4/17/12

Catatan terhadap UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

 
UU narkotika yang disahkan pada 14 September 2009 merupakan revisi dari UU No. 22/1997 tentang narkotika. Pemerintah menilai UU No. 22/1997 tidak dapat mencegah tindak pidana narkotika yang semakin meningkat secara kuantitatif maupun kualitatif serta bentuk kejahatannya yang terorganisir. Namun secara substansial, UU Narkotika yang baru tidak mengalami perubahan yang signifikan dibandingkan dengan UU terdahulu, kecuali penekanan pada ketentuan kewajiban rehabilitasi, penggunaan pidana yang berlebihan, dan kewenangan BNN yang sangat besar.
I. Adanya Pembatasan Penyimpanan Narkotika
Masyarakat tidak diperbolehkan menyimpan narkotika untuk jenis dan golongan apapun. Pihak yang diperbolehkan melakukan penyimpanan hanya terbatas pada industri farmasi, pedagang besar farmasi, apotek, rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan, dokter dan lembaga ilmu pengetahuaan.
Hal ini sangat menyulitkan pengguna narkotika yang sedang melakukan pemulihan, dimana para pengguna harus mengunjungi tempat-tempat tertentu. Pembatasan ini memungkinkan para pengguna narkotika untuk mendapatkan narktotika secara ilegal.
II. Pengobatan dan Rehabiltasi
Pasien dapat memiliki, menyimpan, dan/atau membawa narkotika yang digunakan untuk dirinya sendiri yang diperoleh dari dokter dan dilengkapi dengan bukti yang sah .
Melalui UU No. 35/2009, para pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika tidak lagi diberikan kebebasan dan atas kehendak sendiri untuk sembuh. Rehabilitasi medis dan rehabilitasi social menjadi kewajiban bagi para pecandu.
UU No. 35/2009 juga mewajibkan pecandu narkotika untuk melaporkan diri mereka kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Kewajiban tersebut juga menjadi tanggung jawab orang tua dan keluarga.
Rehabiltasi medis dan sosial selain dapat diselenggarakan oleh instansi pemerintah ataupun masyarakat yang akan diatur dalam peraturan menteri . Pertanyaannya, apakah lembaga-lembaga yang memberikan pendampingan terhadap pecandu dapat dikategorikan sebagai tempat pihak yang melakukan rehabiltasi medis dan sosial?
III. Kewenangan BNN dan Penyelidikan
UU No. 35/2009 memberikan porsi besar bagi BNN. Salah satu kewenangan BNN adalah mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran nakotika dan prusukor narkotika. Selain itu BNN dapat mempergunakan masyarakat dengan cara memantau, mengarahkan dan meningkatkan kapasitas mereka untuk melakukan pencegahan terhadap penyalahgunaan narkotika dengan cara memberdayakan anggota masyarakat.
Dalam hal melakukan pemberantasan narkotika, BNN diberi kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap penyalahgunaan, peredaran narkotika, dan prekusor narkotika beserta dengan kewenangan yang dimilki penyelidik dan penyidik seperti penangkapan selama 3 x 24 jam dan dapat diperpanjang 3×24 jam ditambah penyadapan.
Pemberiaan kewenagan yang besar terhadap BNN, khususnya menjadikan BNN sebagai penyidik menimbulkan pertanyaan, apakah karena pihak kepolisiaan dinilai tidak bisa melakukan pengusutan terhadap tindak pidana narkotika dengan baik, kemudian kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan diberikan kepada BNN?
Porsi kewenangan BNN yang terlalu besar seperti dalam penahanan dan penggeledahan yang tidak dimiliki oleh penyidik kepolisiaan akan menimbulkan permasalahan secara kelembagaan, dan rasa persamaan hukum bagi tersangka yang diperiksa di BNN dan kepolisian.
