Negara Indonesia
adalah negara hukum tidak hanya berdasarkan pada kekuasaan belaka, selain itu
juga berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945. Hal ini berarti Negara
Indonesia
menjunjung tinggi hak asasi manusia dan menjamin segala warganegaranya
bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, serta wajib menjunjung
tinggi hukum dan pemerintahan itu tanpa ada kecualinya.Pernyataan bahwa Indonesia merupakan negara hukum juga
mempunyai konsekwensi, bahwa Negara Indonesia menerapkan hukum sebagai idiologi
untuk menciptakan ketertiban, keamanan, keadilan serta kesejahteraan bagi warga
negara, sehingga hukum itu bersifat mengikat bagi setiap tindakan yang
dilakukan oleh warga negaranya. Adanya jaminan terhadap hak asasi manusia
(HAM), dapat diartikan bahwa di dalam setiap konstitusi selalu ditemukan adanya
jaminan terhadap hak asasi manusia (warga negara).
Perlindungan konstitusi terhadap hak asasi manusia
tersebut, salah satunya adalah perlindungan terhadap nyawa warga negaranya
seperti yang tercantum dalam Pasal 28A Undang Undang Dasar 1945: ”Setiap orang
berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”.
Nyawa dan tubuh adalah milik manusia yang paling berharga dan merupakan
hak asasi setiap manusia yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Seiring dengan kemajuan budaya dan Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi (IPTEK). Perilaku manusia di dalam bermasyarakat dan bernegara justru
semakin kompleks. Perilaku tersebut apabila ditinjau dari segi hukum, tentu ada
perilaku yang sesuai dengan norma dan ada yang dapat dikategorika sebagai
pelanggaran norma. Perilaku yang menyimpang dari norma biasanya akan menjadikan
suatu permasalahan baru di bidang hukum yang dapat merugikan masyarakat juga.
Perilaku yang menyimpang dari norma atau dapat disebut
sebagai penyelewengan terhadap norma yang telah disepakati ternyata menyebabkan
terganggunya ketertiban dan ketentraman terhadap kehidupan manusia itu sendiri.
Penyelewengan atas suatu norma yang berlaku biasanya oleh masyarakat umum
dinilai sebagai suatu kejahatan dalam ruang lingkup hukum pidana dan kejahatan dan kejahatan dalam kehidupan manusia
merupakan gejala sosial yang akan selalu dihadapi oleh setiap manusia,
masyarakat, dan bahkan oleh negara. Kenyataan telah membuktikan bahwa
kejahatan hanya dapat dicegah dan dikurangi akan tetapi sulit diberantas
secara tuntas.[1]
Kejahatan
yang dihadapi oleh manusia mengakibatkan masalah yang dihadapi oleh manusia
menjadi datang silih berganti, sehingga dapatlah dikatakan bahwa hal tersebut
menjadikan manusia sebagai makhluk yang kehilangan arah dan tujuan di mana
manusia mempunyai ambisi, keinginan dan tuntutan yang dibalut oleh nafsu. Akan
tetapi, karena hasrat yang berlebihan gagal dikendalikan dan dididik, maka
mengakibatkan masalah yang dihadapinya semakin bertambah banyak dan beragam.
Kejahatan yang terjadi dewasa ini bukan hanya menyangkut kejahatan terhadap
nyawa dan harta benda saja, akan tetapi kejahatan terhadap kesusilaan juga
semakin meningkat jumlahnya. Dalam hal kesusilaan, sering terjadi pada suatu
krisis sosial di mana keadaan tersebut tak bisa lepas dari peranan kaidah
sosial yang ada.
Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang
pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana dan pelaku itu dapat dikatakan sebagai
subjek tindak pidana.2
Hukum
pidana adalah aturan hukum yang mengikatkan pada suatu perbuatan yang memenuhi
syarat-syarat tertentu suatu akibat yang berupa pidana.3 Tindak pidana perkosaan
merupakan suatu fenomena kejahatan kesusilaan yang mengakibatkan penderitaan,
melanggar suatu aturan hukum, yang juga disertai ancaman (sanksi) yang berupa
pidana tertentu bagi siapa yang melanggar larangan tersebut.
