terjadinya penyimpangan profesi aparat keamanan, sikap kritis masyarakat yang kurang dilandasi oleh pemahaman dan kepatuhan terhadap hukum, serta perilaku primordial masyarakat yang belum sepenuhnya dapat menerima perbedaan baik etnis, agama maupun keyakinan menyebabkan  tingkat kriminalitas di Jakarta cukup tinggi
  Hal lain yang menyebabkan tingginya angka kriminalitas adalah mengenai pertumbuhan ekonomi yang semakin membaik relatif belum mampu mendukung peningkatan kesejahteraan rakyat. Kesejahteraan yang tidak merata tersebut menjadi salah satu penyebab masih tingginya tingkat gangguan keamanan, ketertiban dan kriminalitas. Kondisi yang ditandai dengan tingginya tingkat pengangguran berpotensi menciptakan ma­salah-masalah sosial, termasuk kriminalitas serta gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat, sulitnya lapangan kerja, serta daya beli masyarakat yang rendah menjadikan sebagian masyarakat seakan terjebak dalam dua pilihan yaitu bertahan untuk hidup secara lurus atau secara menyimpang (bertindak kriminal).
 Aksi-aksi kriminalitas saat ini sudah menjadi kekhawatiran umum. Masyarakat bahkan merasa kondisi kota tempat tinggalnya sekarang semakin tidak aman. Kriminalitas (crime) adalah suatu perbuatan melanggar hukum, merupakan isu yang meresahkan masyarakat. Hal yang mengkhawatirkan adalah mengenai kejahatan jalanan (crime street) dimana memperlihatkan kecenderungan meningkat dan perlakuan para penjahat terhadap korbannya semakin sadis.
Data dari Kepolisian Daerah Metro Jaya pada tahun 2006, menyebutkan bahwa angka kriminalitas di DKI jakarta meningkat 5,5 persen dari tahun 2005 angkanya 58.027, menjadi 61.080 kasus. Kebanyakan adalah kasus penyalagunaan narkotika dan obat-obatan terlarang. Peningkatan tersebut juga berarti resiko masyarakat untuk terkena kejahatan juga meningkat. Setiap 100 ribu penduduk, ada 307 masyarakat yang mengalami tindak kejahatan. "Meningkat 6,8 persen, tahun 2005 lalu rasionya 292 per 100 ribu penduduk (Kapolda Metro Jaya: Adang Firman http://www.tempointeraktif.com/hg/jakarta/2006/12/28/brk,20061228-90178,id.html, dikutip tanggal 10 Juli 2007)
          Dari uraian di atas dapat dinilai bahwa jakarta diusianya yang ke 480 tahun masih meninggalkan berbagai permasalahan. Berkaitan dengan permasalahan tersebut perlu dilakukan penelitian seberapa jauh masyarakat menilai permasalahan yang sebenarnya terjadi. Berdasarkan hal tersebut maka dilakukanlah penelitian dengan Judul : ”Analisis Peran Pemerintah, Masyarakat dan Aparat Penegak Hukum dalam Penanganan Permasalahan Kota Besar”.
                  

1.2    PERMASALAHAN
1.       Bagaimana persepsi masyarakat terhadap permasalahan transportasi di DKI Jakarta?
2.       Bagaimana persepsi masyarakat terhadap permasalahan urbanisasi di DKI Jakarta?
3.       Bagaimana persepsi masyarakat terhadap permasalahan lingkungan di DKI Jakarta?
4.       Bagaimana persepsi masyarakat terhadap permasalahan fasilitas perumahan di DKI Jakarta?
5.       Bagaimana persepsi masyarakat terhadap permasalahan kriminalitas di DKI Jakarta?
6.       Bagaimana upaya penanggulangan pada permasalahan-permasalahan transportasi, urbanisasi, lingkungan, perumahan, kriminalitas, dan di DKI Jakarta ?
1.3.   TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dalam penelitian ini adalah :
1.       Untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap permasalahan transportasi di DKI Jakarta..
2.       Untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap permasalahan urbanisasi di DKI Jakarta.
3.       Untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap permasalahan lingkungan di DKI Jakarta.
4.       Untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap permasalahan fasilitas perumahan di DKI Jakarta..
5.       Untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap masalah kriminalitas di DKI Jakarta.
6.       Untuk mengetahui upaya penanggulangan permasalahan-permasalahan transportasi, kriminal, urbanisasi, perumahan, dan lingkungan di DKI Jakarta.



1.4.   MANFAAT PENELITIAN
1.       Bagi Pemerintah
Penelitian dengan topik Peran Pemerintah, Masyarakat dan Penegak Hukum dalam pengelolaan permasalahan di kota besar tersebut diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu pendekatan bagi pemerintah dalam menyusun kebijakan dan pembuatan keputusan, terutama menyangkut masalah-masalah krusial yang dihadapi pemerintah yang dampaknya langsung dirasakan oleh masyarakat.
2.       Bagi Masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat membangun optimisme masyarakat, khususnya di daerah perkotaan, dalam menyikapi permasalahan-permasalahan publik yang akan dan sedang terjadi dalam perkembangan dinamika kehidupan.
3.       Bagi Institusi Ubhara Jaya
Kegiatan penelitian ini merupakan salah satu tugas yang diemban dalam melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi sebagai wujud peran dan partisipasi aktif lembaga dalam menyikapi fenomena yang berkembang di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai proses transfer of knoledge untuk peningkatan pengetahuan dan wawasan bagi seluruh sivitas akademika, khususnya di lingkungan kampus Ubhara Jaya dan masyarakat pada umumnya.

No comments:

Post a Comment

PENERAPAN ILMU FORENSIK DALAM HUKUM PIDANA

Terbentuknya keyakinan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana didasarkan pada hasil pemeriksaan alat-alat bukti yang dikemukakan pada pros...