IV. Putusan Rehabiltasi bagi para pecandu Narkotika
Walaupun prinsip dalam UU No. 35/2009 adalah melakukan rehabilitasi bagi para pecandu narkotika, tetapi dalam UU ini masih menggunakan kata “dapat” untuk menempatkan para pengguna narkotika baik yang bersalah maupun yang tidak bersalah untuk menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabiltasi. Hakim juga diberikan wewenang kepada pecandu yang tidak bermasalah melakukan tidak pidana narkotika untuk ditetapkan menjalani pengobatan dan rehabiltasi. Ketentuan tersebut menimbulkan pertanyaan:
- Apakah penggunaan kata “dapat” menjadi suatu acuan mutlak agar hakim untuk memutus atau menetapkan pecandu narkotika menjalani proses rehabilitasi?
- Apakah penerapan penjalanan pengobatan dan rehabiltasi juga diterapkan di tingkatan penyidikan dan penuntutan?
V. Peran Serta Masyarakat
Selain memberikan kewengan yang besar terhadap penegak hukum, khususnya BNN, UU No. 35/2009 juga mewajibkan masyarakat untuk berperan aktif dalam upaya pencegahan dan pemberantasan narkotika. Masyarakat dijadikan seperti penyelidik dengan cara mencari, memperoleh, dan memberikan informasi dan mendapatkan pelayanan dalam hal-hal tersebut. Dalam UU ini masyarakat tidak diberikan hak untuk melakukan penyuluhan, pendampingan dan penguatan terhadap pecandu narkotika.
Peran serta masyarakat yang dikumpulkan dalam suatu wadah oleh BNN dapat menjadi suatu ketakutan tersendiri karena masyarakat mempunyai legitimasi untuk melakukan pencegahan dan pemberantasan narkotika tanpa adanya hak yang ditentukan oleh Undang-Undang.
VI. Ketentuan Pidana
UU No. 35/2009 memiliki kencederuangan mengkriminalisasi orang, baik produsen, distributor, konsumen dan masyarakat dengan mencantumkan ketentuan pidana sebanyak 39 pasal dari 150 pasal yang diatur dalam UU tersebut.
UU No. 35/2009 menggunakan pendekatan pidana untuk melakukan pengawasan dan pencegahan terhadap penyalahgunaan narkotika. Penggunaan pidana masih dianggap sebagai suatu upaya untuk menakut-nakuti agar tidak terjadinya penggunaan narkotika. Hal tersebut didukung dengan diberikannya suatu keweangan yang besar bagi BNN yang bermetafora menjadi institusi yang berwenang untuk melakukan penyadaran kepda masyarakat, melakukan penyelidikan, penyidikan, serta penuntutan dalam tindak pidana narkotika.
Lebih jauh, menilai ketentuan pidana yang diatur di dalam UU No. 35/2009 sebagai berikut:
a. Tidak mementingkan unsur kesengajaan dalam Tindak Pidana narkotika
Penggunaan kata ”Setiap orang tanpa hak dan melawan hukum” dalam beberapa pasal UU No. 35/2009 dengan tidak memperdulikan unsur kesengajaan, dapat menjerat orang-orang yang memang sebenarnya tidak mempunyai niatan melakukan tindak pidana narkotika, baik karena adanya paksaan, desakan, ataupun ketidaktahuaan.
b. Penggunaan sistem pidana minimal
Penggunaan sistem pidana minimal dalam UU No. 35/2009 memperkuat asumsi bahwa UU tersebut memang diberlakukan untuk memidanakan masyarakat yang berhubungan dengan narkotika. Penggunaan pidana minimal juga akan menutup hakim dalam menjatuhkan putusan walaupun di dalam prakteknya, hakim dapat menjatuhkan putusan kurang dari pidana minimal dan hal tersebut diperbolehkan oleh Ketua Mahkamah Agung.
c. Kriminalisasi Bagi orang tua dan masyarakat
UU No. 35/2009 memberikan ancaman hukuman pidana (6 bulan kurungan) bagi orang tua yang sengaja tidak melaporkan anaknya yang menggunakan narkotika untuk mendapatkan rehabilitasi. Meskipun unsur ’kesengajaan tidak melapor’ tersebut harus dibuktikan terlebih dahulu, unsur tersebut tidak mengecualikan orang tua yang tidak mengetahui bahwa zat yang dikonsumsi anaknya adalah narkotika.
