8/4/09

CONTOH KASUS MAL PRAKTIK KEDOKTERAN

Contoh Kasus

Kasus Posisi

An. Laki-laki, umur 3 tahun.

Tiga hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS) anak muntah-muntah sering, tak terhitung jumlahnya. Dua hari SMRS diare ± 5x, anak dibawa ke dokter umum. Satu hari SMRS anak mulai demam, lemas dan tidur terus, tak bisa bicara. Di rumah anak kejang 1x, ini kejang pertama kalinya, kejang umum, post kejang tak sadar → dibawa ke RS Sentosa. RS Sentosa tak bisa merawat karena tidak ada ICU. Anak dibawa ke RS Mitra, karena tidak ada biaya maka dianjurkan ke RS Karya Medika II Tambun. Sampai di RS Karya Medika II Tambun tanggal 11 September 2006 jam 03.05 WIB. Jam 04.00 pasien kejang 2x pada ekstremitas kanan. Anak tetap tidak sadar.

Pasien tersebut datang ke UGD RS Karya Medika II Tambun, yang langsung mendapat pertolongan (Prinsip Live Saving), pasien langsung mendapat penanganan dari dokter umum dan spesialis anak, dengan diagnosa GED Berat + Acidosis Metabolik + Encephalopaty Metabolik, disarankan masuk ICU.

Persyaratan administrasi masuk ICU maka keluarga pasien harus membayar uang muka Rp. 2.300.000,- tapi orang tua pasien hanya mampu membayar Rp. 500.000,-, karena kekurangan biaya, bagian penerimaan pasien di UGD menkonfirmasikan ke Bagian Humas, maka atas pertimbangan kemanusiaan pasien diijinkan masuk Ruang ICU dengan menggunakan resep dalam.

Pada awalnya pasien masih mampu membayar atas semua biaya perawatan yang semakin bertambah sampai total Rp. 13.044.655 sedangkan orang tua pasien telah membayar sebesar Rp. 5.300.000,- (tanggal 13 September 2006), seharusnya Rp. 7.744.700,- karena tidak mampu lagi membayar, orang tua pasien kemudian menyerahkan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) dari desa tempat tinggal pasien. Namun SKTM ini tidak dapat diproses oleh bagian administrasi karena SKTM (SKTM berlaku untuk anak dibawah 1 tahun dan ibu melahirkan dengan penyulit) ini diserahkan dalam perjalanan perawatan pasien padahal pada awalnya orang tua pasien mampu membayar namun karena biaya yang semakin bertambah dikeluarkanlah SKTM. RS Karya Medika II dalam kasus seperti ini hanya bisa memberi diskon (membantu meringankan biaya). Keluarga pasien mencoba memindahkan pasien ke rumah sakit lain seperti RSUD Bekasi, RSCM, dan RS UKI Cawang dengan membawa SKTM Askeskin tetapi semuanya menolak karena Ruang ICU penuh. Orang tua pasien akhirnya memutuskan untuk tetap dirawat di RS Karya Medika II Tambun. Selanjutnya atas pertimbangan kemanusiaan, maka pasien tetap dirawat di Ruang ICU dengan bantuan alat ventilator (ventilator machine/mesin bantu nafas) dan pada tanggal 19 September 2006 jam 14.00 WIB, orang tua pasien meminta kepada petugas ICU agar mesin bantu nafas dilepas, dengan alasan biaya yang sudah terlalu tinggi. Jam 18.20 WIB mesin bantu nafas dimatikan sendiri oleh orang tua pasien (surat persetujuan ditandatangani) dan jam 19.20 WIB pasien meninggal dunia. Karena kesulitan biaya, orang tua pasien tidak mampu membayar maka sepeda motor (Supra FIT) diminta oleh rumah sakit sebagai jaminan.

Pada tanggal 18 September 2006, orang tua pasien didampingi oleh LBH Kesehatan (Iskandar Sitorus,SH), RS Karya Medika II Tambun dilaporkan karena dianggap telah melakukan pembiaran terhadap pasien An. M. Rafli Alfiansyah (3 tahun) anak pertama Tn. S dan Ny. N, akibat pembiaran itu nyawa Rafli tak terselamatkan.