Perkosaan
menurut konstruksi yuridis peraturan perundang-undangan di Indonesia (KUHP)
adalah perbuatan memaksa seorang wanita yang bukan istrinya untuk bersetubuh
dengan dia dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Kata-kata “memaksa” dan
“dengan kekerasan atau ancaman kekerasan” di sini sudah menunjukkan betapa
mengerikannya suatu tindakan perkosaan. Pemaksaan hubungan kelamin pada wanita
yang tidak menghendakinya akan menyebabkan kesakitan hebat pada korban, apalagi
tindakan tesebut disertai dengan kekerasan fisik. Kesakitan hebat dapat terjadi
tidak hanya sebatas fisik saja, tetapi juga dari segi psikis.4
Kaum perempuan
sangatlah rawan menjadi korban dari kejahatan. Berbagai penelitian dan
pembahasan sudah cukup untuk mengaktualkan, merekontruksi, menginterprestasi
dan memberdayakan hak-hak perempuan pada khususnya. Hak-hak wanita menjadi
obyek pembahasan seiring dengan beragam persoalan sensitif yang melanda
perempuan tersebut.
Di bidang kesusilaan,
kaum perempuan menjadi obyek pengebirian dan pelecehan dan hak-haknya sedang
tidak berdaya menghadapi kebiadaban individual, kultural, dan struktural yang
dibenarkan. Nilai kesusilaan yang seharusnya dijaga kesuciannya sedang dikoyak
dan dinodai oleh naluri kebinatangan yang diberikan tempat untuk berlaku
adidaya. Salah satu langkah antisipasi atas kejahatan tersebut dapat
memfungsikan instrument hukum pidana secara efektif melalui penegakan hukum.
Dan di upayakan bahwa perilaku yang dinilai telah melanggar hukum dapat
ditanggulangi secara preventif dan represif. Sehingga dalam hal ini, melalui
payung hukum hak-hak anak akan secara nyata dilindungi.
Namun, perlu diingat juga bahwa penjatuhan
pidana bukan semata-mata sebagai jalan balas dendam atas perbuatan yang telah
dilanggar, melainkan adalah suatu upaya pemberian bimbingan pada pelaku tindak
pidana dan sebagai upaya pengayoman atas korban dari tindak pidana yang ada.
Dalam proses peradilan, pembuktian merupakan masalah
yang peranan penting dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Dengan
pembuktian inilah ditentukan nasib terdakwa. Apabila hasil pembuktian dengan
alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang tidak cukup membuktikan kesalahan
yang didakwakan kepada terdakwa, maka terdakwa dibebaskan dari hukuman.
Ketentuan tindak
pidana dalam kasus perkosaan, dalam KUHP sendiri telah diatur yang salah satunya
terdapat dalam Pasal 285 yang berbunyi : “Barang siapa dengan kekerasan atau
ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar pernikahan,
di ancam karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama Sembilan
tahun”.
Cara penegakan hukum
dan sanksi hukum dalam kenyataan sosial dan menghukum pelaku tindak pidana
sebagai gejala sosial tidak lepas dari kenyataan masyarakat. Maka, penegakan
hukum pidana merupakan salah satu pengendalian terhadap kejahatan yang untuk
diberantas atau sekurangkurangnya di jaga agar berada dalam batasan tertentu.5
Sebab sering kali
wanita yang menjadi korban tindak pidana perkosaan mengalami trauma yang sangat
hebat sehingga tidak melaporkan kejadian yang baru dialaminya. Selain itu dapat
juga dikarenakan adanya ketidaktahuan korban tindak pidana perkosaan itu
sendiri atas perilaku atau perbuatan pencabulan yang baru dialaminya. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu
proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran
materiil (materiile waarheid) terhadap perkara tersebut. Hal ini dapat
dilihat dari adanya berbagai usaha yang dilakukan oleh aparat penegak hukum
dalam memperoleh bukti-bukti yang dibutuhkan untuk mengungkap suatu perkara
baik pada tahap pemeriksaan pendahuluan seperti penyidikan dan penuntutan
maupun
Di dalam pedoman
pelaksanaan KUHAP dijelaskan, bahwa tujuan hukum acara pidana adalah untuk
mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materil,
ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan
menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan
untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran
hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna
menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah
orang yang didakwakan ini dapat dipersalahkan pada tahap persidangan perkara tersebut.6
Usaha-usaha
yang dilakukan oleh para penegak hukum untuk mencari kebenaran materiil suatu
perkara pidana dimaksudkan untuk menghindari adanya kekeliruan dalam penjatuhan
pidana terhadap diri seseorang, hal ini sebagaimana ditentukan dalam
Undang-undang No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
pasal 6 ayat 2 yang menyatakan : “Tiada seorang juapun dapat dijatuhi pidana,
kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut
Undang-undang mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat
bertanggung jawab, telah bersalah atas
perbuatan yang dituduhkan atas dirinya”.