UU No. 35/2009 juga menuntut agar setiap orang melaporkan tindak pidana narkotika. UU ini memberikan ancaman pidana maksimal 1 tahun bagi orang yang tidak melaporkan adanya tindak pidana narkotika. Penerapan pasal ini akan sangat sulit diterapkan karena biasanya pasal ini digunakan bagi pihak-pihak yang ditangkap ketika berkumpul dengan para pengguna narkotika. Orang tersebut juga dapat dipergunakan sebagai saksi mahkota untuk memberatkan suatu tindak pidana narkotika. Pasal ini juga mengancam para pihak yang mendampingi komunitas pecandu narkotika.
Pada ketentuaan peran serta masyarakat dalam BAB XIII masyarakat tidak diwajibkan untuk melaporkan jika mengetahui adanya penyalahgunaan narkotika atau peredaran gelap narkotika. Ketentuan ini menunjukan ketidak singkronan antara delik formal dengan delik materiil.
d. Persamaan hukuman bagi percobaan dan tindak pidana selesai
UU No. 35/2009 menyamakan hukuman pidana bagi pelaku tidak pidana selesai dengan pelaku tidak pidana percobaan. Tindak Pidana Narkotika adalah suatu kejahatan karena perbuatan tersebut memiliki efek yang buruk. Delik percobaan mensyaratkan suatu tindak pidana tersebjut terjadi, sehingga akibat tindak pidana tersebut tidak selesai, sehingga seharusnya pemidanaan antara pelaku tidak pidana percobaan dan pelaku tidak pidana selesai harus dibedakan.
PENDAHULUAN
Penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotropika, dan bahan berbahaya lainnya merupakan suatu kajian yang menjadi masalah dalam lingkup nasional maupun secara internasional. Berbagai upaya yang dilakukan oleh dunia internasional termasuk Indonesia sendiri dirasa masih belum dapat untuk mengurangi angka peredaran gelap narkoba yang dilakukan oleh pelaku kejahatan terorganisir (organized crime) secara signifikan. Masalah peredaran gelap dan penyalahgunaan narkoba ini memang melibatkan sebuah sistem yang kompleks dan berpengaruh secara global serta dapat berkaitan erat dengan Ketahanan Nasional sebuah bangsa. Baik secara langsung maupun tidak langsung, dalam perkembangannya hingga saat ini penyalahgunaan narkoba tersebar secara luas pada berbagai jenjang usia dan berbagai lapisan masyarakat. Mulai dari jenjang usia muda hingga tua, kelas ekonomi bawah sampai dengan menengah ke atas. Namun yang patut mendapat perhatian lebih adalah adan kecenderungan peningkatan angka yang signifikan pada lapis usia produktif. Narkoba dan jenis psikotropika paling banyak disalahgunakan oleh generasi muda yang merupakan penerus serta penopang kekuatan Nasional di masa datang. Sungguh suatu hal yang amat memprihatinkan saat diketahui bahwa semakin banyak generasi muda yang terlibat secara aktif baik itu cuma sebatas sebagai pengguna atau bahkan sebagai pengedarnya. Hal ini tentu perlu mendapat perhatian serius dari segenap elemen bangsa demi menyelamatkan masa depan Negara Indonesia tercinta.