Karena pasien tidak mampu melunasi biaya rumah sakit, RS Karya Medika II dianggap dengan seenaknya menelantarkan pasien selama beberapa jam.

RS Karya Medika II dilaporkan dengan tuduhan :

1. Pasal 304 KUH Pidana : Barangsiapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan dia wajib memberi kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

2. Pasal 360 KUH Pidana :

1. Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.

2. Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mendapat luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana kurungan paling lama enam bulan atau pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah.



Analisis Kasus

Guwandi, menyatakan bahwa “kelalaian” sebagai terjemahan dari “negligence”, yang dalam arti umum bukanlah merupakan suatu pelanggaran hukum maupun kejahatan. Seseorang dapat dikatakan lalai kalau orang tersebut bersikap acuh tak acuh atau tidak peduli, dan tidak memperhatikan kepentingan orang lain sebagaimana kepatutan yang berlaku dalam pergaulan dimasyarakat. Selama akibat dari kelalaian ini tidak membawa kerugian atau mencederai orang lain, maka tidak ada akibat hukum yang dibebankan kepada orang tersebut, karena hukum tidak mencampuri hal-hal yang dianggap sepele (de minimus not curat lex, the law does not concern itself with trifles).47

Untuk menentukan adanya kelalaian dokter, ada 4 (empat) unsur yang disingkat dengan “4 D” sebagai berikut :

a. Adanya duty (kewajiban) yang harus dilaksanakan;

b. Adanya derelection of that duty (penyimpangan kewajiban);

c. Terjadinya damaged (kerusakan/kerugian);

d. Terbuktinya direct causal relationship (berkaitan langsung) antara pelanggaran kewajiban dengan kerugian.48

Bila kesalahan atau kelalaian tersebut dihubungkan dengan Aspek Hukum Pidana, maka Jonkers, mengemukakan 4 (empat) unsur sebagai berikut :



a. Perbuatan tersebut bertentangan dengan hukum (wederrechtelijkheid);

b. Akibat dari perbuatan bisa dibayangkan (voorzienbaarheid);

c. Akibat perbuatan sebenarnya dapat dihindari (vermijdbaarheid);

d. Perbuatan tersebut dapat dipersalahkan kepadanya (verwijtbaarheid), karena sebenarnya pelaku sudah dapat membayangkan dan dapat menghindarinya.49

Kelalaian dapat dikatakan merupakan salah satu bentuk kesalahan yang timbul karena pelakunya tidak memenuhi standar perilaku yang telah ditentukan. Jadi kelalaian itu timbul karena faktor orangnya atau pelakunya. Di dalam pelayanan kesehatan, faktor penyebab timbulnya kelalaian pada umumnya karena kurangnya kesungguhan serta kurangnya ketelitian dokter dalam melaksanakan profesinya. Menurut hukum pidana, kelalaian terbagi menjadi 2 (dua) macam yaitu :

1. “ kealpaan perbuatan “ ialah perbuatannya sendiri sudah merupakan suatu peristiwa pidana, sehingga untuk dipidananya pelaku tidak perlu melihat akibat yang timbul dari perbuatan tersebut sebagaimana ketentuan pasal 205 KUHP.

2. “ kealpaan akibat “ ialah akibat yang timbul merupakan suatu peristiwa pidana bila akibat dari kealpaan tersebut merupakan akibat yang dilarang oleh hukum pidana, misalnya terjadinya cacat atau kematian sebagai akibat yang timbul dari suatu perbuatan, seperti yang tercantum di dalam pasal 359. 360, dan 361 KUHP.50

Bila kedua rumusan tentang kealpaan tersebut dikaitkan dengan praktik kedokteran, maka perbuatan dokter yang menimbulkan cacat atau kematian bagi pasien termasuk di dalam “ kealpaan akibat “.51