Pembuktian
berasal dari kata “bukti” yang artinya adalah usaha untuk membuktikan. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “membuktikan” diartikan sebagai
memperlihatkan bukti atau meyakinkan dengan bukti, sedangkan kata
“pembuktian diartikan sebagai proses, perbuatan cara membuktikan, usaha
menunjukkan benar atau salahnya si terdakwa di dalam sidang pengadilan.7
Dengan adanya ketentuan perundang-undangan diatas,
maka dalam proses penyelesaian perkara pidana penegak hukum wajib mengusahakan
pengumpulan bukti maupun fakta mengenai perkara pidana yang ditangani dengan
selengkap mungkin.
Sistem
pembuktian yang dianut KUHAP itu :
a.
Disebut watelijk atau menurut
undang-undang karena untuk pembuktian
undang-undang yang menentukan jenis dan banyaknya alat bukti yang harus ada.
b.
Disebut negatief karena adanya
jenis-jenis dan banyaknya alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang itu
belum dapat membuat hakim menjatuhkan putusan pidana bagi seorang terdakwa
apabila jenis-jenis dan banyaknya alat bukti itu belum dapat menimbulkan
keyakinan dirinya bahwa suatu tindak pidana itu benar-benar telah terjadi dan
bahwa terdakwa telah bersalah melakukan tindak pidana tersebut.8
Adapun mengenai alat-alat bukti yang sah
sebagaimana dimaksud diatas dan yang telah ditentukan menurut ketentuan
perundang-undangan adalah sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) pada pasal 184 ayat 1 yang menyebutkan :
“Alat bukti yang sah ialah :
· keterangan saksi ;
· keterangan ahli
;
· surat ;
· petunjuk ;
· keterangan terdakwa.”
Menurut Yahya Harahap pembuktian adalah :
“Ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam
usahanya mencari dan mempertahankan kebenaran”.9
Di dalam usaha memperoleh bukti-bukti
yang diperlukan guna kepentingan pemeriksaan suatu perkara pidana, seringkali
para penegak hukum dihadapkan pada suatu masalah atau hal-hal tertentu yang
tidak dapat diselesaikan sendiri dikarenakan masalah tersebut berada di luar
kemampuan atau keahliannya. Dalam hal demikian maka bantuan seorang ahli sangat penting diperlukan dalam
rangka mencari kebenaran materiil selengkap-lengkapnya bagi para penegak hukum
tersebut.
Mengenai perlunya bantuan seorang ahli
dalam memberikan keterangan yang terkait dengan kemampuan dan keahliannya untuk
membantu pengungkapan dan pemeriksaan suatu perkara pidana, Prof. A. Karim
Nasution menyatakan :
“Seorang ahli
memberikan keterangan bukan mengenai segala hal yang dilihat, didengar dan
dialaminya sendiri, tetapi mengenai hal-hal yang menjadi atau di bidang
keahliannya yang ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa.
Keterangan ahli tidak perlu diperkuat dengan alasan sebab keahliannya atau
pengetahuannya sebagaimana pada keterangan saksi. Apa yang diterangkan saksi
adalah hal mengenai kenyataan dan fakta. Sedang keterangan ahli adalah suatu
penghargaan dan kenyataan dan/atau kesimpulan atas penghargaan itu berdasarkan
keahliannya. Apabila keterangan ahli diberikan pada tingkat penyidikan, maka
sebelum memberikan keterangan, ahli harus mengucapkan sumpah atau janji
terlebih dahulu”.10
Menurut ketentuan hukum acara pidana
di Indonesia, mengenai permintaan bantuan tenaga ahli diatur dan disebutkan
didalam KUHAP. Untuk permintaan bantuan tenaga ahli pada tahap penyidikan
disebutkan pada pasal 120 ayat (1), yang menyatakan :
“Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat
minta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus”.