Pemerintah Indonesia sendiri telah bertekad bulat, bahwa penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkoba merupakan bahaya nyata yang harus ditangani secara dini dengan melibatkan seluruh komponen bangsa yang ada baik oleh pemerintah, masyarakat, serta organisasi-organisasi dan element bangsa lainnya yang terkait. Akan menjadi sangat sulit bahkan mustahil dilakukan untuk mewujudkan Indonesia yang bebas Narkoba tanpa adanya dukungan serta bantuan yang nyata dari segenap elemen masyarakat kita sendiri. Hal tersebut bahkan akan menjadi bertambah sulit dengan semakin berkembangnya modus operandi dari para pelaku tindak pidana narkoba, serta semakin meningkatnya trend peningkatan peredaran gelap narkoba dari tahun ke tahun. Peningkatan ini bisa terlihat dengan semakin bertambahnya jumlah kasus yang dilaporkan serta jumlah tersangka yang terlibat, baik sebagai pengguna maupun sebagai pengedar narkoba.Dari data statistika yang dimiliki oleh Badan Narkotika Nasional (BNN), peredaran shabu (methamphetamine) terus meningkat sejak tahun 2006, hal tersebut digambarkan dari bertambahnya jumlah kasus dan tersangka jenis shabu dan mencapai level tertinggi pada tahun 2009 (10.742 kasus dan 10.183 tersangka). Demikian pula dengan jumlah penyitaan shabu oleh Ditjen Bea dan Cukai tahun 2009 juga menunjukkan adanya peningkatan . Hasil survey BNN tahun 2009 menyimpulkan bahwa prevalensi penyalahgunaan narkoba dikalangan pelajar dan mahasiswa adalah 4,7% atau sekitar 921.695 orang. Jumlah tersebut sebanyak 61% menggunakan narkoba jenis analgesik, dan 39% menggunakan jenis ganja,amphetamine,ekstasi dan lem (Jurnal Data P4GN, 2010 : 2). Penyalahgunaan narkoba/napza ini memang harus menjadi perhatian segenap pihak dan menjadi tanggung jawab kita bersama, ini disebabkan karena betapa buruk dan berbahanya efek negative yang akan timbul akibat penyalahgunaannya. Kemungkinan paling buruk bahkan dapat menyebabkan ketergantungan akut yang berujung pada kematian. Tidak cukup sampai disitu, narkoba dapat dengan mudah menimbulkan efek addict (ketergantungan) yang sangat sulit disembuhkan, terbukti dengan tingginya angka relaps (kambuh) pengguna yang tidak hanya menjadi isu mendesak di Indonesia tetapi juga di seluruh dunia.
Di Indonesia sendiri, kegiatan pencegahan dan penegakan hukum bukanlah tidak dilakukan. Banyak kasus-kasus besar yang berhasil dibongkar baik dari pihak Kepolisian, BNN, maupun pihak Bea dan Cukai.Bukan hanya pengguna maupun bandar kecil semata, pengungkapan terhadap pabrik-pabrik pembuat narkoba juga gencar dilakukan. Salah satu contoh yang cukup berhasil adalah terungkapnya Clandestein Lab di Depok yang kemudian berujung pada terbongkarnya pabrik serupa di Daan Mogot, Jepara, Temanggung dan Jogja. Hal itu memang merupakan prestasi yang cukup baik mengingat banyaknya jumlah barang bukti yang berhasil disita oleh pihak yang berwajib kala itu. Tidak hanya itu, pemerintah sendiri pada tanggal 14 September 2009 telah berhasil menyusun dan mengesahkan undang-undang narkotika yang baru yakni undang-undang nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika. Undang-undang tersebut adalah penyempurnaan dari undang-undang 22 tahun 1997 yang dirasa kurang memberikan efek jera serta mengurangi tingkat pencegahan baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif terhadap peredaran dan penyalahgunaan narkotika. Beberapa pengamat hukum sendiri menilai undang-undang baru ini lebih baik dari pada undang-undang sebelumnya walaupun juga masih dirasa memiliki kekurangan pada beberapa bagian undang-undang tersebut. Banyak pihak berharap dengan keberadaan undang-undang nomor 35 tahun 2009 ini dapat mengurangi jumlah peredaran gelap narkotika serta secara luas dapat menyelamatkan kehidupan bangsa agar terbebas dari penyalahgunaan narkoba itu sendiri.
II. PERBANDINGAN UU NO 22 TAHUN 1997 DENGAN UU NO 35 TAHUN 2009
Undang-undang nomor 22 tahun 1997 mengatur upaya pemberantasan terhadap tindak pidana Narkotika melalui ancaman pidana denda, pidana penjara, pidana seumur hidup, dan pidana mati. Di samping itu, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 juga mengatur mengenai pemanfaatan Narkotika untuk kepentingan pengobatan dan kesehatan
serta mengatur tentang rehabilitasi medis dan sosial. Namun, dalam kenyataannya tindak pidana Narkotika di dalam masyarakat menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat baik secara kuantitatif maupun kualitatif dengan korban yang meluas, terutama di kalangan anak-anak, remaja, dan generasi muda pada umumnya.