Untuk menentukan apakah seorang dokter telah melakukan suatu peristiwa pidana sebagai akibat yang dilarang oleh hukum, maka terlebih dahulu harus dicari keadaan-keadaan yang merupakan sebab terjadinya peristiwa pidana itu. Apakah akibat yang terjadi disebabkan oleh tindakan dokter yang sengaja bersikap kurang hati-hati dan ceroboh harus bisa dibuktikan terlebih dahulu.52

Oleh karena itu, tolak ukur untuk mengetahui dokter bersalah atau tidak, dia harus melakukan sesuai dengan yang dilakukan sejawatnya dalam keadaan yang sama yaitu dokter harus mempunyai kemampuan dan kehati-hatian dalam memberi layanan kesehatan.53

Menurut Picard53 , ada tiga kategori yang dapat dipakai sebagai pedoman untuk mengetahui apakah dokter telah berbuat dalam suasana dan keadaan yang sama sebagai berikut :

1. Pendidikan, pengalaman, dan kualifikasi-kualifikasi lain yang berlaku untuk tenaga kesehatan,

2. Tingkat resiko dalam prosedur penyembuhan/perawatan,

3. Suasana, peralatan, fasilitas, dan sumber-sumber lain yang tersedia bagi tenaga kesehatan.



Kesimpulan

Menurut dua pakar hukum, tentang kesalahan atau kelalaian yang dilakukan dokter dalam memberikan pelayanan kesehatan atau tindakan kedokteran :

v Guwandi54 , menyatakan bahwa untuk menyebutkan bahwa seorang dokter telah melakukan kelalaian, maka harus dapat dibuktikan hal-hal sebagai berikut :

Adanya sikap tindak seorang dokter yang :

a. Bertentangan dengan etika, moral dan disiplin,

b. Bertentangan dengan hukum,

c. Bertentangan dengan standar profesi medis,

d. Kekurangan ilmu pengetahuan atau tertinggal ilmu di dalam profesinya yang sudah berlaku umum dikalangan tersebut.

e. Menelantarkan (negligence, abandonment), kelalaian, kurang hati-hati, acuh, kurang peduli terhadap keselamatan pasien, kesalahan yang menyolok dan sebagainya.

v Nasution55 , menyimpulkan untuk menentukan adanya kealpaan harus terpenuhinya adanya 3 (tiga) unsur sebagai berikut :

1. Pelaku berbuat lain dari apa yang seharusnya diperbuat menurut hukum tertulis maupun tidak tertulis, sehingga ia sebenarnya telah melakukan suatu perbuatan (termasuk tidak berbuat) yang melawan hukum.

2. Pelaku telah berlaku kurang hati-hati, ceroboh, dan kurang berpikir panjang.

3. Perbuatan pelaku itu dapat tercela, oleh karenanya pelaku harus bertanggungjawab atas akibat perbuatannya tersebut.

Dalam praktik kedokteran sehari-hari, dokter harus selalu mengantisipasi kemungkinan terjadinya risiko sebagai akibat tindakan yang dilakukannya, dan sekaligus melakukan upaya pencegahan bila mungkin dan menyiapkan upaya penanggulangannya bila risiko tersebut tidak dapat dihindarinya. Karena bila risiko tersebut benar-benar terjadi, walaupun dokter sudah memperhitungkan akibat dari tindakannya dan juga telah mempertimbangkan sebaik-baiknya, tetapi jika ia lalai tidak menyiapkan upaya penanggulangan atau pencegahan terhadap risiko yang bisa menimbulkan bahaya terhadap pasiennya, hal semacam ini juga dapat dianggap sebagai kelalaian.56




2 comments:

  1. trus akhir dari kasus ini gimana?
    apakah pihak rumah sakit dinyatakan bersalah?
    bukankah pihak keluarga sudah menandatangani surat pencabutan alat bantu nafas?

    ReplyDelete
  2. kelanjutan kasus ini seperti apa ya? mohon infonya?

    ReplyDelete

PENERAPAN ILMU FORENSIK DALAM HUKUM PIDANA

Terbentuknya keyakinan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana didasarkan pada hasil pemeriksaan alat-alat bukti yang dikemukakan pada pros...