Sedangkan untuk permintaan
bantuan keterangan ahli pada tahap pemeriksaan persidangan, disebutkan pada
pasal 180 ayat (1) yang menyatakan : “Dalam hal diperlukan untuk menjernihkan
duduknya persoalan yang timbul di sidang pengadilan, hakim ketua sidang dapat
minta keterangan ahli dan dapat pula minta agar diajukan bahan baru oleh yang
berkepentingan”.
Mengenai keterangan ahli
sebagaimana disebutkan dalam kedua pasal KUHAP diatas, diberikan pengertiannya
pada pasal 1 butir ke-28 KUHAP, yang menyatakan : “Keterangan ahli adalah
keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang
hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan
pemeriksaan”.
Bantuan
seorang ahli yang diperlukan dalam suatu proses pemeriksaan perkara pidana,
baik pada tahap pemeriksaan pendahuluan dan pada tahap pemeriksaan lanjutan di
sidang pengadilan, mempunyai peran dalam membantu aparat yang berwenang untuk
membuat terang suatu perkara pidana, mengumpulkan bukti-bukti yang memerlukan
keahlian khusus, memberikan petunjuk yang lebih kuat mengenai pelaku tindak
pidana, serta pada akhirnya dapat membantu hakim dalam menjatuhkan putusan
dengan tepat terhadap perkara yang diperiksanya.
Pada
tahap pemeriksaan pendahuluan dimana dilakukan proses penyidikan atas suatu peristiwa
yang diduga sebagai suatu tindak pidana, tahapan ini mempunyai peran yang cukup
penting bahkan menentukan untuk tahap pemeriksaan selanjutnya dari keseluruhan
proses peradilan pidana. Tindakan penyidikan yang dilakukan oleh pihak
Kepolisian atau pihak lain yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk
melakukan tindakan penyidikan, bertujuan untuk mencari serta mengumpulkan bukti
yang dengan bukti tersebut dapat membuat terang tindak pidana yang terjadi dan
guna menemukan tersangkanya. Berdasarkan hasil yang didapat dari tindakan
penyidikan suatu kasus pidana, hal ini selanjutnya akan diproses pada tahap
penuntutan dan persidangan di pengadilan.
Terkait
dengan bantuan keterangan ahli yang diperlukan dalam proses pemeriksaan suatu
perkara pidana, maka bantuan ini pada tahap penyidikan juga mempunyai peran
yang cukup penting untuk membantu penyidik mencari dan mengumpulkan bukti-bukti
dalam usahanya menemukan kebenaran materiil suatu perkara pidana. Dalam
kasus-kasus tertentu, bahkan penyidik sangat bergantung terhadap keterangan
ahli untuk mengungkap lebih jauh suatu peristiwa pidana yang sedang
ditanganinya. Kasus-kasus tindak pidana seperti pembunuhan, penganiayaan dan
perkosaan merupakan contoh kasus dimana penyidik membutuhkan bantuan tenaga
ahli seperti dokter ahli forensik atau dokter ahli lainnya, untuk memberikan
keterangan medis tentang kondisi korban yang selanjutnya cukup berpengaruh bagi
tindakan penyidik dalam mengungkap lebih lanjut kasus tersebut.
Suatu
kasus yang dapat menunjukkan bahwa pihak Kepolisian selaku aparat penyidik
membutuhkan keterangan ahli dalam tindakan penyidikan yang dilakukannya yaitu
pada pengungkapan kasus perkosaan. Kasus kejahatan kesusilaan yang menyerang
kehormatan seseorang dimana dilakukan tindakan seksual dalam bentuk
persetubuhan dengan menggunakan ancaman kekerasan atau kekerasan ini,
membutuhkan bantuan keterangan ahli dalam penyidikannya. Keterangan ahli yang
dimaksud ini yaitu keterangan dari dokter yang dapat membantu penyidik dalam
memberikan bukti berupa keterangan medis yang sah dan dapat
dipertanggungjawabkan mengenai keadaan korban, terutama terkait dengan
pembuktian adanya tanda-tanda telah dilakukannya suatu persetubuhan yang
dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan.