Tindak pidana Narkotika tidak lagi dilakukan secara perseorangan, melainkan melibatkan banyak orang yang secara bersama-sama, bahkan merupakan satu sindikat yang terorganisasi dengan jaringan yang luas yang bekerja secara rapi dan sangat rahasia baik di tingkat nasional maupun internasional. Berdasarkan hal tersebut guna peningkatan upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Narkotika perlu dilakukan pembaruan terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Hal ini juga untuk mencegah adanya kecenderungan yang semakin meningkat baik secara kuantitatif maupun kualitatif dengan korban yang meluas, terutama di kalangan anak-anak, remaja, dan generasi muda pada umumnya.
1. Perluasan Jenis dan Golongan
Sebagaimana yang kita ketahui, pada undang-undang mengenai narkoba sebelum UU No 35 tahun 2009 ini disahkan, Negara kita mengacu pada UU No 22 tahun 1997 tentang Narkotika dan UU No 5 tahun 1997 tentang Psikotropika. Pada undang-undang terdahulu,jenis golongan untuk masing-masing Narkotika dan Psikotropika dipisahkan secara jelas melalui lampiran jenis golongan di tiap-tiap undang-undang. Hal ini diatur pada pasal 2 ayat (2) UU No 22 tahun 1997 yang diikuti dengan lampiran untuk setiap jenis golongannya. Pada lampiran UU No 22 tahun 1997 dinyatakan bahwa Narkotika Golongan I terdiri dari 26 jenis narkotika, sedangkan pada UU No 35 tahun 2009 tentang Narkotika pada bagian lampirannya terdapat 65 jenis narkotika golongan I. Penambahan pada jenis Narkotika Golongan I ini dikarenakan digabungkannya jenis Psikotropika Golongan I dan II kedalam kategori Narkotika Golongan I. Jenis Psikotropika Golongan I dan II yang paling banyak diminati oleh para pecandu narkoba adalah jenis shabu dan ekstasi. Hal ini diperkuat dalam pasal 153 point b yang menyatakan bahwa Lampiran mengenai jenis Psikotropika Golongan I dan Golongan II sebagaimana tercantum dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3671) yang telah dipindahkan menjadi Narkotika Golongan I menurut Undang-Undang ini, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Hal ini dimungkinkan karena maraknya penggunaan shabu dan ekstasi dikalangan masyarakat Indonesia, sehingga secara serta merta ancaman pidana yang mengatur mengenai penggunaan shabu dan ekstasi pada jenis Narkotika Golongan I semakin bertambah berat dengan keluarnya UU No 35 tahun 2009 ini. Hal ini dipertegas dalam pasal 8 ayat (1) yang menyatakan bahwa Narkotika Golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan. Dimana pada pasal 8 ayat (2) dilanjutkan dengan pernyataan bahwa dalam jumlah terbatas, Narkotika Golongan I dapat digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan untuk reagensia diagnostik, serta reagensia laboratorium setelah mendapatkan persetujuan Menteri atas rekomendasi Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan. Hal ini berarti ada upaya untuk menekan penggunaan Narkotika Golongan I kepada hal yang mengarah pada penyalahgunaan, dimana selanjutnya pada bagian penjelasan dikatakan bahwa Yang dimaksud dengan Narkotika Golongan I sebagai:
a. Reagensia diagnostik adalah Narkotika Golongan I tersebut secara terbatas dipergunakan untuk mendeteksi suatu zat/bahan/benda yang digunakan oleh seseorang apakah termasuk jenis Narkotika atau bukan.
b. Reagensia laboratorium adalah Narkotika Golongan I tersebut secara terbatas dipergunakan untuk mendeteksi suatu zat/bahan/benda yang disita atau ditentukan oleh pihak Penyidik apakah termasuk jenis Narkotika atau bukan.
Selain itu, untuk melindungi masyarakat dari bahaya penyalahgunaan Narkotika dan mencegah serta memberantas peredaran gelap Narkotika, dalam Undang-Undang nomor 35 tahun 2009 diatur juga mengenai Prekursor Narkotika karena Prekursor Narkotika merupakan zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan Narkotika. Dalam Undang-Undang ini dilampirkan mengenai Prekursor Narkotika dengan melakukan penggolongan terhadap jenisjenis Prekursor Narkotika. Pasal 1 ayat (2) menyatakan bahwa Prekursor Narkotika adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan Narkotika yang dibedakan dalam tabel sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini. Pengertian ini diikuti dengan dikeluarkannya lampiran (2) UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika mengenai golongan dan jenis prekusor itu sendiri. Hal ini sebelumnya tidak diatur dalam UU No 22 tahun 1997,namun seiring diketemukannya pabrik-pabrik pembuat narkoba yang berada di Indonesia maka peredaran prekusor menjadi penting untuk dikendalikan,hal ini juga diatur sebagaimana tercantum pada bagian VIII UU No 35 tahun 2009 yang membahas tentang Prekusor Narkotika (pasal 48 sampai dengan pasal 52). Selain itu, diatur pula mengenai sanksi pidana bagi penyalahgunaan Prekursor Narkotika untuk pembuatan Narkotika. Untuk menimbulkan efek jera terhadap pelaku penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, diatur mengenai pemberatan sanksi pidana, baik dalam bentuk pidana minimum khusus, pidana penjara 20 (dua puluh) tahun, pidana penjara seumur hidup, maupun pidana mati. Pemberatan pidana tersebut dilakukan dengan mendasarkan pada golongan, jenis, ukuran, dan jumlah Narkotika.
2. Pengobatan dan Rehabilitasi
Dalam hal pengobatan, UU No 35 tahun 2009 secara tegas menyatakan bahwa untuk kepentingan pengobatan dan indikasi medis jenis narkotika yang dapat dimiliki, disimpan atau dibawa hanyalah jenis narkotika Golongan II dan Golongan III saja. Kemudian UU No 35 tahun 2009 juga menyatakan bahwa pihak yang wajib menjalankan rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial bukan saja pecandu narkotika seperti pada UU No 22 tahun 1997 namun juga terhadap korban penyalahgunaan. Kemudian pada pasal 55 ayat (2) dikatakan bahwa Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur wajib melaporkan diri atau dilaporkan oleh keluarganya kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
3. Pencegahan dan Pemberantasan
Dalam rangka mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang dilakukan secara terorganisasi dan memiliki jaringan yang luas melampaui batas negara, dalam Undang-Undang ini diatur mengenai kerja sama, baik bilateral, regional, maupun internasional. Kemudian dalam undang-undang terbaru ini juga mengatur mengenai Badan Narkotika Nasional, dimana pada pasal 64 ayat (1) dikatakan bahwa Dalam rangka pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, dengan Undang-Undang ini dibentuk Badan Narkotika Nasional, yang selanjutnya disingkat BNN. Tidak hanya itu, undang-undang ini juga mengatur mengenai kewenangan dan kedudukan BNN sampai dengan di tingkat daerah, hal ini tidak tercantum pada UU No 22 tahun 1997 .
4. Penyidikan
Pada UU No 22 tahun 1997 peranan Badan Narkotika Nasional tidak diatur dalam perundang-undangan tentang narkotika. Pada UU No 35 tahun 2009, secara jelas peranan dan kewenangan dari BNN sebagai badan Nasional diatur sedemikian rupa terutama mengenai kewenangan penyidikan. Pada UU No 22 tahun 1997,penyidikan hanya dilakukan Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dan PPNS sesuai pasal 65,sedangkan pada undang-undang terbaru dikatakan pada pasal 81 bahwa Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dan penyidik BNN berwenang melakukan penyidikan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika berdasarkan Undang-Undang ini, ditambah dengan PPNS tertentu. Untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika yang modus operandinya semakin canggih, Dalam Undang-Undang ini juga diatur mengenai perluasan teknik penyidikan penyadapan (wiretapping), teknik pembelian terselubung (under cover buy), dan teknik penyerahan yang diawasi (controlled delevery), serta teknik penyidikan lainnya guna melacak dan mengungkap penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika. Selanjutnya, tehnik penyidikan ini juga membuka peluang terhadap perluasan alat bukti elektronik sebagaimana yang tercantum dalam pasal 86 ayat (2) yang menyatakan bahwa :
Alat bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
b. data rekaman atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas maupun yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada:
1. tulisan, suara, dan/atau gambar;
2. peta, rancangan, foto atau sejenisnya; atau
3. huruf, tanda, angka, simbol, sandi, atau perforasi yang memiliki makna dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.