Melihat
tingkat perkembangan kasus perkosaan yang terjadi di masyarakat saat ini, dapat
dikatakan kejahatan perkosaan telah berkembang dalam kuantitas maupun kualitas
perbuatannya. Dari kuantitas kejahatan perkosaan, hal ini dapat dilihat dengan
semakin banyak media cetak maupun televisi yang memuat dan menayangkan
kasus-kasus perkosaan. Dari kualitas kejahatan perkosaan, hal ini dapat dilihat
dengan semakin beragamnya cara yang digunakan pelaku untuk melakukan tindak
perkosaan, berbagai kesempatan dan tempat-tempat yang memungkinkan terjadinya
tindak perkosaan, hubungan korban dan pelaku yang justru mempunyai kedekatan
karena hubungan keluarga, tetangga, bahkan guru yang seharusnya membimbing dan
mendidik, bentuk kekerasan yang dilakukan terhadap korban, serta usia korban
perkosaan yang saat ini semakin banyak terjadi pada anak-anak.
Mengungkap
suatu kasus perkosaan pada tahap penyidikan, akan dilakukan serangkaian
tindakan oleh penyidik untuk mendapatkan bukti-bukti yang terkait dengan tindak
pidana yang terjadi, berupaya membuat terang tindak pidana tersebut, dan
selanjutnya dapat menemukan pelaku tindak pidana perkosaan. Terkait dengan
peranan dokter dalam membantu penyidik memberikan keterangan medis mengenai
keadaan korban perkosaan, hal ini merupakan upaya untuk mendapatkan bukti atau
tanda pada diri korban yang dapat menunjukkan bahwa telah benar terjadi suatu
tindak pidana perkosaan.
Keterangan
dokter yang dimaksudkan tersebut dituangkan secara tertulis dalam bentuk surat
hasil pemeriksaan medis yang disebut dengan visum et repertum.
Menurut pengertiannya, visum et repertum diartikan sebagai laporan
tertulis untuk kepentingan peradilan (pro yustisia) atas permintaan yang
berwenang, yang dibuat oleh dokter, terhadap segala sesuatu yang dilihat dan
ditemukan pada pemeriksaan barang bukti, berdasarkan sumpah pada waktu menerima jabatan,
serta berdasarkan pengetahuannya yang sebaik-baiknya.11
Dalam
kenyataannya, pengusutan terhadap kasus dugaan perkosaan oleh pihak Kepolisian
telah menunjukkan betapa penting peran visum et repertum. Banyak berita mengenai
kasus dugaan perkosaan yang terpaksa kasus tersebut dihentikan pengusutannya
oleh pihak Kepolisian disebabkan hasil visum et repertum tidak memuat
keterangan mengenai tanda terjadinya persetubuhan. Orang tua korban dengan dibantu
oleh sebuah lembaga perlindungan perempuan, berupaya agar pihak Kepolisian
dapat meneruskan pengusutan kasus tersebut karena menurut keterangan lisan yang
disampaikan dokter pemeriksa kepada keluarga korban menyatakan bahwa selaput
dara korban robek dan terjadi infeksi. Permintaan tersebut tidak dapat
ditindaklanjuti karena pihak Kepolisian mendasarkan tindakannya pada hasil visum
et repertum yang menyatakan tidak terdapat luka robek atau infeksi pada
alat kelamin korban.
Peranan visum et
repertum dalam pengungkapan suatu kasus perkosaan menunjukkan peran yang
cukup penting bagi tindakan pihak Kepolisian selaku aparat penyidik. Pembuktian
terhadap unsur tindak pidana perkosaan dari hasil pemeriksaan yang termuat
dalam visum et repertum, menentukan langkah yang diambil pihak
Kepolisian dalam mengusut suatu kasus perkosaan.
Seringkali wanita
yang menjadi korban tindak pidana perkosaan mengalami trauma yang sangat hebat
sehingga tidak melaporkan kejadian yang baru dialaminya. Selain itu dapat juga
dikarenakan adanya ketidaktahuan korban tindak pidana perkosaan itu sendiri
atas perilaku atau perbuatan pencabulan yang baru dialaminya. Hal ini
dilatarbelakangi oleh aspek-aspek normatif maupun aspek-aspek psikologis bagi
korban yang telah terenggut masa depannya serta menimbulkan trauma yang
mendalam sekaligus dampak sosiologis di masyarakat di mana korban tinggal.