Perluasan terhadap alat bukti khususnya yang menyangkut alat bukti elektronik ini memang sangat dibutuhkan, hal ini mengingat sebagai salah satu tindak kejahatan, peredaran narkotika merupakan jenis kejahatan dalam bentuk jaringan dimana antara para pelaku sering tidak bertemu secara face to face bahkan nyaris tidak saling mengenal satu dengan yang lain, dan komunikasi diantara para pelaku menggunakan media alat komunikasi elektronik seperti handphone maupun media chatting.
Kemudian dalam hal lamanya waktu penangkapan, UU No 22 tahun 1997 hanya memberikan waktu 24 ja dalam menangkap di ikuti perpanjangan selama 48 jam apabila dalam pemeriksaan waktu tersebut tidak mencukupi (pasal 67). Pada undang undang 35 tahun 2009,penangkapan dapat dilakukan selama 3 x 24 jam kemudian dapat diperpanjang 3 x 24 jam lagi apabila pemeriksaan dirasa belum mencukupi.Begitu pula dalam hal penyadapan, pada UU No 22 tahun 1997 waktu penyadapan hanya selama 30 hari (pasal 66), namun pada undang-undang terbaru penyadapan terkait peredaran narkotika ini diperpanjang menjadi 3 bulan (90 hari), hal ini diatur pada pasal 77 ayat (1) yang menyatakan bahwa Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 huruf i dilaksanakan setelah terdapat bukti permulaan yang cukup dan dilakukan paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak surat penyadapan diterima penyidik.
5. Peran Serta Masyarakat
Dalam Undang-Undang ini diatur juga peran serta masyarakat dalam usaha pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika termasuk pemberian penghargaan bagi anggota masyarakat yang berjasa dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan Narkotika dan Prekursor Narkotika. Penghargaan tersebut diberikan kepada penegak hukum dan masyarakat yang telah berjasa dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Pada pasal 105 dinyatakan bahwa Masyarakat mempunyai hak dan tanggung jawab dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika. Berbeda dengan undang-undang sebelumnya dimana peran masyarakat hanya sebatas pada kewajiban semata. Perluasan makna hak dan kewajiban disini memberikan pertanggung jawaban dua arah antara masyarakat dan penegak hukum/BNN dalam upaya bersama memberantas peredaran narkotika ini. Selanjutnya adalah mengenai pemberian penghargaan terhadap upaya pemberantasan narkotika ini, dimana pada UU No 22 tahun 1997 pasal 58 dimana pemerintah memberikan penghargaan kepada masyarakat yang telah berjasa dalam mencegah dan memberantas peredaran gelap narkotika, sedangkan pada UU No 35 tahun 2009 pemerintah juga memberikan penghargaan kepada penegak hukum (pasal 109).
6. Ketentuan Pidana
Pada bagian ketentuan pidana ini telah terjadi beberapa perubahan yang cukup prinsipal dan mendasar dari UU No 22 tahun 1997 ke UU No 35 tahun 2009 ini, dimana pada undang-undang terdahulu jumlah pasal dalam ketentuan pidana ini hanya berjumlah 23 pasal dan berkembang menjadi 35 pasal pada undang-undang terbaru.Secara umum UU No 35 tahun 2009 ini memiliki ancaman hukuman pidana penjara yang lebih berat daripada UU No 22 tahun 1997 demikian pula dengan ancaman hukuman denda yang diberikan juga lebih berat. Beberapa pokok perubahan tersebut diantaranya adalah :
a. Penggunaan sistem pidana minimal
Pada undang-undang terbaru dikenal sistem pidana minimal dimana pada undang-undang sebelumnya hal tersebut tidak ada. Hal ini terutama pada para pelaku penyalahgunaan narkotika Golongan I.