Dalam kenyataannya tidak jarang pihak
Kepolisian mendapat laporan dan pengaduan terjadinya tindak pidana perkosaan
yang telah berlangsung lama. Dalam kasus yang demikian barang bukti yang
terkait dengan tindak pidana perkosaan tentunya dapat mengalami perubahan dan
dapat kehilangan sifat pembuktiannya. Tidak hanya barang-barang bukti yang
mengalami perubahan, keadaan korban juga dapat mengalami perubahan seperti
telah hilangnya tanda-tanda kekerasan. Mengungkap kasus perkosaan yang
demikian, tentunya pihak Kepolisian selaku penyidik akan melakukan upaya-upaya
lain yang lebih cermat agar dapat ditemukan kebenaran materiil yang selengkap
mungkin dalam perkara tersebut.
Sehubungan dengan peran visum
et repertum yang semakin penting dalam pengungkapan suatu kasus perkosaan,
pada kasus perkosaan dimana pangaduan atau laporan kepada pihak Kepolisian baru
dilakukan setelah tindak pidana perkosaan berlangsung lama sehingga tidak lagi
ditemukan tanda-tanda kekerasan pada diri korban, hasil pemeriksaan yang
tercantum dalam visum et repertum tentunya dapat berbeda dengan hasil
pemeriksaan yang dilakukan segera setelah terjadinya tindak pidana perkosaan.
Terhadap tanda-tanda kekerasan yang merupakan salah satu unsur penting untuk
pembuktian tindak pidana perkosaan, hal tersebut dapat tidak ditemukan pada
hasil pemeriksaan yang tercantum dalam visum et repertum. Menghadapi
keterbatasan hasil visum et repertum yang demikian, maka akan dilakukan
langkah-langkah lebih lanjut oleh pihak penyidik agar dapat diperoleh kebenaran
materiil dalam perkara tersebut dan terungkap secara jelas tindak pidana
perkosaan yang terjadi.
C. Identifikasi Dan Rumusan Masalah
1.
Identifikasi Masalah
Berdasarkan kenyataan mengenai pentingnya
penerapan hasil visum et repertum dalam pengungkapan suatu kasus
perkosaan pada tahap penyidikan sebagaimana terurai diatas.
2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, permasalahan
yang akan diangkat untuk selanjutnya diteliti dan dibahas dalam penulisan
skripsi ini yaitu sebagai berikut :
1. Bagaimanakah peranan visum et repertum pada
tahap penyidikan dalam mengungkap suatu tindak pidana perkosaan ?
2. Upaya apakah yang dilakukan penyidik apabila hasil
visum et repertum tidak sepenuhnya mencantumkan keterangan tentang tanda
kekerasan pada diri korban perkosaan ?
2 Wijono Projodikoro, Asas-asas
Hukum PIdana Indonesia, Bandung : Erisko Bandung,
1986, Hlm.55
4 Suryono Ekotama, A Bortus
Provocatus Bagi Korban Perkosaan. Yogyakarta: Universitas Atmajaya Yogyakarta. 2001. Hlm. 96
5 Bambang
Purnomo, Pertumbuhan Hukum Penyimpangan diluar Kodifikasi Hukum pidana.
Jakarta:Bina
aksara 1994. Hlm. 52
6 Ansori Sabuan, Hukum Acara Pidana,
Bandung:
Angkasa, 1990, Hlm.65
7 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, , Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka Indonesia, 1987. Hlm.133
8 Rusli Muhammad, Hukm Acara Pidana Kontemporer, Bandung: Citra Aditya
Bakti 2007, Hlm.189
9 Yahya Harahap, Pembahan dan Penerapan KUHAP, Jakarta: Pustaka Kartini,
1993, Hlm 22.
10 Pusat Litbang Kejaksaan Agung R.I, Studi tentang Peranan Alat Bukti
Keterangan Ahli Dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi, 2008.
11 H.M.Soedjatmiko, Ilmu
Kedokteran Forensik, Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang, 2001, Hlm.1.
No comments:
Post a Comment