b. Semakin beratnya hukuman bagi pelaku yang melanggar penggunaan narkotika baik jenis Golongan I , II ,maupun III dibandingkan UU No 22 tahun 1997,misalnya untuk Golongan I baik itu menyimpan , membawa maupun memiliki dan menggunakan menjadi minimal 4 tahun dan maksimal 12 tahun, kemudian di ikuti dengan semakin beratnya pidana denda dari Rp.500.000.000 (lima ratus juta rupiah) menjadi minimal Rp 800.000.000 (delapan ratus juta rupiah) dan maksimal Rp.8.000.000.000 (delapan milyard rupiah).
c. Semakin beratnya hukuman bagi para pelaku dengan jumlah barang bukti yang banyak/jumlah besar, misalnya untuk pelanggaran terhadap narkotika Golongan I yang melebihi berat 1 kg atau 5 batang pohon (jenis tanaman) atau barang bukti melebihi 5 gram (untuk jenis bukan tanaman) maka pelaku di pidana dengan pidana seumur hidup atau minimal 5 tahun dan maksimal 20 tahun dan pidana dendanya ditambah 1/3.
d. Selanjutnya bagi penyalahguna narkotika yang merupakan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial (Pasal 127 ayat (3) UU No 35 tahun 2009).
e. Yang cukup menarik adalah apa yang tertera dalam pasal 128 UU No 35 tahun 2009 dimana orang tua atau wali pecandu yang belum cukup umur yang tidak melaporkan maka dapat dipidana dengan pidana kurungan 6 bulan atau denda 1 juta rupiah (ayat 1), sedangkan untuk pecandu narkotika dibawah umur dan telah dilaporkan sebagaimana pasal 55 ayat (1) maka dia tidak dapat dipidana, kemudian untuk pecandu narkotika yang telah cukup umur dan sedang menjalani rehabilitasi medis juga tidak dituntut pidana (ayat 3).
f. Adanya ancaman hukuman bagi PPNS dan Penyidik Polri/BNN yang tidak menjalankan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada pasal 88 dan 89 (PPNS) dan pasal 87,89,90,91(2,3),dan pasal 92 (1,2,3,4).
III. PENUTUP
Berbagai peraturan yang diterapkan dalam UU No 35 tahun 2009 tentang Narkotika ini memang membawa perubahan jika dibandingkan dengan undang-undang sebelumnya, terutama mengenai perluasan jenis golongan narkotika. Perubahan tersebut sangat signifikan karena sesuai dengan pengalaman dan apa yang sering terjadi di Indonesia, jenis narkoba yang paling sering untuk disalahgunakan adalah jenis ganja,shabu dan ekstasi. Sehingga penggolongan shabu dan ekstasi menjadi jenis Narkotika golongan I dinilai cukup baik mengingat semakin beratnya ancaman pidana maupun ancaman pidana denda yang diberikan undang-undang terbaru ini. Demikian pula dengan aturan mengenai Badan Narkotika Nasional baik ditingkat pusat, provonsi maupun kabupaten sehingga diharapkan dapat menciptakan kerja sama yang sinergis sebagai upaya penegakan hukum terhadap penyalahgunaan narkotika serta dibarengi dengan upaya-upaya pencegahannya.
Namun demikian, perubahan yang ditetapkan dalam aturan di UU No 35 tahun 2009 tidaklah menjamin akan dapat mengurangi jumlah penyalahgunaan narkotika di Indonesia.Hal ini tentu harus dibarengi dengan berbagai upaya pencegahan yang dilakukan dengan segenap bantuan masyarakat dan komponen bangsa ini secara simultan. Berbagai piranti hukum yang ada hanyalah sebuah hukum “mati” yang tidak akan ada gunanya apabila tidak dijalankan secara baik dan benar. Dan yang paling penting bahwa tugas untuk memerangi narkoba ini bukanlah tugas Polri atau tugas BNN semata, seluruh masyarakat Indonesia harus berperan aktif dalam memerangi narkoba ini. Jika tidak maka upaya memberantas narkoba dari Indonesia akan sangat sulit untuk terwujud dan terlaksana dengan baik.

No comments:

Post a Comment

PENERAPAN ILMU FORENSIK DALAM HUKUM PIDANA

Terbentuknya keyakinan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana didasarkan pada hasil pemeriksaan alat-alat bukti yang dikemukakan pada pros...